Pesan Rahbar

Home » » Tanggapan posting “Awas Syi’ah Mengancam Kita!”

Tanggapan posting “Awas Syi’ah Mengancam Kita!”

Written By Unknown on Wednesday, 18 February 2015 | 00:49:00


Syi’ah menurut mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas. Tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana ia berkembang, tidak melihat bagaimana masa lalunya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari.

Di era yang informasi begitu cepat didapat seperti sekarang ini, tidak susah kalau anda ingin tahu apa Syiah sebenarnya. Syukur anda menyatakan banyak orang yang tidak tahu Syiah, semoga dengan pernyataan itu mereka terdorong untuk mengenal Syiah yang dikenalkan Syiah sendiri, bukan yang anda fitnah.

Ia tidak memandang bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah bukan pada masalah furu’ (parsial) saja, akan tetapi banyak juga menyinggung masalah ushul (fundamental).

Syiah sama halnya Ahlu Sunah, mengucap dua Syahadat. Syiah dan Ahlu Sunah menyakini satu Tuhan, satu nabi terakhir, satu kitab suci. Dalam praktik ibadahnya Syiah sama seperti Ahlu Sunah: melakukan shalat wajib, berpuasa, zakat, haji. Lihat dokumenter “Benarkah Syiah Bukan Islam? ” (Sumber: http://hauzahmaya.com/)
_____________________________________


Benarkah Syiah Bukan Islam?


Anda cukup mengucap syahadat untuk menjadi Muslim. Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya, adalah langkah awal untuk masuk Islam. Begitu mengucap syahadat, harta benda, kehormatan, darah dan nyawa anda dilindungi oleh agama Islam.

Namun disayangkan, kini sebagian umat Islam di Indonesia menjadi korban kekerasan atas nama agama Islam sendiri.

Mereka adalah komunitas Muslim Syiah yang diisukan sesat, dengan tuduhan "Syiah bukan Islam".

Iran, sebuah negara Islam dengan Syiah sebagai madzhab resminya, terdapat 59 juta Muslim bermadzhab Syiah hidup di negeri itu. Tak satupun dari lima rukun Islam yang mereka tinggalkan sehingga Syiah bisa disebut bukan Islam. Mereka mengucap syahadat, melakukan shalat, berpuasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji.

Indonesia, negeri kita yang kaya ragam suku, ras dan agama, kini dihebohkan dengan isu keberadaan komunitas Syiah yang dianggap sesat.

Dikarenakan sedikit perbedaan faham dan praktek ibadah yang ada pada Syiah, meskipun mereka mengamalkan lima rukun Islam, mereka tetap dianggap sesat dan keluar dari ajaran Islam.

Berbagai tindakan anarki dilakukan atas nama Islam terhadap komunitas Syiah di Indonesia. Mulai dari unjuk rasa hingga pembunuhan.

Dalam tindak kriminal yang dilakukan atas nama agama itu, mereka menyalahgunakan kepolosan masyarakat awam dan juga para santri dengan loyalitas "harga mati" mereka terhadap kiyai sebagai senjata menyerang Syiah. Mereka dikerahkan dengan orasi-orasi provokatif untuk melakukan penyerangan fisik terhadap komunitas Syiah.

Segala cara pun mereka lakukan untuk membubarkan komunitas ini. Padahal Syiah adalah madzhab yang diakui oleh dunia secara resmi dan termasuk bagian dari umat Islam.


Faktanya Syiah meyakini satu Tuhan, satu nabi dan satu kitab suci sebagaimana umat Islam lainnya.

Tak hanya bersaksi terhadap keesaan Tuhan dan kenabian terakhir Muhammad, tak satupun dari rukun-rukun Islam yang ditinggalkan para penganut madzhab Syiah.

Berbagai upaya telah dilakukan pihak komunitas Syiah di Indonesia untuk berdialog dan menjelaskan siapa Syiah sebenarnya dan seperti apa pemikirannya. Namun upaya itu selalu digagalkan dengan cara memprovokasi masyarakat awam agar menutup mata dan telinga dari pendekatan yang dilakukan oleh komunitas Syiah.

Tak hanya di Indonesia, komunitas Syiah di berbagai belahan dunia menjadi target kejahatan musuh yang mengatas namakan diri mereka sebagai Muslim. Dengan cara tersebut mereka menghancurkan Islam melalui tubuh umat Islam sendiri.
___________________________________________


Dengan bahasa yang sok logis, sebagian kaum muslimin mengatakan: “Lho, mengapa harus terjadi perselisihan? Ayolah kita duduk bersama dan melupakan perselisihan di antara kita… yang Sunni meletakkan tangannya di atas yang Syi’i dan berjalan sama-sama. Toh kita semua juga beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari kiamat?”

Jika bagi anda untuk hidup damai antar umat se-agama tidak logis, maka anda pasti menyebut ayat Quran yang berbunyi bahwa “Sesungguhnya umat Islam adalah bersaudara” tidak logis.

Sebagai contoh, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir namun menghalalkan khamr (miras) atau zina misalnya, hukumnya kafir. Menghalalkan maksudnya memandang bahwa hal tersebut boleh-boleh saja, dan mengingkari pengharamannya dalam Al Qur’an atau Sunnah Nabi.

Contoh yang tidak ada wujud nyatanya. Tak ada orang di satu masa mengimani Allah dan hari akhir namun menghalalkan miras atau zina. Tak ada orang seperti itu baik dari kalangan Syiah maupun Ahlu Sunah.

Dari sini, sebagian mereka yang ‘intelek’ memandang agar kita jangan membuka front permusuhan baru. Hal ini bisa saja dibenarkan jika front tersebut mulanya tertutup lalu kita berusaha membukanya. Namun jika sejak semula telah terbuka lebar dan serangan mereka datang siang dan malam, maka mendiamkan hal tersebut berarti suatu kehinaan…

Menurut anda front yang sejak semula terbuka lebar siang malam berarti tidak perlu kita tutup? Kita harus tetap buka lebar-lebar? Logika mana yang membenarkan “pemeliharaan permusuhan”? Logika pengadu domba?

Kita tidak perlu lagi mengulang pertanyaan yang sering dilontarkan kebanyakan orang: “Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”

Ya tidak perlu anda ulang. Karena sekali saja pertanyaan itu didengar, tergambar betapa bodoh penanya; yang tak mengetahui siapa Yahudi siapa Syiah.

Tak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533) Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya. Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…

Beri data statistik yang jelas kalau Syiah menyatakan 99% sahabat adalah bejat. HR. Bukhari sendiri meriwayatkan bahwa banyak sahabat nabi yang murtas sepeninggal beliau. Itu riwayat HR. Bukhari, bukan riwayat Syiah. Silahkan lihat riwayat tersebut di sini: Shahih Bukhari: Sahabat nabi murtad?.
___________________________________________


Shahih Bukhari: Sahabat nabi murtad?

Banyak yang menudung orang-0rang Syiah suka mencela sahabat. Padahal dalam Shahih Bukhari sendiri diriwayatkan bahwa (terjemahan bebas): Rasulullah saw bersabda: “Di hari kiamat nanti aku melihat sekelompok sahabatku yang dicegah memasuki telaga surga. Lalu aku bertanya: “Bukankah mereka sahabatku?” Aku dijawab oleh malaikat: “Kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu. Mereka telah murtad dan kembali ke belakang.”



____________________________________________


Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu ‘anha hingga para sahabat secara umum, sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan oleh referensi dan narasumber mereka yang telah mereka yakini; adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran Islam.

Banyak alasan tentang mengapa Syiah memiliki pandangan tersendiri tentang sebagian sahabat nabi, seperti tiga khalifah anda. Sekelumit saja dari alasan-alasan tersebut, yang semuanya ada di referensi-referensi terpercaya anda sendiri. Khalifah Abu Bakar telah membuat kesal Fathimah putri nabi karena tidak memberikan tanah Fadak, sampai Fathimah mati pun dia tidak ridha terhadap Abu Bakar. Khalifah Umar menendang pintu rumah Fathimah sampai ia terluka, dan gugur janin yang dikandungnya. Lihat semua fakta itu di refernsi anda: Shahih Bukhari dan Tarikh Thabari. Silahkan lihat saja film dokumenter “Luka Fathimah Luka Nabiku” di sini.
__________________________________________


Luka Fathimah Luka Nabiku


Film dokumenter tentang barang siapa menyakiti Fathimah Azzahra as maka berarti menyakiti Rasulullah saw.

Dalam film ini dijelaskan tentang kedudukan Fathimah Azzahra dalam Islam. Begitu juga tentang fakta bahwa beliau meninggal dunia dalam keadaan tak ridha pada sebagian sahabat nabi, yang oleh karenanya ia tak rela makamnya diketahui oleh siapapun hingga saat ini.

Klik di sini Video Luka Fathimah Luka Nabiku:







Klik Video Berdasarkan Sunan At Turmudzi, Apa dan Siapa Ahlul Bait:







______________________________________


Tentang istri-istri nabi, bukankah HR. Bukhari sendiri yang meriwayatkan bahwa sebagian istri-istri nabi mengesalkan sang nabi hingga Allah menurunkan surah Tahrim?


Al-Qur’an: Dua istri nabi yang diminta bertaubat

Dalam surah At-Tahrim dijelaskan, bahwa pada suatu hari Rasulullah saw membicarakan suatu hal rahasia kepada seorang istri nabi. Yang seharusnya ia merahasiakan apa yang dikatakan nabi, justru ia buka rahasia tersebut dan mengatakannya kepada istri nabi yang lainnya. (At-Tahrim ayat 2) Kemudian Allah dalam ayat ke-3 surah At-Tahrim meminta mereka berdua untuk bertaubat.

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala [ia] menceritakan peristiwa itu [membongkar rahasia itu kepada istri nabi yang lainnya] dan Allah memberitahukan hal itu [semua pembicaraan antara keduanya] kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian [yang diberitakan Allah kepadanya] dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka tatkala [Muhammad] memberitahukan pembicaraan [antara keduanya] lalu seorang istri itu bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.” (QS. At-Tahrim : 3).

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong [untuk menerima kebaikan]; dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan [begitu pula] Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (QS. At-Tahrim : 4).

Siapakah kedua istri nabi itu yang dimaksud dalam firman Allah di atas? Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa suatu hari dia bertanya kepada Umar bin Khattab tentang kedua istri nabi itu: “Wahai Amirul Mukminin, siapakah kedua wanita tersebut yang…” belum selesai ia meyampaikan kata-katanya, Umar bin Khattab menjawab: “Aisyah dan Hafshah.”.




_________________________________________

Saya ulangi lagi, referensi anda sendiri, HR. Bukhari, yang meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang murtad sepeninggal nabi.


Shahih Muslim: Ada sahabat nabi yang munafik

Dalam kitab Shahih Muslim sendiri nabi Muhammad saw pernah berkata bahwa di antara sahabat-sahabatnya ada 12 orang munafik, yang delapan orang di antara mereka tidak akan masuk surga hingga onta bisa masuk ke dalam lubah jarum…

Dengan demikian tidak semua sahabat nabi adalah sahabat yang sejati bukan?



_____________________________________________


Posting asli beralamatkan di: muslim.or.id

_________________________________________


Awas Syi’ah Mengancam Kita!

* 4 June 2009, 11:36 am
* Agama Syi'ah  (https://muslim.or.id/tag/agama-syiah)

Mayoritas kaum muslimin menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Kesulitan ini terpulang kepada banyak hal. Di antaranya karena kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah menurut mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas. Tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana ia berkembang, tidak melihat bagaimana masa lalunya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari sini, sangat banyak di antara kaum muslimin yang meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.


Ia tidak memandang bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah bukan pada masalah furu’ (parsial) saja, akan tetapi banyak juga menyinggung masalah ushul (fundamental).

Hal lain yang menyulitkan untuk menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah; bahwa mayoritas kaum muslimin tidak bersikap realistis dan praktis. Mereka sekedar berangan-angan dan berharap tanpa mengkaji…

Dengan bahasa yang sok logis, sebagian kaum muslimin mengatakan: “Lho, mengapa harus terjadi perselisihan? Ayolah kita duduk bersama dan melupakan perselisihan di antara kita… yang Sunni meletakkan tangannya di atas yang Syi’i dan berjalan sama-sama. Toh kita semua juga beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari kiamat?”


Orang ini lalai bahwa masalah yang sesungguhnya jauh lebih rumit dari ini…

Sebagai contoh, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir namun menghalalkan khamr (miras) atau zina misalnya, hukumnya kafir. Menghalalkan maksudnya memandang bahwa hal tersebut boleh-boleh saja, dan mengingkari pengharamannya dalam Al Qur’an atau Sunnah Nabi.

Nah berangkat dari asumsi ini, kita akan melihat hal-hal yang sangat berbahaya dalam sejarah kaum Syi’ah, yang mengharuskan para ulama (https://muslim.or.id/24516-mengenal-ulama-lebih-dekat-1.html) Islam untuk merenung kembali dan menentukan sudut pandang Islam terhadap bid’ah-bid’ah kaum Syi’ah yang demikian besar.

Hal lain yang turut merumitkan masalah ini adalah; banyaknya luka Islam di mayoritas negeri kaum muslimin, di samping banyaknya yang memusuhi mereka dari kalangan Yahudi, Nasrani, kaum salibis, komunis, Hindu dan sebagainya.

Dari sini, sebagian mereka yang ‘intelek’ memandang agar kita jangan membuka front permusuhan baru. Hal ini bisa saja dibenarkan jika front tersebut mulanya tertutup lalu kita berusaha membukanya. Namun jika sejak semula telah terbuka lebar dan serangan mereka datang siang dan malam, maka mendiamkan hal tersebut berarti suatu kehinaan…

Kita tidak perlu lagi mengulang pertanyaan yang sering dilontarkan kebanyakan orang: “Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”

Sebab hakikat dari pertanyaan ini adalah untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan umat, sekaligus membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum muslimin.

Saya akan menyanggah mereka dan mengatakan kepada mereka: “Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”

Kita menyaksikan gencarnya serangan Syi’ah terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan mengulangi dirinya, dan generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang mereka.

Tak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda Rasulullah Saw:

“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533).

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya.


Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…

Mari kita tengok kembali beberapa masalah yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat membantu kita untuk menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil terhadap Syi’ah; lalu kita tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!


PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat (https://muslim.or.id/4680-meneladani-sahabat-nabi-jalan-kebenaran.html) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu ‘anha hingga para sahabat secara umum, sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan oleh referensi dan narasumber mereka yang telah mereka yakini; adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran Islam.


Dari sini apakah kita harus mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?

Fitnah apakah yang lebih besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?

Marilah kita merenungi sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

“إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.

“Bila umat Islam di akhir zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir bin Abdillah).


Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan ini?

Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan; lantas agama model apa yang akan kita anut?

Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.

Justeru kita bertanya kepada Syi’ah (https://muslim.or.id/654-awas-syiah-mengancam-kita.html): “Al Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang menyampaikannya adalah mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang berjasa mengumpulkannya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan kalian?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.

“Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no 17184).

Jadi, Sunnah Khulafa’ur Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Hukum dan sikap yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi setiap muslim, kapan, di mana pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin hujatan terhadap mereka kita biarkan?!

Sebab itulah, ulama-ulama kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada orang yang berani menghujat sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau pernah mengatakan:

إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام

“Kalau engkau mendapati seseorang berani menyebut para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia sebagai musuh Islam.” (Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh Ibnu Taimiyyah).

Al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang fuqaha mazhab Hambali) mengatakan: “Para fuqaha sepakat bahwa orang yang mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia menghalalkan hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya maka dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061).

Abu Zur’ah Ar Razi (salah seorang pakar hadits yang wafat th 264 H) mengatakan:

“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق”

“Kalau engkau mendapati seseorang mengkritik sahabat Nabi saw, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq (munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi).

Sedangkan Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah).

Sikap yang keras terhadap para penghujat sahabat ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat, berarti Islam jadi meragukan. Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada mereka dalam Al Qur’an, maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang cukup banyak tadi.

Mungkin ada yang berkata: “Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu menghujat para sahabat?”

_____________________________

Kepada mereka, kami ingin agar memperhatikan poin-poin berikut:
- Pertama: Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka. Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan ia meyakini kefasikan para sahabat. Sebab jika mereka menganggap para sahabat adalah orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah. Jadi, telah menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah (https://muslim.or.id/654-awas-syiah-mengancam-kita.html) baik pejabat, ulama, maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para sahabat, dan tidak menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.

- Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah senantiasa mengelak untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat, meski terkadang nampak juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka, sebagaimana firman Allah:

لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ

“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30).

Banyak di antara kita yang menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.

Dan ketika Khamenei (pemimpin Revolusi Iran sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para sahabat, dia tidak mengatakan bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia menjawab secara dusta dengan berkata: “Semua perkataan yang mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslimin pasti diharamkan dalam syari’at.” Intinya, haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya ialah karena hal itu menimbulkan perselisihan di antara kaum muslimin, bukan karena haram menurut syari’at, sebagaimana yang dilansir oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.

- Ketiga: Kita harus waspasa terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan persepuluh dari agama mereka. Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang bertentangan dengan keyakinan mereka selama mereka belum berkuasa. Namun setelah berkuasa mereka akan menampakkan jati dirinya terang-terangan.
__________________________

Dalam sejarah Syi’ah, kita menyaksikan bahwa tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah yang Sunni di Irak, Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka langsung terang-terangan menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai pokok agama mereka.

Jadi, jelaslah bagi kita dari sini akan pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang mulia. Kalau tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat syaithan yang bisu, dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam…

KEDUA:
Bahaya Doktrinasi Syi’ah di Dunia Islam…. tidak diragukan lagi bahwa doktrinasi Syi’ah (tasyayyu’) demikian gencar dilakukan di berbagai negara Islam. Ia tidak hanya marak di tempat asalnya seperti Iran, Irak dan Lebanon, namun kini berlangsung sangat kuat di Bahrain, Emirat Arab, Suriah, Yordania, Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara muslim lainnya… (Termasuk Indonesia yang dalam lima tahun terakhir meningkat secara drastis, lewat tokoh-tokoh mereka macam Jalaluddin Rakhmat, Quraish Shihab dan sebagainya. Bahkan menurut pengamatan sebagian pihak, jumlah murid Kang Jalal mencapai lebih dari 10 juta! –pent).

Parahnya lagi, banyak orang yang menganut pemikiran-pemikiran Syi’ah tanpa mengira bahwa mereka adalah Syi’ah. Bahkan setelah menulis beberapa artikel ini, kami –yaitu Dr. Raghib Sirjani- mendapat banyak e-mail yang penulisnya mengaku Sunni, namun isinya penuh dengan pemikiran dan gaya Syi’ah.

Kita juga tidak menutup mata akan perang global yang ditujukan kepada para sahabat lewat media massa (Yakni media massa di Mesir tempat penulis tinggal -pent) dan saluran-saluran televisi di negeri-negeri Sunni. Yang paling masyhur ialah hujatan salah satu koran Mesir terhadap Siti Aisyah radhiallahu ‘anha beberapa hari terakhir. Demikian pula perang yang dilancarkan terhadap Shahih Bukhari, termasuk acara televisi yang dibawakan oleh wartawan terkenal dan selalu mengkritik para sahabat dalam setiap episode.

Masalah semakin rumit dan tidak bisa didiamkan, mengingat adanya perkawinan silang antara manhaj (metode) Syi’ah dengan Tasawuf, dengan klaim bahwa keduanya mencintai Ahlul bait.

Dan kita semua tahu bahwa faham tasawuf demikian merebak di banyak negara di dunia. Dan faham ini telah terjangkiti virus bid’ah, khurafat dan kemunkaran yang demikian banyak, dan bertemu dengan Syi’ah dalam hal mengultuskan Ahlul bait. Dari sini, penyebaran Syi’ah sangat mudah ditebak seiring dengan menyebarnya tarekat-tarekat Sufi.

KETIGA:
Kondisi di Irak demikian mencekam. Pembunuhan muslimin Ahlussunnah tersebab identitas mereka adalah fenomena biasa yang sering terjadi. Sekjen ulama Ahlussunnah di Irak yang bernama Harits Adh Dhaary menyebutkan bahwa ada lebih dari 100 ribu muslim Sunni yang tewas di tangan Syi’ah sejak th 2003 hingga 2006. Ditambah proses deportasi yang terus menerus di beberapa lokasi demi mempermudah kekuasaan Syi’ah di sana. Dan mayoritas mereka yang dideportasi (diusir) keluar dari Irak adalah Ahlussunnah; dan ini menyebabkan perubahan susunan masyarakat yang sangat berbahaya akibatnya nanti.

Pertanyaannya sekarang: “Apakah fitnah yang timbul ketika membahas masalah Syi’ah lebih berbahaya dari fitnah terbunuhnya sekian banyak warga Ahlussunnah tadi? Lantas sampai kapan masalah ini harus didiamkan? Padahal semua orang tahu betapa solidnya dukungan Iran dalam pembersihan mereka yang beridentitas Sunni?”

KEEMPAT:
Ambisi Iran terhadap Irak demikian besar, bahkan hal nampak nyata. Mengingat kedua negara sebelumnya pernah terlibat perang sengit selama 8 tahun penuh, dan sekarang jalannya terbuka lebar bagi Iran. Apalagi Irak memiliki nilai religius penting bagi kaum Syi’ah, mengingat adanya wilayah-wilayah suci di sana, termasuk enam makam Imam Syi’ah. Di Najaf terdapat makam Ali bin Abi Thalib, lalu di Karbala’ terdapat kuburan Husein, dan di Baghdad terdapat makam Musa Al Kadhim dan Muhammad Al Jawwad, tepatnya di wilayah Al Kadhimiyyah. Sedangkan di Samarra terdapat makam Muhammad Al Hadi dan Hasan Al ‘Askari; dan masih banyak kuburan-kuburan palsu lain yang diklaim sebagai kuburan para Nabi seperti Adam, Nuh, Hud dan Shalih di Najaf; namun semuanya palsu.

Selain Ambisi Iran terhadap Irak yang sangat berbahaya, Amerika juga mendukung terwujudnya ambisi tersebut. Kita semua menyaksikan bagaimana pemerintahan Syi’ah bentukan Amerika di Irak. Sandiwara saling tuduh antara Amerika dan Iran sudah tidak mempan lagi sekarang, sebab tidak pernah terlintas dalam benak Amerika untuk menyerang Iran sama sekali, akan tetapi yang sangat mencemaskan bukanlah ambisi untuk menguasai minyak atau kekayaan Irak saja, bukan pula sekedar memperluas kekuasaan Syi’ah; namun parahnya mereka menjadikan kebrutalan dan sadisme tersebut sebagai bagian dari agama mereka. Sebab Syi’ah menuduh para sahabat dan pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah sebagai musuh-musuh Ahlulbait dan menjulukinya dengan naashibah atau nawaashib. Padahal kita lebih menghargai Ahlulbait daripada mereka.

Mereka lalu mengeluarkan vonis-vonis mengerikan atas tuduhan tersebut. Misalnya Khumaini yang mengatakan: “Pendapat yang lebih kuat ialah memasukkan nawashib sebagai ahlul harbi (lawan perang), yang hartanya halal di mana pun didapati, dan dengan cara apa pun.” (Tahrirul Wasilah 1/352 oleh Al Khumaini).

Lalu tatkala imam mereka yang bernama Muhammad Shadiq Ar Ruhani ditanya tentang hukum orang yang mengingkari keimaman dua belas imam, dia mengatakan sesuatu yang sangat aneh: “Sesungguhnya imamah (jabatan imam) lebih tinggi dari nubuwah (kenabian) dan kesempurnaan agama ini ialah dengan menjadikan Amirul mukminin alaihissalam sebagai imam; Allah ta’ala berfirman: alyauma akmaltu lakum dienakum (pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu). Maka siapa yang tidak mempercayai keimaman dua belas imam niscaya ia akan mati dalam kekafiran” (Lihat fatwa ini dalam link berikut: http://www.imamrohani.com/)

Khumaini dalam bukunya Al Hukumatul Islamiyyah mengatakan bahwa para imam akan mencapai kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh malaikat (https://muslim.or.id/6813-iman-kepada-malaikat.html) terdekat maupun rasul sekalipun. Karenanya, tidak mengakui keimaman menurut mereka lebih berat dari pada tidak mengakui kenabian, dan inilah tafsiran atas pengkafiran Syi’ah atas Ahlussunnah, yang diikuti dengan penghalalan darah mereka di Irak dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu, Irak harus dimasukkan dalam kekuasaan mereka karena banyaknya tempat-tempat ‘suci’ mereka yang masih dikuasai oleh orang-orang yang mereka anggap kafir.

KELIMA:
Ancaman langsung tak berhenti di Irak saja, namun ambisi mereka terus meningkat untuk menguasai daerah sekitarnya. Mereka menganggap Bahrain sebagai bagian dari Iran, sebagaimana pernyataan kepala pemeriksa umum Ali Akbar Nathiq Nuri di kantor pemimpin revolusi saat peringatan 30 tahun revolusi Iran. Ia mengatakan: “Bahrain pada dasarnya adalah propinsi Iran yang keempat belas, yang diwakili oleh seorang legislatif di majelis permusyawaratan Iran.” (Lihat situs al jazirah berikut: http://www.aljazeera.net/news/arabic/2009/2/19/%D8%AA%D8%B6%D8%A7%D9%85%D9%86-%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A-%D9%85%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%AD%D8%B1%D9%8A%D9%86-%D8%A8%D8%B9%D8%AF-%D8%A7%D8%AF%D8%B9%D8%A7%D8%A1%D8%A7%D8%AA-%D8%A5%D9%8A%D8%B1%D8%A7%D9%86%D9%8A%D8%A9-%D8%A8%D8%AA%D8%A8%D8%B9%D9%8A%D8%AA%D9%87%D8%A7-%D9%84%D9%87%D8%A7)
*****


Kita juga tahu bahwa Iran menduduki tiga pulau milik Emirat Arab di teluk Arab, dan jumlah mereka makin bertambah di Emirat hingga nisbahnya mencapai 15% dari total jumlah penduduk, dan menguasai pusat-pusat perdagangan terutama di Dubai.

Demikian pula kondisinya di Arab Saudi yang tidak statis; sebab sejak revolusi Iran tahun 1979, berbagai gangguan stabilitas terjadi berulang kali di Arab Saudi. Bahkan itu terjadi langsung setelah revolusi Iran, dengan munculnya demonstrasi Syi’ah di Qathif dan Saihat (dua wilayah Saudi), yang paling gencar di antaranya adalah tanggal 19 November 1979.

Masalah pun kadang semakin parah hingga berubah menjadi tindak anarkhis dan kejahatan di Baitullah Makkah. Sebagaimana yang terjadi pada musim haji tahun 1987 dan 1989. Bahkan pasca jatuhnya pemerintahan Saddam Husein, sekitar 450 tokoh Syi’ah di Saudi mengajukan proposal kepada putera mahkota ketika itu, yaitu Pangeran Abdullah dan meminta agar diberi jabatan-jabatan tinggi di dewan parlemen, jalur diplomasi, badan militer dan keamanan, serta menambah jumlah mereka di majelis syuro.

Bahkan Ali Syamkhani, yang merupakan penasehat tertinggi masalah militer bagi pimpinan umum revolusi Iran mengatakan, bahwa bila Amerika menyerang proyek nuklir Iran, maka Iran tidak sekedar membalas dengan menyerang fasilitas milik Amerika di teluk, namun akan menggunakan rudal-rudal balistiknya untuk menyerang target-target strategisnya di teluk Arab. Pernyataan ini dilansir oleh majalah Times Inggris pada hari Ahad 10 November 2007.


Inikah semuanya?

Tidak… namun masih banyak sekali hal-hal yang belum kami sebutkan.

Dalam tulisan ini kami baru menyebutkan lima poin yang menjelaskan bahaya Syi’ah dan gentingnya masalah ini. Dan masih ada lima poin lagi yang tak kalah penting yang akan saya sampaikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan setelah itu kami akan paparkan metode paling tepat untuk mengatasi kondisi yang sangat berbahaya ini.

Masalah Syi’ah bukanlah catatan kaki dalam sejarah umat Islam, hingga pantas untuk ditinggalkan atau ditunda… namun ia merupakan masalah yang menduduki prioritas utama bagi umat Islam.

Kita semua mengetahui bagaimana Palestina dibebaskan dari tangan kaum Salibis lewat tangan Shalahuddien; dan itu tidak terjadi kecuali setelah beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan Syi’ah Ubeidiyyah. Dan ketika itu Shalahuddien tidak mengatakan bahwa perang salib harus lebih diprioritaskan daripada menyingkirkan kekuasaan Syi’ah dari Mesir. Hal itu karena beliau yakin bahwa kaum muslimin tidak akan mendapat pertolongan kecuali bila akidah mereka bersih dan tentara mereka ikhlas.

Shalahuddien juga tidak memaksa rakyat Mesir untuk berperang bersamanya demi target utamanya (yaitu pembebasan Palestina), kecuali setelah membebaskan mereka dari belenggu-belenggu Syi’ah Ubeidiyyah.

Apa yang kami sebutkan tentang Mesir di masa Shalahuddien sama dengan yang kami sebutkan tentang Irak sekarang, demikian pula dengan setiap negara yang terancam oleh Syi’ah… dan kita harus mengambil pelajaran dari sejarah!

Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…


Sumber: http://alburhan.com/main/
Artikel www.muslim.or.id

_____________________________________


Penyimpangan Syiah dan Bahaya Syiah Cuma Halusinasi Ulama Dungu yang tidak paham kerangka keilmuan mazhab Syi’ah. Kata wahabi : “Tatkala kami membawakan fatwa ulama syiah, dan fatwa tersebut ada dalam kitabnya sendiri, para penganut syiah mengelak dan beralasan yang bla bla bla.”.


Deklarasi anti-Syiah dari perwakilan ulama seluruh Indonesia dan MUI di Bandung

Juru bicara komunitas Syiah Al-Muntazar, Abdi M. Soeherman mengatakan, Deklarasi Anti Syiah tidak layak digelar karena melanggar hukum, Undang-Undang Dasar 1945, serta nilai dan semangat Pancasila. Pernyataan anti-agama atau mazhab tertentu secara luas di hadapan publik merupakan pelanggaran hukum dalam pidana kebencian.

Wahai wahabi Belajarlah dari Iblis,ribuan tahun ibadahnya hangus hanya karena ia menolak bersujud pada Adam as.


Dulu ketika saya masih belum syiah, saya juga sama seperti anda.

Tapi ketika saya berkenalan dengan seorang syiah, sy menemukan kelembutan seperti kelembutan sentuhan suapan Rasulullah kepada yahudi yang menyumpahinya...

Adakah niatmu menulis ini utk mencari kebenaran ?

tidak kah merasa aneh ribuan tahun sudah permusuhan sunni syiah ini namun Iran tetap dianggap negara islam ?????

Apakah bisa disebut sebagai sahabat Rasulullah orang-orang yang merampas wasiat Nabi, merampok warisannya, dan membunuh cucu-cucu yang paling beliau sayangi?


1. Jika mereka berhujjah dengan riwayat dhaif [di sisi mazhab Syi’ah] yang mengandung kemungkaran kemudian mengatasnamakan kemungkaran tersebut atas nama Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan riwayat dhaif [di sisi mazhab Ahlus Sunnah] yang mengandung kemungkaran kemudian mengatasnamakan kemungkaran tersebut atas nama Ahlus Sunnah.
2. Jika mereka berhujjah dengan riwayat shahih [di sisi mazhab Syi’ah] yang mengandung sesuatu yang gharib untuk mencela mazhab Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan riwayat shahih [di sisi mazhab Ahlus Sunnah] yang mengadung sesuatu yang gharib untuk mencela mazhab Ahlus Sunnah.
3. Jika mereka berhujjah dengan qaul atau pendapat ulama yang menyimpang atau gharib dalam mazhab Syi’ah untuk merendahkan Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan qaul ulama ahlus sunnah yang menyimpang atau gharib untuk merendahkan mazhab Ahlus Sunnah.

Mereka para pendusta tersebut tidak akan pernah sadar bahwa dalam hal kerangka keilmuan mazhab Syi’ah sudah seperti mazhab Ahlus Sunnah. Syi’ah memiliki kitab-kitab rujukan sama seperti Ahlus Sunnah baik dalam hal ilmu hadis, ilmu rijal, ilmu fiqih, ilmu tafsir dan sebagainya. Syi’ah memiliki banyak ulama beserta kitab-kitab mereka sama seperti Ahlus Sunnah memiliki banyak ulama beserta kitab-kitab mereka. Baik ulama-ulama Syi’ah dan Ahlus Sunnah bukanlah orang-orang yang terbebas dari kesalahan.

Bisa saja diantara ulama Syi’ah dan Ahlus Sunnah terdapat ulama dengan pendapat yang menyimpang, ketidaktahuan akan dalil [dalam masalah tertentu], dan fanatisme terhadap mazhab. Apakah hal ini menjadi dasar untuk merendahkan mazhab Syi’ah dan mazhab Ahlus Sunnah?.

Jawabannya jelas tidak, kalau para pendusta tersebut tidak paham akan hal ini maka menunjukkan bahwa mereka jahil dan bodoh tetapi jika mereka paham akan hal ini dan tetap melakukannya maka mereka kualitasnya tidak lebih dari pendusta dan penipu yang menghalalkan kedustaan demi membela mazhabnya dan merendahkan mazhab lain.


Syi’ah kafirkan sahabat yang mulia ?? Bahaya Syiah Kafirkan Sahabat ??


Murtad tulen atau kafir tulen jika pindah agama.

_____________________________________


Mayoritas Umat Mengkhianati Ali Sepeninggal Nabi SAW Diabadikan Tafsir Al Quran MAYORiTAS SAHABAT KHiANATi Ali PASCA NABi SAW WAFAT

Qs. Al An’am ayat 65-67;
Qs. 6:65. Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan berulang ulang tanda tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami (nya).
Qs. 6:66. Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal (azab) itu benar adanya. Katakanlah (Muhammad), “Aku ini bukanlah penanggung jawab kamu”.
Qs. 6:67. Setiap berita (yang dibawa oleh Rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui

Dikutip dari “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM” yang disahkan DEPAG, halaman 136 :

Asbabun Nuzul Qs.6 : 65-67 : Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat, “Setelah kepergianku, janganlah kalian kembali menjadi kafir dengan saling membunuh diantara kalian”. Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Nya. “Sebagian yang lain berkata, “ini tidak akan pernah terjadi untuk selamanya, yaitu saling membunuh diantara kita, sementara kita semua adalah muslim.” Maka turunlah ketiga ayat ini (HR. Ibnu Abi Hatim).


Wahai para pembaca…

Qs. Asy Syu’ara; ayat 205-207
Qs.26 : 205 : Maka bagaimana pendapatmu jika kepada mereka kami berikan kenikmatan hidup beberapa tahun,
Qs.26 : 206 : Kemudian datang kepada mereka azab yang diancamkan kepada mereka,
Qs.26 : 207 : Niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang mereka rasakan

Dikutip dari “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM” yang disahkan DEPAG, halaman 376 :

Asbabun Nuzul Qs.26 : 205-207 : Menurut Abu Jahdham, ketiga ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah yang suatu ketika terlihat bingung dan gelisah. Para sahabat menanyakan hal itu. “Aku bermimpi, setelah aku wafat kelak, aku melihat musuhku yang ternyata adalah berasal dari umatku sendiri,” jawab Rasulullah (HR.ibnu Abi Hatim).


Hadis dari sahabat Jarir bin ‘Abdillah Al Bajali dari Nabi SAW : “janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian menebas leher yang lain” (HR. Bukhari no. 7080 dan HR. Muslim no.65)

Hadis Nabi SAW : “Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran” (Hr.Bukhari Muslim).


Kedudukan Hadis Umat Mengkhianati Ali Sepeninggal Nabi SAW

Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Imam Ali bahwa sepeninggal Beliau SAW, umat akan mengkhianati Imam Ali. Hal ini telah dinyatakan dalam hadis-hadis shahih. Salah satunya dalam hadis berikut:

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi dalam At Talkhis].

Hadis ini adalah hadis yang shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asmaa’ 2/442 no 441:

حدثنا يحيى بن غيلان ، عن أبي عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، وحدثنا فهد بن عوف ، قال ، ثنا أبو عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، عن أبي إدريس إبراهيم بن أبي حديد الأودي أن علي بن أبي طالب ، قال : عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي من بعده

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan dari Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dan telah menceritakan kepada kami Fahd bin Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Ibrahim bin Abi Hadid Al Awdi bahwa Ali bin Abi Thalib berkata “telah dijanjikan oleh Nabi SAW bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”.

Hadis ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya yaitu sanad Yahya bin Ghailan dari Abu Awanah dari Ismail bin Salim dari Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali. Ibrahim adalah seorang tabiin yang melihat atau bertemu dengan Ali.
1. Yahya bin Ghailan dia adalah perawi Muslim Nasa’i dan Tirmidzi. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 429 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sahl, Al Khatib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’ad. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/312 menyatakan ia tsiqat.
2. Abu ‘Awanah dia adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 204 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Abdil Bar. Dalam At Taqrib 2/283 ia dinyatakan tsiqat . Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga mengatakan ia tsiqah.
3. Ismail bin Salim adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 1 no 554 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Daruquthni, Yaqub Al Fasawi, Abu Ali Al Hafiz dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/94 ia dinyatakan tsiqat.
4. Ibrahim bin Abi Hadid dia adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 4 no 1613. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 908 menyebutkan keterangan tentangnya bahwa telah meriwayatkan darinya Ismail bin Salim tanpa menyebutkan jarh terhadapnya. Sehingga Ibrahim bin Abi Hadid adalah tabiin yang tsiqah dan Al Bukhari juga menyebutkan kalau ia bertemu atau melihat Ali bin Abi Thalib RA.

Jadi hadis riwayat Ad Dulabi dalam Al Kuna adalah hadis yang shahih. Sebelum mengakhiri tulisan ini kami akan membantah syubhat kalau Ibrahim bin Abi Hadid itu majhul dan hadisnya dari Ali mursal.


Syubhat Abu Hatim

Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/96 menyebutkan kalau riwayat Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali mursal dan ia seorang yang majhul. Pernyataan ini tertolak dengan dasar ulama-ulama lain mengenalnya seperti Ibnu Hibban, Al Bukhari dan Ibnu Ma’in. Dalam Tarikh Ibnu Ma’in no 1861 riwayat ad Dawri berkata:

سمعت يحيى يقول أبو إدريس إبراهيم بن أبى حديد قلت ليحيى هو الذي يروى عنه إسماعيل بن سالم قال نعم

Aku mendengar Yahya mengatakan Abu Idris Ibrahim bin Abi Hadid. Aku bertanya kepada Yahya “diakah yang telah meriwayatkan darinya Ismail bin Salim”. Ia menjawab “ benar”.

Kemudian juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Ma’in no 2547 dari Ad Dawri:

سمعت يحيى يقول أبو إدريس إبراهيم بن أبي حديد صاحب إسماعيل بن سالم

Aku mendengar Yahya mengatakan Abu Idris Ibrahim bin Abi Hadid sahabat Ismail bin Salim.

Pernyataan Abu Hatim bahwa riwayat Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali mursal adalah pernyataan keliru dan itu didasari oleh ketidaktahuannya akan siapa Ibrahim bin Abi Hadid. Al Bukhari berkata dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 908:

قال لي بن زرارة أخبرنا هشيم قال حدثنا إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس نظرت إلى علي

Telah berkata kepadaku Ibnu Zurarah yang mengabarkan kepada kami Husyaim yang menceritakan kepada kami Ismail bin Salim bahwa Abu Idris melihat Ali.

Atsar ini shahih. Ibnu Zurarah adalah Syaikh(guru) Bukhari dan telah dinyatakan dalam At Taqrib 1/735 bahwa ia tsiqat dan Husyaim bin Basyir disebutkan dalam At Taqrib 2/269 kalau ia tsiqat tsabit. Sedangkan Ismail bin Salim telah disebutkan ketsiqahannya. Riwayat Bukhari ini sebaik-baik bukti yang membantah pernyataan Abu Hatim.

Selain diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abi Hadid, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Tsa’labah bin Yazid Al Himmani. Hadis Tsa’labah diriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 42/447, Musnad Al Bazzar 3/91, Dalail Nubuwwah Baihaqi 7/312 no 2759 dan Al Kamil Ibnu Ady 6/216. Berikut sanad hadis Tsa’labah bin Yazid yang terdapat dalam kitab Al Mathalib Al Aliyah Ibnu Hajar 11/205 no 4018:

حدثنا الفضل هو أبو نعيم ثنا فطر بن خليفة أخبرني حبيب بن أبي ثابت قال سمعت ثعلبة بن يزيد قال سمعت عليا يقول والله إنه لعهد النبي الأمي صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepada kami Fadhl (dia Abu Nu’aim) yang berkata telah menceritakan kepada kami Fithr bin Khalifah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Habib bin Abi Tsabit yang berkata aku mendengar Tsa’labah bin Yazid berkata aku mendengar Ali mengatakan Demi Allah, sesungguhnya Nabi yang ummi telah menjanjikan kepadaku.

Sanad ini adalah sanad yang shahih dan tidak diragukan keshahihannya, kecuali oleh mereka yang tidak senang dengan matan hadis tersebut.
1. Fadhl bin Dukain atau Abu Nu’aim adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan yang dikenal tsiqah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 8 no 505 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Syahin Abu Hatim dan yang lainnya. Dalam At Taqrib 2/11 Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.
2. Fithr bin Khalifah adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 8 no 550 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Sa’id, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, 3. Al Ajli, Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 2/16 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq (jujur).
Habib bin Abi Tsabit adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 2 no 323 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, dan Ibnu Ady. Dalam At Taqrib 1/183 ia dinyatakan tsiqat.
4. Tsa’labah bin Yazid adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 2 no 42 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bukhari berkata bahwa hadis-hadisnya perlu diteliti lagi dan tidak diikuti. Pernyataan Bukhari tidaklah benar, hadis Tsa’labah bin Yazid ini ternyata diikuti oleh yang lainnya yaitu oleh Ibrahim bin Abi Hadid dan Hayyan Al Asdi, mereka semua meriwayatkan dari Ali RA. Ibnu Ady mengakui kalau Tsa’labah tidak memiliki hadis-hadis mungkar. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/149 menyatakan ia seorang syiah yang shaduq.

Sekali lagi kami katakan hadis ini shahih dan tidak ada gunanya syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang. Diantara mereka, ada yang berhujjah dengan pernyataan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2103 biografi Tsa’labah bin Yazid dimana Bukhari berkata “perlu diteliti lagi” kemudian Al Bukhari membawakan hadis Tsa’labah ini dan berkata “tidak diikuti”. Kami sudah katakan bahwa Al Bukhari tidaklah benar, hadis ini diikuti oleh yang lain yaitu Ibrahim bin Abi Hadid dan Hayyan Al Asdi.

Ibnu Hibban ternyata memuat biografi Tsa’labah bin Yazid dalam Al Majruhin no 170 dan mengatakan bahwa ia berlebihan dalam tasyayyu’ tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri meriwayatkan dari Ali. Kami katakan pencacatan karena tasyayyu’ tidaklah diterima dan Ibnu Hibban sendiri memasukkan Tsa’labah bin Yazid sebagai perawi tsiqah dalam Ats Tsiqat juz 4 no 1995 ditambah lagi Tsa’labah tidak menyendiri meriwayatkan hadis ini.

Semua syubhat tersebut sangat lemah dan telah dijelaskan kekeliruannya tetapi mereka salafiyun tetap tidak rela kalau hadis ini dikatakan shahih. Padahal jika diteliti dengan standar ilmu hadis yang benar maka tidak diragukan lagi bahwa hadis ini bersanad shahih. Wallahu’alam

Setelah kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah sau-daranya itu.Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[1]

Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.


Muktamar Tsaqîfah

Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.

Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekha-lifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.

Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.

Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[2]

Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah, dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.

Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang hubungan antara kedua suku ini tegang.

‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.


Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar

Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”.

Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”[3]

Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as., buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”

Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”

Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.

Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”

“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.

“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.

Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”

Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”

Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.

Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”

Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fatimah berada di sisinya.”

Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”[4]

Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….”(QS. Âli ‘Imrân [3]:144).

Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.


Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka

Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabisaw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.

Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.

Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:

Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[5]

Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.

Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.


Referensi:
1.Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
2.Hayâh Al-Imam Husain as., Jil. 1/ 235.
3.Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar terhadap Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silakan merujuk Târîkh Ath-Thabarî, Jil. 3/202, Târikh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/156, Târîkh Al-Ya‘qûbî, Jil. 2/105, Murûj Adz-Dzahab, Jil. 1/414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, Jil. 1/12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, Jil. 1/ 34, Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaidah, hal. 131, A‘lâm An-Nisâ’, Jil. 3/205, danAl-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, Jil. 1/213.
4.Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
5.Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.

_________________________________


Syi’ah mengkafirkan sahabat ???

selain Ahlulbait Nabi Saw tiada seorang pun sahabat yang maksum dan terjaga dari dosa karena itu terdapat banyak nukilan yang mengisahkan kesalahan-kesalahan kebanyakan sahabat yang sebagian darinya sedemikian masyhur sehingga sampai pada derajat tawatur (baca: hadis-hadis mutawatir).

MURTAD / KAFiR versi syi’ah bermakna berbuat bid’ah sehingga menentang sunnah Nabi SAW, berbalik arah pasca wafat Nabi SAW.. Jadi syi’ah tidak pernah menuduh murtad/kafir nya oknum sahabat sebagai murtad tulen atau kafir tulen ! Perbuatan mereka merubah ajaran Nabi , menolak ajaran Islam yang dibawa Itrah Ahlul Bayt nya.

Kemurtadan (dalam arti diatas) para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah lebih banyak dan riwayat-riwayat yang banyak dan mutawatir, sementara pada literatur-literatur Syiah riwayat-riwayat sahih yang menjelaskan kemurtadan para sahabat tidak lebih dari dua riwayat dan meminjam istilah ilmu hadis, tidak melewati batasan kabar wahid. Karena itu, saudara-saudara Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa maksudnya?

Adapun ulama Syiah meyakini bahwa kemurtadan yang disebutkan pada sebagian riwayat disandarkan pada sebagian sahabat dan tidak bermakna kafir dan kembali menyembah berhala, melainkan bermakna melanggar janji wilayah dan membangkang Nabi Saw dalam masalah khilafah. Oleh itu, mereka yang turut serta dalam pelbagai penaklukan Islam seluruhnya adalah muslim dan berupaya dalam menyebarkan Islam. Kendati boleh jadi mereka melakukan dosa dan kesalahan dalam kehidupan mereka.

Orang-orang Syiah tidak memaknai kemurtadan (irtidâd) itu sebagai kekafiran dalam artian paganisme atau kembalinya mereka ke masa jahiliyah. Demikian juga, mereka tidak memaknai kemunafikan sebagai penyembahan berhala dan kemusyrikan kepada Allah Swt.

Meski para sahabat memiliki banyak perbedaan namun terdapat banyak common point di antara mereka. Dan kami (Syiah) tidak meyakini bahwa mereka telah kafir dan menjadi penyembah berhala. Hanya saja pada beberapa kejadian, mereka mengabaikan dan membangkang instruksi-instruksi Rasulullah Saw.

Contoh perlakuan terhadap Ahlulbait Nabi Saw:
1. Tragedi memilukan pasca wafatnya Rasulullah Saw untuk memberikan baiat kepada Baginda Ali As dan sahabat lainnya, yang berkumpul di kediaman beliau.
2. Perlakuan tidak senonoh yang dilakukan terhadap Fatimah Zahra Sa dalam mengabaikan haknya terkait dengan tanah Fadak.
3. Peristiwa pengambilan baiat dari sahabat yang menentang khilafah Abu Bakar yang berujung pada pembakaran kediaman Ali bin Abi Thalib As.

Boleh jadi perlakuan tidak senonoh yang dilakukan terhadap Ahlulbait Nabi As pasca wafatnya Rasulullah Saw seperti peristiwa-peristiwa pengambilan baiat dari Ali bin Abi Thalib As. Dainawari salah seorang ulama Ahlusunnah mengutip, “Tatkala Abu Bakar mengetahui bahwa sebagian kaum Muslimin menolak untuk memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib, ia mengutus Umar bin Khattab kepada mereka. Umar bin Khattab menyeru mereka untuk berbaiat dan karena mereka menolak seruan ini, Umar bin Khattab meminta supaya kayu bakar dikumpulkan. Katanya, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! (Hanya ada dua pilihan) Apakah kalian keluar dari rumah atau aku membakar rumah ini beserta seluruh apa yang ada di dalamnya. Seseorang berkata, “Di dalam rumah ada Fatimah!” Umar menjawab perkataan ini dengan berseru lantang, “Bahkan sekiranya Fatimah berada di dalam rumah ini.” [Ibnu Qutaibah Dainawari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, jil. 1, hal. 30, Dar al-Adhwa, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H].

Peristiwa lainnya yang terjadi atas tanah Fadak yang menghadap-hadapkan Fatimah Sa dengan para khalifah. Pada peristiwa ini, terjadi perlakuan-perlakuan yang tidak senonoh terhadap putri Nabi Saw; seorang yang murkanya sama dengan murka Rasulullah Saw dan Allah Swt sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir dari Aisyah bahwa Fatimah murka hingga akhir hayatnya. [Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 5, hal. 285, Dar al-Fikr Beirut, 1407 H. Sesuai nukilan Ibnu Katsir, Bukhari juga menyebutkan riwayat ini dalalm kitab al-Maghâzi dengan sanad sahih].

Perlakuan-perlakuan yang terjadi pada hari-hari pertama pasca wafatnya Rasulullah Saw dalam rangka mengambil baiat dari para penentang. Karena para sahabat lainnya selain Ahlulbait As telah dilecehkan dan direndahkan dalam peristiwa ini. [Ibnu Qutaibah Dainawari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, jil. 1, hal. 30 ]

Baladzuri meriwayatkan, “Tatkala Usman memberikan sejumlah besar uang kepada sebagian orang seperti Marwan bin Hakam, Abu Dzar mulai melancarkan protes dengan melontarkan singgungan dan berkata bergembiralah dengan azab jahanam bagi orang yang menyimpan harta benda. Ucapan ini sampai ke telinga Usman dan ia melarangnya. Usman berkata di hadapan Abu Dzar, adapun bahwa Allah Swt ridha dan Usman murka adalah lebih baik daripada Usman ridha dan Allah Swt murka. Karena kediaman Abu Dzar dipindahkan ke Syam (Suriah) Muawiyah juga tidak lolos dari lontaran kritikannya; hingga Muawiyah menulis surat kepada Usman yang isinya menyatakan bahwa Abu Dzar telah merusak Syam dan harus segara diatasi. Usman menjawab, “Kirimlah ia kepadaku dengan paksa!” Tatkala Abu Dzar tiba di Madinah, ia tetap mengkritisi Usman. Usman berkata kepadanya, pilihlah satu negeri yang engkau sukai dan pergilah ke sana! Abu Dzar menimpali, “Mekkah.” Usman menolak pilihan itu. Abu Dzar kembali berkata, “Baitul Muqaddas” Kembali Usman menentang pilihan Abu Dzar. Abu Dzar berkata, “Kufah atau Basrah.” Lagi-lagi Usman menolak dan menukas, “Engkau akan aku kirim ke Rabadzah.” [Al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 541]

Diasingkannya Abu Dzar oleh Usman dan meninggalnya Abu Dzar di tempat itu yang hanya ditemani oleh istri dan putranya merupakan hal-hal yang pasti dalam sejarah.[Silahkan lihat, al-Sam’ani, Al-Ansâb, jil. 10, hal. 65, Majlis Dairat al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, Haidar Abad, Cetakan Pertama, 1382. Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 541-545. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 2, hal. 165, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H].

Baladzuri dalam kitabnya Ansâb al-Asyrâf menukil bahwa suatu masa Usman mengangkat Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah. Abdullah bin Mas’ud angkat bicara dan mengecam tindakan Usman ini. “Barang siapa yang membuat perubahan ini semoga Allah Swt mengubahnya dalam (urusan pemerintahan dan khilafah) dan tidak rela kepadanya…” Pungkas Abdullah bin Mas’ud. Walid menyampaikan kecaman Ibnu Mas’ud kepada Usman dan Usman memerintahkan Walid untuk mengirim Ibnu Mas’ud ke Madinah. Abdullah bin Mas’ud dengan dikawal oleh masyarakat Kufah menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada mereka dan bertolak menuju Madinah. Tatkala Abdullah bin Mas’ud memasuki kota Madinah, Usman sedang menyampaikan pidato di atas mimbar Rasulullah Saw dan saat itu ia melihat Abdullah bin Mas’ud. Pada saat itu juga Usman berkata, “Ayyuhannas! Telah datang kepada kalian seseorang laksana serangga penganggu yang menghinggapi makanan setiap orang. Orang yang menyantap makanan entah ia menghabisinya atau akan terjangkiti penyakit diare.” Ibnu Mas’ud menimpali bahwa aku tidaklah demikian adanya. Aku adalah orang yang bersama Rasulullah Saw pada perang Badar dan pada hari baiat ridwan. Pada saat itu, Aisyah berseru, “Wahai Usman! Apakah engkau berkata-kata hal ini pada sahabat Rasulullah Saw?” Usman kemudian menitahkan supaya ia dikeluarkan dari masjid dengan paksa dan Abdullah bin Za’mah membantingnya. Juga disebutkan bahwa Yahmum, budak Usman, mengeluarkannya secara paksa dari masjid dan Abdullah bin Mas’ud dalam kondisi yang mengenaskan terjatuh dan giginya copot. Baginda Ali bin Abi Thalib As juga di tempat itu menyampaikan protes kepada Usman dan berkata, “Apakah karena ucapan Walid engkau memperlakukan sahabat Rasulullah Saw seperti ini?” Baginda Ali merawat Abdullah bin Mas’ud dan membawanya ke rumahnya. Hingga akhir hayatnya, Usman tidak memberikan izin bagi Abdullah bin Mas’ud untuk meninggalkan Madinah bahkan ia tidak boleh pergi berperang melawan Syam. [Al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 524, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1417 H].

Ibnu Abi al-Hadid juga menukil peristiwa ini dari Waqidi dalam Syarh Nahj al-Balaghah-nya. [Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 12, hal. 42, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi, Qum, 1404 H].

Harap diperhatikan bahwa perlakuan ini menyisakan pengaruh buruk dalam benak setiap kaum Muslimin terhadap Usman sedemikian sehingga sebagian sejarawan memandang hal tersebut sebagai cikal-bakal pemberontakan rakyat melawan Usman.

*****
- Khalifah Pertama dan Kedua sesuai dengan keyakinan Ahlusunnah demikian juga Syiah senantiasa bersama dan seiring sejalan serta membantu satu sama lain. Pada banyak hal mereka juga berselisih dan berbeda pendapat sedemikian sehingga suara dua sahabat Rasulullah Saw ini sedemikian keras sehingga turun ayat al-Qur’an yang menegur orang-orang beriman supaya tidak bersuara keras di hadapan Rasulullah Saw dan dipandang sebagai penyebab terhapusnya perbuatan-perbuatan baik. [“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Qs. Al-Hujurat [49]: 2)]

Kitab riwayat paling sahih Ahlusunnah yaitu Bukhari dalam hal ini menjelaskan bahwa hampir saja kedua orang baik ini yaitu Abu Bakar dan Umar binasa dengan turunnya ayat-ayat ini! Keduanya, suatu waktu sekelompok orang datang kepada Rasulullah Saw, mereka berbeda pendapat secara tajam tentang kelompok tersebut. Abu Bakar berkata kepada Umar: “Keputusanmu semata-mata untuk menentangku!” Umar juga menjawab, “Tidak benar demikian.” Dan perselisihan mereka berlanjut dan suara mereka terdengar kencang dan keras di hadapan Rasulullah Saw. Sebagai akibatnya, Allah Swt menurunkan ayat-ayat pertama surah al-Hujurat. [Shahih Bukhâri, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Bukhari, jil. 6, hal. 46-47 dan jil. 8, hal. 145, Dar al-Fikr, Beirut, 1401 H].

- Contoh Kedua: Ketika Rasulullah Saw meminta pena dan tinta pada detik-detik terakhir kehidupannya supaya beliau menuliskan wasiatnya, Khalifah Kedua menghalangi terpenuhinya permintaan Rasulullah Saw ini [Shahih Bukhâri, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Bukhari, jil. 5, hal. 137 – 138]. Sebagai akibatnya, sebagian sahabat menghendaki supaya permintaan Rasulullah Saw dipenuhi dan sebagian lainnya berdiri menentangnya. Mereka berdalih bahwa Rasulullah Saw bersabda tidak pantas bertikai di samping Rasulullah Saw.
- Contoh Ketiga: Ibnu Mas’ud salah seorang sahabat besar dan penghafal al-Qur’an banyak bertikai dengan Khalifah Ketiga dan setelah wafatnya, ia dikuburkan pada malam hari oleh Zubair dan sebagai akibatnya Zubair dihukum oleh Usman atas perbuatannya ini [‘Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahâbah, Ibnu Atsir, jil. 3, hal. 260, Intisyarat-e Ismailiyan, Teheran].

- Contoh Keempat: Sahabat berada pada dua kubu yang berperang pada perang Jamal dan Shiffin. Banyak jumlah dari mereka yang gugur pada dua perang ini.

- Contoh Kelima: Meski Rasulullah Saw bersabda bahwa tiada yang lebih jujur daripada Abu Dzar di bawah kolong langit, setelah bertikai dengan Muawiyah, ia diasingkan oleh Khalifah Ketiga ke Rabadzah dan meninggal di tempat itu dalam keadaan terasing [Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahâbah, Ibnu Atsir,jil. 1, hal. 301]. Ketiganya adalah sahabat utama dan pertama Rasulullah Saw.

- Contoh Keenam: Ammar adalah salah seorang yang bertikai dengan Khalifah Ketiga [Thabaqât al-Kubrâ, Muhammad bin Sa’ad, jil. 3, hal. 260, Dar Shadir, Beirut] dan keduanya adalah sahabat ternama!
*****

Dengan merujuk pada kitab-kitab Ahlusunnah, Anda dapat menjumpai hal-hal seperti ini dan pada kesempatan yang singkat ini kami tidak berada pada tataran menjelaskan seluruh masalah yang menjadi obyek ikhtilaf dan sengketa di antara para sahabat karena hal itu memerlukan buku bervolume besar yang membahas masalah ini secara khusus.

Adapun pertanyaan kami bahwa sejatinya apabila para sahabat sehati lantas mengapa peristiwa Saqifah harus terjadi dan mengapa Sa’ad bin Ubadah yang merupakan salah satu pembesar kaum Anshar dan di antara sahabat yang tidak berbaiat hingga akhir usianya, terbunuh dalam keadaan misterius? Dan mengapa Imam Ali As baru berbaiat setelah enam belas pasca wafatnya Fatimah Sa?[Shahih Bukhâri, jil. 5, hal. 82 – 83].

Kami tidak menerima bahwa sahabat Rasulullah Saw telah kafir dan murtad. Namun apabila kekufuran dan kemurtadan bermakna kufur nikmat dan membangkang terhadap sebagian instruksi Rasulullah Saw maka dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang di antara sahabat yang telah melakukan hal ini.

Dan hal ini juga tidak terkhusus pada masa pasca Rasulullah Saw, melainkan pada masa hidup beliau dan pada masa nabi-nabi lainnya juga terjadi pelbagai pembelotan sedemikian sehingga Allah Swt menghukum kaum Muslimin dan berfirman kepada mereka, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit?” (Qs. Al-Taubah [9]:38).

Atau setelah pembangkangan Bani Israel, Nabi Musa bertutur kata kepada Allah Swt, “Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.” (Qs. Al-Maidah [5]:25).

Tidak satu pun dari dua ayat ini yang menyatakan para sahabat Rasulullah Saw dan Nabi Musa As telah kafir yang bermakna menyembah berhala namun karena membangkang perintah (baca: kafir terhadap) para rasul mereka mendapatkan hukuman!

Tatkala di antara jumlah besar Bani Israel, kecuali Harun tiada orang lain lagi yang menaati titah Nabi Musa As, lantas bagaimana Anda memandang ketidaktaatan sahabat Rasulullah Saw kepada beliau dalam beberapa hal tertentu sebagai suatu hal yang mustahil padahal Ahlusunnah sendiri menukil dari Rasulullah Saw bahwa seluruh kejadian yang menimpa Bani Israel juga secara beruntun akan menimpa umat ini [Shahih Tirmidzi, jil. 4, hal. 135, Dar al-Fikr, Beirut, 1403 H].

Di antara mereka tidak sehati dan saling mencemburui satu sama lain misalnya saudara-saudara Yusuf yang bersatu dan melemparkannya ke dalam sumur! Apakah ini suatu hal mustahil bahwa sahabat sebagaimana saudara Yusuf, untuk kepentingan tertentu, telah menyimpangkan rel khilâfah dari relnya yang asli?

Nabi Isa mencium gelagat kekufuran dari seluruh sahabatnya kecuali pada segelintir kecil orang (kurang lebih 12 orang) dan mengecualikan kaum Hawariyun,[Qs. Ali Imran [3]:52].

Syiah tidak meyakini kemunafikan dan kekufuran sahabat sebagaimana yang Anda gambarkan, melainkan meyakini bahwa kebanyakan dari mereka menutup mata terhadap wasiat-wasiat Rasulullah saw dan menyimpangkan Islam hingga batasan tertentu dari relnya yang benar, kecuali beberapa gelintir orang dari mereka yang tetap teguh di jalan kebenaran. Dengan memperhatikan sejarah dan kehidupan para nabi sebelumnya dan juga nabi kita Muhammad saw, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mungkin saja manusia berada pada kelompok minoritas namun tidak terbunuh oleh kelompok penentang mereka. Ideologi dan keyakinan mereka, setelah berlalunya waktu, mengglobal dan mendunia bahkan sebagian besar dari penentang mereka pada periode selanjutnya malah bergabung dengan mereka.

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim kita membaca bahwa pada masa jahiliyah terdapat permusuhan dan pertempuran sengit antara suku Aus dan Khazraj. Suatu hari setelah kedatangan Islam dan pada masa hidup Rasulullah Saw, mereka dengan menukil kenangan-kenangan yang telah lalu menjadi marah dan berang. Kedua suku ini saling menghunus pedang. Setelah kejadian ini, Allah Swt mewahyukan ayat 101 surah Ali Imran (3) yang menyatakan bahwa bagaimana Anda telah kafir sementara ayat-ayat Allah Swt dibacakan pada kalian dan Rasul-Nya berada di tengah-tengah kalian.” [Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, Ibnu Abi Hatim, jil. 3, hal. 720, Maktabah Nizar Mustafa al-Baz, Arab Saudi, 1419 H].

Tentu saja, orang-orang Aus dan Khazraj tidak menjadi penyembah berhala, namun dengan demikian Allah Swt menggunakan redaksi kufur (kekufuran) lantaran perbuatan yang tidak patut mereka lakukan! Hal yang serupa dengan hal ini juga dapat disaksikan pada ayat-ayat lain al-Qur’an. [“Ketika Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il), berkatalah ia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” “Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikutimu.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Qs. Ali Imran [3]:52 & 167);

“Hai rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengarkan (berita-berita) bohong, dan amat suka (juga) mendengarkan dan menaati ucapan-ucapan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka suka mengubah ucapan-ucapan dari arti yang sebenarnya.” (Qs. Al-Maidah [5]:41)].

Kemurtadan juga digunakan untuk ragam makna. Dengan memandang ayat 21 surah al-Maidah (5) [“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”] dan ayat-ayat setelahnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa Bani Israel pada masa hidup Nabi Musa as telah murtad, namun bukan kemurtadan yang bermakna kembali pada kekufuran dan kemusyrikan. Ketahuilah secara global bahwa apa yang disandarkan pada Syiah bahwa mereka meyakini kemurtadan dan kekufuran sahabat, tentu saja tidak bermakna kembalinya mereka kepada syirik dan penyembahan berhala, melainkan sebuah kekufuran sebagaimana yang disandarkan Allah Swt pada dua kelompok kaum Muslimin dari suku Aus dan Khazraj.

Namun amat disayangkan pada umat kita, kaum Muslimin, juga berlaku hal demikian. Para sahabat mulia mengabaikan wasiat Rasulullah saw dan merumahkan seorang saudara beliau, yang sesuai dengan pengakuan seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, saudara Rasulullah saw itu adalah laksana Harun bagi Musa [Shahih Bukhâri, Muhammad bin Ismail Bukhari, jil. 4, hal. 208 dan jil. 5, Dar al-Fikr, 1401 H].

Secara praktik, kondisi yang ditimbulkan bagi umat Islam sama dengan kondisi yang ditimbulkan Bani Israil. Sebagai akibatnya Amirul Mukminin dengan latar belakang yang cemerlang dikesampingkan dan menyebabkan peluang kaum Muslimin untuk memanfaatkan Harun umat ini menjadi sirna. Kesalahan ini telah menjadi celah dan penghalang bagi umat Islam untuk sampai kepada kedudukannya yang ideal.

Apalagi mayoritas kaum Muslimin, meski secara politik telah terbawa arus penguasa dan berpaling dari Ali as, namun mereka mengetahui kedudukan beliau di sisi Rasulullah saw dan pengorbanan beliau yang tanpa tanding demi kemajuan Islam.

Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.

Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh, sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,Mesir dan Yaman.

Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.” [Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20].

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.

Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.

Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82]. dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50].

Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73].

Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw.

Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini.

Dan terakhir,mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang.

Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.

Syiah berpandangan bahwa kita tidak dapat memandang seluruh sahabat itu sebagai orang-orang yang adil karena, pertama, dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an kita jumpai bahwa para sahabat memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda dan kita tidak dapat menghukumi bahwa mereka itu semua adalah orang-orang yang adil.

Al-Qur’an secara tegas menyebutkan bahwa di antara para sahabat terdapat orang-orang pendusta (kaddzâbin), orang-orang munafik, para pendosa (ushat), berbantahan dengan Rasulullah Saw dalam urusan perang, berat hati untuk berperang (mutsaqilain), dan orang-orang yang mengingkari Rasulullah Saw.

Di samping itu, dokumen-dokumen sejarah melaporkan bahwa di antara para sahabat terdapat orang-orang yang melakukan zina sebagaimana Walid, Mughirah dan yang lainnya seperti kelompok Qâsitin (perang Jamal), Nâkitsin (perang Shiffin), dan Mâriqin (perang Nahrawan). Dari apa yang diuraikan menjadi jelas bahwa apa yang dinegasikan Syiah adalah terkait dengan keadilan seluruh sahabat bukan masalah kemunafikan dalam artian terminologis.


Sebelum menjawab inti persoalan kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin penting.

Masalah penyandaran kemurtadan para sahabat kepada Syiah merupakan satu tudingan yang tidak berdasar terhadap Syiah. Apakah mungkin satu mazhab besar seperti Syiah, mencintai Rasulullah Saw akan tetapi menuding para sahabatnya telah murtad?

Jumlah sahabat Rasulullah Saw melebih ratusan ribu. Para ahli tarajim mencatat dan merekam lima belas ribu dalam kitab-kitab rijal.[1] Ada dari mereka yang tetap sebagai Syiah dan pengikut Ali bin Abi Thalib As. Nama-nama mereka kebanyakan disebutkan pada kitab “Huwiyat Syiah” (Identitas Syiah).[2] Karena itu, apakah layak seorang Muslim yang beriman kepada Allah Swt dan hari Kiamat menuding murtad orang-orang besar ini?

Terlepas dari jumlah bilangan sahabat ini, kehidupan mereka tidak diketahui dalam sejarah dan informasi tentang mereka tidak kita pantau semua. Karena itu, apakah nurani manusia membolehkan orang-orang yang tidak diketahui kita melemparkan tudingan bahwa mereka semua adil ??


Dengan demikian, kita berkata bahwa masalah ini tidak sebagaimana yang disampaikan orang-orang.

Logika Syiah adalah logika imam dan pemimpin mereka Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As yang disebutkan dalam Khutbah 98 Nahj al-Balâgha: “Saya telah melihat para sahabat Nabi, tetapi saya tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) dan melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan sujudkan dahi mereka, dan kadang-kadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan. Dari hukuman yang mereka takuti atau ganjaran yang mereka harapkan.”

Iya, apa yang diyakini Syiah adalah bahwa sebagian dari sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw memperlakukan Ahlulbait As dengan buruk. Atas dasar ini (perlakuan buruk ini) Syiah membenci mereka dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar. Rasulullah Saw sendiri menyatakan antipati terhadap apa yang dilakukan Khalid bin Walid. Beliau bersabda, “Tuhanku! Aku berlepas dari apa yang dilakukan Khalid.”

Masalah ini juga berlaku pada riwayat-riwayat yang dikenal sebagai riwayat-riwayat “haudh” dan disebutkan pada kitab-kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.[3]


Setelah menyampaikan pendahuluan ini kami meminta Anda memperhatikan beberapa poin di bawah ini:

- Pertama, kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sangat banyak dan dikemukakan secara mutawatir dimana kami hanya mencukupkan diri dengan menyebut referensinya saja:
1. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 dan 59
2. ‘Umdat al-Qâri, 23/135.
3. Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, 23/63.
4. Al-Tamhid, Ibn ‘Abdilbarr, 2910/2.
5. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis-hadis 6212; 2114.
6. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
7. Mishbâh al-Sunnah, 5370/3.
8. Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, 4/422.
9. Al-Nihâyat fii Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, 5/274.
10. Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, 11/475.
11. Umdat al-Qâri, ‘Aini, 23/142.
12. Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, 9/342.

Di sini kami hanya akan menyebutkan satu riwayat sebagai contoh di antara beberapa riwayat yang terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah dan kami persilahkan kepada ahli makrifat untuk merujuk pada literatur-literatur yang mazhab sunni :

Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!” Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[4] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [5]

- Kedua, makna kemurtadan (irtidâd) yang mengemuka dalam hadis-hadis ini:
Mengingat banyaknya dan mutawatirnya hadis-hadis irtidâd (kemurtadan) para sahabat dalam literatur-literatur Ahlusunnah maka saudara-saudara kita Ahlusunnah harus memberi jawaban apa yang dimaksud dengan irtidâd (kemurtadan) para sahabat dalam riwayat-riwayat ini? Apa pun makna yang mereka sodorkan dan terima maka makna itu pun yang kita akan terima.

Akan tetapi ulama Syiah berpandangan bahwa irtidâd (kemurtadan) yang disandarkan sebagian riwayat kepada para sahabat tidak bermakna kekufuran dan kembalinya mereka kepada penyembahan berhala, melainkan bermakna pelanggaran terhadap ikrar wilayah dan pembangkangan terhadap Rasulullah Saw dalam urusan khilafah.

Ayatullah Subhani berpandangan bahwa kemurtadan ini tidak bermakna kekufuran dan kembalinya mereka kepada jahiliyah, melainkan tidak loyalnya mereka terhadap ikrar yang mereka nyatakan pada hari Ghadir Khum.

Imam Khomeini Ra juga dalam kitab Thahârah-nya pada pembahasan apakah para penentang Syiah itu kafir atau tidak. Beliau berkata, “Orang-orang dikatakan Islam apabila diketahui keyakinannya terhadap uluhiyyah, tauhid, kenabian dan ma’ad (meski terdapat perbedaan ulama dalam hal ini).” Beliau berpandangan bahwa masalah imâmah merupakan prinsip (ushul) mazhab Syiah dan menentang prinsip (ushul) mazhab ini hanya akan mengeluarkan orang dari Syiah bukan Islam. Imam Khomeini dalam hal ini mengkaji riwayat-riwayat yang menyandarkan kekufuran kepada Ahlusunnah dan meyakini bahwa dalam penyandaran-penyandaran kekufuran ini bukan kekufuran dalam artian teknis. Lantaran hal ini berseberangan dengan riwayat-riwayat mustafidha bahkan mutawatir terkait dengan masalah ini dan adanya interaksi orang-orang Syiah dan para imam dengan Ahlusunnah (bahkan tidak dalam konteks taqiyyah).[6]

Karena itu, dalam pandangan Syiah, kemurtadan yang mengemuka dalam riwayat-riwayat ini sama sekali berbeda dengan kemurtadan orang-orang seperti Musailamah, para pengikut Thuliha bin Khuwailid, para pengikut Aswad Ansi, dan Sujjah. Mereka pada hakikatnya telah meminggirkan Islam dan kafir. Sementara sebagian besar sahabat membangkang Rasulullah Saw dan melanggar ikrar wilayah.

Dalam literatur-literatur sejarah dilaporkan bahwa Imam Ali As dalam beberapa hal tertentu bermusyawarah dengan para khalifah dan membimbing mereka sehingga mereka meraih kemenangan dalam pelbagai penaklukan (futuhât).[7] Hal ini merupakan tanda kerelaan beliau terhadap inti penaklukan; kendati apabila pelbagai penaklukan ini dilakukan dengan petunjuk dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib As maka hasilnya tentu akan lebih baik dan dapat mencegah sebagian kesalahan yang dilakukan. Karena itu, mereka yang turut serta dalam pelbagai penaklukan Islam seluruhnya adalah Muslim dan telah berupaya untuk menyebarkan Islam; meski boleh jadi mereka melakukan banyak kesalahan dan dosa dalam hidup mereka.
_______________________________________


Saya bawakan Hadis Haudh yg menunjukkan WUJUDNYA sahabat yang merubah ajaran Rasulullah saaw:

1. Narrated by Anas:The Prophet said, “Some of my companions will come to me at my Lake Fount, and after I recognize them, they will then be taken away from me, whereupon I will say, ‘My companions!’ Then it will be said, ‘You do not know what they innovated (new things) in the religion after you.”[Shahih Bukhari, Volume 8, Book 76, Number 584]……………………

2. Narrated by Abu Hazim from Sahl bin Sa’d:The Prophet said, “I am your predecessor (forerunner) at the Lake-Fount, and whoever will pass by there, he will drink from it and whoever will drink from it, he will never be thirsty. There will come to me some people whom I will recognize, and they will recognize me, but a barrier will be placed between me and them.” Abu Hazim added: An-Nu’man bin Abi ‘Aiyash, on hearing me, said. “Did you hear this from Sahl?” I said, “Yes.” He said, ” I bear witness that I heard Abu Said Al-Khudri saying the same, adding that the Prophet said: ‘I will say: They are of me (i.e. my followers). It will be said, ‘You do not know what they innovated (new things) in the religion after you left’. I will say, ‘Far removed, far removed (from mercy), those who changed (their religion) after me.” Abu Huraira narrated that the Prophet said, “On the Day of Resurrection a group of companions will come to me, but will be driven away from the Lake-Fount, and I will say, ‘O Lord (those are) my companions!’ It will be said, ‘You have no knowledge as to what they innovated after you left; they turned apostate as renegades (reverted from Islam).”

[Shahih Bukhari, Volume 8, Book 76, Number 585]3. Narrated by Abu Hazim from Sahl bin Sa’d:The Prophet said, “I am your predecessor (forerunner) at the Lake-Fount, and whoever will pass by there, he will drink from it and whoever will drink from it, he will never be thirsty. There will come to me some people whom I will recognize, and they will recognize me, but a barrier will be placed between me and them.” Abu Hazim added: An-Nu’man bin Abi ‘Aiyash, on hearing me, said. “Did you hear this from Sahl?” I said, “Yes.” He said, ” I bear witness that I heard Abu Said Al-Khudri saying the same, adding that the Prophet said: ‘I will say: They are of me (i.e. my followers). It will be said, ‘You do not know what they innovated (new things) in the religion after you left’. I will say, ‘Far removed, far removed (from mercy), those who changed (their religion) after me.” Abu Huraira narrated that the Prophet said, “On the Day of Resurrection a group of companions will come to me, but will be driven away from the Lake-Fount, and I will say, ‘O Lord (those are) my companions!’ It will be said, ‘You have no knowledge as to what they innovated after you left; they turned apostate as renegades (reverted from Islam).”[Shahih Bukhari, Volume 8, Book 76, Number 586].

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”[Silahkah lihat, Fushul al-Muhimmah, Abdulhusain Syarafuddin, hal. 189].

Karena itu, dalam pandangan Syiah kriterianya adalah keadilan, berpegang teguh kepada sirah Rasulullah Saw dan menjalankan sunnah beliau semasa hidupnya dan pasca wafatnya. Barang siapa yang berada di jalan ini maka, dalam pandangan Syiah, ia harus dihormati dan jalannya diikuti serta didoakan semoga rahmat Tuhan baginya melimpah dan memohon supaya ditinggikan derajatnya. Namun orang-orang yang tidak berada di jalan ini kami tidak memandangnya sebagai orang adil. Sebagai contoh dua orang sahabat mengusung lasykar disertai dengan salah seorang istri Rasulullah Saw lalu berhadap-hadapan dengan khalifah legal Rasulullah Saw Ali bin Abi Thalib As menghunus pedang di hadapannya di perang Jamal. Mereka memulai perang yang menelan ribuan korban jiwa kaum Muslimin.

Izinkan kami bertanya apakah angkat senjata dan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ini dapat dibenarkan? Atau orang lain yang disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw dan menghunus pedang pada sebuah peperangan yang disebut sebagai Shiffin. Kami berkata perbuatan ini bertentangan dengan syariat dan memberontak kepada imam dan khalifah legal. Perbuatan-perbuatan ini tidak dapat diterima dengan membuat justifikasi bahwa mereka adalah sahabat. Demikianlah poin asasi perbedaan pandangan antara Syiah dan yang lainnya. Jelas bahwa di sini yang mengemuka bukan pembahasan mencela dan melaknat sahabat.Mungkin ada baiknya menyebutkan hal ini: bahwa kebanyakan sahabat Rasulullah saw pada periode-periode selanjutnya menebus kesalahan ini dengan cara bergabung dan berada pada barisan Imam Ali as dalam peperangan bersama Amirul Mukminin menghadapi para Nakitsin (pada perang Jamal), Qasithin (pada perang Shiffin) dan Mariqin (pada saat perang Nahrawan).
*****

Namun terkait dengan apa yang dijelaskan pada ayat-ayat al-Qur’an harus dikatakan bahwa: Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman:

A. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.”(Qs. Al-Taubah [9]:101)Apakah ayat al-Qur’an ini tidak menengarai bahwa terdapat orang-orang munafik dari kalangan sahabat bahkan setelah setahun kemunculan Islam yang sebagian dari mereka telah dikenali?

B. “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Qs. Ali Imran [3]:144).

C. “Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu. Tetapi mereka adalah kaum yang sangat penakut.”(Qs. Al-Taubah [9]:56).

D. “Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah untuk tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan Allah itu akan dimintai pertanggunganjawab.”(Qs. Al-Ahzab [33]:15).

E.“Allah telah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang jujur dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?”(Qs. Al-Taubah [9]:43).

F. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka (di Mekah), “(Sementara ini), tahanlah tanganmu (dari berjihad), dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” (Tetapi mereka marah atas perintah ini). Setelah jihad diwajibkan kepada mereka (di Madinah), tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan ketakutan mereka lebih sangat dari itu. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan jihad kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berjihad ini) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.”(Qs. Al-Nisa [4]:77).

G. “Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), (ketakutan meliputi diri mereka) seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat sendiri (sebab-sebab kematian itu). Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (kafilah dagang dan bala tentara Quraisy yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu, padahal Allah menghendaki untuk menguatkan kebenaran dengan kalimat-kalimat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir. agar Allah menetapkan yang hak dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya.” (Qs. Al-Anfal [8]:5-8)Dari ayat ini kita jumpai sekelompok orang-orang beriman yang enggan menyertai Rasulullah Saw ke medan perang.

H.“Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), di sini bukanlah tempatmu (untuk bertinggal), maka kembalilah kamu.” Dan sebagian dari mereka minta izin kepada nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (Qs. Al-Ahzab [33]:13).

I. “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (Qs. Al-Taubah [9]:38. Padahal ayat-ayat ini menggunakan seruan “Wahai orang-orang beriman” dan kita ketahui bahwa Allah Swt mengancam orang-orang yang bersikap lemah untuk pergi berperang (karena alasan terik dan panas) dengan berfirman, “Orang-orang yang membangkang (tidak ikut perang Tabuk) itu merasa gembira karena menentang (perintah) Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka berkata (kepada sesama mereka dan kepada orang-orang mukmin), “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api neraka Jahanam itu lebih sangat panas(nya)”, jika mereka mengetahui.”(Qs. Al-Taubah [9]:81).

J. “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan mereka. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.” Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.”(Qs. Al-Taubah [9]:45-47).

Tidak diragukan bahwa pertama dan utama ayat-ayat ini berbicara tentang para sahabat Rasulullah Saw. Apakah dengan ayat-ayat ini kita dapat memandang seluruh sahabat itu adil dan berkata bahwa seseorang yang bertemu dengan Rasulullah Saw dalam hitungan semenit sekali pun maka ia adalah seorang yang adil? Sebenarnya pandangan ini dilontarkan oleh sebagian orang untuk menjustifikasi kezaliman dan kejahatan Bani Umayyah.Dan karena itu kami berkata bahwa apabila kita merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an maka akan kita jumpai bahwa para sahabat memiliki tingkatan derajat yang berbeda-beda dan kita tidak dapat menghukumi bahwa mereka semuanya adalah orang adil; lantaran ayat-ayat secara lugas menyatakan bahwa di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat para pendusta, orang-orang munafik, para pendosa (ushat), berbantahan dengan Rasulullah Saw dalam urusan perang, orang-orang takut perang, orang-orang yang mengingkari Rasulullah Saw, berat hati untuk menyertai Rasulullah berperang dan lain sebagainya [Silahkan lihat, al-Alusi wa al-Tasyayyu’, hal. 69].

Sebagaimana yang Anda amati pada sebagian ayat-ayat ini seruan yang digunakan adalah seruan “Wahai orang-orang yang beriman” artinya secara tegas dan keras mengarah kepada orang-orang beriman. Demikian juga menjadi maklum bahwa sesuai dengan ayat-ayat ini pengeksklusifan para sahabat Rasulullah Saw sebagai sahabat adil dan munafik tidak dapat dibenarkan; artinya apabila kita tidak memandang seorang sahabat sebagai seorang yang adil maka kita harus memandangnya sebagai orang munafik. Bahjka para sahabat bisa saja tergolong sebagai pendosa dan jelas bahwa semata-mata melakukan dosa seseorang tidak akan tergolong dalam barisan orang-orang munafik.bukankah Rasulullah Saw pada akhir-akhir hayatnya berulang kali mengungkapkan rasa takutnya dari orang-orang yang berada di sekelilinya? Pada teks-teks dalam literature-literatur Ahlusunnah terdapat nukilan riwayat bahwa tatkala ayat “balligh ma unzila ilaika” diwahyukan Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Tuhanku! Aku hanya sendiri apa yang harus aku lakukan? AtU Mereka akan berkumpul melawanku.” Kemudian Ayat “wain lam taf’al fama ballaghta risalatahu” diturunkan.[Tafsir Thabari, jil. 10, hal. 468:, Al-Durr al-Mantsur, jil. 3, hal. 418. Software Maktabat al-Syâmilah:].

Tentu saja takut dan gentar ini bukan takut dan gentar kepada orang-orang kafir; karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun kesepuluh Hijriah, dan ketika itu tidak terdapat orang kafir sehingga Rasulullah Saw bertugas untuk menyampaikan hukum Ilahi. Apabila banyak sahabat yang tulus ikhlas di sekeliling Rasulullah Saw, lantas mengapa beliau berkata lirih, “Innama ana wahidun, kaifa asn’a yajtami’u ‘ala al-nas.”[ Silahkan lihat, ‘Abaqât al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Thâhirah, jil. 9, hal. 228-230].

Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat seperti ayat ini, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[Qs. Ali Imran [3]:144] sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ayat-ayat ini dengan jelas menafikan keadilan seluruh sahabat dan menetapkan adanya kemungkinan kemurtadan sebagian orang.[Dalam hal ini, silahkan lihat riwayat-riwayat haudh (Telaga), No. 1589].
*****

5. sejarah berkata bahwa di antara para sahabat terdapat orang-orang yang membunuh orang lain atau berzinah seperti Walid dan Mughirah[Futûh al-Buldân, 344; Tarikh Thabari, 2/492-494. Al-Aghani, 16/103-110. Al-Kâmil fi al-Târikh, 2/384-385. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 7//66-67:] atau Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin. Dan persis atas dasar ini Syafi’i berkata, “Syahadah empat orang tidak diterima. Keempat orang ini adalah Muawiyah, Amru bin Ash, Mughirah dan Ziyad.[Al-Mukhtashar fi Akhbâr al-Basyar, 1/186:].
__________________________________


Bukti lain dari ucapan kami adalah bahwa sebagian dari sahabat ini sendiri, tidak memandang adil sebagian lainnya dan bahkan terkadang sesama mereka saling melemparkan tuduhan munafik kepada yang lain.[Shahih Bukhâri, jil. 9, hal. 148].

Di antara sahabat Imam Husain As disebutkan lima orang dari sahabat Rasulullah Saw yang tergolong sebagai orang-orang yang gugur dan syahid di Karbala. Kelima orang ini adalah sebagai berikut:
1. Anas bin Harits Kahili:
Samawi dalam “Abshâr al-‘Ain fî Anshâr al-Husain” menyebutkan Anas bin Harits sebagai orang yang gugur sebagai syahid Karbala.[Muhammad bin Thahir Samawi, Abshâr al-Ain fî Anshâr al-Husain, riset oleh Muhamad bin Ja’far Thabasi, hal. 192, Pazyuhesy Kadeh Tahqiqat-e Islami, Qum, 1384 S].
Syaikh Thusi juga menyebut ia sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw,[Muhammad bin Hasan Thusi, Kitâb al-Rijâl, hal. 21, Intisyarat-e Haidariyah, Najaf, 1381 H] dan juga di antara orang-orang yang gugur sebagai syahid bersama Imam Husain As.[Muhammad bin Hasan Thusi, Kitâb al-Rijâl, hal. 99, Intisyarat-e Haidariyah, Najaf, 1381 H]. Tatkala menyebutkan Anas bin Harits sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw, Syaikh Thusi mengingatkan bahwa ia menggapai syahid di samping Imam Husain As. Anas bin Harits sedemikian tinggi kedudukannya dan masyhur sehingga sesuai dengan nukilan Allamah Muhsin Amin dalam A’yân al-Syiah,[Muhsin Amin ‘Amili memandang lebih tepat apabila nama Habib bin Mazhahir ditulis dengan Muzhahhar. Silahkan lihat A’yân al-Syiah, jil. 4, hal. 553].
Kumait bin Zaid, salah seorang pujangga yang terkenal Ahlulbait As, menyebut Anas bin Harits dalam lirik syairnya. Kumait menggubah sebuah syair yang menyebutkan Anas bin Harits Kahili al-Kahili sebagaimana berikut:

Siwa ‘ushbatun fihim Habib muaffarun
Qadha nahbahu wa al-Kahili Murammalun

Kecuali sekelompok orang di antara mereka yaitu Habib yang berkorban jiwa dan tubuhnya berguling di tanah dan raga al-Kahili bersimbah darah.
2. Habib bin Muzhahhar:[Muhsin Amin ‘Amili, A’yân al-Syiah, jil. 3, hal. 500, Dar al-Ta’arif, Beirut, 1406 H].
Habib bin Muzhahhar adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw dan merupakan sahabat besar Imam Ali As yang turut serta dalam tiga peperangan, Shiffin, Nahrawan dan Jamal.[Jawad Muhadditsi, Farhangg-e ‘Âsyurâ, hal. 151, Nasyr Ma’ruf, Qum, 1381 S].
Syaikh Thusi tidak menyebutkan ia sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw, kendati demikian Syaikh Thusi menyebut ia sebagai salah seorang sahabat Imam Ali As dan Imam Husain As.[A’yân al-Syiah, jil. 4, hal. 553].
Sebagian ulama seperti Samawi penulis Abshar al-Ain menyebutkan nama Habib bin Muzhahhar sebagai sahabat Rasulullah Saw yang gugur sebagai syahid di padang Karbala.[bshâr al-‘Ain, hal. 193].
3. Muslim bin Awsaja:
Samawi dalam kitab Abshâr al-‘Ain menghitungnya sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw dan Imam Ali As [bshâr al-‘Ain, hal. 193]. Allamah Muhsin Amin juga dalam kitab A’yân al-Syiah, tatkala menjelaskan sahabat-sahabat Imam Husain As, menyebut Muslim bin Awsaja sebagai sahabat (shahabi) Rasulullah Saw [A’yân al-Syiah, jil. 1, hal. 612].
4. Hani bin Urwah:
Salah seorang penolong Imam Husain lainnya yang tergolong sebagai sahabat Rasulullah Saw adalah Hani bin Urwah. Ia adalah seorang tua dan pembesar kabilah Muradi yang turut serta dalam tiga peperangan di samping Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As [Samawi mencatat namanya sebagai sahabat Rasulullah Saw. Dari sisi usia, mengingat bahwa Hani adalah seorang renta dan syaikh (pembesar) kabilahnya serta usianya lebih tua dari Imam Husain As, boleh jadi ia merupakan salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Silahkan lihat, Abshâr al-‘Ain, hal. 192].
5. Abdullah bin Baqthar (Yaqthar) Himyari:
Abdullah bin Baqthar (Yaqthar) adalah saudara sesusuan Imam Husain As [Rijâl Thûsi, hal. 103]. Ayahnya Baqthar (Yaqthar) adalah khadim (pembantu) Rasulullah Saw. Ia membawa surat Imam Husain As untuk Muslim bin Aqil di Kufah kemudian ditangkap (oleh Ibnu Ziyad) dan langsung gugur sebagai syahid.[Farhangg-e ‘Âsyurâ, hal. 322. Meski namanya tidak disebutkan sebagai salah seorang sahabat Rasulllah Saw dalam kitab-kitab Rijal, namun mengingat bahwa ia merupakan saudara sesusuan Imam Husain As, penyandaran seperti ini mungkin saja benar adanya. Karena itu dalam kitab Abshâr al-‘Ain tercatat sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw].
_______________________________________


Mengapa Imam Ali pada masa kekhalifahannya tidak menunjukkan penentangan terhadap para khalifah dan tidak menguburkan pelbagai bid’ah yang dimunculkan oleh mereka. Apabila para khalifah telah kafir lalu mengapa tatkala menjadi khalifah Imam Ali tidak mengumumkan kekufuran dan bahwa kekhalifahan mereka adalah hasil rampasan?

dikarenakan adanya pelarangan Bani Umayyah untuk menukil pelbagai keutamaan Amirul Mukminin. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh Bani Umayyah dan antek-anteknya yang didorong oleh tujuan-tujuan politis dan amat disayangkan atas dasar ini, hal ini terus berlanjut, seperti di antaranya pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami anjurkan bahwa apabila Anda benar-benar ingin mencari dan menemukan kebenaran dan Anda tidak bermaksud untuk menyebarkan benih-benih perpecahan di antara Syiah dan Sunni yang tidak lain hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok non-Muslim, Anda dapat merujuk pada kitab-kitab teologis yang ditulis oleh ulama Syiah dan tanpa adanya pra-judis, maka Anda akan sampai pada kenyataan yang sebenarnya. Dan yakinlah “Allah Swt akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalannya.” (Qs. Al-Ankabut [29]:69).
_______________________________________


Dan tentu saja Anda tahu bahwa riwayat mutâwatir yang dapat dijadikan sebagai sandaran adalah riwayat yang diterima oleh kedua belah pihak, Syiah dan Sunni. Sebagai contoh, hal-hal berikut ini dapat disebut sebagai riwayat mutawatir di antara kedua belah pihak, karena di samping terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah juga dapat dijumpai pada literatur-literatur Syiah. Di sini kami hanya akan menyandarkan hal-hal yang dapat dijadikan contoh sebagai riwayat mutawatir pada literatur-literatur Ahlusunnah di bawah ini:
1. Bahwa hubungan Amirul Mukminin As bagi Rasulullah Saw adalah laksana hubungan Harun bagi Musa.[Muhammad bin Ismail Bukhari, Shahîh Bukhâri, jil. 4, hal. 208, dan jil. 5, hal. 129, Dar al-Fikr, Beirut, 1401].
2. Bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang membuat murka Fatimah As maka sesungguhnya ia telah membuatku murka.”[Shahîh Bukhâri jil. 4, hal. 219].
3. Bahwa terdapat seseorang mencegah Rasulullah Saw, pada masa hidupnya, untuk menuliskan sesuatu (wasiat) dan orang itu berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw sedang meracau.[Shahîh Bukhâri jil. 5, hal. 137-138 . Rasulullah Saw dicegah Untuk Menulis Wasiat].
4. Bahwa Fatimah tidak ridha kepada Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua hingga ajal menjemputnya.[Shahîh Bukhâri jilid 5 hal. 42 dan jil. 5, hal. 82-83].
5. Bahwa Rasulullah Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan pesan barâ’at menggantikan posisi Abu Bakar.[Shahîh Bukhâri jil. 5, hal. 202-203].
6. Bahwa Khalifah Pertama dan Kedua sedemikan keras suaranya di hadapan Rasulullah Saw sehingga turun ayat-ayat pertama surah Hujurat yang mencela mereka.[Shahîh Bukhâri jil. 6, hal. 46-47]. Kendati Ahlusunnah berpandangan bahwa Allah Swt setelah itu mengampuni keduanya.
____________________________________


Abu Khalid Kabuli menukil, “Aku berkata kepada Imam Sajjad As bersabda, “Orang-orang [Silahkan cermati dalam riwayat ini disebutkan orang-orang dan bukan Imam Ali As]. berkata bahwa sebaik-baik manusia setelah Rasulullah Saw secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali As. Imam Sajjad dalam menjawab perkataan ini bersabda, “Lalu apa yang akan mereka katakan terhadap sebuah riwayat yang dinukil Sa’id bin Musayyab bin Abi Waqqas dari Rasulullah Saw dimana beliau bersabda kepada Ali bin Abi Thalib As bahwa “Engkau bagiku adalah laksana Harun bagi Musa hanya saja tiada nabi selepasku.”[Sebagaimana yang telah dijelaskan, hadis ini merupakan hadis mutawatir di kalangan Syiah dan Ahlusunnah dan terdapat pada kitab-kitab sahih Ahlusunnah].

Apakah ada orang yang laksana Harun di masa Nabi Musa As (pada masa Rasulullah Saw)?[Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 37, hal. 237, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H].

Imam Sajjad As dengan bersandar pada hadis manzilah yang diterima oleh kedua mazhab, mempertanyakan validitas dan keabsahan hadis yang dilontarkan oleh masyarakat dan Anda memandangnya disandarkan kepada Imam Ali As. Argumen yang disampaikan oleh Imam Sajjad ini nampak logis terlepas dari siapa pun yang menyampaikanya dan akan dapat diterima.

Adapun pertanyaan bahwa mengapa Amirul Mukminin As setelah memegang tampuk kekuasaan tidak menyatakan penentangan kepada para khalifah sebelumnya? Harus dikatakan bahwa sesuai dengan keyakinan kami (Syiah) dan apa yang terdapat pada kitab-kitab kami, berulang kali Baginda Ali As menyampaikan kritikan dan protes kepada para khalifah sebelumnya. Sebagai contoh kita dapat menyebut Khutbah Syaqsyaqiyyah yang terdapat pada kitab Nahj al-Balâgha.

Namun terkait dengan penyandaran riwayat mutâwatir di kalangan dua belah mazhab kami akan mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Apakah pemakzulan Mu’awiyah (yang telah diangkat oleh Khalifah Kedua sebelumnya) bukan merupakan bentuk penentangan kepadanya?
2. Apakah pendistribusian bait al-mal dengan model baru yang amat ketat dijalankan oleh Baginda Ali As tidak tergolong sebagai penentangan?
3. Apakah tiadanya perhatian untuk melanjutkan pelbagai penaklukan negeri-negeri luar dan upaya untuk mensterilkan masyarakat Islam bukan merupakan perubahan kebijakan yang menentang kebijakan para khalifah sebelumnya? Dan lain sebagainya.

Yang kami tahu bahwa Baginda Ali As pada masa kekuasaan kekhalifahan sebelumnya dipandang sebagai seorang pemrotes dan kritikus terhadap sistem yang ada ketika itu. Misalnya salah satu contoh, di antara puluhan contoh, kami bertanya kepada Anda bahwa mengapa beliau tidak membaiat Abu Bakar hingga masa wafatnya Fatimah Sa, dan prosesi pemakamannya yang dilakukan pada malam hari, yang Anda kenal sebagai sebaik-baik manusia setelah Rasulullah Saw? (Silahkan lihat, Shahîh Bukhâri, jil. 5, hal. 82-83].

Namun bagi Baginda Ali As, dengan alasan menjaga pokok Islam, meski dengan pelbagai kritikan dan protes yang dilontarkan kepada para khalifah, beliau tetap mengurus urusan kaum Muslimin dengan para khalifah dan sesuai dengan ungkapannya yang indah, “Kami memiliki hak yang alangkah baiknya apabila mereka serahkan (kepada kami sebagai pemilik yang sah) dan kalau tidak kami memilih sebagai orang kedua, menaiki pundak unta meski berujung pada masa yang panjang.”[Nahj al-Balâgha, hal. 472, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum].

Pada hakikatnya, Baginda Ali As hanya memandang kekuasaan sebagai media bukan sebagai tujuan. Atas dasar itu, baik pada masa para khalifah sebelumnya juga pada masa pemerintahan lahirianya [Setelah 25 tahun Baginda Ali As memilih untuk diam dan masyarakat termasuk para khalifah banyak meminta pendapat kepadanya untuk menyelesaikan pelbagai persoalan keumatan yang dihadapi]. Baginda Ali As memilih diam dalam banyak hal dan membiarkan masyarakat sendiri di masa yang akan datang yang kelak menilainya.

Terkait dengan kekufuran orang-orang yang Anda jelaskan harus dikatakan bahwa akidah Syiah menyatakan bahwa setiap orang yang mengucapkan kalimat syahadat melalui lisannya adalah seorang Muslim.

Beberapa hal yang dijelaskan di atas dan terdapat puluhan riwayat lainnya yang dapat disebut sebagai mutâwatir di antara kedua mazhab. Karena di samping bahwa riwayat tersebut dinukil dalam literatur-literatur Syiah, ia juga dikutip dalam literatur-literatur Ahlusunnah yang paling standar. Keenam riwayat di atas kami nukil dari kitab Shahih Bukhâri yang kedudukannya di kalangan Ahlusunnah sebagai saudari al-Qur’an.

Pada dasarnya, tatkala pemerintahan berada di tangannya yang tadinya menjalani masa diam selama 25 tahun, akibat aksi propaganda secara berketerusan telah membuat masyarakat Muslim membenarkan perbuatan-perbuatan para khalifah sebelumnya. Dan pelbagai penetangan Baginda Ali telah menimbulkan permasalahan pada sebagian perkara seperti pengembalian tanah Fadak yang menurut anggapan sebagian orang merupakan sebuah upaya untuk kepentingan pribadi. Pendeknya, masa pemerintahan Baginda Ali sedemikan pendek dan disertai dengan pelbagai peperangan dan banyaknya tindakan menghalang-halangi oleh pihak musuh sehingga tidak memberikan izin dan peluang kepada Amirul Mukminin Ali As untuk melakukan perbaikan asasi dalam banyak bidang.

Apakah sesuai dengan ayat 30 surah Muhammad [“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya.” ].

dan ayat 101 surah Taubah,[“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka.” ].

Allah Swt dapat memperkenalkan orang-orang munafik kepada Rasulullah Saw namun beliau tidak meminta kepada Tuhan untuk hal tersebut dapat disebut sebagai pengkhianatan kepada Islam dan kaum Muslimin?

Apakahnya sikap diam Harun terkat dengan penyembahan Bani Israil terhadap sapi dan pengajuan minta maaf kepada Musa As bahwa Bani Israel memandang saya lemah dan nyaris mereka membunuh saya,[(Qs. Al-A’raf [7]:150)] adalah sebuah pengkhianatan?

Tidak satu pun dari hal ini merupakan pengkhianatan dan diamnya Baginda Ali As (yang kedudukannya laksana Harun As) dengan penjelasan beberapa hal juga dalam kondisi yang sama. Baginda Ali As berperang dengan tiga kelompok kaum Muslimin dan banyak orang lagi yang menentangnya dan sebagai akibatnya mereka mensyahidkan Baginda Ali As. Sekali lagi sikap diam Imam Ali As bukanlah sebuah pengkhianatan, dan hal ini menjadi tugas Anda dan kami untuk melakukan riset imparsial dan fair untuk sampai kepada kebenaran dan hakikat.

Catatan kaki:
[1]. Silahkan lihat kitab-kitab yang membahas tentang ilmu Rijal seperti, ‘Ayan al-Syiah, Rijal al-Thusi dan Mu’jam Rijal al-Hadits.
[2]. Silahkan lihat, Huwiyat al-Syi’ah, al-Syaikh Ahmad al-Waili, hal. 36.
[3]. Jâmi’ al-Ushûl, jil. 11, hal. 119-123.
[4]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115; Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135; Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihayat fi Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bari, Ibnu Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qari, ‘Aini, jil. 23, hal. 142; Irsyad al-Sari, Qasthalani, jil. 9, hal. 342.

«بینا أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال: أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل النعم».

[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya.
[6]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 437, cetakan pertama, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar-e Imam Khomeini, 1379 S. Diadaptasi dari Pertanyaan 2808 (Site:3501).
[7]. Wawancara dengan Ayatullah Wa’izh Zadeh Khurasani, Nasyriyeh Hauzah, tahun 24.

(Hauzah-Maya/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: