Setelah Turki Usmani di bubarkan pada
tahun 1924 oleh Mustafa Kemal, maka Turki ditahbiskan menjadi negara
sekuler yang mengajarkan pemisahan total antara agama dan negara. Negara
adalah pengatur ruang publik, sedangkan agama hanya berlaku bagi ruang
privat. Konsekuensinya, negara melarang seluruh aktivitas keagamaan yang
melibatkan ruang publik, termasuk ritus-ritus sucinya. Selain
sekularisme, nasionalisme—lebih tepatnya etnonasionalisme—juga menjadi
fondasi negara. Kebanggaan akan negara dan bangsanya melebihi bangsa
lain ditunjukkan dengan melarang penggunaan apapun yang tidak berbau
Turki, termasuk bahasa. Konsekuensinya, bahasa agama pun—yang cenderung
bahasa Arab—harus diubah menjadi bahasa Turki. Secara perlahan dan
pasti, Turki pun menjadi negara sekuler modern yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Atas prestasinya ini Mustafa Kemal mendapat
gelar attaturk (Bapak Turki).
Dalam kondisi sekularisme Turki itu,
seorang ulama yang berasal dari kota kecil Siprus, setelah melanglang
buana menuntut ilmu dari berbagai ulama di berbagai negara, kembali ke
kampung halamannya untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmunya. Namun
sayang, waktu itu, karena imbas sekularisme yang diterapkan oleh Turki,
palajaran agama dilarang di ruang publik. Bahkan azan dalam bahasa Arab
pun dilarang.
Ulama tersebut sadar akan hambatannya
dalam penyebaran agama. Namun, tugas dan kewajiban keagamaan tidak
membolehkan beliau untuk berdiam diri. Untuk itu, beliau pun menuju
masjid di tempat kelahirannya, Siprus, dan mengumandangkan azan.
Mengetahui hal itu, petugas keamanan menangkapnya dan memenjarakannya.
Setelah dibebaskan, bukannya menghentikan aktivitasnya, beliau malah
pergi menuju masjid jami’ di Nicosia dan melakukan azan di atas
menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan beliau dituntut atas
pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, ulama tersebut tidak
henti-hentinya terus mengumandangkan azan dari satu mesjid ke mesjid
lainnya di seluruh Nicosia. Ada sekitar 114 masjid yang dia azan di
menaranya. Sehingga tuntutannyapun menjadi 114 kasus. Pengacara
menasihatinya agar berhenti melakukan azan, Namun ulama itu menjawab,
“Tidak, aku tidak bisa, orang-orang harus mendengar panggilan untuk
salat.”
Hari persidangan tiba. Diperkirakan, jika
114 kasus itu terbukti, maka ulama tersebut bisa dihukum 100 tahun
penjara. Namun, Tuhan berkehendak lain, pada saat
persidangan-persidangan digelar, Turki juga sedang mengadakan pemilu,
dan hasilnya seorang bernama Adnan Menderes terpilih menjadi presiden.
Menariknya, begitu terpilih, Menderes membuat kebijakan untuk membuka
seluruh masjid-masjid dan mengijinkan azan dalam bahasa Arab. Maka ulama
itu pun bebas dari segala tuntutan, dan sejak itu pula Turki kembali
berubah menjadi negara yang kembali ramah pada agama, benarlah ayat “Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya”. Inilah azan yang mengubah negara.
Tahukah anda siapa ulama tersebut?
Beliaulah Syaikh Muhammad Nazhim Adil ibn al-Ahmad ibn Hasan Yashil Bash
al-Haqqani.Mursyid besar Tarekat Naqsyabandiyah abad ini. Beliau
dilahirkan pada tahun 1922 M (1341 H) di Kota Larnaka, Siprus (Qubrus).
Beliau dilahirkan dari keturunan yang mulia. Dari sisi ayahnya,
silsilahnya sampai kepada sufi besar Islam, Syaikh Abdul Qadir Jailani,
pendiri tarekat Qadiriyah. Sedangkan dari sisi ibunya, silsilahnya
menembus sampai kepada sufi dan penyair besar, Jalaluddin Rumi. Jadi,
pada dirinya ada pertemuan dua samudera tasawuf Islam.
Pendidikannya dimulai di sekolah umum
pada pagi harinya dan sekolah agama di sore harinya. Sejak kecil telah
terlihat tanda-tanda kecerdasan dalam dirinya hingga beliau beranjak
dewasa. Setelah tamat sekolah umum setingkat SMU, Nazhim muda
menghabiskan malam harinya untuk mempelajari tarekat Mawlawiyyah dan
Qadiriah. Beliau juga mendalami ilmu-ilmu Syariah, Fiqih, hadis, logika
dan Tafsir Alquran. Dengan kecerdasan dan keluasan wawasannya, diusia
yang relatif muda, beliau mampu menjelaskan perkara-perkara agama yang
luas dan mendalam dengan gaya yang menarik dan mudah dipahami.
Pada tahun 1940 M, syaikh Nazhim pindah
ke Istanbul untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Istanbul
dengan mengambil jurusan teknik kimia. Shaykh Nazhim menamatkan
pendidikannya di teknik kimia dengan baik, tetapi semangat keagamaannya
mengarahkannya lebih mencintai ilmu-ilmu agama, terutama tasawuf. Karena
itulah, ketika Dosen di universitasnya menyarankan agar melakukan
penelitian, beliau berkata, ”Saya tidak tertarik dengan ilmu modern,
hati saya selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.” .
Hasilnya, beliau pun mendalami ilmu-ilmu spiritual baik dimensi esoteris maupun eksoteris; syariat maupun hakikat.
Hasilnya, beliau pun mendalami ilmu-ilmu spiritual baik dimensi esoteris maupun eksoteris; syariat maupun hakikat.
Sebagaimana para sufi umumnya, suatu yang
menonjol pada diri Syaikh Nazhim adalah penghormatan kepada Nabi saw,
ahlul baitnya, dan para sahabatnya yang terpilih yang menjadi silsilah
keagamaan. Karenanya, salah satu bagian penting nasehat dari Syaikh
Nazhim adalah menjaga agama adalah dengan menjaga kemuliaan Rasulullah
saw, ahlul bait dan sahabatnya tersebut. Baginya dengan mejaga
kehormatan mereka itulah Allah akan menjaga kita. Sebab cinta kepada
Nabi merupakan bagian penting ajaran ilahi.
Beliau berkata, “Tujuan kita adalah untuk melindungi serta menggambarkan pribadi Nabi saw dengan sifat-sifatnya yang agung. Kita menyampaikan shalawat dan salam kepadanya dan ahlibaitnya serta sahabat-sahabatnya, yang dengan itulah Allah swt mendukung kita.” Baginya segala sifat tercela yang dinisbatkan atau dituduhkan kepada Nabi saaw harus kita bersihkan.
Beliau berkata, “Tujuan kita adalah untuk melindungi serta menggambarkan pribadi Nabi saw dengan sifat-sifatnya yang agung. Kita menyampaikan shalawat dan salam kepadanya dan ahlibaitnya serta sahabat-sahabatnya, yang dengan itulah Allah swt mendukung kita.” Baginya segala sifat tercela yang dinisbatkan atau dituduhkan kepada Nabi saaw harus kita bersihkan.
Selain cinta Nabi, ahlilbait, dan
sahabatnya, Syaikh Nazhim juga selalu memperjuangkan persatuan umat
Islam. Tentu dengan cara khasnya para ahli tasawuf, yang menunjukkan
bahwa pada hakikatnya semua perbedaan adalah satu kesatuan. Pada dimensi
tertinggi, semuanya memiliki titik temu yang sejati. Syaikh Nazhim
menggambarkan bahwa perbedaan yang ada merupakan rahmat Allah swt,
karena jika kita mampu mencapai hakikat kegamaan, keragaman itu menjadi
sirna, yang hadir hanyalah kesatuan. Begitulah, para sufi bergerak dari
maqam “kejamakan” menuju maqam “kesatuan” (wahdah). Jadi,
keragaman adalah jalan menuju kesatuan, bukan perpecahan. Seperti
umumnya para sufi, bagi mereka pluralitas (keragaman) bersumber dari
unitas (kesatuan), dan unitas menggambarkan pluralitas. Karena itu cinta
kepada sesama, saling memahami dan menghormati antar yang berbeda-beda
adalah bagian penting untuk menegakkan agama Tuhan. Karena tujuan Tuhan,
Nabi saw dan agama Islam adalah menyatukan umat bukan membuat
perpecahan. Dalam nasehatnya Syaikh Nizam al-Haqqani mengatakan :
“Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara kekasih Allah, bahwa keragaman jalan ini adalah suatu keadaan yang diperuntukkan bagi mereka yang belum terhubungkan yang belum mencapai akhir perjalanan. Sementara bagi orang-orang yang telah menunaikan perjalanan spiritual, akan memandang semuanya berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan. Karena itu, kita, para Murid dari berbagai jalan itu mestilah pula saling memahami, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan Allah swt dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhbah (persahabatan) dan jamaah (persatuan), jauh dari perpecahan dan keangkuhan. Sebagaimana Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah swt dan tetaplah bersama dengan orang-orang yang benar.” Dan Nabi Suci kita saw bersabda, “Aku memerintahkan pada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku dan mereka yang mengikutinya (tabiin), kemudian mereka yang mengikutinya (tabiit tabiin), setelah itu, kebohongan akan merajalela. Tapi kalian mestilah tetap berada pada persatuan (jama’ah) dan berhati-hatilah dari perpecahan.”
Kini kita kehilangan ulama mulia ini, pada 7 Mei 2014, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menghadap kekasih sejatinya, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga kita mampu melanjutkan cita-cita beliau, menjaga persatuan, menebarkan cinta, dan menghindari perpecahan yang akan melemahkan umat Islam, dan salah satu jalanya adalah dengan mengenyam saripati tasawuf.
Post a Comment
mohon gunakan email