Pesan Rahbar

Home » » Jihad dalam Pandangan Wahabi

Jihad dalam Pandangan Wahabi

Written By Unknown on Wednesday, 31 December 2014 | 05:33:00


Wahabiyah adalah kelompok puritan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1111-1207 H) di Najd. Citra wahabi di mata mayoritas kaum muslim kurang harum karena mereka acap bersitegang dengan kelompok muslim lain dalam konflik sosial keagamaan yang dipicu oleh klaim kebenaran. Di mata para penulis Barat, khususnya pasca tragedi 11 September, citra Wahabi juga sangat negatif. Mayoritas pelaku bom bunuh diri yang menimpa Twin Towers dan Pentagon adalah orang-orang Wahabi dari Saudi.

Oleh karena itulah, para penulis Barat menyimpulkan bahwa biang keladi terorisme berkaitan erat dengan tradisonal pemikiran Wahabi, bahkan berhubungan secara tidak langsung dengan doktrin keagamaan yang disebarkan oleh pendirinya. Pandangan ini tampaknya didukung oleh Khaled Abou el-Fadl yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok radikal seperti Taliban dan Al-Qaeda memang terpengaruh oleh pemikiran Wahabi.

Akan tetapi, menurut Natana De Long Bas, Muhammad bin Abdul Wahab berpandangan bahwa jihad adalah tindakan yang bersifat defensif. Pendiri Wahabi ini lebih memilih jalur dialog dan pendidikan dalam menyebarkan akidahnya. Pandangan pendiri Wahabi ini bertolak belakang dengan doktrin Osama bin Laden dan pengikutnya. Dengan demikian, Natana berani menyimpulkan bahwa jika Osama menghalalkan terorisme yang bertentangan dengan prinsip jihad defensif ala Muhammad bin Abdul Wahab, harus diakui bahwa terdapat banyak wajah dan keragaman pemikiran dalam tubuh Wahabi.

Richard Bonney mengutip pernyataan Stephen Schwarz sebagai perbandingan. Dalam The Two Faces of Islam : The House of Sa’ud from Tradition to Terror, Schwarz menyatakan bahwa Wahabi merupakan aliran keagamaan yang totalitarian, fanatik, eksklusif, dan fasis. Wahabi mengklaim sebagai kelompok satu-satunya yang menganut akidah Islam murni. Sebaliknya, kelompok lain yang berseberangan diklaim musyrik (politeis) dan, sebagai konsekuensinya, mereka sah diperangi dengan dalih pemurnian tauhid.

Bonney condong menyepakati pandangan yang menilai Wahabi sebagai kelompok yang mengajarkan doktrin puritan dan radikal. Menurutnya, radikalisme ini terlihat setelah terjadinya kontrak kerjasama antara Wahabi dengan Muhammad bin Sa’ud (w.1179 H/1744 M), penguasa Dir’iyya, salah satu kawasan padang pasir terluas di Najd. Muhammad bin Abdul Wahab berpandangan bahwa dakwahnya akan mengalami kesulitan jika tidak didukung oleh kekuatan politik. Oleh sebab itu, dia perlu bekerja sama dengan Muhammad bin sa’ud. Aliansi ini kemudian membentuk kesatuan kekuatan politik dan otoritas keagamaan demi dua tujuan yang saling tumpang tindih. Di satu sisi, kepentingan politik untuk membangun kerajaan Saudi dengan melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Utsmani sangat menonjol. Di sisi lain, otoritas keagamaan Wahabi memiliki kepentingan untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya, termasuk dengan cara memerangi kelompok-kelompok lain yang mereka klaim syirik yang masih patuh pada penguasa Utsmani.

Dua kepentingan yang bercampur baur ini, kemudian mendorong tersulutnya agresi dan pembantaian terhadap kelompok-kelompok yang diklaim syirik dan tunduk pada kekuasaan Utsmani. Pembantaian berdarah dan teror atas nama purifikasi akidah terhadap penduduk Mekah, Madinah, Qatar, Basrah, Karbala, Najaf, Oman, dan Syam digambarkan secara jelas oleh Jamil Afandi Shidqi az-Zahawi dalam bukunya Fajr as-Sadiq.

Khaled Abou el-Fadl juga mencatat bahwa musuh utama Muhammad bin Abdul Wahab bukanlah orang Yahudi ataupun Kristen, melainkan Dinasti Turki Utsmani. Pendiri Wahabi ini menilai Dinasti Utsmani sebagai rezim yang sama bejatnya dengan mongol yang sah diperangi sesuai fatwa Ibnu Taimiyah. Baik kerajaan Utsmani maupun Mongol sama-sama memeluk Islam, tetapi tidak menerapkan hukum Islam. Khaled mengkritik Muhammad bin Abdul Wahab yang memukul rata seluruh Dinasti Utsmani sebagai rezim yang bejat. Bagi Khaled, Dinasti Utsmani memiliki jasa besar dalam membela Islam, khususnya pada periode awal. Namun, pada periode akhir, penguasa Utsmani memang cenderung sewenang-wenang dan mengabaikan keadilan.

Menurut Khaled, sikap Muhammad bin Abdul Wahab yang keras terhadap penguasa Utsmani sejatinya bertujuan untuk menggulingkan penguasa non-Arab. Pendiri Wahabi ini menganut paham etnosentris bahwa penguasa Islam haruslah dari bangsa Arab. Selain itu, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Sa’ud beraliansi dengan kepentingan kolonialisme Inggris yang menghendaki jatuhnya Dinasti Utsmani. Wahabi dan Inggris sama-sama memiliki kepentingan untuk menjatuhkan Kerajaan Utsmani. Di satu sisi, Inggris akan dapat mewujudkan agenda kolonialnya ke negara-negara jajahan apabila Utsmani runtuh. Di sisi lain, Wahabi akan mendapatkan kompensasi politik berupa berdirinya kerajaan Saudi atas dukungan Barat.

Penting diketahui, sebagaimana dikemukakan Richard Bonney, bahwa tafsir atas konsep jihad telah mengalami pergeseran pada era kemunculan Wahabi. Jihad yang pada mulanya dipahami sebagai tindakan untuk mempertahankan diri dan agamadari serangan musuh, perlahan berubah menjadi doktrin yang kaku dan digunakan untuk memerangi sesama kaum muslimin yang dituduh sebagai pelaku syirik dan bid’ah. Di sinilah letak anomali dan ironi Wahabi. Di satu sisi, Wahabi getol memerangi sesama Ahli Kiblat. Namun di sisi lain, dalam sejaranya Wahabi tidak pernah terlibat dalam jihad untuk mempertahankan negara-negara muslim dari serangan kolonialis dan imperialis. Mereka justru beraliansi dengan negara-negara penjajah. Dalam konflik Palestina, Irak, Iran, misalnya, Wahabi cenderung berpihak pada kebijakan-kebijakan Barat. Inilah absurditas konsep jihad dalam perspektif Wahabi.


*Sumber : Diambil dari karya intelektual muda NU, Irwan Masduqi, Ketika Nonmuslim Membaca Alquran: Pandangan Richard Bonney Tentang Jihad, Yogyakarta : Bunyan, 2013.hal.86-90. 
 
(Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: