Saya akan menceritakan tentang keberagamaan beliau. Saya pikir sejak saya usia sembilan tahun saya bisa menilai beliau. Saya ingat sejak kecil saya tidak banyak tidur. Sampai saat ini saya juga tidak banyak tidur. Berkali-kali di pertengahan malam saya terbangun dan senantiasa melihat ayah mengerjakan salat tahajud. Tapi karena saya waktu itu masih kecil saya tidak tahu persis apa kesibukan ayah. Kami tidur di halaman dan saya melihat beliau bangun untuk mengambil wudu dan salat tahajud. Dalam hati saya bertanya, mengapa ayah di malam hari menangis tersedu-sedu? Saya waktu itu masih kecil. Saya bergumam, untuk apa menangis di tengah malam? Saya pikir ayah sedih. Misalnya karena ada masalah sehingga menangis. Di malam-malam bulan purnama saya melihat air mata ayah dan hal ini bagi saya sangat aneh.
Di masa ketika saya datang ke Najaf, saya memiliki anak masih kecil, sehingga di malam hari saya harus bangun. Kamar ayah berhadap-hadapan dengan kamar saya. Beliau melakukan salat tahajud di teras kamarnya. Saya merasakan bahwa ketika ayah menangis, beliau menyesuaikan waktu tangisannya dengan suara speaker yang menyiarkan munajat. Karena saya tidak tidur, maka saya mendengar suara tangisannya. Saya punya kenangan banyak tentang ibadah beliau.
Di masa-masa hidupnya saya tidak pernah melihat beliau berbicara keras dengan seseorang. Beliau tidak pernah memanggil nama pembantu dengan panggilan remeh. Beliau selalu memanggil dengan panggilan yang baik atau menambahkan sesuatu pada namanya. Misalnya bila mereka sakit dan pergi ke kamarnya, tanpa berbicara Imam Khomeini pergi ke depan pintu dan mengetuknya dan berkata, “Batul Khanum! Bagaimana keadaanmu! Keadaanmu baik? Tadi malam kamu panas? Kamu sakit?” Dengan cara ini beliau menanyakan keadaan dan menanyakan kepada yang lainnya. Sehingga membuat pembantu senang.
Kehidupan ayah sama seperti kehidupan biasa masyarakat. Dalam hidupnya ayah tidak memiliki kerjaan lebih selain ibadah. Kehidupan beliau adalah kehidupan biasa seorang santri. Gaya hidupnya juga biasa dan tidak pernah hidup secara luar biasa. Itulah mengapa beliau sangat banyak membaca. Saat saya memasuki kamarnya, beliau tenggelam di tengah-tengah buku. Beliau duduk dan di depannya ada sebuah meja. Beliau dikelilingi tumpukan buku yang tingginya sampai satu meter. Pokoknya beliau hilang di tengah-tengah buku-buku tersebut. Sebagian bercanda, “Agha belum juga bangun dari tempatnya.” Ketika teman-temannya datang menemui ayah, beliau selalu berada di ruangannya. Kalau beliau ingin teh, beliau hanya memukulkan sendok yang ada di talam ke gelasnya. Yakni, “Beri aku teh!” ketika waktunya makan, beliau bangun berdiri dan datang.
Kegiatan beliau setelah Zuhur adalah tidur. Sampai akhirnya hidupnya juga demikian. Bila ingin mengusir lalat dari kamarnya, beliau mengusirnya dengan kain tipis yang dipakai selimut. Beliau tidak membunuh lalat dengan alat pemukul lalat atau lainnya. Beliau tidak pernah memakai pembunuh serangga atau berusaha agar lalat terbunuh. Bisa saya katakan bahwa beliau benar-benar seperti para imamnya. Bisa saya katakan bahwa Allah telah memberikan kepribadian dan posisi ini kepada beliau sebagai pahala di dunia ini.
Dalam kehidupannya selama sepuluh tahun pasca kemenangan revolusi tidak pernah seharipun senang. Sebelum revolusi juga demikian. Selama tiga belas tahun di Najaf beliau jauh dari anak-anaknya. Beliau bertahan di bawah suhu yang begitu panas dan berpuasa di hari-hari yang siangnya sangat panjang. Pembantu rumah beliau menangis menceritakan, “Khanum! Ketika saya membawa talam makanan untuk Agha (Imam Khomeini) dan mengambilnya kembali, saya tidak merasa bahwa beliau makan makanan yang ada di talam ini. Mungkin hanya sedikit. Misalnya separuh dari lauknya saja.” Beliau berpuasa di hari yang begitu panjang di Najaf.
Beliau sangat teratur. Benar-benar sangat teratur. Yakni, mulai dari ketika bangun tidur semua pekerjaanya berdasarkan program. Beliau tidak pernah hidup tanpa program. Membaca buku pada waktunya sendiri. Istirahat pada waktunya sendiri. Tidurnya tepat pada waktunya. Mendengar radio pada waktunya. Kesimpulannya, semua pekerjaannya tepat pada waktunya bahkan ibadahnya juga tepat pada waktunya. Kami tahu jam berapa harus menemui ayah. Kami menyiapkan diri untuk menemui ayah ketika jam istirahatnya. Karena ketika waktunya ibadah atau membaca buku atau pekerjaan lainnya seperti laporan-laporan kenegaraan, kami tidak bisa menemui beliau. Hanya pada waktu istirahatnya kami bisa menemui beliau. Pada waktu itu beliau berjalan kaki selama seperempat jam atau dua puluh menit. Beliau sangat disiplin. Setengah jam di pagi hari dan setengah jam di sore hari beliau berjalan kaki. Kami bisa menemui beliau di saat berjalan kaki ini. Berbincang-bincang atau bertanya atau mendengarkan jawaban beliau dan menanyakan kondisi.
Beliau benar-benar mencintai anak-anak dan luar biasa mencintai anak-anak. Beliau sangat sensitif terhadap segala sesuatu. Terkadang ketika kami mau menggunakan celana, beliau mengingatkan seraya berkata, “Kaki kalian jangan sampai terbelit bagian bawah celana sehingga kalian jatuh.” Beliau senang bila kami senantiasa memakai kaos kaki. Imam Khomeini adalah orang yang sangat sensitif tapi pada saat yang sama beliau sangat pemberani. Saya tidak ingin menceritakan tentang keberaniannya, semua masyarakat mengatakannya. Saya juga tidak akan mengatakan tentang kekesatriaannya. Terkait dengan ketakwaannya juga jelas, tidak perlu diungkapkan. Ibu mengatakan, “Selama enam puluh tahun saya hidup bersama lelaki ini, selama enam puluh tahun itu saya tidak pernah melihat beliau menggunjing seseorang meski hanya sekali atau berbicara bohong.”
Detik-detik terakhir ketika kami dipanggil, sama sekali kami tidak berpikir dan tidak terpikir bahwa beliau menilai saat itu adalah kesempatan terakhir beliau untuk melihat kami. Pada pukul dua siang dikatakan kepada kami, “Datanglah! Agha memanggil kalian.” Kami semua datang menuju tempat tidur Imam Khomeini. Ibu duduk di kursi di samping tempat tidur beliau. Kamipun berdiri mengelilingi tempat tidur beliau. Imam Khomeini hanya memandang kami, kemudian beliau berkata:
“Agha Ansari suruh ke sini, saya mau mengatakan sesuatu kepadanya.”
Agha Ansari datang dan mendekatkan kepalanya ke dekat Imam Khomeini dan Imam Khomeinipun menyampaikan sesuatu kepada Agha Ansari, kemudian kepada kami beliau berkata:
“Siapa saja yang mau, duduklah! Siapa saja yang ingin, pergilah!”
Saat itu juga merasakan bahwa beliau mengatakan demikian karena sangat berhati-hati. Jangan sampai ketika beliau mengatakan pergilah, lantas kami tidak suka dan sedih atas ucapan Imam. Di dalam kamar juga hanya ada seorang dokter. Dokter-dokter lainnya pergi ke luar kamar. Kamipun satu persatu keluar dari kamar. Sepertinya saya yang terakhir keluar. Saya mendengar beliau mengatakan, “Matikan lampu!” ketika dokter mematikan lampu, saya berpikir bahwa sekarang pukul dua siang, Imam Khomeini ingin beristirahat. Ketika lampu sudah padam, saya tidak tahu, sepertinya kami pergi ke tingkat bawah untuk makan. Belum sampai satu jam ada satu orang dari kami yang pergi untuk menjenguk Imam, kami melihat dia kembali lagi dengan penuh kesedihan dan menangis. Tiba-tiba para petugas yang menjaga Imam Khomeini menjerit. Sejumlah orang berkata, “Jangan menjerit.” Kemudian kami lari menuju rumah sakit. Betapa kondisi rumah sakit saat itu! Satu orang lari dari arah sini, satu lagi dari arah sana. Semuanya bersedih. Saat itu juga ada Agha Khamenei dan yang lain-lainnya. Mata saya tidak bisa melihat seseorang. Saya hanya bisa menunduk dan berjalan dimana saat itu saya hanya melihat kaki orang-orang. Saya hanya melihat sangat banyak kerumunan dan mereka mengatakan, “Kondisi Imam baik-baik saja. Tapi sedikit ada kekambuhan.”
Pukul empat kembali lagi muncul penyakit kambuhan pada jantung beliau. Pukul delapan detak jantung beliau tiba-tiba mencapai 18 kemudian 12 dan wajah beliau menjadi putih. Saat itu saya tidak berada di kamar. Ketika saya sampai saya melihat para dokter melakukan tekanan pada dada Imam Khomeini, pada saat itu saya berteriak, “Sampai seberapa kalian harus melakukan tekanan pada dada Imam, Mengapa kalian melakukan hal ini?” Saat itu jantung Imam Khomeini kembali berkerja dan baik. Ketika saya masuk kamar, saya melihat dua orang dokter menyandarkan kepalanya ke dinding sambil menangis. Beberapa orang perawat duduk dan menangis di bawah pohon. Sejumlah Pasdaran menjenguk Imam. Beberapa dokter juga sedang membaca al-Quran. Mereka mengatakan, kami sedang mendatangkan dua orang dokter dari jauh dan dokter-dokter itu juga sedang menangis. Ketika jantung Imam Khomeini kembali lagi bekerja yang kedua kalinya, kamipun keluar dari kamar dan pergi.
Sekitar pukul sepuluh-sepuluh tiga puluh malam, saya tidak tidak melihat jam. Saya sedang menuju rumah sakit lantas saya melihat suara jeritan muncul dari rumah sakit. Saya berlari. Saya melihat semua bapak-bapak yang ada di halaman rumah sakit lari, yang satu lari menuju dinding, yang satu lari ke arah sini, yang lain sana ke arah sana. Yang satu lagi menghadap ke arah sana. Begitu saya sampai ke dalam ruangan rumah sakit, semuanya dalam keadaan lari ke sana ke mari. Setiap orang menuju ke sebuah arah. Saya tidak berpikir sama sekali bahwa peristiwa seperti ini terjadi. Hanya saya sadar saya tidak menutupi wajah saya.
Saya tidak tahu sama sekali apa yang harus saya lakukan. Saya berlari. Saya berlari menuju tempat tidur Imam Khomeini. Saya melihat seakan-akan Imam Khomeini sedang tidur. Imam Khomeini menjadi sangat kurus. Para dokter mengatakan karena Imam Khomeini tidak mau makan. Kami juga tidak bisa memberi makan untuk beliau. Kami memberikan makanan setengah gelas atas nama obat. Badannya menjadi sangat kurus. Karena suntikan infus tangan beliau sedikit bengkak. Tapi demi Allah sebagai saksinya saat itu saya melihat wajah Imam menjadi besar dan badannya juga menjadi besar, dada Imam tampak lebar dan tinggi Imam lebih panjang dari tempat tidur. Allah yang tahu bahwa tinggi Imam Khomeini lebih panjang dari tempat tidur. Tidak ada yang percaya kalau tinggi Imam Khomeini lebih panjang dari tempat tidur dan di sekitar wajahnya ada cahaya yang bersinar. Saya menjerit dan menjatuhkan diri ke jenazah Imam Khomeini. Dan saya tidak tahu bagaimana saya dilepaskan dari jenazah Imam. Saya tidak melepaskan tangan dan tempat tidur Imam. Mereka datang untuk melepaskan infus dari tangan Imam. Zahra tidak mengizinkan. Dia mengatakan, “Jangan dilepas, beliau masih hidup. Jangan lepaskan infusnya. Beliau masih hidup.” Tapi jeritan muncul dari rumah sakit. Masyarakat berlari. Saya berpikir pemandangan ini telah dishoting dan filmnya pasti akan ditayangkan. Dari balik kaca masyarakat kelihatan sedang berlari. Mereka berlari berada di balik pintu. Di ruangan sedang berlari. Mereka menepuk-nepuk kepala. Mereka memukulkan kepalanya ke dinding. Kami putri-putri beliau juga menjerit di sekililing tempat tidurnya.
Saya adalah anak sulung Imam Khomeini, tentunya setelah abang saya Agha Mostafa meninggal dunia. Imam Khomeini sangat menyayangi saya dan luar biasa menghormati saya. Ketika saya masuk ke dalam kamar beliau dan duduk, bila beliau memerlukan air, obat atau lainnya, beliau tidak mengatakan kepada saya. Suatu saat saya melihat Imam bangun, dan saya bertanya, “Agha, Anda lagi apa? Beliau menjawab, “Biarkan....” beliau sendiri pergi dan mengambil air dan obatnya. Suatu hari saya berdiri dan putri-putri saya sedang duduk. Imam Khomeini menegur:
“Bangkit dan minggirlah, ibu kalian sedang berdiri, mengapa kalian duduk? Bangkitlah dari tempat kalian!”
Beliau tidak pernah meminta saya untuk mengerjakan sesuatu. Saya tidak suka. Saya mengatakan, “Agha, mintalah saya untuk mengerjakan sesuatu...” Beliau menjawab bahwa umur saya tua, saya termasuk anak yang besar sementara ibu memiliki beberapa anak. Itulah mengapa beliau sangat menghormati saya. Beliau menyayangi semua anak-anaknya. Siapa saja dari anak-anaknya menemui beliau, masing-masing berpikir bahwa Imam lebih mencintainya dari yang lainnya. Bahkan masing-masing dari anak-anaknya datang membawa anaknya menemui Imam Khomeini, setiap dari mereka berpikir bahwa Imam Khomeini lebih menyayangi anaknya dari yang lainnya. Tapi Imam Khomeini sangat perhatian pada cucu-cucunya. Salah satu putri saya setelah dua belas tahun baru punya anak. Imam Khomeini sangat perhatian padanya. Tapi ketika putri saya sudah punya anak, Imam Khomeini belum pernah melihat anaknya putri saya. Terkait masalah ini saya sangat sedih. Imam Khomeini sangat menyayangi anaknya putri saya sampai beliau meletakkan foto cucu saya di atas tempat tidurnya. Suatu hari saya mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan saya bahwa ada sejumlah tamu ingin melihat foto anaknya Nafiseh. Imam Khomeini mengatakan:
“Saya meminjamkan foto ini kepadamu, bawa dan tunjukkanlah foto ini, kemudian kembalikan lagi kepadaku.”
Beliau sendiri yang meletakkan foto ini dalam bingkai karton. Saya tidak lagi bisa melihat anak ini. Saya benar-benar sensitif terhadap anak ini.
Sejak kecil saya termasuk anak pendiam. Ibu menceritakan, selama masa hidupmu, ayahmu tidak pernah memarahimu. Hanya sekali saja engkau memasukkan jari-jarimu ke dalam yogurt. Ayahmu saat itu memegang pena dan memukulkan pena itu ke tanganmu. Bagi kamu hal itu sudah cukup dan kamu tidak pernah lagi memasukkan tanganmu ke dalam yogurt.
Sebagaimana yang kalian ketahui, Imam Khomeini benar-benar menghormati kaum wanita. Saya katakan tentang kehidupan rumah tangga beliau, beliau luar biasa menghormati ibu. Yakni saya tidak berbohong bila saya katakan bahwa selama enam puluh tahun kehidupannya bersama ibu, beliau tidak pernah mendahului makan sebelum ibu duduk di hidangan makan. Bahkan bisa saya katakan bahwa selama enam puluh tahun hidup bersama ibu, beliau tidak pernah menyuruh ibu untuk mengambilkan segelas air minum meski hanya sekalipun. Beliau sendiri yang mengambil. Bila dalam kondisi tertentu dimana beliau tidak bisa mengambil, beliau mengatakan, “Di sini tidak ada air.” Beliau tidak pernah mengatakan, “Bangkit dan berikan air untukku. Beliau tidak hanya tidak pernah menyuruh ibu, bahkan beliau tidak pernah menyuruh kami putri-putrinya. Bila seandainya ayah meminta air, maka kami semua segera datang membawakan air untuknya. Tapi beliau tidak pernah menyuruh kami untuk mengambilkan segelas airpun untuknya. Dalam kondisi sulit di akhir-akhir hidupnya, setiap beliau membuka matanya, saat beliau mampu berbicara, beliau menanyakan, “Bagaimana kabar ibu?” kami menjawab, “Ibu baik-baik saja. Kami sampaikan agar beliau datang kepada Anda?” Imam mengatakan:
“Jangan. Ibu punggungnya sakit. Biarkan beliau istirahat.”
Karena seminggu sebelum Imam Khomeini menjalani operasi, ibu agak sedikit sakit karena punggungnya dan dokter menganjurkan agar istirahat beberapa hari. Imam Khomeini benar-benar perhatian pada ibu.
Dalam urusan sosial, pertama kali orang yang beliau kirim sebagai wakilnya untuk negara lain adalah seorang ulama yaitu Agha Javadi Amoli dan seorang perempuan yaitu Khanum Dabbagh.
Dikutip dari penuturan Seddigheh Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh.
(IRIB-Indonesia/Taghrib/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email