Dengan menelusuri kitab-kitab rijal dan hadis, ada tiga pendapat utama tentang kitab Sulaim bin Qais:
Pertama, sebagian kelompok menganggap kitab Sulaim bin Qais adalah bagian dari ushul yang terpercaya dan bersanad. Di antara tokoh-tokoh kelompok ini adalah seperti: Abu Zainab Muhammad bin Ibrahim Nu’mani. Dia dalam kitab Al-Ghaibah berkata demikian: “Tidak diragukan bahwa kitab Sulaim bin Qais adalah salah satu kitab dan ushul penting bagi umat Syiah. Karena semua yang ada di dalamnya berasal dari Miqdad, Salman, Abu Dzar dan lain sebagainya, yang mana hidup bersama Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as dan mendengar sendiri hadis-hadis dari mereka. Kitab Sulaim bin Qais adalah satu kitab yang dirujuki umat Syiah dan dipercayai mereka.”[1] Demikian pula pendapat Agha Bozorgh Tehrani, Allamah Muhammad Taqi Majlisi, Allamah Muhammad Baqir Majlisi, Syaikh Hurr Amili, Allamah Tafreshi, Sayid Hasyim Bahrani dan…
Kedua, berdasarkan pendapat kelompok ini, dari satu sisi kitab Sulaim bin Qais dan sanad-sanadnya secara sekilas bisa dianggap benar (tak bermasalah) dan dalil-dalil Ibnu Ghadhairi yang menyebut kitab tersebut sebagai kitab palsu tidaklah benar. Namun di sisi lain, mereka menekankan bahwa kitab tersebut tidak bebas dari tahrif dan tadlis (modifikasi dan perubahan) naskah-naskah kitab tersebut sejak beberapa abad setelahnya (penulisannya). Syaikh Mufid dalam kitab Tashihul I’tiqad menjelaskan: “…hanya saja kitab ini tidak bisa dijadikan sandaran dan selayaknya para mutadayinin (para agamawan) tidak mengamalkan apa yang ada di dalam kitab itu, juga tidak terlalu mempercayainya, tidak mengikuti riwayat-riwayatnya. Hendaknya mereka meminta tolong ulama mereka untuk membedakan mana yang benar dan tidak di antara hadis-hadis kitab tersebut.”[2] Allamah Hilli juga bisa dianggap sebagai seorang tokoh dengan pendapat yang sama.
Ketiga, kelompok yang ketiga adalah orang-orang yang sama sekali tidak membenarkan kitab Sulaim bin Qais dan menganggapnya kitab palsu. Ibnu Ghadhairi sepertinya adalah orang pertama yang berpendapat demikian. Dia berkata: “Kitab tersebut maudhu’ (hadis bohong atau palsu yang dinisbatkan atau dituduhkan kepada orang lain) dan tidak bisa dianggap (tak bisa diandalkan atau dipercaya)… dan sahabat-sahabat kami menyatakan bahwa wadh’ul hadis (penisbatan kebohongan dalam meriwayatkan hadis) tersebut dilakukan oleh Aban bin Abi Ayyash.”[3] Syahid Tsani dan Sayid Ibnu Thawus membenarkan perkataan tersebut. Begitu pula belakangan ini Allamah Sya’rani dan Allamah Hasan Zade Amuli berpendapat yang sama.[4] Agha Behbudi pun menerima pendapat ini, hanya saja menurutnya wadh’ul hadis dalam kitab Sulaim bin Qais dilakukan oleh salah satu orang ghulat, bukan Aban bin Abi Ayyash.[5]
Referensi:
[1] Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Ghaibah, hal. 7.
[2] Abul Qasim Khui, Mu’jam Rijal Hadis, jil. 9, hal. 239.
[3] Allamah Hilli, Khulashatul Aqwal fi Ma’rifati Rijal, hal. 163.
[4] Nadali Asyuri Tawakkuli, Negahi be Moqadame e Ketab e Asrar e Aal e Muhammad, Jurnal Ilmu Hadis.
[5] Muhammad Baqir Behbudi, Ma’rifatul Hadis, hal. 259.
(Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email