Pesan Rahbar

Home » » Hizbullah Tidak Pernah Perang Melawan Israel? Siapa Yang Bilang? Kalau Ada Yang Bilang Berarti Fitnah, Mari Kita Lihat Bukti

Hizbullah Tidak Pernah Perang Melawan Israel? Siapa Yang Bilang? Kalau Ada Yang Bilang Berarti Fitnah, Mari Kita Lihat Bukti

Written By Unknown on Wednesday 8 April 2015 | 05:19:00


Hizbullah Tidak Pernah Perang Melawan Israel?
Hizbullah cuma pura-pura perang melawan Israel?

Buat yang ragu, silahkan lihat video dan berita-berita di bawah ini.

Sebaliknya coba tanya apa Mujahidin Al Qaida dan Jabhat Al Nusra yang didirikan Abu Muhammad Al Golani itu pernah tidak perang melawan Israel meski cuma sekali saja?


Berita dari Eramuslim.com yg sebetulnya Takfiri yg membenci HIzbullah:
“Pada pukul 16.30 waktu setempat hari Senin (31/7), perlawanan Islam Hizbullah berhasil meledakkan kapal perang milik angkatan laut Israel jenis Saer 4.5 yang ditumpangi oleh sekitar 53 polisi dan tentara Zionis. Kapal perang tersebut berada di dekat pantai Selatan Libanon,” demikian bunyi berita sekilas di televisi Al-Manaar.

Hizbullah berhasil membunuh 51 orang Israel, 32 orang di antaranya adalah militer Israel. Sementara 330 ribu orang Israel lari dari wilayah utara mengungsi karena khawatir terkena rudal Hizbullah.

http://www.eramuslim.com/berita/dunia-islam/terbukti-lagi-janji-hizbullah-hancurkan-kapal-perang-israel.htm#.UcmgKlTAEvQ


Itu beritanya tanggal 1 Agustus 2006 saat Yusuf Qaradhawi masih memuji Hizbullah. Sejak Bughot di Libya dan Suriah, haluan EraMuslim berubah sehingga sepertinya berita simpatik seperti di atas tak akan kita temukan lagi. Bahkan mereka ganti nama Hizbullah jadi Hizbusy Syaithon.

Video Perang Hizbullah melawan Israel tahun 2006 selama 33 hari:


Video Hizbullah perang melawan Israel tahun 2006 di mana 125 tentara Israel tewas dan puluhan ribu rakyat Israel mengungsi:


Hizbullah Menentang Bughot dan AS serta Israel


Berita ini menyerang Hizbullah.

Keputusan Hizbullah melawan Israel di tahun 2006 itu sesuai dgn Al Qur’an dan Hadits yg memang melaknat bangsa Yahudi. SIlahkan baca Al Fatihah.

Sikap Hizbullah membela Assad juga benar karena para pemberontak Wahabi + Ikhwanul Muslimin + Hizbut Tahfir (Takfiri) ini bersekutu dgn AS dan Israel (Yahudi dan Nasrani). Suriah itu negara Arab yg 4x berperang dgn Israel dari tahun 1948 hingga 1982. Sementara negara2 Arab lain seperti Mesir cuma sampai 1973 saja. Setelah itu damai.

Hafez Assad tercatat 3x memimpin Suriah perang melawan Israel. Itulah Mujahidin sejati. Sementara Abu Muhammad al Golani beserta Jabhat Al Nusra tak pernah perang melawan Israel. Jadi tak bisa disebut Mujahidin.

Jadi para pemberontak yg berusaha menggulingkan Assad dgn bantuan AS dan Israel itu sebetulnya berusaha menghancurkan Musuh Israel.

TIndakan Hizbullah yg menentang Bughot dan menentang dominasi AS dan Israel itulah yg benar.


Insya Allah ini adalah perang antara Takfiri vs Syi’ah. Bukan Sunni vs Syi’ah meski kaum Takfiri berusaha menghasut kaum Sunni untuk memihak mereka.

http://www.hidayatullah.com/read/28770/30/05/2013/perang-sektarian-di-ambang-pintu?.html


*****

Perang Tanpa Pemenang

Oleh M. Guntur Romli

Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan. Segala bentuk dalih dukungan pada Israel—misalnya dengan mengatakan bahwa Israel hanya membela diri—akan semakin mendorong Israel untuk terus melakukan serangan. Rabu pagi (12/7), Pemimpin Hezbollah, Syekh Hasan Nasrullah belum selesai menyantap ka’ak; jajan yang dihidangkan untuk perayaan. Baru saja ia memaklumatkan kesuksesan pasukan Hezbollah menyandera dua orang serdadu Israel. Sebuah misi heroik yang disambut pesta oleh seluruh pendukung Hezbollah dan dianggap sebagai peristiwa al-karamah al-musta’adah “kehormatan yang telah direbut kembali”. Tiba-tiba perayaan itu terhenti oleh aksi pembalasan dari pihak militer Israel. Sebelumnya Panglima Militer Israel, Jenderal Dan Halutz telah mengirim pesan teror “misi Hezbollah itu hanya akan memutar jarum jam 20 tahun ke belakang.” Dan benar, setelah pembalasan Israel digelar, Lebanon seperti kembali ke dua dekade silam. Lebanon Selatan dan kota Beirut hancur lebur. Lebanon yang dikenal sebagai “sorga pariwisata” berubah menjadi “neraka malapetaka”. Sialnya hanya gara-gara penyanderaan dua serdadu Israel. Siapa yang mendulang keuntungan dan menjadi pemenang dari perang ini?

Israel mungkin unggul dalam segala-galanya. Terutama kecanggihan senjata dan kekuatan lobbi. Jangankan melawan Hezbollah, ketika Israel dikeroyok oleh gabungan pasukan negara-negara Arab pada perang Arab-Israel tahun 1967, Israel tidak terkalahkan. Semenanjung Sinai milik Mesir jatuh ke tangan Israel, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah diduduki. Pun Lebanon Selatan, dan seluruh wilayah Palestina berhasil dikuasai. Sementara saat ini, Israel “hanya” menghadapi sebuah milisi militer. Bisa dikatakan perlawanan bersenjata Hizbulah adalah misi yang mustahil. Hingga hari ini (18/7), harian Israel Haaretz memberitakan, militer Israel “sukses” menyerang lebih dari 1000 titik sasaran di Lebonon, khususnya markas-markas Hezbollah. Kota demi kota di Lebanon menunggu giliran untuk dihancurkan. Dan Hezbollah hanya membalas dengan serangan roket.

Perdana menteri Israel yang baru terpilih, Ehud Olmert merasa menang dan bisa meraih keuntungan. Popularitasnya pun melambung tinggi. Ia tak lagi dibayang-bayangi kebesaran seniornya, Ariel Sharon. Dengan serangan balasan itu pula, sekaligus bantahan terhadap tudingan bahwa dirinya terlalu lunak pada musuh-musuh Israel. Pun nantinya mayoritas dunia internasional menganggap, Israel hanya membela diri.

Hemat saya, serangan militer Israel yang membabi-buta ini tidak akan berhasil melenyapkan kekuatan Hezbollah, malah akan semakin menambah kekuatan dan dukungan. Olmert mengulangi kesalahan Ariel Sharon pada tahun 1982, ketika menyerbu Beirut dan membumihanguskan kamp pengungsian Palestina di Shabra-Shatila. Penyerbuan Israel itu malah melahirkan Hezbollah sebagai kelompok perlawanan bersenjata yang didukung penuh oleh Iran. Dan karena penyerbuan itu pula, kesadaran nasional rakyat Lebanon terwujud, yang sebelumnya tercabik-cabik oleh perang saudara. Mereka bersatu-padu melawan agresi militer Israel. Sharon sendiri terpojok saat itu, dan harus kehilangan jabatannya sebagai menteri pertahanan. Ia sempat menghilang, sebelum kembali lagi, menjadi pemimpin yang paling keras dalam sejarah Israel. Dalam ranah ini, Israel meski sebuah musibah namun juga anugrah bagi persatuan bangsa Arab. Sharon sendiri yang melahirkan Hezbollah, malangnya ia harus perangi sepanjang hayatnya.

Hezbollah juga merasa di ambang “kemenangan”, karena berhasil memprovokasi Israel untuk berperang. Tanpa konflik senjata, Hezbollah bak singa tanpa rimba, tidak memiliki peran dan agenda. Selama ini bagi Hezbollah, penarikan mundur tentara Israel dari Lebanon Selatan pada tahun 2000 menjadi bukti keberhasilan perlawanan militer kelompok penganut paham syiah itu. Melalui konflik ini pula, popularitas Hezbollah akan membumbung tinggi. Menghadapi kekuatan Israel, Hezbollah juga tidak merasa kecut, karena ada dua kekuatan negara di belakangnya yang siap menggelar “perang puputan”: Suriah dan Iran. Pesan yang juga disampaikan oleh Nasrullah Rabu pagi itu, menegaskan bahwa Lebanon masuk lingkaran poros Iran-Suriah untuk melawan Israel dan Amerika.

Namun atas tindakan radikalnya itu, bagi saya, Hezbollah—sebagaimana Hamas—akan semakin dikucilkan dari Liga Arab. Sejak dini, Saudi mengecam tindakan Hezbollah sebagai perlawanan illegal di luar pemerintah resmi. Hezbollah membangun negara dalam negara. Dalam pertemuan darurat para menteri luar negeri dunia Arab Sabtu lalu, Hezbollah gagal meraih simpati dan solidaritas Liga Arab. Mesir dan Jordania menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi yang menganggap bahwa tindakan Hezbollah itu membahayakan keamanan negeri-negeri jirannya dan telah membunuh proses perdamaian di Timur Tengah.

Lantas siapa yang beruntung? Dua “orang tua asuh” Hezbollah: Suriah dan Iran? Presiden Suriah Bashar al-Asad untuk sementara bisa menarik nafas lega. Sebelum ini ia terpojok gara-gara laporan komisi investigasi independen PBB, yang mengarahkan jari telunjuk pada dirinya bahwa ia terlibat pembunuhan Perdana Menteri Lebanon; almarhum Rafik al-Hariri. Dan atas serangan Israel itu pula, rakyat Lebanon bisa sadar atas kesalahannya karena telah mengusir pasukan Suriah dari Lebanon pada tahun 2004. Tanpa serdadu Suriah di Lebanon berarti keamanan negeri itu terus terancam. Dan serangan Israel saat ini menjadi bukti nyata.

Iran bisa menangguk keuntungan sementara. Setelah babak belur di dunia internasional akibat program nuklirnya, perang Israel-Hezbollah saat ini adalah pengalihan isu yang paling jitu. Kampanye Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad untuk menghapus negara Israel dari peta dunia telah dimulai. Seperti teriakan pemimpin-pemimpin negara Arab pada Perang Arab-Israel dulu, bahwa mereka “akan mencemplungkan negara Israel ke laut.”

Melalui krisis Lebanon ini, kita menyaksikan bahwa Iran dan sekutunya telah mendorong kawasan di Timur Tengah untuk memasuki gelanggang perang terbuka. Sehari sebelum drama penyanderaan itu, Iran menolak mentah-mentah seluruh pembicaraan mengenai program nuklir, dan sekonyong-konyong Hezbollah sebagai agen militer Iran di Lebanon melansir berita penyanderaan dua serdadu Israel. Dalam sekejap, mata dunia pun beralih pada Lebanon.

Sementara Lebanon sendiri adalah sandera dari konflik senjata ini. Pemerintah Lebanon tidak memiliki kekuatan untuk menekan Hezbollah. Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1559 tahun 2004 yang mengamatkan untuk melucuti persenjataan milisi Hezbollah dan milisi-milisi lain. Lebanon adalah korban dari kekerasan ini. Rakyat Lebanon tidak memiliki secuil niat untuk berperang. Lebanon adalah negeri yang dibangun bersusah-payah setelah dihancurkan oleh konflik yang berkepanjangan: perang saudara dan agresi militer Israel dengan mengandalkan dunia pariwisata, dan perdagangan. Sebuah negeri yang telah menutup rapat-rapat pintu perang. Pahitnya perang justeru dikobarkan lagi di negeri ini.

Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan. Segala bentuk dalih dukungan pada Israel—misalnya dengan mengatakan bahwa Israel hanya membela diri—akan semakin mendorong Israel untuk terus melakukan serangan. Padahal seperti yang disampaikan Presiden Rusia Vlademir Putin, melalui serangan membabi-buta ini, Israel telah memiliki agenda lain, tidak hanya berusaha membebaskan dua serdadunya yang disandera.

Pemerintah Lebanon perlu dukungan untuk menjalankan otoritasnya. Sementara Hezbollah jika masih mengakui sebagai bagian dari negeri Lebanon sewajibnya mematuhi kebijakan pemerintah Lebanon. Liga Arab dan OKI berfungsi untuk menuntut Suriah dan Iran agar mengendalikan Hezbollah. Di sinilah hemat saya, pemerintah Indonesia bisa berperan aktif dalam dunia internasional, dengan catatan dalam konflik ini bukan untuk membela salah satu pihak yang berperang, kecuali rakyat sipil dan pemerintah Lebanon. Kekerasan dan perang selalu ditamatkan dua nasib yang sama-sama kalah: mati berkalang tanah, atau hidup tersiksa selamanya. Karena itu, dalam perang, tidak ada yang didaulat sebagai pemenang.

Mohamad Guntur Romli, Analis Politik Timur Tengah

*****

Bukti Baru Dampak Kekalahan Rezim Zionis di Perang 33 Hari Lebanon

Beberapa waktu lalu, kalangan Zionis merilis laporan terbaru mengenai perang 33 hari. Dalam perang itu, Rezim Zionis Israel menderita kekalahan hebat selama 33 hari menyerang Lebanon. Perlawanan gigih Hizbullah meruntuhkan mitos kehebatan angkatan bersenjata rezim zionis rasialis ini. Ternyata, data-data yang dibeberkan menunjukkan dampak kekalahan itu lebih hebat dari yang diperkirakan selama ini. Rezim Zionis Israel punya strategi tersendiri menutupi data kekalahan mereka. Mereka mempublikasikan data-data itu secara bertahap. Dengan itu mereka berharap tidak terlalu malu di hadapan dunia internasional.

Sekaitan dengan masalah ini, Komite Keamanan dan Hubungan Luar Negeri Parlemen membentuk “Tim Propaganda Perang Lebanon”. Dalam laporannya, menyebutkan, Rezim Zionis tidak hanya kalah di medan pertempuran, tapi juga di bidang psy-war. Beberapa bulan sebelum pernyataan ini dilontarkan, Komite bernama Winograd telah merilis laporan yang secara transparan mengakui kekalahan Rezim Zionis Israel dalam perang 33 hari. Komite Winograd dibentuk tidak lama setelah perang 33 hari berakhir. Komite ini dibuat setelah opini publik di sana menekan pemerintah agar membeberkan data-data sesungguhnya yang terjadi. Tugas Komite ini mengumpulkan data-data penyebab kekalahan rezim zionis rasialis ini dalam perang 33 hari di Lebanon. Dalam laporan Komite Winograd, pemakaian kata pecundang untuk Rezim Zionis Israel dipakai beberapa kali ketika dipadankan dengan kata Hizbullah. Laporan Winograd selain mengkritik kinerja pejabat-pejabat Rezim Zionis Israel, juga menegaskan ketidaklayakan mereka.

Kekalahan Rezim Zionis Israel, secara praktis, menunjukkan kerapuhan rezim ini. Hal yang pernah disitir oleh Sekjen Hizbullah, Sayyid Hasan Nasrullah, Rezim Zionis Israel lebih lemah dari rumah laba-laba. Dampak kekalahan ini dimulai dari pengunduran diri Menteri Peperangan waktu itu, Amir Peretz. Kekalahan Rezim Zionis Israel dalam perang 33 hari di Lebanon, dampaknya tidak hanya dirasakan secara politik, namun lebih dari itu. Kerapuhan politik dan kekuatan militer rezim rasialis ini semakin terkuak. Posisi Ehud Olmert sebagai Perdana Menteri juga semakin melemah. Ini sebagian bukti melemahnya posisi Rezim Zionis Israel setelah kekelahan mereka di perang 33 hari di Lebanon.

Perang 33 hari di Lebanon, berdampak besar pada tekanan yang semakin besar terhadap Ehud Olmert. Para pengamat politik setelah melihat sejumlah laporan yang dirilis Rezim Zionis Israel yakin Ehud Olmert tidak mampu bertahan lama di kursi Perdana Menteri. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataannya bahwa ia mengidap penyakit kanker prostat. Pernyataan ini disampaikan sebagai langkah awal proses pengunduran dirinya.

Dalam laporan Tim Propaganda Perang Lebanon Rezim Zionis Israel disebutkan pejabat-pejabat rezim rasialis ini secara tersirat membohongi warganya. Hal ini berakibat pada semakin menurunnya kepercayaan warga Rezim Zionis Israel kepada mereka. Data ini hanya semakin memperjelas kebobrokan mereka. Dampak kekalahan Rezim Zionis Israel sedemikian luasnya, sehingga butuh waktu lama memperbaikinya.


PERANG LEBANON I, PERANG KEBOHONGAN ISRAEL


Juni tiga puluh tahun yang lalu, tentara Israel menerobos perbatasan Lebanon dan memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Lebanon I, untuk membedakannya dengan Perang Lebanon II tahun 2006 saat Israel babak belur "dihajar" gerilyawan Hizbollah. Ini adalah perang paling pahit dan lama bagi Israel. Berlangsung hingga 18 tahun saat Israel dipaksa meninggalkan kawasan Lebanon Selatan setelah, lagi-lagi, babak belur "dihajar" Hizbollah tahun 2000, Israel harus kehilangan 1.500 prajurit terbaiknya di samping ribuan warga Lebanon dan Palestina.

Hampir seluruh peperangan didasari oleh kebohongan hingga kebohongan dianggap sebagai bagian yang sah dalam suatu peperangan. Dan Perang Lebanon I adalah contoh paling brilian tentang kebohongan dalam peperangan.

Kebohongan sudah diawali dari nama resmi operasi militer Israel yang menjadi pemicu peperangan, "Operasi Perdamaian Gelilea". Jika kita tanyakan pada warga Israel yang mengetahui tentang perang tersebut, 99,99% dari mereka akan menjawab: "Kita tidak punya pilihan. Mereka meluncurkan roket katyusha ke Galilea dari Lebanon setiap hari. Kita harus menghentikan mereka."

Fakta yang paling sederhana menunjukkan bahwa hingga 11 bulan sebelum perang, tidak ada 1 tembakan pun dilancarkan dari Lebanon ke Israel. Suatu gencatan senjata tengah berlangsung dan Yasser Arafat, pemimpin Palestina kala itu sukses mengimplementasikan gencatan senjata itu di antara semua faksi perjuangan Palestina, termasuk faksi paling radikal-nya.


Pada akhir Mei tahun 1982 menhan Ariel Sharon bertemu menlu Amerika

Alexander Haig di Washington DC. Kala itu Sharon meminta dukungan Amerika atas rencananya menyerang Lebanon. Haig menolak rencana tersebut kecuali terjadi provokasi nyata terhadap Israel.

Maka provokasi langsung dirancang dan dilaksanakan. Abu Nidal, saingan kotor Yasser Arafat yang dikenal sebagai gembong teroris, mengirimkan keponakannya sendiri untuk membunuh dubes Israel di London. Sang dubes selamat dari pembunuhan namun mengalami luka-luka cukup parah. Sebagai reaksinya Israel membom Beirut yang dibalas Palestina dengan tembakan roket dan altileri sebagaimana diharapkan. Maka PM Menachem Begin mengijinkan Sharon menginvasi Lebanon sejauh 40 km demi menjauhkan Galilea dari jangkauan roket.

Ketika seorang pejabat inteligen mengatakan kepada Begin dalam suatu rapat kabinet, bahwa Abu Nidal bukan anggota PLO pimpinan Arafat, Begin menjawab, "Mereka semua PLO!". Nidal tidak lain adalah binaan Mossad.

Kebohongan yang dilancarkan setiap hari oleh Israel terkait perang sedemikian massif dan mendalam terbenam dalam pikiran orang terutama rakyat Israel. Ini adalah contoh bagaimana sebuah mitos bisa merasuk kuat dalam pikiran masyarakat dan dipandang sebagai suatu realita, termasuk bagi mereka yang melihat dengan mata kepala sendiri tentang realita yang berbeda.

Sembilan bulan sebelum perang Ariel Sharon mengatakan kepada penulis biografinya, Uri Avnery, tentang pandangan-pandangannya pada "perdamaian" Timur Tengah. Menurut Uri, Sharon adalah perpaduan antara "pikiran kotor" yang didasari pada pengetahuan rendah tentang sejarah bangsa-bangsa serta obsesi mewujudkan sebuah "grand disign". Ia memandang rendah semua orang, termasuk PM Isreal kala itu, Menachen Begin.

Grand Design Sharon sebagaimana tertulis dalam biografinya yang terbit sebelum perang, adalah:
1. Menyerang Lebanon dan mendudukkan pemimpin boneka diktator Kristen yang bekerja untuk kepentingan Israel.
2. Mengusir Syria dari Lebanon.
3. Mengusir Palestina dari Lebanon masuk ke Syria dimana di sana mereka akan diusir Syria ke Jordania.
4. Mendorong Palestina memberontak terhadap Raja Jordania dan membentuk pemerintahan Palestina di Jordania.
5. Membuat perjanjian damai dengan negara Palestina yang mengatur kekuasaan bersama atas Tepi Barat.

Dengan obsesinya itu Sharon meyakinkan Begin untuk memulai perang dengan janji hanya akan mengusir Palestina sejauh 40 km dari perbatasan. Namun yang terjadi kemudian adalah petualangan perang kotor yang dikutuk orang sepanjang sejarah. Setelah membunuhi ribuan warga sipil Lebanon, Sharon mengangkat diktator Kristen Bashir Gemayel sebagai presiden yang bekerja untuk kepentingan Israel. Kemudian ia mengkomandoi pembantaian Sabra dan Shatilla oleh milisi Gemayel terhadap pengungsi Palestina dengan tujuan membuat ketakutan orang-orang Palestina dan mengungsi ke Syria.

Namun hasil dari perang yang dilakukannya bertolak belakang dengan keinginannya itu. Bashir dibunuh oleh agen-agen Syria dan digantikan oleh saudaranya, Amien Gemayel yang "lemah". Syria memperkuat kedudukannya di Lebanon, dan pembantaian Sabra dan Shatilla tidak membuat ketakutan orang-orang Palestina. Jordania tidak pernah menjadi negara Palestina. PLO memang terusir dari Lebanon dan mengungsi ke Tunisia, namun secara politis mereka berhasil menjadi satu-satunya perwakilan Palestina dan kemudian kembali ke Palestina.

Secara politik dan militer Israel tidak mendapatkan kemenangan perang, meski di Israel perang itu dirayakan sebagai kemenangan gemilang. Ilusi itu kemudian mengantarkan mereka kepada kekalahan-kekalahan beruntun yang memalukan. Israel terdepak dari Lebanon tahun 2000 dan dipukul mundur oleh Hizbollah tahun 2006.

Fakta sederhananya adalah dalam perang itu tidak ada 1 unit militer pun yang berhasil mencapai targetnya, atau setidaknya sesuai dengan waktu yang ditargetkan. Perlawanan hebat Palestina di Sidon berhasil menahan pasukan Israel dan sampai gencatan senjata terjadi Beirut berada di luar jangkauan Israel. Sharon kemudian dengan licik melanggar gencatan senjata ketika musuh tidak menyangka hal itu dilakukan, kemudian mengepung Beirut dan masuk ke wilayah Timur Beirut, bagian yang dihuni oleh mayoritas warga Kristen.

Berbeda dengan janjinya kepada Begin untuk tidak "menyentuh" Syria, Sharon menyerang posisi-posisi pasukan Syria dan berusaha memutus jalur suplai Beirut-Damaskus. Namun militer Israel gagal mencapai sasarannya, bahkan dipukul mundur oleh Syria di daerah Sultan Yacoub.

Satu aspek lain kekalahan Israel adalah terkait dengan keberadaan warga Shiah di Selatan Lebanon yang berbatasan dengan Israel. Dari tahun 1948 hingga 1970-an perbatasan Lebanon adalah daerah yang tenang di antara semua daerah perbatasan Israel. Orang-orang tanpa sengaja melintas perbatasan dan dikembalikan tanpa insiden. Bisa dikatakan Lebanon adalah negara Arab pertama yang siap untuk berdamai dengan Israel.

Orang-orang Shiah kala itu adalah warga negara kelas 2 di Lebanon, yang lemah secara politik dan dan miskin secara ekonomi. Apalagi kala itu, ketika wilayah mereka diduduki oleh orang-orang Palestina yang terusir dari Jordania. Perbedaan mazhab serta tingkah orang-orang Palestina yang kurang simpatik membuat mereka tidak terlalu peduli ketika Israel menerobos perbatasan untuk mengusir Palestina. Namun tidak terlalu lama bagi mereka untuk memahami watak jahat orang-orang Israel, maka mereka pun memberontak dan membentuk satuan-satuan milisi: Amal dan Hizbollah.

Shiah Lebanon berubah dari seekor tikus menjadi singa. Tidak siap dengan perang gerilya yang dilancarkan mereka, Israel pun hengkang dari Beirut dan sebagian besar Lebanon Selatan. Tidak hanya itu, Israel bahkan dipaksa meninggalkan seluruh Lebanon Selatan tahun 2000. Orang-orang Shiah moderat Lebanon berubah menjadi "radikal progresif" Hizbollah yang kemudian menjadi kelompok militer dan politik paling kuat di Lebanon. Untuk menghambat perkembangan mereka, Israel membunuh pemimpinnya, Abbas al-Musawi. Namun penggantinya, Hassan Nasrallah, ternyata lebih tangguh dan cerdas hingga berhasil menghajar Israel dalam Perang Lebanon II thn 2006.

Sementara itu kembaran Sharon di Washington, George W. Bush menghancurkan pemimpin Irak Saddam Hussein yang merupakan saingan Iran. Hancurnya Saddam Hussein hanya menjadikan Irak menjadi lebih dekat dengan Iran, negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Shiah. Maka kini sebuah aliansi kuat: Shiah Iran, Shiah Irak (PM Maliki dan Muqtada al Sadr), Shiah Lebanon (Amal dan Hizbollah) serta Alawi Syria (Bashar al Assad), menjadi penghalang besar bagi dominasi Israel di Timur Tengah.

Maka jika saja Sharon sadar dari koma-nya yang telah berlangsung 6 tahun, dan melihat realita yang terjadi di Timur Tengah, ia mungkin akan langsung meninggal dan meninggalkan penderitaannya selama 6 tahun.

Penderitaan Sharon, yang selama 6 tahun jiwanya melayang-layang antara alam dunia dan alam akhirat karena pintu neraka terlalu sempit untuknya, lebih hebat dari Begin. Terkejut dengan ulah Sharon dalam pembantian ribuan warga Palestina di Sabra dan Shatilla yang mengundang kecaman internasional terhadap Israel, Begin mundur dari dunia politik dan meninggal dalam depresi 10 tahun.

Satu ajaran moral yang bisa dipetik dari Perang Lebanon I dan masih relevan hingga kapanpun, yaitu semua orang bodoh bisa memulai perang dan hanya orang yang bijaksana-lah yang bisa mencegahnya.

Sumber:
"The War of Lies"; URI AVNERY; counterpunch.org; Juni 2012

Diari dari berbagai Sumber.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: