Pesan Rahbar

Home » » Ayatullah Al-Uzhma Sayyid Ali Huseini Sistani

Ayatullah Al-Uzhma Sayyid Ali Huseini Sistani

Written By Unknown on Monday, 26 January 2015 | 13:50:00


Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai banyak bidang ilmu dan memiliki karya-karya yang tak ternilai harganya. Kini beliau merupakan satu-satunya pemimpin hauzah ilmiah di kota Najaf


BIOGRAFI

Lebih dari setengah abad kuliah-kuliah Ayatullah Al-Uzhma Khu`i r.a. merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Ratusan mujtahid dan faqih lahir berkat klinik ilmiah beliau.

Ayatullah Al-Uzhma Sistani adalah satu dari sekian banyak murid beliau yang paling menonjol. Beliau adalah seorang mujtahid kaliber dan berbudi luhur.


Kelahiran

Ayatullah Al-Uzhma Sistani lahir di kota Masyhad pada tahun 1349 H. dan dari keluarga ruhaniawan yang taat beragama.

Setelah menamatkan ilmu-ilmu dasar dan tingkat menengah (suthuh), beliau mulai mengkaji ilmu rasional dan teologi di bawah bimbingan guru-guru besar hauzah. Di kota kelahirannya pula beliau memulai kajian-kajian Bahtsul Kharij fiqih dan menyelesaikannya dengan baik di bawah bimbingan Allamah Mirza Mahdi Isfahani r.a.

Pada tahun 1368 H., beliau berhijrah ke kota Qom. Di sana beliau melanjutkan karir ilmiahnya di bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih di bawah asuhan sejumlah ulama’ dan ahli hukum setempat, termasuk marja’ (pemegang otoritas ijtihad) besar masa itu, Ayatullah Al-Uzhma Sayid Burujerdi r.a. yang menjadi gurunya dalam ilmu ushul dan fiqih. Selain itu, Sayid Sistani juga belajar banyak ilmu lainnya, khususnya ilmu Rijal dan hadis pada beliau.

Pada kesempatan lain, beliau juga hadir dalam rangkaian kuliah-kuliah Sayid Hujjat Kuhkamarei r.a., seorang ahli hukum tersohor dan ulama-ulama lainnya secara intensif.
Genap 3 tahun mengenyam pendidikan agama di Qom, Ayatullah Al-Uzhma Sistani kembali ke Najaf, Irak; pusat kegiatan ilmiah dan spiritual, pada tahun 1371 H.

Di Najaf, beliau mengikuti kuliah mujtahid-mujtahid kaliber dunia secara intensif, seperti Ayatullah Al-Uzhma Hakim. Di bidang fiqih dan ushul, beliau lebih aktif mengikuti kuliah-kuliah Ayatullah Al-Uzhma Khu`i r.a., dan selama sepuluh tahun, Ayatullah Sistani mengikuti satu paket lengkap ilmu ushul yang diberikan oleh Syeikh Husein Al-Hilli.

Pada tahun 1381 H., beliau membuka kuliah perdananya dengan kajian spesial kitab Al-Makâsib, karya Syeikh Anshari r.a. kemudian dilanjutkan dengan mensyarahi kitab Al-'Urwatul Wutsqâ. Selang 3 tahun kemudian, beliau memulai paket spesial di bidang ushul. Beliau menutup paket ushul yang ketiga pada bulan Sya’ban 1411 H. Sebagian besar kuliah-kuliah ilmiah beliau ditranskrip oleh murid-muridnya.


Sang Jenius

Dalam setiap kajian dan kuliah guru-guru besar, Ayatullah Al-Uzhma Sistani selalu tampil dengan potensi dan kapasitas inteligensi yang luar biasa. Beliau tampak unggul di tengah-tengah peserta kuliah.

Kritik dan sense kepekaan ilmiahnya tidak kalah tajamnya dengan kecakapannya dalam menganalisa permasalahan fiqih dan ilmu rijal, ataupun pengenalannya yang luas akan teori-teori yang berkembang di berbagai bidang keilmuan.

Perlu dicatat bahwa dalam masalah kejeniusan terdapat keserupaan ketat antara beliau dan Syahid Shadr r.a. Ijazah ijtihad yang diterimanya dari dua guru besar; Ayatullah Al-Uzhma Khu`i r.a. dan Allamah Syeikh Husein Al-Hilli r.a. adalah bukti atas derajat intelegensi beliau.
Dan bukan rahasia lagi, jika Ayatullah Al-Uzhma Khu`i r.a. tidak pernah memberikan ijazah tertulis kepada satu pun dari murid-muridnya selain kepada Ayatullah Al-Uzhma Sistani dan Ayatullah Syeikh Ali Falsafi.

Bahkan pada tahun 1380 H., beliau telah menerima ijazah ijtihad tertulis dari pakar hadis adihulung masa itu, Allamah Buzurg Tehrani yang mengagumi wawasan pengetahuan beliau di bidang ilmu rijal dan hadis. Artinya, belum genap 31 tahun, Ayatullah Al-Uzhma Sistani telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi.


Karya Ilmiah

Hampir 34 tahun yang lalu, Ayatullah Al-Uzhma Sistani telah memulai kuliah spesial fiqih, ushul dan Rijal. Di sepanjang tahun-tahun itu, beliau menyelesaikan kajian-kajiannya seputar makasib, thaharah, shalat, qadha`, khumus dan beberapa kaidah-kaidah fiqih seperti riba, taqiyah dan ilzam. Khusus di bidang ushul, beliau telah menyelesaikan kuliah-kuliah ushulnya selama tiga putaran. Sebagian dari bahasan putaran-putaran ini, seperti prinsip-prinsip praktis, kini sedang diproses untuk segera diterbitkan.

Bahkan Syeikh Mahdi Murwarid, Allamah Sayid Habib Huseiniyan, Sayid Murtadha Isfahani, Allamah Sayid Ahmad Madadi, Syeikh Baqir Irawani dan ulama-ulama serta pengajar-pengajar ulung Bahtsul Kharij, acap kali merujuk kepada kajian-kajian beliau sebagai referensi dan obyek pengembangan ilmiah mereka.

Di samping kegiatan mengajar dan mendidik, Ayatullah Al-Uzhma Sistani sangat produktif sekali melahirkan karya-karya tuils, termasuk mentraskrip kuliah guru-guru besar beliau, diantaranya:
1) Syarah kitab Al-'Urwahtul Wutsqa
2) Kajian-kajian Ushul
3) Bab Qadha`
4) Bab Bai’
5) Risalah tentang Pakaian Mayat
6) Risalah tentang kaidah Yad
7) Risalah tentang Shalat Musafir
8) Risalah tentang kaidah Tajâwuz wal Farâgh
9) Risalah tentang Qiblat
10) Risalah tentang Taqiyah
11) Risalah tentang Kaidah Ilzâm
12) Risalah tentang Ijtihad dan Taklid
13) Risalah tentang Kaidah La Dharara wa La Dhirâr
14) Risalah tentang Riba
15) Risalah tentang Nilai Validitas (Hujjiyah) Surat-surat Ibnu Abi ‘Umair
16) Kritik atas Risalah Tashhih Asanid Ardabili
17) Syarah Masyayikhah At-Tahdzibain
18) Risalah tentang aliran ulama klasik tentang nilai validitas hadis.

Dan beberapa karangan serta risalah ilmiah lain berkenaan dengan hukum-hukum khusus bagi mukallid.


Metode Kajian

Terdapat sejumlah keistimewaan metodologi yang dimiliki oleh Ayatullah Al-Uzhma Sistani yang tidak ditemukan dalam metode-metode kajian guru-guru besar kontemporer di sepanjang kajian-kajian ushul, diantaranya:

a. Mengusut kronologi pembahasan dan melacak landasan-landasan pemikiran yang terkadang politis, teologis bahkan filosofis.

Sering kali pendekatan sejarah mampu menguak aspek dan dimensi-dimensi hakikat suatu masalah serta memperjelas cara pandang dan penyelesaian yang pernah diajukan para ahli.

b. Komparasi antara pemikiran tradisional dan perkembangan sastra-budaya kontemporer, seperti yang beliau terapkan dalam bahasan-bahasan makna kata-kata.

c. Perhatian khusus beliau terhadap prinsip-prinsip dasar ushul fiqih yang berkaitan dengan masalah-masalah fiqih
d. Kreasi.

e. Sudut pandang sosiologis sebagian fuqaha` kerap memaknakan dan menerjemahkan teks-teks tradisional secara kontekstual. Pemahaman mereka terbatas pada redaksi kata dan kalimat, tanpa mau menyentuh makna-maknanya yang lebih luas. Sebaliknya, sebagian lain melibatkan situasi dan kondisi yang menyertai penyabdaan teks-teks tersebut, sehingga dapat diketahui peristiwa-peristiwa yang berperan langsung dalam denotasi (semantika) teks-teks itu.

Sebagai contoh, sebuah hadis menyebutkan bahwa Nabi SAWW (di perang Khaibar) menyatakan haram memakan daging keledai. Sebagaian fuqaha` mempelajari redaksi hadis ini secara harfiah; huruf demi huruf, sehingga mereka sampai pada sebuah kesimpulan bahwa daging tersebut berdasarkan hadis di atas adalah haram.

Padahal, jika kita cermati situasi dan kondisi yang melingkupi penyabdaan hadis tersebut, kita akan menyingkap inti maksud Nabi SAWW di balik hadis itu. Perang melawan kaum Yahudi Khaibar memerlukan banyak perlengkapan senjata, yang hanya mungkin dibawa oleh hewan-hewan seperti kuda, unta dan keledai. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa maksud hadis itu adalah larangan demi suatu maslahat temporal kondisi saat itu menuntut suatu perintah yang bukan kategori penetapan hukum syari’at; haram ataupun makruh.

f. Kecakapan dan pengalaman beristinbat (menyimpulkan hukum). Ayatullah Al-Uzhma Sistani berpandangan bahwa seorang faqih mesti mengetahui tata bahasa Arab, prosa, syair, dan metaforanya secara sempurna, sehingga ia mampu memahami dan mengklasifikasikan teks-teks riwayat (tradisional) berdasarkan objek, bukan esensi.

Lebih dari itu, hendaknya seorang faqih mengenal dengan cermat hadis-hadis Ahlul Bayt a.s. dan perawi-perawinya, karena pengetahuan ilmu Rijal bagi seorang mujtahid merupakan keharusan mutlak.

Kehandalan dan pengalaman beliau dalam beristimbat nampak pada kesimpulan-kesimpulan hukumnya yang unik dan berbeda dengan pendapat-pendapat yuridis yang umum di kalangan fuqaha`.

Adapun metodologi fiqih beliau dapat kita urut sebagai berikut:
a). Perbandingan antara fiqih syi’ah dan pelbagai mazhab Islam. Tidak syak lagi, mengenal pemikiran fiqih Ahlussunnah di masa-masa penyusunan kitab-kitab induk hadis dapat menyempurnakan pemahaman kita akan maksud-maksud para imam ma'shum a.s. dari suatu hadis dan riwayat.
b). Pemanfaatan disiplin ilmu-ilmu hukum kontemporer pada sebagian bab-bab fiqih, seperti menelaah undang-undang dasar negara Irak, Mesir dan Prancis. Ketika membahas bab Bai’ (jual-beli) dan Khiyârât, karena pengenalan metode-metode yuridis terkini banyak memperkaya pengalaman-pengalaman sang mujtahid atau faqih, dan membantunya dalam menganalisa kaidah-kaidah fiqih serta memperluas wawasan tipikal pemikirannya, untuk kemudian menerapkan poin-poin penting yang didapatkannya.
c). Ayatullah Al-Uzhma Sistani berupaya menspesifikasikan sebagian kaidah-kaidah fiqih, pada saat sebagian banyak mujtahid kita menggunakan kaidah-kaidah itu utuh seperti awal mereka menerimanya dari mutahid-mujtahid terdahulu.


Kepribadian yang Luhur

Siapa saja yang bergaul dan bersua dengan beliau dari dekat, akan dengan mudah mengenal sebuah kepribadian karakteristik dan ideal. Keluhuran pribadi Ayatullah Al-Uzhma Sistani menempatkan dirinya sebagai sosok teladan yang unggul dan ulama rabbani.

Berikut contoh mulia dari etika mulia Ayatullah Al-Uzhma Sistani yang pernah saya saksikan:

a. Bijaksana dan menghormati pendapat. Beliau mencintai ilmu dan fanatik pada ma’rifat dan pencapaian hakikat. Oleh karena itu, beliau selalu menghargai pendapat orang lain. Beliau selalu bersama kitab. Beliau tidak merasa cukup dengan menyimak dan menelaah pendapat ulama-ulama lain. Bahkan dalam kesempatan tertentu, beliau mengkaji serius sejumlah pembahasan sebagian ulama yang mungkin tidak cukup menarik. Semua ini mengindikasikan perhatian khusus dan penghormatan beliau yang luar biasa terhadap pendapat orang lain.

b. Sopan dalam berdiskusi. Sering kali situasi pembahasan dan diskusi antara para pelajar dengan pengajar mereka di hauzah Najaf khususnya, penuh dengan kekasaran.
Meski tidak jarang situasi yang demikian memberi banyak manfaat bagi pelajar-pelajar itu sendiri. Namun pada saat yang sama, kekasaran dan ketegangan bukanlah cara yang sehat dalam diskusi, bahkan acapkali melemahkan semangat diskusi para pelajar, menyia-nyiakan waktu dan tujuan Ilmiah.

Berbeda dengan kuliah-kuliah Ayatullah Al-Uzhma Sistani dan peserta-pesertanya. Interaksi antara pengajar dan pelajar berlangsung dalam atmosfir yang sopan dan damai. Hal itu nampak lebih jelas lagi ketika beliau menanggapi pertanyaan-pertanyaan remeh, bahkan tak berdasar. Keistimewaan lain dari kuliah-kuliah beliau, mengulang-ulang sebuah jawaban sehingga pelajar memahami benar obyek bahasan. Jika pelajar bersikeras pada pandangan pribadinya, beliau selalu memilih diam.

c. Mendidik. Profesi mengajar bukan sarana mencari nafkah, bukan pula sebuah kewajiban yang memaksa seorang guru untuk mengajar. Guru yang baik semestinya mendidik anak-anak didiknya dan mengantarkan mereka sampai pada jenjang keilmuan yang tinggi dan meninggi. Untuk itu, diperlukan cinta dan kasih sayang dalam proses pendidikan. Tidak sedikit kita temukan manusia-manusia yang tak kenal diri dan malas, namun di lain pihak kita dapatkan guru-guru yang tulus, penyayang dan penuh pengertian. Tujuan utama mereka hanya menunaikan misi pengajaran dan pendidikan sebaik mungkin.

Di hauzah Najaf, Ayatullah Hakim dan Ayatullah Khu`i r.a. dikenal sebagai simbol etika terpuji, dan segala yang kusaksikan dari kepribadian Ayatullah Sistani tidak kurang dari akhlak guru-guru beliau.

Di akhir setiap pelajaran, beliau selalu meminta murid-murid untuk bertanya. Beliau selalu menekankan pada murid-murid agar menghormati para guru dan ulama, serta bersikap sesopan dan seramah mungkin dalam bertanya atau berdiskusi dengan mereka. Di samping itu, beliau banyak menukil kisah-kisah budi luhur guru-guru beliau.

d. Takwa. Sebagai ulama Najaf Asyraf, beliau selalu berusaha menghindari segala bentuk pertikaian dan benturan. Meskipun sebagian orang menilai, sikap itu tidak lain dari pelarian diri dari kenyataan atau karena perasaan takut dan lemah diri. Namun, jika kita amati masalah di atas dari lain aspek, pertikaian dan benturan pada dasarnya adalah satu hal yang positif, dan bahkan menjadi penting dan mesti di sebagian kasus.

Maka, jika ulama-ulama itu menghadapi bahaya yang mengancam maslahat dan keutuhan umat Islam atau hauzah seperti pergolakan sosial atau kerancuan di sebagian ajaran-ajaran Islam, mereka pasti segera hadir di tengah kemelut, karena mereka menyadari benar bahwa setiap ulama mesti hadir dengan ilmunya dalam situasi-situasi yang sulit. Di sini, Ayatullah Al-Uzhma Sistani dalam situasi-situasi demikian lebih memilih diam, sebagaimana dalam menanggapi situasi pasca meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan Ayatullah Hakim r.a. dan munculnya individu-individu tak bertanggung jawab serta persaingan mereka dalam memperebutkan kedudukan. Ayatullah Sistani konsisten dengan pendirian kuatnya itu. Beliau sama sekali tidak pernah mau memperjudikan tujuan utamanya dengan kepuasan duniawi, derajat, kedudukan dan kekuasaan.

e. Pandangan ilmiah. Ayatullah Al-Uzhma Sistani lebih dari seorang faqih. Beliau adalah seorang tokoh berpengalaman dan pemikir di bidang politik dan ekonomi. Beliau memiliki banyak pandangan tentang manajemen dan sosiologi serta mengikuti perkembangan zaman kontemporer di tengah masyarakat Islam.


Kedudukan Marja’

Sebagian guru-guru besar hauzah ilmiah Najaf menuturkan bahwa setelah wafatnya Ayatullah Nashrullah Mustanbat, sekelompok ulama menemui Ayatullah Khu`i r.a. dan memohon kepada beliau agar mempersiapkan pengganti yang memiliki kriteria marja’ di hauzah ilmiah Najaf. Maka, Ayatullah Khu`i r.a. menunjuk Ayatullah Sistani, karena tingkat keilmuan, ketakwaan dan kepribadiannya yang kuat. Hal ini bermula dari shalat jama’ah yang dipimpin beliau di mihrab Ayatullah Khu`i r.a. kemudian membahas dan mengomentari risalah dan aliran ilmiah beliau.

Ketika Ayatullah Khu`i r.a. wafat, beliau adalah satu dari para pelayat jenazah Almarhum. Beliau pula yang memimpin shalat jenazah untuknya.

Setelah itu, beliau mulai memegang kendali kepemimpinan hauzah ilmiah dan mulai mengirim dan memberikan bagian dan hak-hak (jaminan santunan sosial) serta menyampaikan kuliah-kuliah di atas mimbar Ayatullah Khu`i r.a.

Dengan demikian, Ayatullah Sistani nampak populer di Irak, negara-negara teluk Persia, India, dan Afrika, khususnya di kalangan remaja. Ayatullah Sistani merupakan salah satu mujtahid kaliber dengan kedalaman ilmunya. Mayoritas guru-guru besar hauzah Ilmiah Qom,Iran dan Najaf, Irak memberikan kesaksian atas kedudukan ilmu beliau.

Akhirnya, kami memohon kepada Allah SWT, agar selalu mencurahkan berkah beliau kepada kaum muslimin.

(Al-Mujtaba/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: