Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.
Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil
turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan
yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.
Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat
dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis
standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar
Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.
عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه
Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin
Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di
tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada
hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun
berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka
bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap
kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].
Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas.
Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas.
Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali
mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat
tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah
hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya.
Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis
tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.
عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له
Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang
dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang
mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah
didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari
mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi
kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan
bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih
berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat
menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya
dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.
Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam
hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya
“sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata
“Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti
itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang
shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib
Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]
Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.
Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.
عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره
Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali
berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang
mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan
RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika
ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan
kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar.
قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله
Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian
dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat
kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku,
kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah
diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya
kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian
aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang
diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan
jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah
kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada
kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya.
Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban
untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat
semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414
tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam
Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].
Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan
kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan
atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali.
Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis
cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan
menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan
kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam
lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah
meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke
rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan
berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.
Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar
syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para
sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di
Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang
menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini
Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di
Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin
bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.
عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي
Dari Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke
Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya
dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka
yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka
masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami
bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum
muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan
menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para
tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat
kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada
Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku
melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai
Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri
yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk
mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah
SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia
bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian
sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah
pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].
Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata
أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق
Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah
Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad
yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim
kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia
seorang syiah yang (shaduq) jujur.
Justru hadis Buraidah di atas menjadi
penguat bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat
Nabi) sepeninggal Nabi SAW dan sungguh tidak berguna syubhat dari para
pengingkar.
Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir
Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa
al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya
tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam
Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw
mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim
haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan
hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang
sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk
bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan
bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali
As?!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara
umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan
dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan
sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan
Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi
hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau
demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan
perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara
mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika
itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan
berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik
atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat
kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka
mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka
menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir,
sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan,
mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw
sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan
membaiatnya.
Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak
membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah,
karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai
kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan
penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan
pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat
yang melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya
pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang
dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya
protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir
atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar
peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui
nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1]dan memandangnya sebagai sesuatu yang
pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.
Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam
pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi
Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir
terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2]
Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis
tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatirdan kami menukil peristiwa
tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab
hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini.
Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan
jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini
dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]
Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada
peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan
sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya
jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.
Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak
di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena
peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah
daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah.
Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan
Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan
ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke
tempat mereka masing-masing.
Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa
Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10
Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak
dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang
diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan
gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang
memeluk agama Ilahi ini.
Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat
haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim
haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah
bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena
peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum
lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu,
peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada
duanya dalam sejarah kaum Muslimin.
Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka
melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda
Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah
memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi
ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada
wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya
protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang
tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia
memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar
Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.
Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan
kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya
melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk
melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama
Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan
berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun
beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan
bersandar pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10]
dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak
memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak
mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang
di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak
menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar
dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan
sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada
mereka.[12]
Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat
dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum
pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh
hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin
As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.
Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum
berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari
kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman
sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau
sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa
memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa
berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam
kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau
Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya
disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar
tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir
dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan
rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14]
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang
sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam
penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu
. Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu
dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu
yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang
memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih
hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk
menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena
sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi
seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang
selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua
ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang
Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul
SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru
kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa
sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan
asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah
Rasulullah SAW bisa berupa:
- Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
- Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.
Kedua Premis di atas masih mungkin
terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana
yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan
adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya
Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab
Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta
KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu
di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal
dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam
Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain
dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah
hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.
________________________________________
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260. [14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
Post a Comment
mohon gunakan email