Pesan Rahbar

Home » » Akidah Wahabi dan NU Sunni Memang Beda, NU Menyatakan Syiah Tidak Sesat, Hanya Berbeda

Akidah Wahabi dan NU Sunni Memang Beda, NU Menyatakan Syiah Tidak Sesat, Hanya Berbeda

Written By Unknown on Wednesday, 8 April 2015 | 05:52:00

Antara Tradisi Kultur Syi’ah-NU dan Adu Domba Wahabi


Wahabi tidak toleran dan isu ini bisa dibawa ke PBB, kalangan Syiah yang tetap percaya diri dengan mengadakan berbagai event  secara terbuka. Radikalisme wahabi bertujuan mengulangi peristiwa kekerasan seperti terjadi di Iran, Iraq, atau Suriah, provokasi wahabi ini akan terjadi juga di Indonesia.

Ahlus Sunnah harus bijak dan hati-hati menyikapi isu-isu seputar tradisi dan kultur kaum Syafiiyah ini. Perlu pemahman, bahwa tradisi tersebut bukanlah perkara ushul tapi furu’.

Akidah wahabi dan NU Memang Beda

Berbagai perbedaan pendapat dan pergerakan antara NU dan Syi’ah adalah suatu kewajaran. Sebab, menurut Prof. Dr. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat): “Syiah bukan ajaran sesat, baik Sunni maupun Syiah tetap diakui Konferensi Ulama Islam International sebagai bagian dari Islam.”
Lain halnya dengan aliran wahabi. Sebab ini aqidah. Karena wahabi  itu memang beda (dengan Sunni) secara aqidah.

Saya  setuju kalau kita mengatakan ‘Laa Sunni Walaa Syiah’ (tidak ada Sunni dan tidak ada Syiah, Red).

SYIAH dan NU memiliki titik temu di bidang fikih dan tasawuf seperti tahlilan, qunut, maulidan, ziarah kubur, hormati ahlulbait  dll jadi bisa bersatu..Titik Temu Islam Ahlus Sunnah (NU) dan Islam Syi’ah ada dibidang fikih dan tasawuf serta sama sama anti Wahabi Nejed, Secara ideologis, wahabi selalu memiliki misi untuk menghancurkan negara yang tidak berdasarkan ajaran setan nejed.

Selain wahabi, Ahmadiyah dan aliran sesat sejenisnya berbeda dengan NU. Perbedaan utamanya dalam persoalan aqidah.

Perbedaan dalam Islam sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Para Sahabat sendiri sering berbeda dengan Nabi, juga dengan sesama Sahabat.

Tradisi perbedaan di kalangan para Sahabat berlanjut pada masa berikutnya. Termasuk di zaman para ulama mujtahidin. Perbedaan tersebut masing-masing berdasarkan dalil.Berbagai perbedaan di kalangan NU dan Syi’ah tidak perlu dipermasalahkan.

“Perbedaan sesama kita, Apalagi kalau hanya seperti angkat tangan berdoa setelah shalat, atau baca basmalah kecil dan keras, atau ketika sujud itu didahulukan tangan atau didahulukan lutut, atau kalau berwudhu sebahagian atau semua, MAKA JANGAN dipersoalkan”
“Yang penting (pendapatnya) ada dalil, dan tahu dalil, tidak taqlid,”
Kami meyakini, untuk menyerap berbagai perbedaan dalam dunia fikih, diperlukan tauhid yang lurus kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Seperti tercermin dalam ayat pertama surat al-’Alaq, “Iqro’ bismirobbikalladzi kholaq….” (Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!).*
Perbedaan syariat wahabi dan Islam sudah berbeda dari pemahaman akidah.

“wahabi mengkafirkan orang-orang yang tidak mau mendukung ajaran mereka,”
Hari-hari ini adalah momen di mana wahabi mencari tempat pijakan di tubuh NU, dengan alasan memiliki beberapa kesamaan  ajaran. Di internet, bisa mudah kita temukan bagaimana kaum wahabi mencari momen ‘meminjam’ tangan NU guna memusuhi sesama loyalis ahlulbait.

Strategi lain dari dakwah wahabi saat ini yang perlu diperhatikan adalah, klaim-klaim wahabi terhadap kesamaan ajaran sebagian penganut NU dan indikasi adu domba antar kelompok.
Sejumlah elemen Islam berpaham wahabiyang selama ini peduli dengan gerakan pemurtadan dan perusakan akidah, menghimpun diri ke dalam satu aliansi bernama ”Aliansi Ahlus Sunnah untuk Kehormatan Keluarga dan Sahabat Nabi”– selanjutnya disingkat  “ASKES”.

Hari Kamis (14/11/2013), sekitar 600 massa ASKES menggelar aksi unjuk rasa damai menentang pelaksanaan Ritual ‘Asyurakaum Syi’ah di Balai Samudera Kelapa Gading Jakarta.

Dalam aksi di depan Balai Samodra Jakarta itu, ASKES juga membagi-bagikan 400 eksemplar buku terbitan MUI Pusat yang berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”.
Buku itu diutamakan dibagi kepada aparat keamanan yang dengan keras berupaya menjaga bentrokan antara massa ASKES dan peserta ritual Syiah.

“Ini salah satu bentuk edukasi. InsyaAllah, kami akan terus melakukan edukasi kepada umat Islam Indonesia tentang hakekat dan penyimpangan Syiah, sebagaimana telah dijelaskan dalam buku MUI tersebut,” kata Koordinator ASKES yang akrab dipanggil Ustad Anung itu.

Pada saat yang sama, penentangan terhadap ritual kaum Syiah itu juga dilakukan kaum Muslimin Indonesia di sejumlah kota, khususnya di Surabaya dan Bandung.

Di Surabaya, ritual kaum Syiah itu dilarang diselenggarakan pihak keamanan, karena sikap tegas Gubernur dan MUI Jatim.

Menurut Koorodinator “ASKES”,  Anung Al Hamat Lc, aksinya terutama dilakukan sebagai bentuk penyadaran kepada kaum Muslimin, bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara ajaran dan ibadah kaum Syiah dengan umat Islam pada umumnya,

Pelaksanaan Asyuro pemeluk  Syiah yang dilaksanakan secara terbuka di beberapa kota rupanya telah menjadi perhatian elemen wahabi Indonesia. Seperti diketahui, biasanya dalam perayaan 10 Muharram, kaum Syiah mengadakan ritual atau kerap disebut Asyuro menimbulkan iri hati wahabi yang teramat sangat mencintai Mu’awiyah, Yazid dan konco konco nya.

Agresivitas wahabi di Indonesia, kini sangat mengganggu dan menyita tenaga serta pikiran umat Islam Indonesia. Hal itu juga suatu hal yang aneh. Kaum wahabi mengaku bersaudara dengan kaum NU, tetapi mereka tak henti-hantinya menyebarkan permusuhan, khususnya melaknat syi’ah yang pro ahlulbait.



Habib Zein : Wahabi itu Ahlus Sunnah, kalau Syiah bukan

Mengaku Ada Kemiripan dengan NU, Syiah Ajak Waspadai Al Bayyinat

“Menghubungkan NU Dengan Wahabi Seperti Othak-Athik Gathuk”(dikait-kaitkan, red).

Kamis, 20 September 2012

Benar klaim bahwa Islam Syafi’i adalah mazhab yang paling dekat dengan esoterisme dan Syiah, juga bahwa NU esoterismenya berwajah Syiah dan eksoteriknya berwajah Sunni. Juga dikatakan NU adalah proses untuk menggabungkan keduanya.

Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI), Dr Muhsin Labib mengatakan, antara Nahdhatul Ulama (NU) dan Syiah ada kemiripan dilihat  dari beberapa tradisi dan praktek.

“Islam Syafi’i adalah mazhab yang paling dekat dengan esoterisme dan Syiah. Baru setelah itu terjadi Syiah dalam jenis lain dan itu di representasikan oleh NU dan membentuk kultur NU,” jelasnya saat menjadi salah satu narasumber dalam seminar Syiah “Menuju Kesepahaman dan Kerukunan Umat Islam” di Gedung Sucofindo, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (18/09/2012).

Ia juga mengungkapkan bahwa NU adalah proses upaya untuk menggabungkan Sunni-Syi’ah.
“NU esoterismenya berwajah Syiah dan eksoteriknya berwajah Sunni-Syafi’i. NU adalah proses untuk upaya menggabungkan keduanya (Sunni-Syiah). Oleh karena itu, tidak heran pada waktu itu Gus Dur mengatakan bahwa NU itu Syi’ah minus Imamah,” ungkapnya.

Lebih jauh, lulusan Qom Iran itu juga mengingatkan agar kalangan NU mewaspadai penumpang-penumpang gelap seperti Yayasan Al-Bayyinat masuk ke tubuh NU menjadi pengurus.

“NU Gusdurian adalah NU yang toleran dan menyejukkan. Jangan sampai penumpang-penumpang gelap seperti Al-Bayyinat masuk ke tubuh NU menjadi pengurus,” katanya mengingatkan.
Selain mencurigai AL Bayyinat, ia juga menduga bahwa ada upaya untuk melemahkan organisasi seperti NU dan menggunting otoritas NU yang dilakukan kaum Salafi.

Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI), Dr Muhsin Labib mengatakan, antara Nahdhatul Ulama (NU) dan Syiah ada kemiripan.

NU: Syiah Tidak Sesat, Hanya Berbeda

Said Aqil Siroj

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai aliran Islam Syiah secara umum bukan merupakan aliran sesat. “Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita,” kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, di kantor kepresidenan, Jakarta, Selasa 28 Agustus 2012.

Menurut dia, Syiah merupakan salah satu sekte Islam yang sudah ada sejak 14 abad lalu. Sekte ini pun ada di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. “Pusatnya memang di Iran,” ujar Said.

Tarekat dapat Cegah Konflik Sunni-Syiah
Selasa, 28/08/2012 17:14
Konflik antara Sunni dengan Syiah bisa dicegah dengan mengembangkan nilai-nilai tarekat. Ini pas, karena Sunni di Indonesia suka tarekat, yang juga deket dengan Syiah.

Demikian dinyatakan Wakil Rais Syuriyah PCI NU Mesir Ahmad Syaifuddin pada NU Online, melalui yahoo massenger, Selasa sore (28/8/2012).

“Syiah dan Sunni yang sufi itu sama-sama mencintai ahli bait, khususnya Sayidina Ali bin Abi Thalib. Semua sanad tarekat bermuara ke Imam Ali, kecuali Naqsyabandiyah yang juga punya sanad ke Abu Bakar. Bedanya kalau sufi itu ta’dhim (penghormatan), kalau syiah itu taqdis (pengkultusan). Nah, di situ kesamaan kita dengan Syiah,” jelasnya.

Dia mencontohkan bahwa Sunni yang sufi dan Syiah bisa saja mengadakan haul Imam Ali, Hasan Husein bersama-sama, dengan catatan pihak Syiah tidak menampakkanghuluw atau melampaui batas.
“Keduanya sama-sama tanazul. Yang beda dari mereka jangan diperlihatkan, yang beda dari kita jangan diperlihatkan,” ujar mahasiswa program doktor di Universitas Al-Azhar tersebut.
Dia melanjutkan, konflik Sunni-Syiah tidak bisa diselesaikan dengan debat, bahsul masail, atau munazharah. “Ndak mungkin berhasil itu diskusi,” tegasnya.

Syaifuddin berpesan, Syiah di Indonesia jangan seperti Syiah Iran. “Teman-teman Syiah di Indonesia harus melakukan pribumisasi. Kalau di Jawa ya harus njawani, pakai blangkon, pakai bubur abang bubur putih. Kalau di Sumatera yang harus menyesuaikan dengan Sumetera.”

Habib Zein : Wahabi itu Ahlus Sunnah, kalau Syiah bukan

Selasa, 18 September 2012 12:27:09

JAKARTA 
 Kaum Muslimin yang mengkritik ajaran syiah adalah pemecah belah umat, agen Zionis, dan kesusupan Wahabi.

Pimpinan Yayasan Al Bayyinat Jawa Timur, Habib Ahmad Zein Al Kaff justru menampakkan kewahabian nya dengan membela musuh abadi NU yakni wahabi ! Serigala berbulu domba saja lah yang membela wahabi dengan menyalahkan NU.

“Wahabi sama-sama Ahlussunnah, kalau mereka (Syiah) bukan. Kalau wahabi kitab rujukannya sama, rukun Iman, rukun Islamnya juga sama, sedangkan Syiah berbeda, kita hanya berbeda dalam masalah furu’iyah (cabang) dengan Wahabi” tegas Habib Zein dalam konferensi pers setelah acara tabligh akbar bertajuk “Mengokohkan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia”, yang digelar Ahad kemarin (16/9) di masjid Al-Furqan Dewan Dakwah Jakarta

Habib Zein : Habib yang masuk syiah, jadi mantan Habib

 Pimpinan Al Bayyinat Habib Ahmad Zein Al Kaff menegaskan bahwasanya jika ada seorang mengaku dari kalangan Habaib, namun mengaku pula sebagai seorang syiah. Maka, orang tersebut bukanlah Habib lagi.

“Saya katakan tidak ada Habib yang masuk Syiah, Habib yang masuk Syiah bukan Habib lagi, tapi (statusnya) sudah mantan Habib. (Dia) bukan habib lagi,” jelas Habib Zein yan juga pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Timur.

komentar :
perkembangan wahabi  di Indonesia memang lebih besar dibandingkan perkembangan Syiah di Malaysia, hal ini  karena ulama di Malaysia sangat sulit menggadaikan aqidahnya.

Di Malaysia Ulamanya tidak mudah dibeli dengan uang. Wahabi  di Indonesia menyebarkan uang bermilyar-milyar dollar untuk menyebarkan ajaran mereka, siang malam orang-orang wahabi  mendekati para tokoh seperti MIUMI.
Sehingga  banyak tokoh ulama dan Habaib yang mereka adalah Ahlussunnah, tetapi membela wahabi, karena sudah diberangus oleh kebaikan orang-orang wahabi.
Yang diberikan itu bisa tokoh atau organisasinya, hampir semua organisasi di Indonesia dibantu dana oleh wahabi.

Menyikapi tokoh-tokoh NU yang membela wahabi maka  mereka telah menyelisihi  Gusdur dan Said Aqil Siraj.
Orang NU yang membela wahabi  itu telah berkhianat terhadap Kiyai Hasyim Asyari sudah jauh-jauh hari telah mewanti-wanti untuk menjauhi wahabi dalam Qanun azazi NU

 Rabu, 12 September 2012 12:15

Umar Syahab, Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia :
“Kami meyakini ada grand design bahwa Syiah harus dilarang di Indonesia. Segala upaya dilakukan.
Pertama lewat buku dan tulisan yang sifatnya provokatif.
Kedua, melalui pengajian dan seminar di kampus.
Ketiga, mencari pijakan yang kuat dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, dan Kejaksaan.”
demikian kata Umar Syahab, Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia.

Tak diragukan lagi bahwa setiap manusia dianugerahi hati yang dipenuhi oleh cinta kasih; ia akan iba melihat penderitaan orang lain, ia akan meneteskan air mata melihat korban bencana, ia akan berempati pada yang ditindas (madhlum) dan tentunya murka kepada yang menindas (dholim). Itu sifat dasar setiap manusia yang merupakan salah satu anugerah terbesar Tuhan.Namun, tak semua manusia punya keberanian. Bahkan, mungkin sangat sedikit yang berani. Sehingga, anugerah berupa perasaan yang lembut dan penuh cinta kasih itu sering kali hanya ada di hati dan tak teraktualisasi menjadi tindakan. Kita berempati pada yang ditindasdan murka kepada yang menindas, tapi kita diam melihat fenomena itu sering terjadi di negeri ini. Sehingga, kondisi ‘pun tak berubah.

Nah, keberanian itulah yang dimiliki oleh seorang almarhum Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Itulah yang diungkapkan oleh Jaya Suprana dalam diskusi bertajuk “Gus Dur & Kebudayaan” yang diselenggarakan di Wahid Institute pada Jum’at, 3 Agustus 2012.

Jaya Suprana memang salah satu tokoh yang paling dekat dengan Gus Dur. Bahkan, dalam diskusi itu, dengan nada bercanda, ia mengungkapkan bahwa jika dirinya lahir setelah Gus Dur wafat, pastilah dirinya diduga reinkarnasinya Gus Dur. Sebuah guyonan yang kemudian disambut tawa dari hadirin yang memenuhi ruang diskusi di Wahid Institute.

Acara diskusi dilanjutkan buka bersama.

Selain Jaya Suprana, Mohamad Sobary yang akrab disapa Kang Sobary merupakan tokoh lain yang juga punya kedekatan dengan Gus Dur. Ia menulis sebuah buku khusus tentang Gus Dur, judulnya “Jejak Guru Bangsa”Nah, dalam diskusi itu, ia juga dihadirkan sebagai pembicara. Ia mengungkapkan bahwa salah satu cirri khas dari Gus Dur yang paling diingatnya yakni bagaimana komitmen kuatnya untuk menjaga tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu misalnya, kata Kang Sobary, ia yang walau telah jadi Presiden Indonesia saat itu masih aktif mendatangi kiai-kiai NU. Dan, ia tak memilih-milih kiai yang hendak didatanginya. Ia berupaya mendatangi semuanya, dari yang kiai-kiai senior sampai kiai-kiai kampung.

Karenanya, Gus Dur sangat mengerti segala sesuatu tentang tradisi dan kiai NU. Misalnya, seperti diungkapkan Sobary, Gus Dur pernah bercerita tentang mengapa para kiai dan wali cenderung tak mau jika dimintai doa oleh seseorang. Sebab, kiai dan para wali itu tak mau melecehkan ‘kecerdasan’ Allah. Mereka tau, sadar dan benar-benar yakin bahwa Allah itu Maha Tahu dan Maha Memberi walau tak kita minta. Karenanya, mereka selalu menyarankan agar siapa saja yang meminta doa itu agar konsisten saja di jalan Allah dan sepenuhnya berserah pada-Nya. Pasti Allah akan memberi apa yang diinginkannya.

Akhirnya, Gus Dur telah wafat. Namun, nama dan pemikirannya terus hidup di tengah-tengah kita. Melalui dokumentasi tentangnya, lembaganya, karya-karyanya dan tentunya diskusi-diskusi tentangnya seperti yang diselenggarakan oleh Wahid Institute ini. Dan kita terus mendapat pelajaran akan kearifannya.

(ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: