Pesan Rahbar

Home » » Islam yg besar & sempurna ini tidak memiliki pemimpin dan metoda kepemimpinan & pemilihannya? Berikut Penjelasannya

Islam yg besar & sempurna ini tidak memiliki pemimpin dan metoda kepemimpinan & pemilihannya? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Wednesday, 11 February 2015 | 20:56:00


Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.

Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.

Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.

Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه


Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. 

Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له


Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]

Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar.

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali. Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.

Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata

أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق

Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia seorang syiah yang (shaduq) jujur.
Justru hadis Buraidah di atas menjadi penguat bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat Nabi)  sepeninggal Nabi SAW dan sungguh tidak berguna syubhat dari para pengingkar.
Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.

Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.

Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.

Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.

Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.

Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.

Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1]dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.

Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatirdan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]

Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]

Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.

Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.

Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.

Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]

Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum Muslimin.

Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.

Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.

Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11]

Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12]

Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.

Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14]

Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu :mrgreen: . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi ;)

Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam. 

Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
  • Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
  • Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis :mrgreen:


Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan :mrgreen:


Referensi untuk telaah lebih jauh:

1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.

________________________________________
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260. [14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.


Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: