Pesan Rahbar

Home » » Yang Menuduh Mu’awiyah Masuk NERAKA, Syi’ah atau Nabi Sendiri??

Yang Menuduh Mu’awiyah Masuk NERAKA, Syi’ah atau Nabi Sendiri??

Written By Unknown on Tuesday 2 December 2014 | 22:10:00

Kami suguhkan persembahan terbaru bagi para pecinta Ahlulbait Nabi, tentang apa yang diucapkan oleh mulut-mulut nashibi tentang orang yang memerangi Ali dan meracuni Hasan serta mewariskan Kerajaan pada Yazid.


Tentang diamnya Imam Ali dihadapan 3 khalifah ? Tentang peperangan yang terjadi antara Ali dengan Muawiah ? Tentang perdamaian Imam Hasan dengan Mu’awiyah ?


12 imam syi’ah adalah Imam dalam keadaan berkuasa, juga imam ketika sedang tidak berkuasa.Rasulullah saw mengenai Hasan dan Husain mengatakan, “Kedua putraku ini akan menjadi imam, baik mereka bangkit untuk merebut imamah ataupun diam.” [Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 134.]

Mengenai sebab wafat Hasan, dituliskan bahwa Muawiyah mengirim 100 ribu dirham bagi Ja’dah, istri Imam Hasan, agar meracuni Imam Hasan. Muawiyah juga berjanji akan menikahkannya dengan Yazid, putranya. Ja’dah menyetujuinya dan melakukan perintah Muawiyah.[A’lamul Wara, jilid l, hal. 402-403; Manaqib Ali bin Abi Thalib, jilid 4, hal. 33 Kasyful Ghummah, jilid2, hal. 140-144.]

Salafi nashibi begitu mudahnya ia berkata kasar terhadap sang Imam tapi bungkam seribu bahasa atas perilaku idolanya Muawiyah dan Amr bin Ash. Jadi memang benar Imam Hasan adalah Imam maksum yang dibenci oleh salafi nashibi.

Bagi wahabi semua yang ada dalam kitab al kafi kulaini dan shahih bukhari dianggap sudah pasti benar dan meragukan salah satunya berarti meragukan semua isi kitab tersebut. Si dungu ini sepertinya tidak tahu kalau ulama kebanggaannya albani bahkan telah menolak hadis shahih bukhari yaitu hadis yang menerangkan kalau Nabi menikahi Maimunah saat ihram. Dan jauh sebelum albani sudah ada banyak ulama sunni yang menolak hadis shahih bukhari ini diantaranya menantu abu hurairah si said al musayyab.

Yah memang begitulah anak cucu Umayyah, kita sudah lihat betapa Yazid khalifah kebanggan salafi nasibi, putra Muawiyah yang diagungkan salafi nasibi adalah orang yang haus kekuasaan. Dengan penuh dosa ia menyerang Madinah dan memaksa penduduk Madinah membaiatnya. Pemimpin macam apa yang bergelimang dosa seperti itu dan kita lihat ulama-ulama Madinah yang notabene penduduk Madinah dengan takutnya membaiat pemimpin semacam itu. Nah memang begitulah mentalitas bani Umayyah dan ulama-ulama pengikutnya yang diturunkan kepada salafi nasibi.

Mengenai sikap Imam Ali maka kami katakan sikap Beliau adalah sikap yang paling baik dan orang-orang yang dangkal pikirannya seperti wahabi nejed tidak bakal mampu memahami kemuliaan Sang imam. Imamah dalam Syiah adalah jabatan ilahi yang tidak akan berpindah pada siapapun kecuali kepada orang yang telah ditunjuk oleh Allah SWT. Mereka para perampas hanya mampu merampas khilafah yang merupakan bagian dari Imamah tetapi pada hakekatnya para imam tetaplah seorang imam. Disinilah arti penting tindakan para Imam yang lebih mengutamakan perdamaian dan keutuhan islam dibanding merebut khilafah dengan pertumpahan darah. Sehingga kita dapat memahami mengapa Imam Ali tidak menghimpun pasukan untuk mengambil kembali khilafah.

Orang-orang yang dangkal pikirannya memang tidak akan pernah memahami apa itu Imamah, bagi mereka khilafah dan Imamah itu sama saja. Dalam Syiah, Imamah menunjukkan kepemimpinan yang meliputi kepemimpinan dalam syariat, kepemimpinan dalam akhlak, kepemimpinan dalam ilmu dan khilafah. Sedangkan dalam sunni kita lihat mereka mengkhususkan Imamah hanya pada khilafah saja, sehingga tidak mengherankan kalau kita melihat ada di antara khalifah mereka yang bergelimang penuh dosa.

Imam Ali yang merupakan sahabat yang berjasa besar dalam menegakkan islam pada masa Rasulullah terkenal dengan kegigihannya secara aktif dalam setiap perperangan, beliau tidak pernah lari dari perperangan dan dengan penuh pengorbanan selalu melindungi Rasulullah SAW.

Alangkah anehnya sosok yang berjiwa besar ini ketika mendadak tidak ada ceritanya pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, Beliau mengasingkan diri dan bersikap pasif terhadap pemerintahan Abu Bakar dan Umar.Beliau tidak ikut serta dalam setiap kebijakan kedua khalifah tersebut. Salah satu bukti sikap pasif beliau adalah beliau tidak ikut serta dalam perperangan Abu Bakar melawan orang-orang murtad. Beliau tidak ikut serta dalam perperangan menaklukan bangsa Rum pada masa Umar. Walaupun begitu tidak jarang beliau memberikan saran-sarannya ketika para khalifah meminta saran beliau tentu saja semata-mata demi kemaslahatan umat dan menegakkan hukum Allah SWT.

Apakah sikap pasif Imam Ali itu menjadi bukti kalau Imam Ali mengakui kekhalifahan Abu bakar dan Umar?. Siapapun yang berpikir jernih pasti mengetahui kalau sikap pasif Imam Ali pasti memiliki latar belakang penyebabnya?. Sunni tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu tetapi Syiah dengan mudah menjawab kalau sikap pasif tersebut karena Imam Ali lebih berhak dalam masalah khilafah dibanding Abu Bakar dan Umar.

Di satu sisi Imam Ali tahu kalau haknya dirampas dan disisi lain ia lebih mengutamakan kemaslahatan umat Islam, sikap seperti ini menunjukkan kebijaksanaan Imam yang luar biasa dan saya yakin orang yang dangkal pikirannya seperti hakekat.com tidak akan pernah bisa memahami kebijaksanaan seperti ini bahkan hingga tujuh turunan.

Sekali lagi kita melihat kalau wahabi nejed ini dengan pikiran dangkalnya telah gagal memahami tindakan Imam Hasan. Lagi-lagi orang ini tidak paham apa itu Imamah sehingga dengan mudahnya ia berkata Imam Hasan menyerahkan Imamah pada Muawiyah. Perlu anda ketahui wahai orang yang dangkal pikirannya, Imamah adalah suatu ketetapan ilahiah yang tidak bisa diserahkan.

Imamah layaknya kenabian adalah suatu ketetapan Allah SWT, Nabi tetaplah Nabi meskipun semua orang mendustakannya dan begitu pula imam tetaplah imam meskipun semua orang menolak untuk mengakuinya. Inilah Imamah yang tidak bisa anda pahami dan dengan gaya sok pintar anda merasa tahu soal Syiah. Cih alangkah banyaknya orang dungu menjadi besar kepala.

Imam Hasan menyerahkan khilafah pada Muawiyah demi kemaslahatan Umat untuk mencegah kepunahan ahlulbait dari pertumpahan darah yang sia-sia. wahabi nejed memang tidak bisa melihat permasalahan dengan benar. Siapa khalifah yang sah pada saat itu?

Tidakkah ia tahu kalau ada tentara Imam Hasan yang ogah-ogahan dan bermalas-malasan dalam memenuhi seruan Imam Hasan?. Tidakkah ia tahu ada berapa banyak tentara Imam Hasan yang benar-benar adalah Syiah atau pengikut Imam Hasan?. Jika tidak tahu maka tidak perlu banyak bicara wahai orang yang dangkal pikirannya, saya akan membahas bagian ini pada makalah tersendiri.

Imamah dalam Syiah adalah jabatan ilahi yang tidak akan berpindah pada siapapun kecuali kepada orang yang telah ditunjuk oleh Allah SWT. Mereka para perampas hanya mampu merampas khilafah yang merupakan bagian dari Imamah tetapi pada hakekatnya para imam tetaplah seorang imam. Disinilah arti penting tindakan para Imam yang lebih mengutamakan perdamaian dan keutuhan islam dibanding merebut khilafah dengan pertumpahan darah. Sehingga kita dapat memahami mengapa Imam Ali tidak menghimpun pasukan untuk mengambil kembali khilafah.

Orang-orang yang dangkal pikirannya memang tidak akan pernah memahami apa itu Imamah, bagi mereka khilafah dan Imamah itu sama saja. Dalam Syiah, Imamah menunjukkan kepemimpinan yang meliputi kepemimpinan dalam syariat, kepemimpinan dalam akhlak, kepemimpinan dalam ilmu dan khilafah. Sedangkan dalam sunni kita lihat mereka mengkhususkan Imamah hanya pada khilafah saja, sehingga tidak mengherankan kalau kita melihat ada di antara khalifah mereka yang bergelimang penuh dosa.

Sungguh berbeda jauh dengan Syiah, Salafi Nasibi tidak hanya menolak Imam Hasan sebagai Imam dalam agama bahkan salafi nasibi tidak segan-segan menyatakan kebencian pada Imam Hasan. Mengapa sang Imam maksum begitu dibenci oleh Salafi nashibi ?. Mari kita simak bersama jawabannya.

Syiah berkeyakinan bahwa Imam yang akan memberi petunjuk bagi manusia agar tidak sesat adalah Imam ahlul bait yang berjumlah dua belas oleh karena itu syiah sering disebut Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariyyah atau Syiah dua belas Imam. Berbeda dengan Syiah, salafi nashibi justru menolak mengakui ahlul bait sebagai Imam bahkan mereka lebih suka mengakui Muawiyah, pengikutnya dan cucu-cucunya dan berlomba-lomba mengutamakan mereka. Salah satu Imam syiah adalah Hasan bin Ali putra Ali bin Thalib kakak Imam Husain.

Salafi Nashibi sering menutupi kebenciannya terhadap Imam Hasan dengan selalu mengklaim bahwa mereka mencintai Imam Hasan. Huh betapa mudahnya cinta itu diklaim, betapa ringannya mulut itu bermanis kata. Tetapi bangkai tetaplah bangkai, disembunyikan dengan pewangi apapun baunya akan tetap tercium juga. Begitu pula salafi nashibi tidak ada gunanya mereka mengklaim mencintai Imam Hasan kalau mereka sendiri justru memerangi Imam Hasan, menolak mengakui petunjuknya dan memerangi para pengikut sang Imam. Sikap salafi ini tidak lain hanya muncul dari kebencian yang diwariskan oleh bani Umayyah.

Ada hal menjijikkan yang sering diulang-ulang oleh salafi nashibi untuk merendahkan syiah. Mereka menuduh Syiah membenci Imam Hasan dengan alasan keturunan Imam Hasan tidak ada satupun yang menjadi Imam Syiah dan justru yang menjadi Imam Syiah adalah keturunan Imam Husain. Salafi nashibi memang hanya bisa menampilkan tuduhan busuk. Setelah memerangi Imam Hasan, salafi nashibi tidak puas kalau nama sang Imam begitu harum disisi Syiah sehingga mereka berusaha merendah-rendahkan syiah dengan tuduhan busuk seperti itu. Jika ada yang bertanya, apa salah Syiah? Maka jawabannya karena syiah satu-satunya umat Islam yang berpedoman kepada Imam Hasan agar tidak tersesat.

Mengenai tuduhan bahwa Syiah tidak menjadikan Imam dari keturunan Hasan maka tidak ada yang dapat saya katakan kepada mereka selain betapa bodohnya mereka yang menuduh seperti itu. Alangkah bodohnya mereka tentang mahzab Syiah dan Imamah sampai-sampai mereka menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan syiah. Cih camkan wahai para nashibi seperti hakekat.com, Syiah tidak pernah mengangkat dan menjadikan siapapun sebagai Imam bagi manusia. Syiah hanyalah mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab Uyun Akhbar Ar Ridha jilid 1 hal 57 disebutkan:
Imam Ali alaihissalam ditanya tentang apakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dengan ahlul bait ketika Rasulullah SAW bersabda “kutinggalkan dua pusaka berharga diantaramu yaitu Kitab suci Allah dan Ahlul baitku?”. Imam Ali alaihissalam menjawab “yang dimaksud Beliau mengenai Ahlul Bait adalah Aku, Hasan, Husain dan Sembilan orang Imam keturunan Husain, yang kesembilan adalah Mahdi Al Qaim. Mereka tidak akan berpisah dari kitab suci Allah sampai menemui Rasulullah di telaga haudh.

Syiah begitu teguh mengikuti para Imam ahlul bait bahkan walaupun sang Imam melakukan sesuatu yang tidak disukai mereka maka mereka tetap menjadikan Imam sebagai pedoman. Berbeda sekali dengan salafi nashib yang memerangi Imam Hasan, mereka dipimpin Muawiyah dan pengikutnya telah menolak untuk mengakui Imam Hasan sebagai khalifah yang sah. Mereka mengangkat senjata untuk memerangi Imam Hasan sungguh tidak ada lagi kebencian yang lebih besar dari itu. Oleh karena itu ketika Imam Hasan menyerahkan khilafah kepada Muawiyah dan pengikutnya maka kaum syiah menjadi bingung, mereka awalnya tidak mau menerima hal tersebut tetapi setelah mereka bertanya kepada Imam Hasan sendiri maka merekapun mendapatkan jawabannya dan dengan teguh tetap mengakui kalau Imamah adalah milik Imam Hasan.

Dalam kitab Biharul Anwar jilid 44 hal 24 disebutkan sebagai berikut :
Abu Ja’far berkata, salah seorang pengikut Hasan yang bernama Sufyan bin Laila datang menghadap Hasan dengan menaiki onta, dia melewati imam Hasan yang sedang duduk di teras rumahnya, dia pun berkata : Assalamualaikum wahai penghina orang beriman!”. Hasan berkata padanya : turunlah kemari dan jangan tergesa-gesa. Dia pun turun dan mengikatkan ontanya pada tiang rumah seraya menghampiri Hasan. Hasan berkata padanya : barusan kamu bilang apa? Jawab Sufyan Saya mengatakan Assalamualaika wahai penghina orang beriman”. Hasan menjawab siapa yang memberitahu padamu hal itu? Dia menjawab ” kamu telah sengaja melepaskan kepemimpinan umat dan kau serahkan pada seorang taghut yang berhukum dengan selain hukum Allah. Hasan berkata : akan kuberitahukan padamu mengapa saya berbuat demikian, aku mendengar ayahku berkata, bahwa Nabi telah bersabda : hari hari tidak akan berlalu sampai memegang urusan umat ini orang yang ba;’umnya luas dadanya lebar, suka makan dan tidak pernah kenyang, dialah Muawiyah,karena inilah aku melakukan hal itu. Hasan bertanya pada Sufyan : Apa yang membuatmu kemari? Jawabnya : kecintaanku padamu wahai Hasan, yang membuatku datang kemari menemuimu. Lalu Hasan berkata : demi Allah, tidak ada seorang hamba yang mencintai kami walaupun dia sedang ditawan di negeri Dailam, maka kecintaan itu akan berguna baginya, sesungguhnya kecintaan manusia pada kami akan menggugurkan dosa sebagaimana angin yang menggugurkan daun dari pepohonan.

Kecintaan syiah kepada sang Imamlah yang membuat mereka pengikut syiah segera bertanya kepada sang Imam mengapa Imam menyerahkan khilafah kepada Muawiyah?. Mereka tidak suka kalau khilafah dipegang oleh para pembenci Imam ahlul bait, sehingga syiah pun menjadi bingung atas tindakan sang Imam. Walaupun begitu mereka tidak berlepas diri dari sang Imam bahkan mereka menghadap sang Imam untuk memperoleh kejelasan. Sikap syiah yang selalu berpegang pada Ahlul bait mengundang rasa iri dan dengki wahabi

Jangan karena kebencian matamu hanya tertuju kepada syiah lantas bagaimana dengan Muawiyah, Amr bin Ash dan para pengikutnya yang merupakan sahabat kebangganmu. Bukankah mereka nyata-nyata memerangi sang Imam. Kebencian dan kekejian mana yang lebih dari itu. Baiklah, mungkin bukan Sunni tapi salafi nashibi, bukankah mereka salafi nashibi itu selalu memuja Muawiyah bahkan tidak malu-malu salafi nashibi membuat hujjah khusus yang mengenai keutamaan Muawiyah.

1. Wahabi berpedoman pada hadis Hadis dibawah ini :

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah z) (http://asysyariah.com/perang-shiffin-celah-munafiqin-mencela-amirul-muminin/)












Perang Shiffin, Celah Munafiqin Mencela Amirul Mu’minin

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dimunculkan pula dari sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah z berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib z dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?

Perang Itu Akan Terjadi
Debu Shiffin membumbung ke angkasa. Perang besar antara dua barisan besar kaum muslimin tidak mungkin dielakkan sebagai ketetapan Rabbul ‘Alamin.
Perang Shiffin adalah perang fitnah dua barisan kaum mukminin. Allah l menakdirkan perang itu dengan hikmah yang sangat mendalam. Di antaranya, sebagai ujian bagi manusia dalam menyikapinya, apakah dia menyikapinya sesuai dengan bimbingan Rasulullah n dan mengikuti jalan salafus saleh atau ia binasa mengikuti gelombang kerusakan.
Allah l berfirman,
“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Anfal: 37)
Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah z)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali z bersama barisannya dari penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z bersama barisannya dari penduduk Syam.1
Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).2
Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib z dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara Shiffin. Semoga Allahlmerahmati mereka.

Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin
Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah l, Rabbul ‘Alamin.
Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah n dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin.
Allah l berfirman,
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara para sahabat.
Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
Demikian pula sabda beliau n,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)
Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap terhadap para sahabat Rasulullah n. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka.
Allah lberfirman,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad t ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah c. Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah l,
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah l telah mengampuni dan meridhai mereka semua.

Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat
Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat—termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah c—di antaranya,
1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul n dibicarakan.
Rasulullah n bersabda,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah c kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan Mu’awiyah z. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan sabda beliau,
دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul n.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Kenyataan ini tentu membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.
Sepintas Kronologi Perang Shiffin
Orang-orang yang bodoh dari penduduk Mesir terhasut bujukan Ibnu Saba’ al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan z dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid.3
Wafatnya Utsman bin Affan z menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah n dalam sabda beliau,
وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”4
Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n pun datang bergelombang.
Semenjak wafatnya Utsman bin Affan z, Ali bin Abi Thalib z menjadi manusia termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan Utsman bin Affan z5 di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran.
Setelah Ali bin Abi Thalib z menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan z segera dituntaskan dengan menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi, manusia yang dibunuh adalah sahabat Utsman bin Affan z.
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah g. Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib z. Beliau z berpandangan untuk menunda kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan—sebagai wali Utsman bin ‘Affan secara syariat—berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah l,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
Mu’awiyah z memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah z berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib z. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman z diserahkan untuk ditegakkan qishash. Ketika itu, Mu’awiyah z adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan z. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah z dan penduduk Syam.
Ibnu Katsir t berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib z, beberapa sahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka sahabat g mengunjungi Ali z. Mereka meminta Ali z segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman z. Namun, Ali z menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman z memiliki bala bantuan dan kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu. (al-Bidayah 7/239)
Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para pembunuh Utsman bin Affan z. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah.
Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan baik Ummul Mukminin Aisyah x untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.
Namun, para penyulut fitnah tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada sahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja.6
Kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib z semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.
Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib z sesungguhnya tidak menyelisihi keinginan wali Utsman dan para sahabat yang menghendaki ditegakkannya qishash. Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman lalu memenggalnya. Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan z dan berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum muslimin.
Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi Thalib z. Ali memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah z. Beliau z melihat bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan z benar-benar merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk menghancurkan Islam.
Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali z melihat untuk memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat.
ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)
Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali z mengantar surat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at kepada Ali sebagaimana manusia yang lain.
Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash z dan pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan z atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah z dengan hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tersebut….
Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.
Ali bin Abi Thalib mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani, dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”
Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib z.7
Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”

Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash z dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dan Abu Musa al-‘Asy’ari z dari pihak Ali bin Abi Thalib z. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah l. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Khalifah Ali bin Abi Thalib z terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan c & Keutamaan Mu’awiyah z
Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib z dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali z menggantikan posisi ayahandanya.
Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah l, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Terwujudlah berita Rasulullah n tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan z berkata,
وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi n berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah l ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)

Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali c dan Mu’awiyah z
Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah z.
Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimat Allah l, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul n bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka).
Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah c. Al-Hasan z berkata,
قَدْ كَانَ جَمَاجِمُ الْعَرَبِ فِي يَدِي يُحَارِبُونَ مَنْ حَارَبْتُ وَيُسَالِمُونَ مَنْ سَالَمْتُ، تَرَكْتُهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَحَقْنَ دِمَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ n
“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad n….” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)

Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti
Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah z sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban.
Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi kaum mukminin.
Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz t, beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n فِي الْمَنَامِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ جَالِسَاهُ عِنْدَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَجَلَسْتُ، فَبَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ إِذْ أُتِيَ بِعَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ، فَأُدْخِلَا بَيْتًا وَأُجِيفَ الْبَابُ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ: قُضِيَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. ثُمَّ مَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ يَقُولُ: غُفِرَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ.
Aku melihat Rasulullah n dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah l.9
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya, g.
Sa’d bin Abi Waqqash z berkata ketika diajak berperang,
لاَ أُقَاتِلُ حَتَّى يَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ يَعْرِفُ الْكَافِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِ
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi t.)

Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n di atas. Hadits yang lebih tegas menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah z tentang keutamaan al-Hasan bin Ali c. Rasulullah n bersabda,

إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali c, cucu Rasulullah n, pemimpin pemuda ahlul jannah.

Catatan Kaki:

1 Lihat Fathul Bari (13/92).
2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (18/13).

3 Sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah.
4 HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1773.
5 Selain Mu’awiyah sebagai gubernur Syam, demikian pula penduduk Syam menunda bai’at hingga ditegakkan qishash atas para pembunuh Utsman.

6 Lihat Tasdid al-Ishabah fima Syajara Bainash Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d al-Ghamidi dengan pengantar asy-Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan.

7 Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).

8 Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian Utama berjudul Manusia Paling Celaka adalah Pembunuhmu, Wahai Ali!

9 Al-Intishar lish Shahabatil Akhyar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hlm. 173—178.


atau bisa dilihat disini: http://www.kaskus.co.id/thread/51825e0d48ba54e04d000011/holy-anda-bertanya-muslim-menjawab---part-28/395.


*****

Juga hadits Abu Bakrah dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mimbar bersabda, dan ketika itu Al-Hasan ada disamping beliau. Sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya seraya bersabda:

ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 3746 dan Muslim no. 1065).

2. Salafi beranggapan JIKALAU ADA YANG TERBUNUH DIANTARA MEREKA dalam perang shiffin maka MEREKA AKAN MENDAPATKAN SURGA, DALIL wahabi adalah :

Ibnu Abi Syaibah berkata :

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: ” قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ “

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga”. Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302].

3. wasiat Rasulullah versi wahabi :

إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا

“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]).

Demikian pula sabda Nabi SAW versi wahabi :

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim).

Rasulullah n bersabda versi wahabi :

إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا

“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]).

4. wahabi meyakini Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Wahabi meyakini Terwujudlah berita Rasulullah tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.

Al-Hasan berkata,

وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.

Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi n berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557).


Jawaban kami :

Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !

1. HASAN bukan MENYERAHKAN KEIMAMAHAN KEPADA MUAWIYAH

Imam Hasan bukan membai’at Mu’awiyah !! Melainkan melakukan perjanjian damai temporal, yang mana perjanjian itu lalu dikhianati Mu’awiyah, malah Mu’awiyah menyuruh Ja’dah meracuni Imam Hasan

Mu’awiyah sahabat mulia ? Hujur bin Adi Beliau termasuk salah seorang sahabat terbesar Rasulullah saw dan Amirul Mukminin, juga termasuk seorang pembesar di zamannya. Ibnu Atsir Jazairi, dalam Usud al-Ghâbah dan lainnya, menganggap beliau telah mencapai kedudukan yang dekat dengan Allah Swt, karena menjadi salah seorang yang doanya dikabulkan. Beliau terbunuh sebagai seorang syahid di Marja Ghadra, salah satu daerah di Syam, atas perintah Muawiyah pasca perdamaian Hasan dengan Muawiyah.

Alasan perdamaian Imam Hasan dengan Muawiyah adalah alasan perdamaian Nabi saw dengan Bani Dhumrah dan Bani Asyjaت, dan juga dengan penduduk Mekkah lewat perjanjian Hudaibiyah. Mereka adalah orang-orang yang bersikap kafir terhadap wahyu Allah; Muawiyah dan para konconya juga kafir terhadap ta’wil (tafsir firman Allah). Muawiyah mengklaim bahwa ia menganggap dirinya layak untuk (menduduki kursi) kekhilafahan; tetapi imam Hasan tidak memandang layak untuknya.

Bukankah engkau mengetahui bahwa ketika Nabi Khidir as membakar kapalnya dan membunuh seorang anak serta mendirikan tembok, Nabi Musa marah terhadap tindakan-tindakannya itu? Karena wajah kebenaran tampak samar baginya sampai kemudian dijelaskan kepadanya tentang alasan yang sebenarnya. Begitu juga wahabi mencela Hasan karena kejahilan kalian terhadap wajah kebenaran di dalamnya. Jika Imam Ali dan Imam Hasan tidak melakukan apa yang dilakukan ini, niscaya tak akan ada lagi Syi’ah di muka bumi ini kecuali terbunuh.

Dengan demikian, sebab-sebab perdamaian dapat diringkas dalam beberapa noktah berikut:
1. Lemahnya kekuatan pendukung Imam Hasan dikarenakan kerapuhan dan pembangkangan mereka atas perintahperintah beliau setelah tersebarnya pengaruh propaganda Muawiyah di kalangan mereka. Dalam keadaan ini, perlawanan akan berlangsung tidak akan seimbang; kecuali hanya akan menyebabkan hal lebih buruk lagi bagi risalah di hadapan makar Muawiyah; sementara Imam Hasan berkewajiban untuk menjaga risalah tersebut dan menumbuhkannya di tengah masyarakat yang dikuasai Muawiyah dan tipu dayanya.
2. Kondisi buruk pasukan Imam Hasan berdampak pada kesyahidannya dan kesyahidan orang-orang yang ikhlas dari kalangan Ahlulbait dan para sahabat nya; sebagian mereka dibiarkan hidup dalam penjara Muawiyah atau dibebaskan dalam keadaan lemah· minimal diiming-imingi akan bebas. Semua keadaan ini jelas jauh lebih buruk. Sekalipun kesyahidan merupakan perintah syariat, baik dilakukan dengan segera atau tidak, namun itu tidak boleh ditempuh, apalagi jika berakibat terputusnya garis imamah (kepemimpinan Ilahi) dan pemusnahannya secara total.
3. Penjagaan terhadap eksistensi kaum Mukmin di bawah keadilan Ahlulbait agar tidak sampai musnah secara total sebagai dampak dari kebencian Bani Umayah terhadap Bani Hasyim, sebagaimana dikuatkan berbagai riwayat sejarah Islam yang berdarah-darah. _ Menjaga tertumpahnya darah kaum Muslim dalam peperangan melawan para pemberontak yang jelas-jelas hanya akan menciptakan kerugian belaka.
4. Menyingkap hakikat kejahiliahan yang menyelubungi Muawiyah, sekaligus membentengi umat Islam darinya setelah diketahui bahwa tampuk kekhalifahan telah dipersiapkan (untuk diwariskan) untuk dimonopoli anak-anak Bani Umayah yang bernafsu menguasai umat Islam dan mempermainkan ajaran Islam serta memadamkan api revolusi Nabi yang mulia.
5. Perlunya mempersiapkan kondisi yang kondusif untuk berkonfrontasi melawan kekuatan kufur dan munafik yang bersembunyi di balik kekuatan (Muawiyah). Sebab-sebab hakiki yang berada di balik sikap Ilahi yang dijalankan Imam maksum ini tersembunyi bagi sebagian besar orang yang hidup sezaman dengan beliau, juga bagi sebagian orang yang dangkal pikirannya serta orang-orang sesat yang berada dalam pengaruh gerakan pemutarbalikan fakta tersebut. Tetapi, kejadian-kejadian pasca perdamaian dan strategi permusuhan yang dilancarkan Muawiyah serta para pejabat Bani Umayah lainnya, serta kejadian-kejadian yang menyebabkan kerugian besar bagi Islam dan kaum Muslim, telah menyingkap sebagian rahasia sikap Imam Hasan ini.

bani Umayah, kelompok jahiliah yang mungkar,karena merepresentasikan kezaliman yang tidak bersumber dari selain mereka. Bahkan, tanpa itu, mereka tetap menjadi bahaya bagi Islam dan keluarga Nabi saw

Hasan menghentikan pertumpahan darah. Menyelamatkan keluarga lebih baik daripada mereka membunuhku dan memusnahkan Ahlulbait dan keluarga. Demi Allah, jikaHasan memerangi Muawiyah, mereka akan membunuh ahlulbait sehingga mereka memaksa untuk berdamai dengannya demi menyelamatkan kaum syi’ah.

Apakah berperang ataukah berdamai. Telah mempertimbangkan bahwa bagi Imam Hasan, berperang hanya akan menyebabkan kehancuran barisan pejuang agama dan ahlulbait, para pemberi petunjuk ke jalan Allah Azza Wajalla, dan pembimbing ke jalan yang lurus.Oleh karena itu, Imam Hasan memutuskan untuk berlepas tangan terhadap Muawiyah karena tindakannya yang sudah kelewat batas, dan mengujinya dengan kekuasaan yang sangat diinginkannya.

Namun begitu, dalam akad perjanjian damai tersebut, ia diharuskan untuk tidak melanggar Kitab Allah dan Sunah selama kekuasaannya dan kekuasaan para pembantunya, tidak menuntut salah seorang pengikut (Syi’ah beliau) pun atas apa yang dilakukannya terhadap Bani Umayah, mendapatkan hak hak kehormatan dan lainnya sebagaimana yang diberikan kepada kaum Muslim selain mereka; dan masih banyak lagi syarat yang tentunya Imam Hasan menyadari betul bahwa Muawiyah tak akan menepatinya, dan malah akan melakukan hal sebaliknya. Inilah yang dipersiapkan Imam Hasan untuk menyingkapkan selubung penutup wajah Bani Umayah, sekaligus membongkar kedok yang selama ini menutupi penyimpangan Muawiyah.

Bagi Imam Hasan, perdamaian ini telah mempersiapkan jalan bagi Muawiyah membuka kedok dirinya tanpa sadar; dan Muawiyah sendiri sebenarnya sedang memasang ranjau yang akan meledakkan dirinya sendiri. Kemenangannya (Muawiyah) hanya akan menjadi buih dan beterbangan laksana debu. Tidak lama setelah itu, meledaklah ranjau pertama yang ditanam dalam butir-butir perdamaian. Ledakkan itu bersumber dari diri Muawiyah sendiri, di saat dirinya sedang bergembira atas kemenangan (lahiriah)nya, karena pasukan Irak bergabung di bawah benderanya di Nukhailah. Ia lalu sesumbar saat berkhotbah sambil berdiri di hadapan penduduk Irak, „Wahai penduduk Irak! Sungguh aku tidak memerangi kalian agar kalian mendirikan shalat, melaksanakan puasa, atau mengeluarkan zakat, atau agar kalian berhaji. Aku memerangi kalian hanya karena supaya aku dapat memerintah kalian. Allah telah memberikan hal itu kepadaku, tetapi kalian tidak menyukainya. Ingatlah bahwa semua yang aku berikan kepada Hasan bin Ali (butir-butir perjanjian damai) telah aku letakkan di bawah telapak kakiku ini.

Hasan berdamai dengan Muawiyah dan menghentikan peperangan dengannya. Hasan berdamai dengannya dan memandang bahwa menghentikan pertumpahan darah lebih baik daripada mengalirkannya. Tidak ada yang dinginkan dari hal tersebut kecuali kemaslahatan dan keselamatan ahlulbait (meskipun Hasan tahu itu mungkinjadi fitnah bagi kalian). Mu’awiyah mengajukan syarat-syarat dan berjanji menghentikan peperangan dan tersebarnya fitnah. Sesungguhnya, Muawiyah yang hanya Muslim secara lahiriah dan lisan saja pada hakikatnya adalah musuh besar Islam. Muawiyah menundukkan hati masyarakat dengan berlindung di balik tameng agama yang keropos.

Orang-orang umumnya sedikit pun tidak menyadari hal itu. Kaidah yang berlaku dalam Islam·bahwa Islam menutup lembaran apa yang sudah terjadi di masa lalu diterapkan untuk menutupi keburukan-keburukan Bani Umayah. Terutama dalih bahwa Rasulullah memaafkan dan bersahabat dengan mereka (Bani Umayah), juga para Khalifah telah mendekati sebagian mereka dan memberikannya kekuasaan atas kaum Muslim, juga berbagai fasilitas yang tidak diberikan kepada selain mereka, sehingga kekuasaan mereka mampu berjalan selama dua puluh tahun di Syam. Di sana, mereka tidak pernah berhenti melakukan kemungkaran. Selalu saja mereka melakukan apa yang dilarang agama. Khalifah sunni kedua menjalankan kontrol yang ketat bagi sebagian gubernurnya. Tetapi tidak terhadap sebagian gubernur lainnya. Ia tidak menerapkan larangan apapun terhadap kelompok Umayah sehingga menggolkan rencana-rencana Bani Umayah.

Di seluruh bagian negara, Muawiyah mengklaim dan menggembar gemborkan dirinya sebagai keturunan bangsa Quraisy, juga menyebut dirinya sebagai sahabat Rasulullah saw. Dengannya, ia pun menjadi lebih termasyhur daripada sebagian besar sahabat awal yang diridai Allah dan mereka rida kepada Allah, seperti Abu Dzar, Ammar, Miqdad, dan sebagainya. Demikianlah, Umawiyahisme bangkit kembali, menunduk kan Bani Hasyim atas nama Bani Hasyim secara terang-terangan, serta melancarkan berbagai intrik dengan cara diam-diam. Seiring dengan perubahan zaman, ia mulai menundukkan umat dengan muslihatnya, membeli para tokoh (agama) dengan onggokan harta milik umat yang dikuasainya, serta menawarkan berbagai jabatan yang menyilaukan mata mereka. Jabatan-jabatan yang tidak diciptakan Allah bagi para pengkhianat seperti mereka.

Kaum pengkhianat ini berusaha sekuat tenaga meraih simpati sang penguasa. Hingga, ketika kekuasaan sudah stabil lewat muslihat Muawiyah, isme ini menyusup ke dalam ajaran Islam, sebagaimana menyusupnya balatentara setan, seraya menyelinapkan maksud jahatnya, menjalankan aksi perusakannya, mengembalikan kehidupan umat ke masa jahiliah yang muncul dari kesembronoan dan pemberhalaan zaman jahiliah, serta menjalankan sikap oportunisme yang diinginkan Umawiyahisme untuk memuluskan kepentingan-kepentingan mereka dan menggunakannya demi menjaga hak-hak istimewanya.

Muawiyah yang berkuasa di Syam mencium tentang baiat masyarakat kepada Hasan. Maka, Muawiyah pun berupaya mencegahnya. Pertama, dia memilih dan mengutus dua mata-mata yang lihai ke Kufah dan Basrah untuk mencari berita penting bagi Muawiyah serta melakukan makar dan kekisruhan di dalam pemerintahan Imam Hasan as. Imam mendengar makar ini dan menginstruksikan penangkapan dua mata-mata itu.

Kemudian Imam menulis surat kepada Muawiyah dan menyebutkan kelebihan- kelebihan beliau sehingga lebih layak menjadi khalifah. Muawiyah yang telah sekian tahun berupaya mencegah perluasan pemerintahan Ali bin Abi Thalib menantikan peluang seperti ini. Oleh karena itu, ia tidak bersedia mendengarkan ucapan Imam Hasan dan menolak kebenaran. Ia memutuskan untuk berjuang melawan pemerintahan baru Imam Hasan as dan menyingkirkan musuh baru tersebut dengan segala cara, bahkan dengan perang dan pembunuhan untuk menyingkirkan Imam dari pentas politik. Dengan tujuan inilah, ia mengumumkan perang dan dengan pasukannya yang besar, ia bergerak menuju Irak.

Berita ini sampai ke telinga Imam Hasan dan beliau terpaksa mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan Muawiyah. Setelah pernyataan perang, Imam Hasan menginstruksikan Hajar bin Adi untuk memobilisasi umat untuk membela pemerintahan yang sah. Sekelompok umat menerima dan bersiap-siap untuk bergerak menuju medan laga. Namun sayangnya, kebanyakan umat enggan mengikuti perang. Akibatnya, pasukan Imam Hasan tidak mencapai jumlah yang mencukupi untuk menghadapi pasukan Muawiyah yang banyak. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa jumlah pasukan yang kecil ini, dari segi pemikiran, tidak bersatu dan tidak sehati dalam mengejar berbagai bentuk tujuan.

Sebagian ahli kaji membagi pasukan Imam Hasan seperti berikut:
Sekelompok umat adalah Syi’ah sejati dan pendukung setia Imam Hasan serta pendukung pemerintahan Alawi. Sekelompok lainnya adalah mereka yang bermusuhan dengan Muawiyah dan ikut serta dalam perang dengan tujuan hanya untuk menjatuhkan Muawiyah, bukan untuk membela pemerintahan dan khilafah Imam Hasan as yang sah. Kelompok keempat adalah mereka yang ragu dalam mengenali kebenaran sehingga memiliki dua hati dalam melakukan perang atau, dengan kata lain, mereka menyertai perang dengan tanpa tujuan. Kelompok kelima adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang tujuan perang dan berperang karena fanatisme golongan sehingga mereka secara mutlak mengikuti para kepala suku.:!

Alhasil, Imam Hasan tidak memiliki cara lain, kecuali bersama pasukan yang dimilikinya itu berusaha mempertahankan dan membela diri. Beliau mengatur pasukannnya. Beliau mengutus em pat ribu orang yang dipimpin oleh lelaki dari Kabilah Kandah ke wilayah bernama Anbar. Beliau mengatakan, “Tunggulah perintahku danjangan berbuat sesuatu terlebih dahulu!”

Muawiyah menggunakan tipuan dan makar yang biasa dilakukannya. Dengan, memberikan 500 ribu dirham kepada komandan pasukan Imam Hasan, ia meminta komandan itu agar menggagalkan perang dan berpaling dari Imam Hasan. Lelaki Kandi itu menerima uang itu dan beserta 200 orang pengikutnya, pergi menuju muawiyah. Imam Hasan sangat kecewa mendengar berita ini dan menunjuk seorang komandan lain dari suku Murad sebagai ganti lelaki Kandi itu.

Muawiyah kali ini juga berhasil menyuap lelaki dari kabilah Murad itu dan memberikan 5000 dirham kepadanya seraya berjanji bahwa nanti seusai perang, akan diserahkannya salah satu wilayah. Ia menerima uang itu dan bergabung clengan Muawiyah.

Beberapa yang lainnya juga disogok seperti itu dan bergabung dengan Muawiyah, di antaranya adalah Ubaidillah bin Abbas. Sejumlah kepala kabilah Kufah menulis surat kepada Muawiyah, “Kami adalah pendukungmu dan datanglah kepada kami. Ketika engkau telah mendekati kami, kami akan menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau kami akan menerornya.”.


Perdamaian dengan Muawiyah

Saat Imam Hasan bersama empat ribu pasukannya berhenti di Sabath, Muawiyah mengirimkan surat-surat warga Kufah dan para pemuka kabilah kepada Imam Hasan as seraya menulis, “Wahai anak paman! Janganlah engkau memutuskan kekeluargaan an tara diriku dan dirimu! Janganlah engkau percaya dan sombong dengan masyarakat ini sebab, sebelumnya, mereka telah berkhianat kepadamu dan juga kepada ayahmu. Aku bersedia menjalin perdamaian denganmu.”

Imam Hasan mengawasi keadaan pasukannya dan mengetahui pengkhianatan sejumlah pemuka pasukannya kepada Muawiyah. Imam mengetahui benar ketidaksetiaan masyarakat Kufah dan ketidaksepahaman pikiran di dalam pasukan. Imam merasakan bahwa dalam kondisi seperti ini, perang tidak akan menghasilkan sesuatu, kecuali pcmbunuhan dan pembantaian massal Muslimin sehingga, pada akhirnya, pasukan musuh “akan menang dan kejahatan akan bertambah terhadap orang-orang Syi’ah. Hanya saja menerima perdamaian bukanlah suatu hal yang mudah.

Pada saat itu, Muawiyah mengirimkan surat sebagian pemuka kabilah kepada Imam Hasan yang tertulis, “Kami bersedia untuk menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau menerornya.” Selain itu, dalam sebuah surat ditulis, “Pasukanmu adalah semacam ini. Dengan pasukan seperti ini, engkau ingin berperang denganku? Sebaiknya engkau dan umatmu menghindari perang ini dan menerima perdamaian. Dalam kaitan ini, aku menerima persyaratanmu dan akan konsisten serta memegang teguh perjanjian itu.”

Kendati mengenal dengan baik tipu daya dan siasat Muawiyah, Imam Hasan tidak mempunyai jalan lain, kecuali menerima tawaran Muawiyah. Ia tahu bahwa ia tidak dapat menang melawan pasukan Muawiyah. Maka, alangkah baiknya kalau Imam menerima perdamaian demi mencegah pertumpahan darah.

Imam Hasan menyatakan kesiapannya untuk berdamai dan mengusulkan beberapa hal berikut ini sebagai syarat.
1. Hendaknya Muawiyah tidak menamakan dirinya sebagai Amirul Mukminin.
2. Imam Hasan tidak dihadirkan untuk menyatakan kesaksian.
3. Para Syi’ah Imam Ali di mana saja dalam keadaan aman serta tidak mendapatkan gangguan dan penyiksaan.
4. Hendaknya Muawiyah membagikan ribuan dirham kepada anak-anak syuhada yang ayah-ayah mereka syahid dalam pertempuran Jamal dan Shiffin di dalam barisan pasukan Ali.
5. Hendaknya Muawiyah bersikap sesuai dengan al-Quran clan sunah Rasulullah saw serta sirah para khalifah yang saleh.
6. Hendaknya Muawiyah tidak mengenalkan at au menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan urusan khilafah kepada clewan syura Muslimin.
7. Hendaknya tidak melakukan makar terhadap Hasan, Husain, dan segenap Ahlulbait Rasulullah saw, baik secara sembunyi- sembunyi ataupun terang-terangan dan jangan meneror mereka.


Muawiyah menerima semua persyaratan itu dan berjanji untuk bersikap setia

Dengan demikian, perjanjian perdamaian pun ditandatangani oleh kedua pihak. Akan tetapi Muawiyah tidak setia melaksanakan kandungan surat perdamaian. Sejak pertama, ia menampakkan niat pengkhianatnya. Muawiyah tiba di Nakhilah dan setelah menunaikan shalat jamaah, ia berkhotbah dan berkata, “Aku tidak bcrperang dengan kalian agar kalian dapat melaksanakan shalat, puasa, haji, dan menunaikan zakat. Aku berperang dengan kalian untuk memimpin kalian dan Allah memberikan itu untukku sedangkan kalian tidak menyukai itu. Aku telah berjanji kepada Hasan bin Ali untuk memelihara beberapa persyaratan tetapi aku tidak akan menghormatinya dan tidak satu pun yang akan kulaksanakan.”

Politik Muawiyah yang keji terus berjalan dan meledak dengan segala kemungkaran yang menyalahi al-Quran dan Sunah; membunuhi masyarakat sipil tak bersalah, melecehkan kehormatan diri, merampok harta benda milik umat, dan memenjarakan orang-orang merdeka. Muawiyah menghentikan berbagai kemungkarannya ini dengan langkah yang lebih berbahaya bagi kaum Muslim (yaitu, mengangkat anaknya yang durjana, Yazid). Anaknya inimembahayakan agama dan dunia mereka. Sebagian di antara keculasannya adalah apa yang terjadi pada peristiwa Thaff (Hari Asyura), Hurrah, dan juga dalam peristiwa Mekkah. Karena dalam peristiwa Mekkah ini, ia mengarahkan berbagai senjata mematikan ke arah mereka. Terlepas dari berbagai kejadian itu, yang penting adalah bahwa kejadian-kejadian tersebut memanifestasikan sekaligus menjelaskan langkah politik Imam Hasan.

Salah satu hal yang menguntungkan beliau adalah terbongkarnya kedok yang dikenakan orang-orang zalim itu, serta kandasnya konspirasi yang mereka lancarkan terhadap risalah kakeknya. Apa yang beliau inginkan telah terwujud dengan sempurna, sehingga menjadi jelaslah apa-apa yang tersembunyi dan keculasan Bani Umayah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maka, penghulu para syuhada ini melempangkan jalan revolusinya yang telah dijelaskan Allah dalam kitab-Nya, dan itu dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi orang orang yang mau berpikir.

bagi orang-orang berakal yang merenungkannya. Karena Imam Hasan, dengan sikap ksatria, ditempatkan pada posisi bersabar dalam menanggung berbagai hal buruk secara pasif dan terbimbing. Dan peristiwa Karbala pada awalnya adalah Hasaniyah sebelum Husainiyah: karena Imam Hasan mematangkan hasil-hasilnya dan menyiapkan segala penyebabnya.

Imam Hasan bangkit dan setelah mesjid kosong, menjelaskan alasan mengapa dirinya mau berdamai dengan Muawiyah, „Wahai Hujur! Aku telah mendengar perkataanmu di majelis Muawiyah. Tetapi, tidak setiap orang menyenangi apa yang kau senangi, juga pendapat mereka tidak seperti pendapatmu. Sesungguhnya aku tidak melakukan apa yang aku lakukan kecuali untuk keselamatan kalian.Wahai Adi! Sebenarnya aku melihat keinginan sebagian besar orang untuk berdamai dan mereka tidak menyukai peperangan. Aku tidak suka membawa mereka pada apa yang mereka benci. Aku melihat penolakan terhadap perang entah sampai kapan.

Musayyab bin Najbah dan Sulaiman bin Shurd Keduanya terkenal dengan kesetiaan dan keikhlasan pada Ahlulbait. Imam Hasan menjawab, „Wahai Musayyab! Sesungguhnya jika aku ingin·dengan apa yang aku lakukan dunia maka Muawiyah tak akan mampu menahan diri ketika bertemu denganku dan tidak akan tahan memerangiku. Tetapi yang aku inginkan adalah kebaikan kalian dan melindungi kalian

Imam Hasan dan Imam Husain adalah dua wajah dari satu risalah. Setiap wajah dari keduanya berada di tempat, zaman, dan fase sejarah masing-masing. Keduanya sepadan dalam hal kebangkitannya dan selaras dalam pengorbanannya di jalan perjuangannya masing-masing.

Imam Husain sewaktu bangkit melawan Yazid sehingga mengakibatkan Daulat Sufyaniyah mengalami kejatuhan dengan segera niscaya akan hilanglah perjuangan kakek keduanya (Muhammad saw) dalam sekejap mata. Akibatnya, agama beliau akan menjadi agama keluarga Abu Sufyan; agama pengkhianatan, kefasikan, dan kebusukan; agama pembinasaan orang-orang saleh dan pemeliharaan kebusukan dan kefasikan. Barangkali muncul pertanyaan; mengapa Imam Hasan tidak menapaki jalan kesyahidan seperti yang dilakukan Imam Husain, padahal Imam Husain juga mengetahui bahwa dirinya tak akan mampu mencapai kemenangan militer atas Yazid ? Muawiyah menampakkan Islam, sementara Yazid merayakan kefasikan dan keburukan, di samping sifat ayahnya yang culas dan anaknya yang dungu.

Imam Hasan hidup bersama Rasulullah selama tujuh tahun beberapa bulan. Ketika beliau menjadi Imam, usianya mencapai 37 . Masa khilafahnya, dari sejak Amirul Mukminin wafat hingga masa perdamaian dengan Muawiyah, adalah enam bulan tiga hari.

Setiap kejadian sejarah harus dikaji dan dijelajahi dengan memperhatikan pelbagai kondisi dan situasi politik yang berkembang pada zamannya.Tindakan pertama Imam Hasan As setelah naiknya ke tampuk pemerintahan adalah menyiapkan pasukan untuk menghadapi eskalasi pasukan Muawiyah. Namun sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat Imam memilih berdamai dan menghindar melanjutkan perang setelah menimbang seluruh sisi persoalan yang terdapat pada dunia Islam. Di samping itu dengan memperhatikan kemampuan dan kekuataan militer pemerintahannya apabila angkat senjata berhadapan dengan Muawiyah maka diputuskan untuk berdamai dan tidak melanjutkan perang lantaran ini tidak memberikan maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin.Sejarah menunjukkan bahwa pertama, Imam Hasan As, lantaran tidak memiliki penolong dan panglima-pangliman yang tulus, beliau tidak memiliki peluang untuk meraih kemenangan militer melawan Muawiyah dan para antek-anteknya. Kedua, dalam kondisi seperti ini hasil perang dengan Muawiyah tidak akan memberikan keuntungan bagi dunia Islam. Ketiga, peperangan Imam Hasan melawan Muawiyah kemungkinan hasilnya adalah terbunuhnya Imam Hasan di tangan Muawiyah dan hal itu bermakna kekalahan sentral kekhalifaan kaum Muslimin.Adapun situasi dan kondisi yang berkembang pada masa Imam Husain As sama sekali berbeda dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Imam Hasan As. Lantaran orang-orang pada masa ini sudah muak dengan kezaliman dan kejahatan Bani Umayyah. Mereka ingin berbaiat kepada Imam Husain As dan meminta beliau untuk datang ke Kufah untuk membentuk pemerintahan. Demikian juga, orang yang berhadapan dengan Imam Husain As adalah Yazid yang sama sekali tidak mengindahkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam dan baiat Imam Husain As kepada Yazid bermakna menerima secara resmi kezaliman, kejahatan, kemungkaran dan kehancuran Islam.

Karena itu, perdamaian (sulh) Imam Hasan dan kebangkitan (qiyâm) Imam Husain As adalah dua peristiwa dan kejadian yang terjadi dalam sejarah. Keduanya harus dikaji dan dijelajahi dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa keduanya. Apabila tidak demikian dalam pandangan kami keduanya adalah imam dan keduanya terjaga dari segala jenis kesalahan dan kekeliruan. Apabila sekiranya Imam Husain yang menjadi pengganti dan khalifah Imam Ali As menduduki jabatan imamah maka beliau akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh saudaranya Imam Hasan As.


2. I’tiqad sunni yang menganggap Mu’awiyah sama sama benar dengan Imam Ali tidak masuk akal.

Karena bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“ Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10).

3. Muawiyah RA merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya orang beriman dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA yang berujung dengan peperangan. 

Pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah. “Memecahbelah umat dan menguasai harta,” tambah Husein.

Dengan demikian, apakah kita harus menghormati seluruh sahabat dan mengikuti mereka semua, meski di antara mereka telah dikutuk Allah dengan ayat diatas? Mengapa kita harus mencintai orang yang dimurkai oleh Allah, dan kenapa kita harus taat pada orang yang telah dijanjikan baginya neraka?

Dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka.”

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar : “Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).

Tahukah anda bahwa Nabi Muhammad bersabda seperti yang diriwayatkan Musnad Ahmad ibn Hanbal: “Barang siapa yang mengutuk Ali secara terang-terangan, maka ia telah mengutuk aku, dan barangsiapa yang telah mengutuk aku, maka ia telah mengutuk Allah, dan barangsiapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparkannya ke neraka jahanam.”.


Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !

Sabda Rasulullah SAW kepada Ammar: “Betapa kasihan Ammar, golongan pembangkang telah membunuhnya, padahal dia menyeru mereka kepada kebenaran (surga) sementara mereka menyeru kepada kesesatan (neraka)” (HR. Bukhari, Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad).

Padahal Allah SWT menyatakan : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepada, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An Nisa ayat 93).

Juga sabda nya : “Anakku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar yang berselisih”. Dan sabdanya pada Abu Dzar bahwa ia akan mati sendirian dan terasing. Demikian pula dengan sabda nya : “Imam imam setelahku ada 12, semuanya dari Quraisy”.

Pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa ‘Ammar dibunuh kelompok pemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu alGhadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”. ( Ibn Qutaibah, AlMa’arif, hlm. 112 ).


SHAHIH BUKHARI NO.428 MERIWAYATKAN BAHWA RASUL MENGATAKAN BAHWA AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Khalid Al Hadza’] dari [‘Ikrimah], Ibnu ‘Abbas kepadaku dan kepada Ali, anaknya, “Pergilah kalian bedua menemui [Abu Sa’id] dan dengarlah hadits darinya!” Maka kami pun berangkat. Dan kami dapati dia sedang membetulkan dinding miliknya, ia mengambil kain selendangnya dan duduk ihtiba`. Kemudian ia mulai berbicara hingga menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia mengkisahkan, “Masing-masing kami membawa bata satu persatu, sedangkan ‘Ammar membawa dua bata dua bata sekaligus. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya: “Kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga sedangkan mereka mengajaknya ke neraka.” Ibnu ‘Abbas berkata, “‘Ammar lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah tersebut.”(HR.Bukhari).


SIAPAKAH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU..??

Telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Ma’mar] dari [Thawus] dari [Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm] dari [Bapaknya] ia berkata, “Ketika Ammar bin Yasir di bunuh, [Amru bin Hazm] menemui Amru bin Ash dan berkata, “Ammar telah dibunuh! Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’” Amru bin Ash berdiri dengan penuh keterkejutan seraya mengucapkan kalimat tarji’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun), lalu ia mendatangi Mu’awiyah. Mu’awiyah pun bertanya padanya, “Apa yang terjadi denganmu?” [Amru bin Ash] menjawab, “Ammar telah dibunuh!” Maka Mu’awiyah berkata, “Ammar telah dibunuh, lalu apa masalahnya?” Amru bin Ash menjawab, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’”

Mu’awiyah berkata, “Kamu berpihak pada anakmu! Apakah kami yang membunuhnya?

Yang membunuhnya adalah Ali dan para sahabatnya, mereka membawanya lalu melemparkan di tengah-tengah tombak-tombak kami, -atau ia mengatakan, “di antara pedang kami.”.

JELAS KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU ADALAH KELOMPOK MUAWIYAH YANG BERUSAHA MENGATAKAN ALI DAN SAHABATNYA YANG MEMBUNUH AMMAR BIN YASIR, PADAHAL IMAM ALI TERPILIH SECARA DEMOKRASI LANGSUNG SAH SECARA DEMOKRASI MAUPUN TEOKRASI.

KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA INI HENDAK MENGATAKAN SESUNGGUHNYA RASULULLAH SAWW TELAH MEMBUNUH SAYYIDINA HAMZAH KARENA MENGIKUTSERTAKANNYA KE PERANG UHUD.
________________________________

Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’ dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya, ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia [Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447].

Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya berada dalam kesesatan.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت عبد الله بن سلمة يقول رأيت عمارا يوم صفين شيخا كبيرا آدم طوالا آخذا الحربة بيده ويده ترعد فقال والذي نفسي بيده لقد قاتلت بهذه الراية مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث مرات وهذه الرابعة والذي نفسي بيده لو ضربونا حتى يبلغوا بنا شعفات هجر لعرفت أن مصلحينا على الحق وأنهم على الضلالة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Salamah berkata “aku melihat ‘Ammar dalam perang shiffin, dia seorang Syaikh yang berumur, berkulit agak gelap dan berperawakan tinggi, ia memegang tombak dengan tangan bergetar. Ia berkata “demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku telah berperang membawa panji ini bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiga kali dan ini adalah yang keempat. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya sekiranya mereka menebas kami hingga membawa kami kepada kematian maka aku yakin bahwa orang-orang shalih yang bersama kami berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kesesatan [Musnad Ahmad 4/319 no 18904].

Riwayat ini sanadnya hasan. ‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 5651.
1. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129].
2. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418].
‘Amru bin Murrah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan shaduq tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair dan Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 8 no 163]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah [At Taqrib 1/745].
3. ‘Abdullah bin Salamah adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ai Ijli menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat termasuk thabaqat pertama dari ahli fiqih kufah setelah sahabat”. Abu Hatim berkata “dikenal dan diingkari”. Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. Ibnu Ady berkata “aku kira tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 5 no 421]. Ibnu Hajar berkata “shaduq mengalami perubahan pada hafalannya” [At Taqrib 1/498]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Al Kasyf no 2760], Adz Dzahabi juga memasukkannya dalam Man Tukullima Fihi wa huwa Muwatstsaq no 182. Ibnu Hibban telah menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080]. Ibnu Khuzaimah telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/104 no 208]. Al Hakim ketika membawakan hadis ‘Abdullah bin Salamah ia menyatakan hadis tersebut shahih sanadnya walaupun syaikhan tidak berhujjah dengan ‘Abdullah bin Salamah tetapi tidak ada cela terhadapnya [Al Mustadrak juz 1 no 541] itu berarti Al Hakim menganggap ‘Abdullah bin Salamah tsiqat. Pendapat yang rajih, ‘Abdullah bin Salamah adalah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit pembicaraan dalam hafalannya tetapi itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan.

Riwayat ini dengan tegas menyatakan kalau ‘Ammar dan orang-orang shalih di pihak Imam Ali adalah berada di atas kebenaran sedangkan mereka kelompok Muawiyah berada di atas kesesatan atau kebathilan. Kami tidak akan berbasa-basi seperti sebagian orang yang mengklaim kalau Muawiyah berijtihad dan walaupun salah ijtihadnya tetap mendapat pahala. Itu berarti Muawiyah yang dalam perang shiffin dikatakan mengajak orang ke neraka tetap mendapat pahala. Sungguh perkataan yang aneh bin ajaib.

Kami juga ingin menegaskan kepada orang yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam (https://secondprince.wordpress.com/2009/07/06/sahabat-nabi-yang-masuk-neraka/)
*****

Sahabat Nabi Yang Masuk Neraka

Saya tidak memfitnah, hal ini memang tercatat di dalam Kitab Shahih. Sebelumnya saya katakan kalau saya tidak merendahkan siapapun apalagi mencaci. Saya Cuma menunjukkan apa yang saya baca sebagai kritikan terhadap apa yang saya dengar. Telah sampai kabar kepada saya ada orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi pasti masuk surga dan tidak ada yang masuk neraka. Orang tersebut bisa dibilang korban dogma dan generalisasi yang fallasius. Jika ia adalah seorang yang bersandar pada kitab-kitab Shahih maka apa yang akan ia katakan jika ia membaca bahwa ada sahabat Nabi yang masuk neraka, dan bahkan yang mengatakan bahwa sahabat tersebut masuk neraka adalah Nabi SAW sendiri.

Dalam Shahih Bukhari 4/74 no 3074 dan dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Syaikh Al Albani no 2299 disebutkan (ini riwayat Bukhari).

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكِرَةُ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ فِي النَّارِ فَذَهَبُوايَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Amr yang berkata “Pernah ada seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi SAW, orang tersebut bernama Kirkirah. Kemudian dia pun meninggal dunia, ketika itu Rasulullah SAW bersabda “Dia berada di Neraka”. Maka para sahabat pergi melihatnya dan mereka mendapatkan sebuah mantel yang diambilnya dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Sahabat Nabi yang dimaksud adalah Kirkirah dan ternyata kesalahan yang ia lakukan adalah berkhianat atau mengkhianati harta rampasan perang oleh karenanya Rasul SAW berkata “Dia di Neraka”. Ibnu Hajar memasukkan nama Kirkirah dalam Kitab Al Ishabah Fi Tamyiz As Sahabah 5/587 no 7405, ia menyebutnya sebagai Kirkirah mawla Rasulullah SAW, Ibnu Hajar juga berkata:

وقال بن منده له صحبة ولا تعرف له رواية

Ibnu Mandah berkata “dia seorang Sahabat Nabi dan tidak diketahui memiliki riwayat hadis”

Selain Ibnu Hajar, Ibnu Atsir dalam Asad Al Ghabah 4/497 juga mengatakan kalau Kirkirah adalah Sahabat Nabi SAW dan Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma As Shahabah 2/29 no 323 menyebutkan kalau Kirkirah seorang Sahabat Nabi SAW. Bukankah ini membuktikan bahwa seorang Sahabat Nabi bisa saja masuk Neraka dan Kirkirah sahabat Nabi SAW di atas disebutkan oleh Nabi SAW sendiri bahwa “dia berada di neraka”.
*****
__________________________________
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?

Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.

عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu:

حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121].

حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص

Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].

Sanad pertama semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.

Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
1. Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
2. Abdurrazaq bin Hammam adalah perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
3. Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
4. Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
5. Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.

Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih. Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih. Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.

Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu saja.

Salam Damai
_______________________

sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.

‘Ammar ibn Yasir ibn ‘Amir al-’Ansi al-Madzhiji al-Makhzûmi masuk Islam di masa dini, dan Muslim pertama yang membangun mesjid dalam rumahnya sendiri di mana ia beribadat kepada Allah. (Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian I, h. 178; Usd al-Ghâbah, IV, h. 46; Ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 311).‘Ammar masuk Islam bersama ayahnya Yasir dan ibunya Sumayyah. Mereka mengalami siksaan di tangan kaum Quraisy karena masuk Islam. Ayah dan ibu ‘Ammar syahid dalam siksaan, lelaki dan wanita pertama yang syahid dalam Islam.Banyak hadis diriwayatkan dari Nabi (saw) mengenai kebajikan, perilakunya yang menonjol dan amal perbuatannya yang mulia, seperti hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh ‘A’isyah dan lain-lainnya bahwa Nabi telah bersabda, bahwa ‘Ammar dipenuhi dengan iman dari ubun-ubun kepalanya sampai ke tapak kakinya. (Ibn Majah, as-Sunan, I, h. 65; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, I, h. 139; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 295; al-Istî’âb, III, h. 1137; al-Ishâbah, II, h. 512).

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar,“‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).

Juga dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka. Pembunuhnya dan orang-orang yang merebut senjata dan pakaiannya akan berada di neraka.”

Ibn Hajar al-’Asqalani (dalam Tahdzîb at-Tahdzîb, h. 409; al-Ishâbah, II, h. 512) dan as-Suyûthî (dalam al-Khashâ’ish al-Kubrâ, II, h. 140) mengatakan,
“Riwayat hadis (tersebut di atas) ini adalah mutawâtir.” Yakni, hadis itu diriwayatkan secara berurut-turut oleh sekian banyak orang sehingga tidak ada keraguan mengenai keasliannya.

Ibn ‘Abdul Barr (dalam al-Istî’âb, III, h. 1140) mengatakan:
“Hadis itu mengikuti kesinambungan tanpa putus dari Nabi, bahwa beliau berkata, ‘Suatu kelompok pendurhaka akan membunuh ‘Ammar,’ dan ini adalah suatu ramalan dari pengetahuan rahasia Nabi dan tanda kenabiannya. Hadis ini termasuk yang paling sahih dan yang tercatat secara paling tepat.”

Setelah wafatnya Nabi, ‘Ammar termasuk penganut dan pendukung terbaik Amirul Mukminin dalam masa pemerintahan ketiga khalifah pertama. Dalam masa kekhalifahan ‘Utsman, ketika kaum Muslim memprotes kepada ‘Utsman terhadap kebijakannya dalam pembagian harta baitul mal, ‘Utsman berkata dalam suatu pertemuan umum bahwa uang yang berada dalam perbendaharaan adalah suci dan adalah milik Allah, dan bahwa dia (sebagai khalifah Nabi) berhak untuk membelanjakannya menurut yang dianggapnya pantas. ‘Utsman mengancam dan mengutuk semua yang hendak memprotes atau menggerutu atas apa yang dikatakannya. Atasnya, ‘Ammar ibn Yâsir dengan beraninya menyatakan keberatannya dan mulai menuduh kecondongannya yang telah mendarah daging untuk mengabaikan kepentingan rakyat umum; ia menuduhnya telah menghidupkan adat kebiasaan kaflr yang dihapus oleh Nabi. Atasnya ‘Utsman memerintahkan supaya ia dipukuli, dan beberapa orang dari kalangan Bani Umayyah, kerabat Khalifah, segera menyerang ‘Ammar yang mulia itu, dan khalifah itu sendiri menyepak kemaluan ‘Ammar dengan kaki bersepatu, yang menyebabkan ia menderita hernia. ‘Ammar pingsan selama tiga hari dan dirawat oleh Ummul Mu’minin Umm Salamah di rumahnya (Umm Salamah). (al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, V, h. 48, 54, 88; Ibn Abil Hadid, III, h. 47-52; al-Imâmah was-Siyâsah, I, h. 35-36; al-’lgd al-Farîd, IV, h. 307; ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 185; Târîkh al-Khamîs, II, h. 271).

Ketika Amirul Mukminin menjadi khalifah, ‘Ammar adalah salah seorang pendukungnya yang paling setia. la ikut serta dalam semua kegiatan sosial, politik dan militer dalam masa itu, terutama dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Namun, ‘Ammar gugur dalam Perang Shiffin pada 9 Safar 37 H. dalam usia lebih sembilan puluh tahun. Pada hari syahidnya, ‘Ammar ibn Yasir menghadap ke langit seraya berkata:
“Ya Allah Tuhanku. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa apabila aku mengetahui bahwa kehendak-Mu supaya aku menerjunkan diri ke Sungai (Efrat) dan tenggelam, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa apabila Engkau rida sekiranya aku menaruh pedang di dada dan menekannya keras-keras sehingga keluar di punggungku, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku! Aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi-Mu daripada berjuang melawan kelompok berdosa ini, dan apabila kuketahui bahwa suatu perbuatan lebih Engkau ridai, aku akan melakukannya.”

Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami meriwayatkan:
“Kami hadir bersama Amirul Mukminin di Shiffln di mana saya melihat ‘Ammar ibn Yasir tidak memalingkan wajahnya ke sisi mana pun, atau ke wadi-wadi (lembah) Shiffin melainkan para sahabat Nabi mengikutinya seakan-akan ia merupakan suatu panji bagi mereka. Kemudian saya mendengar ‘Ammar berkata kepada Hasyim ibn ‘Utbah (al-Mirqal), “Wahai Hasyim, menyerbula ke barisan musuh, surga berada di bawah pedang. Hari ini saya menemui kekasih saya, Muhammad dan partainya.”

“Kemudian ia berkata. ‘Demi Allah, sekiranya pun mereka membuat kita lari hingga ke pepohonan kurma Hajar (sebuah kota di Bahrain), namun kita dengan yakin bahwa kita benar dan mereka salah.’

“Kemudian ‘Ammar melajutkan (berkata kepada musuh):

Kami menyerangmu (dahulu) untuk (beriman) pada wahyu

Dan kini kami menyerangmu untuk tafsirnya;

Serangan yang memisahkan kepala dari tumpuannya;

Dan membuat kawan lupa akan sahabat setianya;

Sampai kebenaran kembali kepada jalannya.”‘

Lalu ia (as-Sulami) berkata: “Saya tidak (pernah) melihat para sahabat Nabi terbunuh pada saat mana pun sebanyak terbunuhnya mereka pada hari ini.”

Kemudian ‘Ammar memacu kudanya, memasuki medan pertempuran dan mulai bertempur. la bersikeras memburu musuh, melancarkan serangan demi serangan, dan mengangkat slogan-slogan menantang sampai akhirnya sekelompok orang Suriah yang berjiwa kerdil mengepungnya pada semua sisi, dan seorang lelaki bernama Abu al-Ghadiyah al-Juhari (al-Fazari) menimpakan luka padanya sedemikian rupa sehingga tak dapat ditanggungnya lalu ia kembali ke kemahnya. la meminta air. Semangkuk susu dibawakan kepadanya. Ketika ‘Ammar melihat mangkuk itu ia berkata, ‘Rasulullah telah mengatakan yang sebenarnya.’ Orang bertanya kepadanya apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu. la berkata, ‘Rasulullah telah memberitahukan kepada saya bahwa rezeki terakhir bagi saya di dunia ini adalah susu.’ Kemudian ia mengambil mangkuk susu itu, meminumnya, lalu menyerahkan nyawanya kepada Allah Yang Mahakuasa.

Ketika Amirul Mukminin mengetahui kematiannya, ia datang ke sisi ‘Ammar, menaruh kepalanya ke pangkuannya sendiri dan mengucapkan elegi yang berikut:

“Sesungguhnya seorang Muslim yang tidak sedih atas terbunuhnya putra Yasir, dan tidak terpukul oleh petaka sedih ini, tidaklah ia beriman yang sesungguhnya.

“Semoga Allah memberkati ‘Ammar di hari ia masuk Islam, semoga Allah memberkatinya di hari ia terbunuh, dan semoga Allah memberkati ‘Ammar ketika ia dibangkitkan kembali.

“Sesungguhnya saya mendapatkan ‘Ammar (pada tingkat sedemikian) sehingga tiga sahabat Nabi tak dapat disebut tanpa ‘Ammar kecuali dia adalah yang keempat, dan empat nama dari mereka tak dapat disebut kecuali ‘Ammar sebagai yang kelima.

“Tak ada di antara para sahabat Nabi yang meragukan bahwa bukan saja surga sekali atau dua kali dilimpahkan dengan paksa kepada ‘Ammar, melainkan ia mendapatkan haknya atasnya (berkali-kali). Semoga surga memberikan kenikmatan kepada ‘Ammar.

“Sesungguhnya dikatakan (oleh Nabi), ‘Sungguh, ‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar.”‘

Lalu Amirul Mukminin melangkah maju dan melakukan salat jenazah baginya, dan kemudian dengan tangannya sendiri ia menguburkannya.

Kematian ‘Ammar menyebabkan gejolak besar pada barisan Mu’awiah pula, karena ada sejumlah orang terkemuka yang berperang pada pihaknya berpikiran bahwa peperangan Mu’awiah melawan Amirul Mukminin adalah perjuangan yang benar. Orang-orang itu mengetahui akan ucapan Nabi bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh suatu kelompok yang berada di pihak yang batil. Ketika mereka melihat bahwa ‘Ammar telah terbunuh oleh tentara Mu’awiah mereka menjadi yakin bahwa Amirul Mukminin pastilah di pihak yang benar. Kecemasan di kalangan para pemimpin maupun prajurit tentara Mu’awiah diredakan olehnya dengan argumen bahwa justru Amirul Mukminin yang membawa ‘Ammar ke medan pertempuran dan karena itu ialah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Ketika argumen Mu’awiah disebutkan kepada Amirul Mukminin, ia mengatakan bahwa seakan-akan Nabi harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Hamzah karena beliau yang membawanya ke Pertempuran Uhud. (ath-Thabari, at-Târîkh, I, h. 3316-3322; III, h. 2314-2319; Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 176-189; Ibn Atsîr, al-Kâmil, III, h. 308-312; Ibn Katsir, at-Târîkh, VII, h. 267-272; al-Minqarî, Shiffin, h. 320-345; Ibn ‘Abdil Barr, al-Istî’âb, III, h. 1135-1140; IV, h. 1725; Ibn al-Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 43-47; V, h. 267; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid V, h. 252-258; VIII, h. 10-28; X, h. 102-107; al-Hakim, al-Mustadrak, III, h. 384-394; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, IV, h. 340-343; al-Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, II, h. 381-382; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 292-298; al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf (biografi Amirul Mukminin), h. 310-319.


4. I’tiqad Sunni bahwa Mu’awiyah benar padahal Perang Siffin yang mengorban lebih 70.000 orang, kebanyakannya sahabat dan tabi’in AKAN MEMBAWA UMAT PADA AJARAN TERORiSME ! 

Membunuh dianggap salah ijtihad ! Gila ! Meskipun muslimin namun QS. An Nisa: 93 menyatakan bisa saja kekal di neraka !!

Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh. Muawiyah dan Amru bin Ash, yang mengobarkan perang Shiffin melawan Imam Ali. Percayakah anda, jika seorang lelaki dengan ketinggian spiritual, sebagaimana yang dinyatakan mazhab Sunni divonis neraka ??5. Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh mukmin secara sengaja, Neraka Jahanam adalah balasan bagi mereka. Allah mengutuk dan memurkainya, dan azab yang sangat pedih menantinya” (QS. an-Nisa :93).

Jika keyakinan sunni tentang Mu’awiyah diapakai maka sama saja dengan melegalkan aksi terorisme ! Muncul orang-orang yang mengatasnamakan Islam, membunuh orang-orang yang notabene beragama Islam baik dengan pengeboman maupun tindakan brutal lainnya. Padahal dengan tegas Alloh subhanahu wa ta’ala telah melarang perbuatan tersebut bahkan mengancam pelakunya dengan ancaman yang sangat tegas, kekal dalam Jahanam, mendapatkan murka dan laknat Alloh.

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93).

Makna Lafal Ayat:
“Dan barang siapa” (وَمَن) dalam Bahasa Arab, kata tersebut merupakan kata syarat. Dalam ilmu Ushul Fiqh kata syarat tersebut memiliki makna umum. Sehingga seluruh orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan pada ayat tersebut akan mendapatkan balasan yang disebutkan pada ayat tersebut.“Membunuh seorang mukmin” yaitu yang membunuh orang yang beriman pada Alloh dan Rosul-Nya.


5. Hadis Hadis Sunni bercampur baur antara hadis asli dengan hadis politik palsu !!

Jadi syi’ah tidak menganggap semua hadis sunni benar !!!

Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis ! Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38)Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.

Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38)Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu alGhadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as Saksaki ( Ibn Abil Hadid, Syarh NahjulBalaghah,jilid 10, hlm. 105).
__________________________________

Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ ، قَالَ : سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ ، فَقَالَ : قَتْلاَنَا وَقَتْلاَهُمْ فِي الْجَنَّةِ ، وَيَصِيرُ الأَمْرُ إلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayub Al Maushulliy dari Ja’far bin Burqaan dari Yazid bin Al Aasham yang berkata Ali pernah ditanya tentang mereka yang terbunuh dalam perang shiffin. Ia menjawab “yang terbunuh diantara kami dan mereka berada di surga” dan masalah ini adalah antara aku dan Muawiyah [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/302 no 39035].

Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih [As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].

Ada yang berhujjah sembarangan dengan hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan ‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.

Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat. Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Seandainyapun orang-orang tersebut menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah antara diri Beliau dan Muawiyah.

Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut, jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka (https://secondprince.wordpress.com/2009/07/06/sahabat-nabi-yang-masuk-neraka/)
*****

Sahabat Nabi Yang Masuk Neraka

Saya tidak memfitnah, hal ini memang tercatat di dalam Kitab Shahih. Sebelumnya saya katakan kalau saya tidak merendahkan siapapun apalagi mencaci. Saya Cuma menunjukkan apa yang saya baca sebagai kritikan terhadap apa yang saya dengar. Telah sampai kabar kepada saya ada orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi pasti masuk surga dan tidak ada yang masuk neraka. Orang tersebut bisa dibilang korban dogma dan generalisasi yang fallasius. Jika ia adalah seorang yang bersandar pada kitab-kitab Shahih maka apa yang akan ia katakan jika ia membaca bahwa ada sahabat Nabi yang masuk neraka, dan bahkan yang mengatakan bahwa sahabat tersebut masuk neraka adalah Nabi SAW sendiri.

Dalam Shahih Bukhari 4/74 no 3074 dan dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Syaikh Al Albani no 2299 disebutkan (ini riwayat Bukhari).

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكِرَةُ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ فِي النَّارِ فَذَهَبُوايَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Amr yang berkata “Pernah ada seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi SAW, orang tersebut bernama Kirkirah. Kemudian dia pun meninggal dunia, ketika itu Rasulullah SAW bersabda “Dia berada di Neraka”. Maka para sahabat pergi melihatnya dan mereka mendapatkan sebuah mantel yang diambilnya dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Sahabat Nabi yang dimaksud adalah Kirkirah dan ternyata kesalahan yang ia lakukan adalah berkhianat atau mengkhianati harta rampasan perang oleh karenanya Rasul SAW berkata “Dia di Neraka”. Ibnu Hajar memasukkan nama Kirkirah dalam Kitab Al Ishabah Fi Tamyiz As Sahabah 5/587 no 7405, ia menyebutnya sebagai Kirkirah mawla Rasulullah SAW, Ibnu Hajar juga berkata:

وقال بن منده له صحبة ولا تعرف له رواية

Ibnu Mandah berkata “dia seorang Sahabat Nabi dan tidak diketahui memiliki riwayat hadis”

Selain Ibnu Hajar, Ibnu Atsir dalam Asad Al Ghabah 4/497 juga mengatakan kalau Kirkirah adalah Sahabat Nabi SAW dan Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma As Shahabah 2/29 no 323 menyebutkan kalau Kirkirah seorang Sahabat Nabi SAW. Bukankah ini membuktikan bahwa seorang Sahabat Nabi bisa saja masuk Neraka dan Kirkirah sahabat Nabi SAW di atas disebutkan oleh Nabi SAW sendiri bahwa “dia berada di neraka”.

*****

_________________________________
Sahabat Nabi Yang Masuk Neraka.

Saya tidak memfitnah, hal ini memang tercatat di dalam Kitab Shahih. Sebelumnya saya katakan kalau saya tidak merendahkan siapapun apalagi mencaci. Saya Cuma menunjukkan apa yang saya baca sebagai kritikan terhadap apa yang saya dengar. Telah sampai kabar kepada saya ada orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi pasti masuk surga dan tidak ada yang masuk neraka. Orang tersebut bisa dibilang korban dogma dan generalisasi yang fallasius. Jika ia adalah seorang yang bersandar pada kitab-kitab Shahih maka apa yang akan ia katakan jika ia membaca bahwa ada sahabat Nabi yang masuk neraka, dan bahkan yang mengatakan bahwa sahabat tersebut masuk neraka adalah Nabi SAW sendiri.

Dalam Shahih Bukhari 4/74 no 3074 dan dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Syaikh Al Albani no 2299 disebutkan (ini riwayat Bukhari).

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكِرَةُ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ فِي النَّارِ فَذَهَبُوايَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Amr yang berkata “Pernah ada seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi SAW, orang tersebut bernama Kirkirah. Kemudian dia pun meninggal dunia, ketika itu Rasulullah SAW bersabda “Dia berada di Neraka”. Maka para sahabat pergi melihatnya dan mereka mendapatkan sebuah mantel yang diambilnya dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Sahabat Nabi yang dimaksud adalah Kirkirah dan ternyata kesalahan yang ia lakukan adalah berkhianat atau mengkhianati harta rampasan perang oleh karenanya Rasul SAW berkata “Dia di Neraka”. Ibnu Hajar memasukkan nama Kirkirah dalam Kitab Al Ishabah Fi Tamyiz As Sahabah 5/587 no 7405, ia menyebutnya sebagai Kirkirah mawla Rasulullah SAW, Ibnu Hajar juga berkata:

وقال بن منده له صحبة ولا تعرف له رواية

Ibnu Mandah berkata “dia seorang Sahabat Nabi dan tidak diketahui memiliki riwayat hadis”.

Selain Ibnu Hajar, Ibnu Atsir dalam Asad Al Ghabah 4/497 juga mengatakan kalau Kirkirah adalah Sahabat Nabi SAW dan Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma As Shahabah 2/29 no 323 menyebutkan kalau Kirkirah seorang Sahabat Nabi SAW. Bukankah ini membuktikan bahwa seorang Sahabat Nabi bisa saja masuk Neraka dan Kirkirah sahabat Nabi SAW di atas disebutkan oleh Nabi SAW sendiri bahwa “dia berada di neraka”.
__________________________________

karena sahabat tersebut telah berkhianat dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya yang lain.

Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib. Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas, bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka cela ada pada diri mereka sendiri.


6. Baladzuri mencatat dalam Ansab al-Asyraf (3/ 403) :

حدثني الحسين بن علي بن الأسود، ثنا يحيى بن آدم عن وكيع عن إسماعيل بن أبي خالد عن شبيل اليحصبي قال: كانت لي حاجة إلى عمر بن الخطاب، فغدوت لأكلمه فيها، فسبقني إليه رجل فكلمه فسمعت عمر يقول له: لئن أطعتك لتدخلني النار، فنظرت فإذا هو معاوية.

“Aku mempunyai kebutuhan dari Umar bin Khatab, maka aku pergi kepadanya untuk bicara dengannya, namun seseorang laik-laki sebelumku berbicara kepadanya, aku dengar bahwa Umar mengatakan kepadanya : Jika aku ta’at kepadamu, kau akan membuatku masuk neraka”..lalu aku melihat dan itu (orang tsb) adalah Muawiyah”.
1. Husain bin Ali al Aswad : Ibn Hajar berkata : “Shaduq” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.216).
2. Yahya bin Adam : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.2 / h.296).
3. Waki : Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al-Tahdib, j.2 / h.284).
4. Ismail bin Abi Khalid : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1 / h.93).
5. Syubail al Yahshabi : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.412).

tak diragukan kalau Imam Ali benar dalam tindakannya memerangi Muawiyah. Sebagaimana yang telah dengan jelas disebutkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok pemberontak [baaghiyyah]. Hanya saja beberapa orang dari pengikut salafy yang ghuluw mencintai Muawiyah tidak bisa menerima kenyataan ini, mereka dengan segenap usaha “yang melelahkan” membela Muawiyah. Tidak jarang demi membela Muawiyah mereka mengutip perkataan Imam Ali. Bagaimana sebenarnya pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah dan para pengikutnya?. Perhatikanlah hadis-hadis berikut:


7. Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya.

حدثنا تميم بن المنتصر الواسطي قال أخبرنا إسحاق يعني الأزرق عن شريك عن حصين عن عبد الرحمن بن معقل المزني قال صليت مع علي بن أبي طالب رضوان الله عليه الفجر ” فقنت على سبعة نفر منهم فلان وفلان وأبو فلان وأبو فلان

Telah menceritakan kepada kami Tamim bin Muntashir Al Wasithiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ishaq yakni Al Azraq dari Syarik dari Hushain dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy yang berkata “aku shalat fajar bersama Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu maka ia membaca qunut untuk tujuh orang, diantara mereka adalah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2628].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.
1. Tamim bin Muntashir Al Wasithiy adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’I menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 958]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dhabit [At Taqrib 1/143-144].
2. Ishaq bin Yusuf Al Azraq adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shahih hadisnya shaduq tidak ada masalah dengannya”. Yaqub bin Syaibah berkata “ia termasuk orang yang alim diantara yang meriwayatkan dari Syarik”. Al Khatib berkata “termasuk tsiqat dan ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bazzar menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/87].
3. Syarik Al Qadhi adalah Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507].
4. Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 2 no 659]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
5. Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].

Riwayat di atas menyebutkan bahwa Imam Ali membaca qunut nazilah untuk beberapa orang pada shalat fajar. Terdapat riwayat lain yang menyebutkan kalau Imam Ali juga membaca qunut ini [nazilah] pada shalat maghrib:

حدثني عيسى بن عثمان بن عيسى قال حدثنا يحيى بن عيسى عن الأعمش عن عبد الله بن خالد عن عبد الرحمن بن معقل قال صليت خلف علي المغرب فلما رفع رأسه من الركعة الثالثة قال اللهم العن فلانا وفلانا وأبا فلان وأبا فلان

Telah menceritakan kepadaku Isa bin Utsman bin Isa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa dari Al A’masy dari ‘Abdullah bin Khalid dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata “aku shalat maghrib di belakang Ali ketika ia mengangkat kepalanya pada rakaat ketiga, ia berkata “ya Allah laknatlah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2627].

Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al A’masy.
1. Isa bin Utsman bin Isa adalah perawi Tirmidzi. Telah meriwayatkan darinya jama’ah hafizh diantaranya Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Nasa’I menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 8 no 410]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/772]
2. Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]
3. Sulaiman bin Mihran Al A’masy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]
4. ‘Abdullah bin Khalid meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy dan telah meriwayatkan darinya Sufyan dan ‘Amasy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 8812]. Al Fasawiy menyebutkan ia seorang yang tsiqat [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/104]
5. Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].

Kedua riwayat ini menyebutkan kalau Imam Ali membaca qunut nazilah pada shalat shubuh dan maghrib dimana Beliau mendoakan keburukan atau melaknat orang-orang tertentu. Siapa orang-orang tersebut memang tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir tetapi tampak jelas kalau perawi [entah siapa] menyembunyikan nama-nama mereka karena tidak mungkin ada seseorang bernama fulan atau abu fulan. Alhamdulillah ternyata terdapat riwayat-riwayat yang menyebutkan nama beberapa diantara mereka.

حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050]

Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan kalau mereka tsiqat.

حَدَّثَنَا عُبَيد الله بن معاذ قَال حدثني أبي قَال حَدَّثَنَا شُعبة عن عُبَيد أبي الحسن سمع عبد الرحمن بن معقل يقول شهدت علي بن أبي طالب قنت في صلاة العتمة بعد الركوع يدعو في قنوته على خمسة رهط على معاوية وأبي الأعور

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ubaid Abi Hasan yang mendengar ‘Abdurrahman bin Ma’qil berkata “aku menyaksikan Ali bin ‘Abi Thalib membaca qunut dalam shalat ‘atamah [shalat malam yaitu maghrib atau isya’] setelah ruku’ untuk lima orang untuk Mu’awiyah dan Abul A’war [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/134].

Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib 2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan ‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.

Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata:

سمعت يحيى يقول أبو الأعور السلمي رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وكان مع معاوية وكان علي يلعنه في الصلاة

Aku mendengar Yahya [bin Ma’in] berkata “Abul A’war As Sulamiy seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia bersama Muawiyah dan Ali telah melaknatnya di dalam shalat” [Tarikh Ibnu Ma’in 3/43 no 175].


26 april 2012

Seorang mufti Ahlusunnah, Syeikh Ahmad Kabisi menyebut Muawiyah dan Abu Sufyan adalah pembuat masalah dalam tubuh umat Islam di awal penyebarannya. Beliau menyatakan pernyataan yang membuat geger tersebut dalam salah satu wawancara bersama saluran 1 Televisi Dubai.

Syaikh Ahmad Kabisi selanjutnya menuding kelompok Wahabi hendak menutupi kebusukan Muawiyah dan ayahnya dengan membuat riwayat-riwayat palsu mengenai keutamaan Muawiyah. Beliau berkata, “Kelompok Wahabi membela mati-matian Muawiyah dan menyatakan kecintaan kepadanya, padahal dimasa Muawiyah menjadi khalifah ia memerintahkan untuk melaknat Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar.”

Mufti tersebut secara tegas menyatakan bahwa musibah dan prahara yang menimpa umat Islam sejak mulai peperangan antar Sahabat hingga saat ini bermuara dari makar dan konspirasi yang dihembuskan oleh Muawiyah dan ayahnya, Abu Sufyan.

Syeikh Ahmad Kabisi dalam wawancara tersebut juga menyempatkan diri menjawab pertanyaan pemirsa televisi yang menyaksikan. Ketika ditanya antara Ali dan Muawiyah yang manakah wajib diikuti?. Beliau menjawab, “Jadilah pengikut Ali supaya anda dihimpunkan bersama beliau.”

Acara dialog tersebut seketika membuat geger dan berbuah kecaman dan hujatan dari golongan Wahabi di Emirates. Mereka menuntut agar stasiun Televisi yang menyiarkan program yang mereka sebut melecehkan dan menghina sahabat nabi tersebut segara ditutup.

Syeikh Ahmad Al-Kabisi dikatakan berasal dari Iraq, memegang jawatan mufti dan menetap di Dubai.

Sahih Bukhari : Volume 1, Book 8, Number 438:
Narrated ‘Ikrima:Ibn ‘Abbas said to me and to his son ‘Ali “Go to Abu Sa’id and listen to what he narrates.” So we went and found him in a garden looking after it. He picked up his Rida’, wore it and sat down and started narrating till the topic of the construction of the mosque reached. He said, “We were carrying one adobe at a time while ‘Ammar was carrying two. The Prophet saw him and started removing the dust from his body and said, “May Allah be Merciful to ‘Ammar. He will be inviting them (i.e. his murderers) to Paradise and they will invite him to Hell-fire.” ‘Ammar said, “I seek refuge with Allah from affliction.”


Argument of Shias: This Hadith sates they will invite him to hellfire, this mean “they” will be in hell

TERNYATA dalil TIDAK BERPIHAK KEPADA KALIAN, KARENA KALIAN MELANDASKAN KEPADA KEYAKINAN KEDUSTAAN DAN KEDUSTAAN ITU TELAH MENELANJANGIMU,

KARENA MEREKA TELAH MELAKUKAN KEBODOHAN TIGA PERKARA:
* MEREKA BODOH DALAM BERDUSTA SEHINGGA KEDUSTAANNYA BEGITU MUDAH TERBONGKAR, HANYA DENGAN BEBERAPA KEJAP SAJA. SEGALA PUJI BAGI ALLAH YANG TELAH MENYIBAK KEDUSTAAN MEREKA
* MEREKA MENJADI BODOH DALAM KEBODOHANNYA, KARENA MEREKA MENJAWAB APA YANG MEREKA TIDAK PAHAM ARAH MANA MEREKA HARUS MEMBERIKAN JAWABAN
* MEREKA BODOH DALAM MENGARAHKAN BUSUR RACUN CELAANNYA. MEREKA TIDAK MENYANGKA APABILA DARI APA YANG MEREKA JAWAB MENJADIKAN MEREKA TERJATUH DALAM PENCELAAN KEPADA ALLAH DAN RASULNYA

ANTARA IJTIHAD ALi RADHIALLAHU ANHUMA DAN MUAWIYAH , YANG SIAPA YANG MENGIKUTI ATAU BERADA DIBELAKANG DIANTARA MEREKA BERDUA ADALAH TERGOLONG KEPADA YANG MENGIKUTI IJTIHAD TERSEBUT. Anda ikut ‘Ali atau ikut Mu’awiyah ??

(Syiahali/Scondprince/Kaskus/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: