PANDANGAN SYIAH:
============================
SIKAP SYIAH TERHADAP AHLUS SUNNAH
Menurut nash-nash Syiah, keislaman Ahlus Sunnah adalah sah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syiah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab Syiah mengenai hal ini sungguh amat jelas.
Tak seorang pun dari Syiah—yang berpandangan adil dan moderat—meragukannya.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja’far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan ibn As-Samath mengatakan: “Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni, kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama’ah: “Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw. Atas dasar itulah, nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim).”.
1. Mukhalif adalah sekelompok kaum Muslim yang berbeda pandangan dengan Syiah.
2. Nashibi adalah sekelompok kaum Muslim yang mengibarkan bendera permusuhan terhadap para Imam Suci Ahlul Bait dengan cara melaknat dan mencaci-maki mereka.
Sikap Syiah terhadap yang pertama adalah tetap menganggap mereka Muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang Muslim yang harus dihormati jiwa, harta, dan kehormatannya. Adapun untuk kelompok yang kedua, Syiah menganggapnya sebagai kafir.
Saat ini, kaum Syiah menganggap bahwa kelompok seperti ini tidak akan ditemui. Kalaupun disebut oleh para ulama, khususnya para fuqahadalam buku-buku fatwa mereka, itu tidak lebih dari sekadar informasi dan kepastian hukum yang tidak melazimkan keberadaan mereka saat ini.
Hubungan Baik di Antara Syiah dan Ahlus Sunnah dalam Hal Pernikahan, Waris, dan Lain-Lain
Al-Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir a.s. berkata, seperti tercantum dalam Sahih Hamran ibn A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu, mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”.
Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya.
Karena itu pulalah, para ulama Syiah memfatwakan kebolehan pernikahan
antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi di antara mereka, dan halalnya
sembelihan mereka. Imam Khomeini menyebutkan hal itu secara tegas dalam
kumpulan fatwanya, yakni Kitab Tahrir Al Wasilah sebagai berikut:
1. Dalam Bab Warisan, di saat menjelaskan kafir (non-Muslim) tidak berhak mendapatkan warisan dari seorang Muslim, pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Kaum Muslim saling mewarisi di antara mereka, walaupun mereka berbeda dalam mazhab….
2. Dalam Bab Nikah, di saat menjelaskan tentang kafir (non-Muslim) pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Tidak bermasalah seorang mukmin mengawini seorang perempuan yang berbeda (non-Syiah) yang bukan Nashibi, (yakni, yang tidak melaknat dan memusuhi para imam suci Ahlul Bait).
3. Dalam Bab Penyembelihan, masalah pertama, dinyatakan pula:
Disyaratkan kepada pelaku penyembelihan keharusan bahwa yang bersangkutan adalah seorang Muslim… “Maka halal sembelihan (penganut) seluruh kelompok Islam.”.
Begitu juga Imam Ali Khamene’i memfatwakan secara tegas keabsahan bermakmum kepada Ahlus Sunnah (Fatwa-Fatwa, terbitan Al Huda, Jakarta).
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis salaam] telah tersesat , Imamah Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.
Riwayat ini dan riwayat-riwayat sebelumnya menjadi bukti yang menyatakan bahwa hadis semua sahabat murtad kecuali tiga adalah hadis mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah
Tuduhan bahwa mazhab Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi adalah tuduhan yang tidak benar. Dalam kitab mazhab Syi’ah juga terdapat pujian terhadap para sahabat baik secara umum ataupun terkhusus sahabat tertentu. Walaupun memang terdapat juga riwayat yang memuat celaan terhadap sahabat tertentu. Perkara seperti ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Ahlus Sunnah yaitu terdapat berbagai hadis shahih yang juga mencela sebagian sahabat.
Riwayat Kedua:
Rektor Universitas al Azhar:
Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam dan bukan suatu
kesalahan bagi umat Islam menganut mazhab Syiah atau terjadi peralihan
mazhab dari sunni ke syiah atau sebaliknya. Sebagaimana bolehnya beralih
mazhab dalam internal mazhab Sunni yang empat.
Statemen di atas “Syi’ah bagian dari Umat Islam” adalah jawaban Ketua Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy saat ditanya oleh salah seorang hadirin dalam pertemuan beliau dengan beberapa perwakilan ormas Islam di Aula MUI Pusat Sabtu, 7 Desember 2013.
Dalam acara silaturahmi yang mengangkat tema “Peran Ulama Menghadapi Berbagai Tantangan Umat” itu beliau menegaskan, tidak seorang pun bisa mengingkari bahwa umat Syiah telah ada 1300 tahun yang lalu dan merupakan bagian dari umat Islam yang besar ini.
Karenanya dalam beberapa konferensi yang diadakan oleh lembaga yang diembannya, hadir pula para ulama Syiah.
Menurutnya, adanya perbedaan pandangan antara Ahlussunnah dan Syiah tidaklah serta-merta mengizinkan kita untuk menegasikan dan mengingkari posisi mereka sebagai muslim.
“Apalagi banyak dari para ulama kontemporer Syiah yang moderat dan mengoreksi beberapa pandangan para pendahulunya,” tambahnya.
At Turkiy yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri Konferensi Internasional Media Islam yang ke III, dalam pertemuan malam itu selain menjelaskan tentang visi dan misi serta organisasi yang dipimpinnya, juga mengkritik adanya kontradiksi antara apa yang ia dengar bahwa MUI adalah forum yang mengumpulkan perwakilan semua ormas Islam di Indonesia namun di sisi lain, dinamai Majelis Ulama tapi berposisi sebagai sebuah lembaga yang memproduksi fatwa.
Menurutnya jika hanya kumpulan perwakilan ormas Islam maka tidak selayaknya disebut Majelis Ulama namun Majelis Tinggi Ketua-ketua Ormas Islam Indonesia lebih tepat. Atau jika memang yang diinginkan adalah kumpulan ulama yang akan memproduksi fatwa maka haruslah terdiri dari orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam berijtihad dan berfatwa.
Menanggapi kritik tersebut Prof. Dr. Junaidi salah seorang pimpinan MUI menjelaskan tentang posisi MUI sebagai forum diskusi dan konsultasi para ulama dan pimpinan ormas Islam yang memiliki beberapa komisi, diantaranya komisi Fatwa.
Hal itu dimungkinkan karena lembaga yang dipimpinnya merupakan
lembaga non pemerintah dengan konsen dan idealisme yang diperjuangkan
demi kemaslahatan Islam dan Muslimin.
“Dan kamipun berkomitmen untuk tidak mencampuri kebijakan dalam negeri setiap negara dan berbagai ciri khasnya,” lanjutnya.
Acara ditutup dengan tukar-menukar cinderamata yang dalam hal ini MUI diwakili salah seorang ketua harian MUI Pusat, Prof. Dr. KH. Umar Shihab.
Pertanyaan: Ada sebuah riwayat dari Imam Ali as: “Umat Islam Syiah tidak akan masuk neraka.” Begitu juga aku membaca dalam sebuah buku bahwa tingkat pertama neraka Jahanam adalah khusus untuk umat Islam (umat nabi) yang pendosa! Mana yang benar?
Jawaban Global:
Tolak ukur perhitungan di hari kiamat untuk menentukan apakah sesorang layak memasuki surga atu neraka berdasar pada kaidah-kaidah yang telah dijelaskan oleh Allah swt dalam ayat-ayat suci-Nya. Tuhan tidak mempedulikan faktor perbedaan kelompok, keturunan, dan bangsa dalam hal ini. Tolak ukur utama adalah amal perbuatan manusia; yakni kenikmatan surga adalah balasan dari iman dan amal saleh, sedangkan neraka adalah balasan kekufuran dan dosa.
Jawaban Detil:
Sepanjang sejarah banyak yang membahas masalah umat yang bakal selamat di akhirat (firqah najiah). Pembahasan tersebut kurang lebih bertumpu pada sebuah hadits yang diaku dari nabi, yang dikenal dengan hadits iftiraq. Para penulis buku-buku sekte dan mazhab-mazhab berusaha mengkategorikan sekte-sekte yang ada sebisa mungkin agar susuai dengan hadits tersebut. Dalam riwayat itu dijelaskan bahwa akan hanya ada satu kelompok yang selamat dan masuk surga. Akhirnya setiap sekte dan mazhab berusaha untuk menyebut dirinya sebagai kelompok yang benar itu dan layak memasuki surga.
Al-Qur’an dalam menyinggung masalah kebahagiaan sejati akhirat sering kali menjelaskan adanya beberapa kelompok yang tak hanya menganggap diri mereka yang layak masuk surga, namun juga berkeyakinan bahwa selain mereka tidak berhak masuk ke dalam surga. Begitu juga dalam riwayat-riwayat Ahlu Sunah dan Syiah banyak sekali ditemukan hadits tentang pahala dan siksa akhirat, dan terkadang setiap salah satu dari mereka memberikan tolak ukur tertentu untuk permasalahan tersebut. Dengan memahami pendahuluan singkat tersebut, kini perlu dijelaskan dua hal:
Pertama: Apakah Tuhan telah menjelaskan toak ukur orang-orang yang berhak masuk surga dan neraka? Atau tidak?
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang sebagian kaum yang menyatakan diri merekalah yang paling berhak untuk masuk surga. Mereka mengira bahwa adzab neraka hanya akan mereka rasakan selama beberapa hari saja, lalu akhirnya mereka akan mendapatkan tempat di surga. Dalam menanggapi keyakinan seperti itu, Allah swt berfirman: “Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”” (QS. al-Baqarah [2]:80)
Setelah itu Allah swt menjelaskan kaidah umum untuk menentukan siapakah yang berhak masuk surga atau neraka. Ya, orang-orang yang melakukan dosa, lalu dampak dosa itu meliputi dirinya, maka orang seperti itu adalah penduduk neraka, dan mereka kekal di sana. Adapun mereka yang beriman dan melakukan amal perbuatan baik, mereka adalah penduduk surga dan untuk selamanya mereka di sana.[1]
Begitu pula sebagian berkeyakinan bahwa hanya Yahudi dan Nashrani saja yang akan masuk surga. Lalu Al-Qur’an menepis pengakuan mereka dan menyatakan bahwa perkataan mereka tidak memiliki bukti, menganggap semua itu hanyalah mimpi dan khayalan mereka saja. Lalu Al-Qur’an menjelaskan tolak ukur sebenarnya dengan berfirman: “…bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:112).
Ayat suci itu menyatakan bahwa sebab utama masuk surga adalah penyerahan diri kepada perintah Tuhan dan perbuatan baik. Yakni surga tidak akan diberikan kepada orang yang hanya mengaku-aku saja, namun diperlukan iman dan amal saleh. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjadikan amal perbuatan sebagai tolak ukur berhaknya seseorang untuk masuk surga atau neraka. Meski juga ada kelompok ketiga yang berada di antara mereka, yang mana Al-Qur’an menjelaskan mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan terhadap Tuhannya; namun hanya Ia yang tahu entah mereka dimaafkan atau disiksa.[2]
Kedua: Siapakah yang dimaksud orang-orang Syiah yang dijanjikan masuk surga itu?
Di antara riwayat-riwayat Syiah, juga ada hadits-hadits dari nabi dan para imam maksum yang menjelaskan tentang bahwa umat Syiah akan masuk surga. Kata-kata “Syiah” dalam hadits tersebut membuat kita terdorong untuk mengkaji lebih matang siapakah yang dimaksud dengan “Syiah” dalam hadits-hadits itu? Baru setelah itu kita akan membahas masalah-maslaah lain yang berkaitan dengannya.
Makna Leksikal Syiah
Para ahli bahasa menyebutkan banyak makna untuk kata “Syiah”. Misalnya: kelompok, umat, para penyerta, para pengikut, para sahabat, para penolong, kelompok yang berkumpul pada satu perkara.[3]
Makna Istilah Syiah
Syiah dalam istilah adalah orang-orang yang meyakini bahwa hak kepenggantian nabi ada pada keluarga risalah, dan dalam menerima makrifat-makrifat Islami mereka mengikuti Ahlul Bait as, yakni para imam Syiah as.[4]
Kata Syiah sepanjang sejarah mengalami berbagai perubahan dalam maknanya. Misalnya terkadang diartikan sebagai kelompok politik, terkadang pecinta, atau juga pengikut aliran pemikiran yang berprilaku mengikuti para imam suci as.
Syiah Menurut Para Imam Maksum as
Dari beberapa riwayat yang dinukil dari kalangan Ahlul Bait as dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Syiah adalah orang-orang khusus yang tidak hanya mengaku sebagai pengikut saja. Namun para Imam suci menekankan adanya sifat-sifat khas yang dimiliki mereka, seperti mengikuti para Imam dalam amal dan perilaku. Oleh karena itu sering kali para Imam menegaskan kepada sebagian orang yang mengaku Syiah untuk berprilaku sebagaimana yang diakuinya. Untuk lebih jelasnya mari kita membaca beberapa riwayat yang akan kami sebutkan.
Ada banyak riwayat dari para Imam maksum as yang sampai ke tangan kita tentang siapa Syiah sejati yang sebenarnya. Tak hanya itu, bahkan ada celaan terhadap sebagian orang yang berkeyakinan bahwa diri mereka tidak akan masuk neraka karena Syiah, lalu mereka disebut sebagai Syiah paslu.
Seseorang berkata: “Aku berkata kepada Imam Shadiq as: “Sebagian dari pengikutmu melakukan dosa-dosa dan berkata: “Kami memiliki harapan.” Lalu Imam as berkata: “Mereka berbohong. Mereka bukanlah kawan kami. Mereka adalah orang-orang yang membawa harapannya kesana kemari, yang mana ketika mereka mengharap sesuatu, mereka mengejarnya, lalu jika mereka takut akan sesuatu, mereka lari.”.”[5]
Imam Shadiq as pernah berkata: “Bukanlah Syiah (pengikut) kami orang yang mengaku dengan lisannya namun berperilaku bertentangan dengan kami. Syiah adalah orang yang hati dan lidahnya sejalan dengan kami, begitu pula perilaku dan amal perbuatannya mengikuti kami; merekalah Syiah kami.”[6]
Para Imam as sering kali menyebutkan kriteria-kriteria Syiah sejati. Misalnya anda dapat membaca dua riwayat di bawah ini:
Imam Baqir as berkata: “Wahai Jabir, apakah cukup bagi pengkut kami untuk hanya mengaku sebagai Syiah? Demi Tuhan, Syiah kami adalah orang-orang yang bertakwa dan takut akan Tuhannya, menjalankan perintah-perintah-Nya. Mereka (Syiah) tidak dikenal kecuali sebagai orang yang rendah hati, khusyu’, banyak mengingat Tuhan, berpuasa, shalat, beramah-tamah dengan tetangga yang miskin, orang yang butuh, para pemilik hutang, anak-anak yatim, serta berkata jujur, sering membaca Al-Qur’an, menjaga lidahnya terhadap sesamanya, dan juga orang yang dipercaya oleh keluarganya.”[7]
Imam Ja’far Shadiq as berkata: “Syiah kami adalah orang yang bertakwa, setia, zuhud, ahli ibadah, dan orang yang di malam hari shalat sebanyak lima puluh satu rakaat, dan berpuasa di siang hari, menunaikan zakat hartanya, menjalankan ibadah haji, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram.”[8]
Jika tidak dijelaskan apa maksud Syiah sejati yang sebenarnya, maka artinya perbuatan buruk diperbolehkan untuk dilakukan oleh sekelompok orang. Di sepanjang sejarah kita pun menyaksikan sebagian kelompok yang mengaku Syiah namun tidak menjalankan perintah-perintah agama, lalu berdalih dengan riwayat-riwayat tersebut seraya menekankan bahwa “agama adalah mengenal Imam”[9], dan mereka pun terus-terusan sembarangan melakukan dosa dan kemunkaran. Akhirnya fenomena tersebut sangat merugikan ke-Syiahan yang sebenarnya yang mana tak dapat terbayar dengan mudah.
Sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan bahwa kadar pahala dan siksa seseorang bergantung pada sikapnya terhadap agama. Fakta ini tidak berbeda antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Kelompok, aliran atau apapun tidak akan mendekatkan diri seseorang kepada Tuhan dan tak dapat dijadikan alat untuk lari dari siksaan neraka. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]:13).
Imam Ridha as berkata kepada saudaranya yang dikenal dengan sebutan Zaida al-Nar: “Wahai Zaid, apakah perkataan para pedagang pasar: “Fathimah telah menjaga dirinya dan Allah mengharamkan api neraka terhadapnya dan juga anak-anaknya.” telah membuatmu sombong? Demi Tuhan bahwa hal itu hanya berlaku untuk Hasan dan Husain serta anak yang lahir dari rahimnya. Apakah bisa Imam Musa bin Ja’far as mentaati Tuhan, berpuasa di siang hari, bertahajud di malam hari dan shalat malam, lalu engkau dengan seenaknya bermaksiat kemudian di akhiran tanti engkau berada di derajat yang sama dengannya? Atau lebih mulia darinya?!”[10]
Salah satu misi agama adalah mengantarkan manusia baik secara individu maupun bersama kepada kesempurnaan. Tujuan itu tidak akan mungkin tercapai tanpa ketaatan akan perintah-perintah Tuhan. Atas dasar itu, agama ini tidak mungkin memberikan jalan bagi suatu kelompok untuk berjalan di luar jalur yang telah ditunjukkan lalu menempatkan mereka di tempat yang sama atau lebih tinggi dari selainnya di akhirat nanti. Hal ini bertentangan dengan tujuan penciptaan yang sebenarnya. Jika yang dimaksud denga Syiah adalah apa yang telah dijelaskan oleh para Imam, maka tidak heran jika orang-orang dengan kriteria seperti itu bakal mendapatkan tempat di surga. Adapun orang-orang yang hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, jelas mereka tidak akan mendapatkan apa yang dijanjikan kepada Syiah sejati.
Adapun tentang riwayat yang menjelaskan bahwa tingkat pertama neraka jahanam adalah khusus untuk umat Islam yang pendosa, perlu dikatakan bahwa tolak ukur surga dan neraka menurut Al-Qur’an adalah amal manusia. Hanya sebutan Muslim saja tidak cukup, karena antara Islam dan Iman sangat jauh perbedaannya. Tuhan semesta alam dalam hal ini berfirman kepada orang-orang yang mengaku beriman:“Jangan katakan kami telah beriman, katakan kami telah Muslim.” (QS. Al-Hujurat [49]:14). Ketika seseorang mengucapkan dua syahadat, maka orang itu telah menjadi Muslim; dan hal ini hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi dan status sosial saja. Adapun surga dan balasan di dalamnya, adalah untuk orang-orang yang lebih dari sekedar menjadi Muslim saja; yakni sebagaimana yang telah dijelaskan, untuk memasuki surga, seseorang harus menjadi Muslim (menyerahkan diri) dan juga memiliki keimanan di hati, serta melakukan amal saleh dengan raga. Oleh karena itu tolak ukur kelayakan masuk surga atau neraka sangat jelas sekali dalam Al-Qur’an, dan hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, atau Islam, tidak akan menghindarkan seorangpun dari siksa api neraka atau memasukkanya ke surga.
Kesimpulannya, amal perbuatan adalah tolak ukur utama, bukan pengakuan sebagai Muslim, Syiah, atau selainnya. Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, orang Islam dan Syiah yang tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya pasti tidak akan mendapatkan rahmat Tuhan dan layak untuk disiksa di neraka. Adapun apakah adzab di neraka itu kekal abadi ataukah tidak, lain lagi permasalahannya. Selain itu juga ada masalah Syafa’at yang masih perlu dibahas terkait dengan hal itu di kesempatan lainnya.
Untuk kami ingatkan, maksud kami bukan berarti ke-Syiah-an seseorang sama sekali tak ada gunanya. Namun tak dapat diingkari bahwa pemikiran (atau iman) dan amal perbuatan adalah dua sayap bagi manusia untuk terbang menuju kesempurnaan. Untuk mengkaji lebih jauh, seilahkan merujuk: Turkhan, Qasim, Negaresh i Erfani, Falsafai wa Kalami be Syakhsiyat va Qiyam e Emam Husain as, hal. 440-447.
Berkenaan dengan Klasifikasi Syiah Indonesia oleh Habib Rizieq Shihab, berikut ini Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia:
1. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia berpendapat bahwa klasifikasi Syiah menjadi 3 golongan (ghulat, rafidhah dan mu’tazilah), merupakan pendapat ilmiah Habib Rizieq Shihab yang patut dihargai dan perlu dikaji lebih jauh.
2. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas berlepas tangan dari golongan ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan rafidhah yang digambarkan sebagai pencaci-maki para sahabat dan istri Nabi.
3. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga menegaskan kepada semua pihak tentang ketiadaan Syiah ghulat di Indonesia. Andaikata ada oknum Syiah ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka bagi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia mereka adalah kafir.
4. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga ingin menegaskan kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa mayoritas mutlak Syiah di Indonesia adalah mu’tadilah sebagaimana klasifikasi Habib Rizieq Shihab, yaitu Syiah yang bersikap menghargai seluruh figur yang dihormati dan dimuliakan umat Islam Indonesia.
5. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menegaskan, seluruh Syiah Indonesia sudah paham sepenuhnya bahwa caci-maki dan pengutukan bukanlah akhlak yang diajarkan oleh Ahlul Bait sebagai panutan mereka dan bukan pula fatwa ulama Syiah paling muktabar pada saat ini.
6. Ahlul Bait Indonesia mengajak seluruh elemen umat Islam untuk menyadari bahwa gerakan pengkafiran dan penyesatan yang menggunakan kekerasan sama sekali bukanlah jalan yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
7. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa oknum-oknum Syiah yang mencaci-maki para sahabat dan istri Nabi, yang sikapnya bertentangan dengan fatwa ulama Syiah paling muktabar di zaman ini, jelas merupakan agen-agen Zionis yang sengaja disusupkan untuk memecah-belah ukhuwah umat Islam dan mengobarkan konflik sektarian di negeri Indonesia tercinta. Karena itu Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menganggap mereka sama dengan kelompok takfiri yang mengkafirkan Syiah itu sendiri dan menganggap mereka sebagai dua sisi dari satu blok yang sama, yakni blok musuh Islam.
Demikian Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia ini kami sampaikan. Semoga Allah Swt senantiasa meridhai setiap langkah kita dan mempererat ukhuwah umat Islam di Indonesia.
Jakarta, 14-12-2013
KH. Hasan Alaydrus
Ketua Umum DPP Ahlul Bait Indonesia
Dalam jawabannya terhadap pertanyaan fatwa yang dilontarkan oleh salah satu mukalid tentang tindakan sekelompok orang yang mencaci maki Khalifah Umar bin Khathab dan Siti Aisyah istri Nabi Saw, Marjak Taklid Syi’ah Ayatullah Uzma Ali Sistani mengecam keras tindakan caci maki itu seraya menyebutnya bertentangan dengan akhlak dan perilaku Ahli Bait as.
Fatwa ini dikeluarkannya mengingat slogan berapa pemuda di daerah Al-A’dzamiyah kota Baghdad yang melecehakan tokoh-tokoh kehormatan Ahli Sunnah. Bersamaan dengan itu, Nuri Maliki perdana menteri Irak juga mengecam penghinaan itu seraya mengeluarkan perintah penangkapan para pelaku.
Berapa waktu yang lalu telah tersebar berbagai rekaman vidio seorang bernama Tsa’ir Ad Darraji di situs-situs internet yang mencaci maki sebagian dari sahabat Nabi Muhammad Saw dan diikuti oleh sekelompok orang di sekitarnya.
Pelecehan yang dilakukan oleh kelompok pemuda dengan pimpinan Tsa’ir Ad Darraji ini langsung ditentang keras oleh para ulama dan marjak taklid Syi’ah di Irak.
Muqtada Sadr salah satu ulama Irak dan pemimpin Aliran Sadr juga mengecak keras tindakan itu seraya menyatakan, ‘Tindakan ini dilakukan oleh sekelompok orang bayaran untuk mencetuskan fitnah di Irak.’
Fatwa penting ini sangat layak untuk dibaca dan dijadikan
sebagai bahan renungan (khususnya muqallid Sayid Ali Khamenei dan
pengikut mazhab Syiah umumnya) sekaligus alasan untuk mengevaluasi diri
kita masing dalam melaksanakan taklif terutama dalam bidang dakwah dan
interaksi antar sesama.
Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Spiritual dari Iran, menerbitkan sebuah fatwa yang mengharamkan perlakuan buruk terhadap istri Nabi, Ummul mukminin Aisyah dan melecehkan simbol-simbol (tokoh-tokoh yang diagungkan) ahlusunah waljamaah.
Hal itu tertera dalam jawaban atas istifta’ (permohonan fatwa) yang diajukan oleh sejumlah ulama dan cendekiawan Ahsa, Arab Saudi, menyusul penghinaan yang akhir-akhir ini dilontarkan seorang pribadi tak terpuji bernama Yasir al-Habib yang berdomisili di London terhadap istri Nabi, Aisyah. Para pemohon fatwa menghimbau kepada Sayid Khamenei menyampaikan pandangannya terhadap “penghujatan jelas dan penghinaan berupa kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan terhadap istri Rasul saw., Aisyah.”
Menjawab hal itu, Khamenei mengatakan, “…diharamkan melakukan penghinaan terhadap (tokoh-tokoh yang diagungkan) ahlusunah waljemaah apalagi melontarkan tuduhan terhadap istri Nabi saw. dengan perkataan-perkataan yang menodai kehormatannya, bahkan tindakan demikian haram dilakukan terhadap istri-istri para nabi terutama penghulu mereka Rasul termulia.”
Fatwa Khamenei ini dapat dapat dianggap sebagai fatwa paling mutakhir dan menempati posisi terpenting dalam rangkain reaksi-reaksi luas kalangan Syiah sebagai kecaman terhadap pelecehan yang dilontarkan oleh (seseorang bernama) Yasir al-Habib terhadap Siti Aisyah ra.
Sebelumnya puluhan pemuka agama di kalangan Syiah di Arab Saudi, negara-negara Teluk dan Iran telah mengecam dengan keras pernyataan-pernyataan dan setiap keterangan yang menghina Siti Aisyah atau salah satu istri Nabi termulia saw.
Berikut teks fatwa dalam bahasa Arab tersebut:
Teks Permohonan Fatwa:
Bismillahirrahmanirrahim Yang Mulia Ayatullah Al-Uzma Sayid Ali Al-Khamenei Al-Husaini Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Umat Islam mengalami krisis metode yang mengakibatkan penyebaran fitnah (cekcok) antar para penganut mazhab-mazhab Islam dan mengakibatkan diabaikannya prioritas-prioritas bagi persatuan barisan muslimin. Hal ini menjadi sumber bagi kekacauan internal dan terhamburkannya kontribusi Islam dalam penyelesaian isu-isu penting dan menentukan. Salah satu akibatnya adalah teralihkannya perhatian terhadap capaian-capaian putra-putra umat Islam di Palestina, Lebanon, Irak, Turki, Iran dan negara-negara Islam lainnya. Salah satu hasil dari metode ekstrim ini adalah tindakan-tindakan yang menjurus kepada pelecehan secara sengaja dan konstan terhadap ikon-ikon dan keyakinan-keyakinan yang diagungkan oleh para penganut mazhab suni yang kami muliakan.
Maka, bagaimanakah pendapat Yang Mulia tentang hal-hal yang dilontarkan dalam sebagian media televisi satelit dan internet oleh sebagian orang yang menyandang predikat ilmu berupa penginaan terang-terangan dan pelecehan berupa kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan istri Rasul saw., Ummulmukminin Aisyah serta menuduhkan dengan hal-hal yang menodai kehormatan dan harkat istri-istri nabi, semoga Allah Taala meridai mereka?
Karenanya, kami memohon Yang Mulia berkenan memberikan pernyataan tentang sikap syar’i secara jelas terhadap akibat-akibat yang timbul dari sensasi negatif berupa ketegangan di tengah masyarakat Islam dan menciptakan suasana yang diliputi ketegangan psikologis antar sesama muslim baik di kalangan para penganut mazhab ahlulbait maupun kaum muslimin dari mazhab-mazhab Islam lainnya, mengingat penghujatan-penghujatan demikian telah dieksploitasi secara sistematis oleh para provokator dan penebar fitnah dalam sejumlah televisi satelit dan internet demi mengacaukan dan mengotori dunia Islam dan menyebarkan perpecahan antar muslimin.
Sebagai penutup, kami berdoa semoga Yang Mulia senantiasa menjadi pusaka bagi Islam dan muslimin.
Tertanda, Sejumlah ulama dan cendekiawan Ahsa, 4 Syawal 1431 H.
Jawaban Imam Khamenei:
Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Diharamkan menghina simbol-simbol (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, ahlusunah, berupa tuduhan terhadap istri Nabi saw. dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya, bahkan tindakan ini diharamkan terhadap istri- istri para nabi terutama penghulunya, yaitu Rasul termulia saw.
Semoga Anda semua mendapatkan taufik untuk setiap kebaikan.
**************************
LALU SIAPAKAH YASIR HABIB SANG PENCERCA ITU ?
Pernah, seorang pengunjung blog berkomentar mengenai tidak mungkinnya persatuan Syiah dan suni karena masih adanya caci-maki terhadap sahabat dan istri Nabi. Dalam komentarnya, dia juga memberi link sebuah video di YouTube untuk “membuktikan” klaim tersebut. Saya buka video tersebut dan tulisan di awal video adalah “YASIR AL-HABIB, di antara ulama Syiah yang terkemuka di abad 20.”
Saya membalas komentarnya begini, “Yasir Al-Habib? Ulama terkemuka abad 20? Terlalu berlebihan. Saya kasih contoh yang terkemuka: Ayatullah Khamenei, Ayatullah Sistani, Syekh Subhani, Husein Fadhlullah, dll.” Jadi, siapa Yasir Al-Habib?
Yasser al-Habib, begitu transliterasi dalam bahasa Inggrisnya, dilahirkan di Kuwait pada tahun 1979—masih muda untuk jadi ukuran ulama “terkemuka”. Dia adalah lulusan Ilmu Politik Universitas Kuwait, artinya tidak ada latar belakang keilmuan hauzah ilmiah. Pandangannya dalam agama sangat ekstrim, termasuk mengenai sejarah wafatnya Fatimah putri Nabi saw. yang kerap kali kecaman dialamatkan kepada Khalifah Abu Bakar, Umar serta Ummulmukminin Aisyah ra. Makiannya yang dilakukan dalam sebuah ceramah tertutup ternyata tersebar dan membuatnya dipenjarakan oleh pemerintah Kuwait pada tahun 2003.
Belum setahun, ia dibebaskan di bawah pengampunan Amir Kuwait (menurut pengakuannya dia bertawasul kepada Abul Fadhl Abbas), namun beberapa hari kemudian ditangkap lagi. Sebelum dijatuhi hukuman selama 25 tahun, ia pergi meninggalkan Kuwait. Karena tidak mendapat izin dari pemerintah untuk tinggal di Irak dan Iran, ia mendapat suaka dari pemerintah Inggris.
Sejak berada di Kuwait, ia sudah memimpin Organisasi Khaddam Al-Mahdi. Setelah mendapat suaka dari pemerintah Inggris, entah bagaimana organisasinya semakin “makmur”. Punya kantor, koran, hauzah (semacam pesantren), majelis, yayasan dan juga website sendiri. Karena perkembangannya yang cepat inilah muncul kecurigaan bantuan dana dari pemerintah Inggris. Kita semakin curiga, karena pemerintah Kuwait berulang kali meminta agar Yasser Al-Habib ditangkap namun ditolak oleh Interpol.
Hubungannya dengan Mesir, Iran, dan sebagian besar ulama Syiah nampaknya tidak harmonis. Dalam situsnya, ia kerap kali mengecam ulama rujukan sekelas, Imam Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei, bahkan tidak menganggapnya sebagai mujtahid dan marja’. Jadi bisa dikatakan bahwa Yasser Al-Habib sangat tidak merepresentasikan mayoritas ulama Syiah yang menghendaki persatuan dan perbaikan umat muslim. Tidak adil jika Anda mengutip pendapatnya dan menuliskan bahwa itu adalah pandangan (mayoritas) pengikut Syiah, padahal hanyalah pandangan pribadinya. Dan karena itu kita perlu waspada dan mengetahui mengenai rancangan CIA dalam menciptakan “ulama-ulama” palsu.
Ayatullah Makarim Syirazi: Yasser Al Habib itu Tidak Tahu Apa-apa, dan Wahabi Lebih Bodoh Lagi
Pribadi ini memang tidak tahu apa-apa, atau memang sedang tidak waras, namun lebih bodoh dari itu adalah ulama-ulama Wahabi yang bersandar dengan ucapan-ucapan Yasser dengan mengatakan, “Syiah telah menampakkan hakekat aslinya.” Ini menunjukkan mereka berdalil dengan sesuatu yang tidak logis sebab hanya menyandarkan pendapatnya pada satu orang yang tidak dikenal, dan tidak bersandar pada pendapat ulama-ulama Syiah lainnya. Saya menulis sekitar 140 kitab mengenai aqidah, tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya dan tidak satupun dalam kitab saya, saya menulis penghinaan terhadap istri Nabi, sementara Yasser tidak menghasilkan karya apapun dan berbicara tanpa sanad.
Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi dalam perkuliahannya ahad kemarin (3/10) menyikapi munculnya fitnah terbaru yang dihadapi umat Syiah dengan keberadaan Yasser al Habib yang mengatasnamakan Syiah telah melakukan penghinaan terhadap istri Nabi Ummul Mukminin Aisyah ra berkata, “Apakah kamu mendengar ada seseorang yang tidak tahu apa-apa namun menyebut diri sebagai ulama Syiah yang sekarang menetap di London yang telah mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak sepantasnya disematkan kepada istri Nabi saww?”
Beliau menegaskan bahwa individu tersebut tidak layak mengatasnamakan diri sebagai ulama Syiah sebab tidak memiliki kapasitas apa-apa, ” Pribadi ini memang tidak tahu apa-apa, atau memang sedang tidak waras, namun lebih bodoh dari itu adalah ulama-ulama Wahabi yang bersandar dengan ucapan-ucapan Yasser dengan mengatakan, “Syiah telah menampakkan hakekat aslinya.” Ini menunjukkan mereka berdalil dengan sesuatu yang tidak logis sebab hanya menyandarkan pendapatnya pada satu orang yang tidak dikenal, dan tidak bersandar pada pendapat ulama-ulama Syiah lainnya. Saya menulis sekitar 140 kitab mengenai aqidah, tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya dan tidak satupun dalam kitab saya, saya menulis penghinaan terhadap istri Nabi, sementara Yasser tidak menghasilkan karya apapun dan berbicara tanpa sanad.”.
Ulama besar yang merupakan marja taklid dalam dunia Syiah ini melanjutkan, “Kami mengatakan bahwa ucapan orang tersebut adalah perkataan buruk dan bohong besar, dan ia tidak tahu apa-apa namun ulama-ulama Wahabi justru bersandar pada ucapannya. Ada kemungkinan ceramah-ceramah tidak senonoh dari orang yang bermukim di London ini adalah sebuah konspirasi, dan Wahabi yang berada di Hijaz memanfaatkan ceramah-ceramah itu untuk merusak citra Syiah dan menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam sampai mereka mendapatkan keuntungan pribadi dari tipu muslihat ini.”.
Tenaga pengajar Hauzah Ilmiyah Qom ini melanjutkan, “Di antara syubhat lainnya, yang ulama-ulama Wahabi lontarkan, mereka berkata, kalau memang perbuatan Yasser tersebut sesuatu yang terlaknat lantas mengapa Ayatullah-ayatullah kalian tidak mengatakan apa-apa?. Mereka melontarkan syubhat tersebut dengan terus bertanya sementara kita telah mengutuk perbuatan tersebut dan mengatakan bahwa kita tidak mengenal bentuk penghinaan apapun terhadap istri-istri Nabi, yang kita tahu, penghinaan terhadap istri-istri Nabi sama halnya menghina Nabi sendiri.”.
“Apakah Wahabi lupa mengenai fatwa mati Imam Khomaeni terhadap Salman Rusdi yang telah menghina Islam dan menyatakan bahwa ia telah murtad dari Islam? Apa mereka ulama-ulama Wahabi itu tidak mengetahui bahwa Salman Rusdi dalam buku Ayat-ayat Syaitannya itu bukan hanya menghina Nabi namun juga melakukan penghinaan terhadap istri-istri Nabi tetapi mengapa mereka berdiam saja dan tidak mengeluarkan kutukan apapun terhadap Salman Rusdi sementara Imam Khomeini melakukannya?. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan ahli logika dan tidak lagi mampu berpikir sehat. Berseberangan dengan mereka, di antara ulama-ulama Sunni mengetahui fatwa-fatwa dan pengecaman kita (ulama-ulama Syiah) dan mereka menyatakan kegembiraannya dengan itu.” Tegasnya.
Ayatullah Makarim Syirasi di akhir pembicaraannya mengatakan, “Kita harus lebih waspada dan berhati-hati dalam setiap diskusi dan dialog, jawablah setiap pertanyaan dengan dalil dan hujjah yang tegas, dengan argumen-argumen yang sehat dan kuat dan jangan melakukan hal-hal yang dapat memicu perselisihan dan semakin memperlebar jurang perpecahan. Saya yakin umat Islam pada akhirnya akan bergandengan tangan satu sama lain dan tidak terjebak dalam fitnah perpecahan yang gencar dihembuskan musuh-musuh Islam.”
Diberitakan, pribadi yang bernama Yasser al Habib tidak layak menggunakan pakaian yang merupakan ciri khas pakaian ulama Syiah, karena ia bukan lulusan dan alumni dari Hauzah Ilmiyah manapun.
Yasser al Habib selama bulan Ramadhan kemarin dalam berbagai acara khususnya acara peringatan kematian Aisyah istri Nabi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu pertikaian dengan menyematkan hal-hal yang tidak pantas kepada Ummul Mukminin Aisyah. Ulama-ulama Syiah dari Arab Saudi dan Kuwait diantaranya, Syaikh Amri, Syaikh Husain Mu’tawaq, Syaikh Hasan Safaar, Saikh Al al-Muhsin, Syaikh Hasyim as salman dan lain-lain telah mengecam keras pernyataan-pernyataan Yasser al Habib yang dianggap telah melukai hati umat Islam.
Sesuatu yang mengherankan, ditengah kecaman kaum muslimin, Yasser al Habib justru mendapat perlindungan dan pembelaan dari pemerintah Inggris.
Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi (abna.id)
Larangan Mencerca Sahabat Nabi
Tanya:
Madzhab Ahlul Bait punya keyakinan bahwa kepemimpinan (imamah/khilafah) atas ummat sepeninggal Rasulullah merupakan hak para imam dari Ahlul Bait. Sementara itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa yang menjadi khalifah adalah para Sahabat. Dengan demikian, dalam pandangan madzhab Ahlul Bait, telah terjadi pengambilan hak kepemimpinan atas ummat oleh Sahabat. Tapi, saya mendengar bahwa para marji, ternasuk Imam Ali Khamenei, melarang pengecaman kepada para Sahabat. Bagaimana penjelasannya?
Jawab:
Pada Itrah edisi 7, sebagian dari masalah ini sudah sebenarnya pernah dibahas, yaitu yang berkenaan dengan hukumnya melaknat sahabat. Tapi, mengingat beberapa peristiwa terakhir yang terkait dengan isu-isu ikhtilaf, ada baiknya kita ulas lagi masalah ini dengan beberapa penambahan keterangan.
Mencerca sahabat memang menjadi salah satu isu sensitif di antara kelompok Sunni dan Syiah. Sejarahnya juga lumayan panjang. Dulunya, selama sekitar 80 tahun, ada kebiasaan buruk di kalangan Bani Umayyah untuk mencerca Imam Ali di mimbar-mimbar Jumat, sampai akhirnya dihentikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Atas kebiasaan tersebut, ada di kalangan Syiah yang bereaksi keras, di antaranya dengan balik mencerca para Sahabat yang dimuliakan oleh Sunni.
Setelah berlalu berabad-abad, kebiasaan mencerca Ali dan Ahlul Bait Nabi lainnya sudah tidak lagi didapati di kalangan Ahlu Sunnah manapun. Yang ada adalah cercaan terhadap ajaran Syiah secara umum. Akan tetapi, di kalangan Syiah, terkadang memang masih ditemukan orang-orang yang mencerca Sahabat. Perilaku tersebut biasanya dihubung-hubungkan dengan keyakinan bahwa telah terjadi kezhaliman yang dilakukan para Sahabat terhadap Ahlul Bait Nabi, dalam bentuk perampasan hak kepemimpinan.
Akan tetapi, logika bahwa para pengikut madzhab Ahlul Bait berhak mencerca sahabat karena para Sahabat itu telah mengambil hak imamah/khilafah dari para imam, tidak dibenarkan oleh para ulama madzhab Ahlul Bait sendiri. Sayid Kazhim Thabathabai, Imam Jumat Kota Zabol, Iran (Zabol adalah salah satu kota kawasan utara Iran, berdekatan dengan Laut Kaspia. Salah satu keunikan kota itu adalah keberadaan orang-orang Sunni yang jumlahnya cukup banyak), dalam salah satu wawancaranya mengatakan:
“Para ulama, khatib, cendekiawan, akademisi, dan kalangan pesantren harus tampil memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa demi persatuan ummat yang memang diwajibkan oleh agama, maka segala macam penghinaan terhadap hal-hal yang sangat dihormati oleh masing-masing kelompok, baik itu kalangan Sunni ataupun Syiah, hukumnya adalah haram. Agama, akal kita, dan juga budaya yang berkembang di masyarakat manapun sangat menentang perilaku seperti itu.” (http://www.taghribnews.ir.)
Sementara itu, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, sebagaimana yang bisa dibaca pada http://nahadsbmu.ir. mengatakan:
“Menyinggung dan melukai perasaan sesama Mukmin adalah tindakan terlarang dalam agama. Apalagi jika kita meletakkan masalah ini dalam konteks persatuan ummat Islam. Saling mencaci dan saling menuduh antara kelompok Sunni dan Syiah adalah salah satu hal yang sangat diinginkan musuh Islam. Jika kalian mencerca para Sahabat Nabi atau melakukan tindakan apapun yang bisa diartikan sebagai pelecahan terhadap kepercayaan orang-orang Sunni, pihak yang paling senang adalah setan dan musuh Islam.”
Teramat jelas pandangan kedua ulama Syiah itu. Tidak mungkin ada celah untuk menyelewengkan maksud dari ucapan keduanya. Intinya adalah satu: bagi orang Syiah, mencerca para Sahabat adalah tindakan terlarang secara agama.
Dari pemaparan pendapat dan fatwa dari tiga ulama Syiah yang sangat representatif di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa kebiasaan mencerca Sahabat yang dilakukan oleh sebagian orang Syiah itu sama sekali tidak legitimated (ghayru masyru’). Pelarangan yang disampaikan juga tidak asal-asalan, melainkan didasari oleh alasan-alasan yang sangat logis.
Pertama, pada dasarnya, mencerca adalah sikap yang buruk. Kepada siapapun, bahkan kepada orang kafir sekalipun, seorang Muslim memang dilarang untuk mencerca. Apalagi jika yang dicerca adalah sesama Muslim.
Alasan kedua, Sahabat adalah orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh Ahlu Sunnah. Kata-kata dan perilaku mereka menjadi teladan. Ahlu Sunnah bahkan punya keyakinan tentang keadilan para Sahabat (bahkan ada keyakinan tentang pasti masuk surganya sebagian Sahabat). Pendeknya, Sahabat sudah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari keyakinan agama. Bisa dibayangkan, betapa terusiknya perasaan orang-orang Sunni manakala ada yang mempermasalahkan (apalagi sampai mencerca) para Sahabat. Menurut Ayatullah Khamenei, bagi orang-orang Sunni, cercaan terhadap Sahabat sama menyakitkannya dengan cercaan kepada para Imam dan ulama bagi orang-orang Syiah. Tepo seliro, kurang lebih itulah pesan Ayatullah Khamenei kepada orang-orang Syiah terkait masalah Sahabat ini. Kalau Anda merasa tidak nyaman oleh perbuatan orang lain, Anda tentunya tidak akan melakukan perbuatan yang sama buat orang lain.
Alasan ketiga terkait dengan persatuan. Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu tembok psikologis yang menghalangi upaya persatuan adalah adanya kebiasaan sebagian orang Syiah yang mencerca Sahabat. Isu yang tersebar bahkan menyatakan bahwa mencerca Sahabat bukan ulah oknum, melainkan memang merupakan salah satu pilar ajaran Syiah. Dengan landasan pemikiran bahwa mempererat persatuan antara sesama Muslim adalah salah satu perintah agama, dan mencerca Sahabat dipastikan akan menghambat perwujudan persatuan itu, maka mencerca Sahabat adalah perbuatan yang melanggar perintah agama.
(Syiah-Ali/Hauzah-Maya/Satu-Islam/ABNS)
============================
Orang-orang selain mazhab Syi’ah memang dalam
keadaan tersesat, tetapi tidak keluar dari Islam (bukan murtad tulen,
bukan kafir tulen).
==================
Dibolehkan pernikahan antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi , dan halalnya sembelihan mereka
Beberapa buku Syiah yang saya punya, masih ada yang lain.
Menurut nash-nash Syiah, keislaman Ahlus Sunnah adalah sah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syiah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab Syiah mengenai hal ini sungguh amat jelas.
Tak seorang pun dari Syiah—yang berpandangan adil dan moderat—meragukannya.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja’far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan ibn As-Samath mengatakan: “Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni, kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama’ah: “Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw. Atas dasar itulah, nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim).”.
Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah.
Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap
berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun]
menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan
kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang
justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.
Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian
ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat
ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus
sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya
adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan
mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat
tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam.
.
Ada dua macam klasifikasi Muslim menurut Syiah:1. Mukhalif adalah sekelompok kaum Muslim yang berbeda pandangan dengan Syiah.
2. Nashibi adalah sekelompok kaum Muslim yang mengibarkan bendera permusuhan terhadap para Imam Suci Ahlul Bait dengan cara melaknat dan mencaci-maki mereka.
Sikap Syiah terhadap yang pertama adalah tetap menganggap mereka Muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang Muslim yang harus dihormati jiwa, harta, dan kehormatannya. Adapun untuk kelompok yang kedua, Syiah menganggapnya sebagai kafir.
Saat ini, kaum Syiah menganggap bahwa kelompok seperti ini tidak akan ditemui. Kalaupun disebut oleh para ulama, khususnya para fuqahadalam buku-buku fatwa mereka, itu tidak lebih dari sekadar informasi dan kepastian hukum yang tidak melazimkan keberadaan mereka saat ini.
Hubungan Baik di Antara Syiah dan Ahlus Sunnah dalam Hal Pernikahan, Waris, dan Lain-Lain
Al-Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir a.s. berkata, seperti tercantum dalam Sahih Hamran ibn A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu, mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”.
Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya.
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab
Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat
riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain
mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang
mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
di atas.
1. Dalam Bab Warisan, di saat menjelaskan kafir (non-Muslim) tidak berhak mendapatkan warisan dari seorang Muslim, pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Kaum Muslim saling mewarisi di antara mereka, walaupun mereka berbeda dalam mazhab….
2. Dalam Bab Nikah, di saat menjelaskan tentang kafir (non-Muslim) pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Tidak bermasalah seorang mukmin mengawini seorang perempuan yang berbeda (non-Syiah) yang bukan Nashibi, (yakni, yang tidak melaknat dan memusuhi para imam suci Ahlul Bait).
3. Dalam Bab Penyembelihan, masalah pertama, dinyatakan pula:
Disyaratkan kepada pelaku penyembelihan keharusan bahwa yang bersangkutan adalah seorang Muslim… “Maka halal sembelihan (penganut) seluruh kelompok Islam.”.
Begitu juga Imam Ali Khamene’i memfatwakan secara tegas keabsahan bermakmum kepada Ahlus Sunnah (Fatwa-Fatwa, terbitan Al Huda, Jakarta).
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis salaam] telah tersesat , Imamah Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.
Riwayat ini dan riwayat-riwayat sebelumnya menjadi bukti yang menyatakan bahwa hadis semua sahabat murtad kecuali tiga adalah hadis mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah
Tuduhan bahwa mazhab Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi adalah tuduhan yang tidak benar. Dalam kitab mazhab Syi’ah juga terdapat pujian terhadap para sahabat baik secara umum ataupun terkhusus sahabat tertentu. Walaupun memang terdapat juga riwayat yang memuat celaan terhadap sahabat tertentu. Perkara seperti ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Ahlus Sunnah yaitu terdapat berbagai hadis shahih yang juga mencela sebagian sahabat.
Syiah lahir di awal sejarah Islam,
lahirnya pun karena pertikaian politik. Sejarah Syiah dipenuhi dengan
penindasan dari penguasa saat itu terhadap kaum Syiah (karena masalah
politik). Tidak heran jika Syiah menyimpan kebencian yang mendalam pada
Islam mainstream sejak kelahirannya. Kata-kata cacian dari Syiah
terhadap sosok-sosok terhormat dalam mainstream Islam (sunni) begitu
banyak.
Respon Sunni
Respon dari kalangan Sunni terhadap
Syiah, dari masa klasik hingga sekarang pada umumnya adalah menganggap
Syiah telah melenceng dari Islam. Ada yang mengatakan sesat, ada juga
yang mengatakan Syiah telah kafir.
Perlakuan para pemimpin negara yang
berfaham Sunni terhadap Syiah berbeda-beda. Para Khalifah atau Sultan
Sunni yang membenci Syiah, umumnya karena masalah politik.
Mungkinkah Berdamai?
Kondisi sekarang tidak lagi sama dengan
masa dahulu. Usaha perdamaian antara Sunni dengan Syiah, telah banyak
digagas oleh tokoh-tokoh Islam dunia dari kedua kubu.
Bagi saya, usaha perdamaian antara
kedua kubu adalah mutlak dan harus dilakukan, mengingat konflik keduanya
telah menimbulkan banyak korban.
Pertimbangan Sebelum Menentukan Sikap
Pertimbangan saya sebagai WNI:
- Menjalankan agama/kepercayaan adalah hak setiap orang di Indonesia.
- Menjaga persatuan adalah kewajiban setiap orang di Indonesia.
- Bahwa kewajiban harus senantiasa didahulukan daripada hak.
- Kekerasan adalah tindak kriminal.
Pertimbangan saya sebagai Muslim:
- Keyakinan bukanlah hal yang bisa dipaksakan (Laa ikraha fid diin).
- Orang yang sudah mengucap syahadat wajib dilindungi jiwa, kehormatan, dan hartanya.
- Orang kafir yang mau hidup damai dan dilindungi pemerintah, adalah wajib untuk dilindungi jiwa, kehormatan, dan hartanya.
- Antara Sunni dengan Syiah terdapat banyak perbedaan yang tidak bisa disatukan, namun juga terdapat hal-hal yang disepakati kedua kubu.
Sikap Saya
- Menolak segala bentuk kekerasan yang tidak dibenarkan oleh hukum Indonesia.
- Melarang ajaran Syiah bukanlah solusi karena bertentangan dengan UUD.
- Kemerdekaan untuk mengamalkan ajaran Syiah adalah hak bagi pemeluknya
Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah
Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah.
Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap
berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun]
menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan
kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang
justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.
Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian
ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat
ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus
sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya
adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan
mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat
tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam. .
.
Riwayat Pengakuan Keislaman Ahlus Sunah
Berikut adalah riwayat-riwayat Syi’ah
yang menunjukkan pengakuan akan keislaman Ahlus sunnah. Kami cukupkan
pada riwayat-riwayat yang kedudukannya shahih dan muwattsaq berdasarkan
ilmu hadis Syi’ah, walaupun sebenarnya cukup banyak riwayat yang dhaif
dari segi sanad yang membuktikan keislaman ahlus sunnah. Sengaja riwayat
tersebut tidak kami nukilkan karena riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah
lebih baik kedudukannya sebagai hujjah.
.
Riwayat Pertama:
أبي (ره) قال حدثنا سعد بن عبد الله عن يعقوب بن يزيد عن محمد ابن أبي عمير عن محمد بن حمران عن أبي عبد الله عليه السلام قال من قال لا إله إلا الله مخلصا دخل الجنة وإخلاصه بها ان يحجزه لا إله إلا الله عما حرم الله
Ayahku [rahimahullah] mengatakan
telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid
dari Muhammad Ibnu Abi Umair dari Muhammad bin Hamraan dari Abi
‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata barang
siapa mengatakan “laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka ia masuk surga
dan ikhlas dengannya adalah ia menjaga laa ilaaha illaallah dari
perkara yang diharamkan Allah” [Tsawab Al A’maal Syaikh Ash Shaaduq hal 24 no 1].
Riwayat ini sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya:
- Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
- Yaqub bin Yaziid bin Hamaad seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
- Muhammad bin Hamraan An Nahdiy seorang yang tsiqat termasuk yang meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 359 no 965]
Riwayat serupa ini juga terdapat dalam
kitab ahlus sunnah dan menjadi dalil bahwa syahadat adalah pintu yang
membedakan antara seorang muslim dengan nonmuslim dan akan memasukkan
seseorang ke dalam surga.
.
Riwayat Kedua:
حدثني أبي رضي الله عنه قال: حدثنا سعد بن عبد الله عن إبراهيم بن هاشم، عن محمد بن أبي عمير، عن جعفر بن عثمان، عن أبي بصير قال: كنت عند أبي جعفر عليه السلام فقال له رجل: أصلحك الله إن بالكوفة قوما يقولون مقالة ينسبونها إليك فقال: وماهي؟ قال: يقولون: الايمان غير الاسلام، فقال أبوجعفر عليه السلام: نعم، فقال الرجل: صفه لي قال: من شهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت فهو مسلم، قلت: فالايمان؟ قال: من شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت ولم يلق الله بذنب أو عد عليه النار فهو مؤمن قال أبو بصير: جعلت فداك، وأينا لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار؟ فقال: ليس هو حيث تذهب إنما هو لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار ولم يتب منه
Telah menceritakan kepadaku Ayahku
[radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin
‘Abdullah dari Ibrahim bin Haasyim dari Muhammad bin Abi Umair dari
Ja’far bin ‘Utsman dari Abi Bashiir yang berkata aku berada di sisi Abu
Ja’far [‘alaihis salaam] maka seorang laki-laki berkata kepadanya
“semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya di Kufah
terdapat kaum yang mengatakan sesuatu dengan menisbatkan kepadamu?.
Beliau berkata “apa itu?”. Orang tersebut berkata “mereka mengatakan
bahwa Iman bukanlah Islam”. Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata
“benar”. Orang tersebut berkata “jelaskan kepadaku”. Beliau
berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT
dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan
meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan
zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah maka ia adalah Muslim.
Aku berkata “maka Iman?”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi
Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan,
haji ke baitullah dan tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat
memasukkannya ke neraka maka ia adalah Mu’min. Abu Bashiir berkata “aku
menjadi tebusanmu, siapakah diantara kita yang tidak menghadap Allah
dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka?. Maka Beliau berkata
“itu bukan seperti yang kau pikirkan, sesungguhnya yang dimaksud
hanyalah ia tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya
ke neraka dimana ia tidak bertaubat dari dosa tersebut” [Al Khisaal
Syaikh Shaaduq 2/411 no 14].
Riwayat Syaikh Shaaduq di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya:
- Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
- Ja’far bin Utsman sahabat Abu Bashiir adalah seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108]
- Abu Bashiir Al Asdiy yaitu Yahya bin Qaasim ia meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]
Riwayat Ketiga:
محمد بن يحيى عن أحمد بن محمد عن الحسن بن محبوب عن جميل بن صالح عن سماعة قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام) أخبرني عن الاسلام والايمان أهما مختلفان؟ فقال إن الايمان يشارك الاسلام والاسلام لا يشارك الايمان فقلت فصفهما لي فقال الاسلام شهادة أن لا إله إلا الله والتصديق برسول الله (صلى الله عليه وآله) به حقنت الدماء وعليه جرت المناكح والمواريث وعلى ظاهره جماعة الناس، والايمان الهدى وما يثبت في القلوب من صفة الاسلام وما ظهر من العمل به والايمان أرفع من الاسلام بدرجة إن الايمان يشارك الاسلام في الظاهر والاسلام لا يشارك الايمان في الباطن وإن اجتمعا في القول والصفة
Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin
Muhammad dari Hasan bin Mahbuub dari Jamiil bin Shalih dari Sama’ah yang
berkata aku berkata kepada Abi Abdullah [‘alaihis salaam] “kabarkanlah
kepadaku tentang islam dan iman apakah keduanya berbeda?. Maka Beliau
berkata “sesungguhnya iman mencakup islam dan islam belum mencakup
iman”. Aku berkata “jelaskanlah keduanya kepadaku”. Maka Beliau berkata “Islam
adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan membenarkan
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dengannya darah terlindungi,
dan karenanya bisa terjadi pernikahan dan pewarisan, dan itulah yang
nampak pada jama’ah manusia. Sedangkan Iman adalah petunjuk, apa
yang ada di dalam hati dari yang disifatkan islam dan apa yang nampak
dari amal perbuatan dengannya, iman lebih tinggi derajatnya dari islam,
iman mencakup islam dalam zahir dan islam belum mencakup iman dalam
bathin dan sesungguhnya keduanya bergabung dalam perkataan dan sifat [Al
Kafiy Al Kulainiy 2/19 no 1].
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya
muwatstsaq sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, para perawinya tsiqat hanya
saja Sama’ah bin Mihraan disebutkan ia bermazhab waqifiy, berikut
keterangan para perawinya:
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
- Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Jamil bin Shalih Al Asadiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 127 no 329]
- Sama’ah bin Mihraan seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517]. Disebutkan bahwa ia bermazhab waqifiy [Rijal Ath Thuusiy hal 337]
Riwayat Keempat:
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد; ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن حمران بن أعين، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: سمعته يقول: الايمان ما استقر في القلب وأفضى به إلى الله عز وجل وصدقه العمل بالطاعة لله والتسليم لامره والاسلام ما ظهر من قول أو فعل وهو الذي عليه جماعة الناس من الفرق كلها وبه حقنت الدماء وعليه جرت المواريث وجاز النكاح واجتمعوا على الصلاة والزكاة والصوم والحج، فخرجوا بذلك من الكفر وأضيفوا إلى الايمان،
Sekelompok sahabat kami dari Sahl bin
Ziyaad, dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad, keduanya [Sahl
bin Ziyaad dan Ahmad bin Muhammad] dari Ibnu Mahbuub dari Aliy bin Ri’ab
dari Hamran bin ‘A’yan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam], [Hamraan]
berkata aku mendengarnya mengatakan Iman adalah apa yang ada di dalam
hati dan menuju kepada Allah ‘azzawajalla dan dibenarkan dengan amal
taat kepada Allah dan berserah diri pada perintahnya,
sedangkan Islam adalah apa yang nampak dari perkataan dan perbuatan, ia
yang dianut oleh jama’ah manusia dari semua Firqah [golongan], dan
dengannya darah terlindungi dan karenanya berlangsung pewarisan dan
bolehnya pernikahan, dan bergabung dengan shalat, zakat, puasa dan haji
maka dengan semua itu mereka keluar dari kekafiran dan dimasukkan
kedalam iman…[Al Kafiy Al Kulainiy 2/20 no 5].
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya:
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
- Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
- Hamraan bin ‘A’yun ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975]. Ia termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]
Riwayat Kelima:
علي، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن فضيل بن يسار قال: سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقول: إن الايمان يشارك الاسلام ولا يشاركه الاسلام، إن الايمان ما وقر في القلوب والاسلام ما عليه المناكح والمواريث و حقن الدماء، والايمان يشرك الاسلام والاسلام لا يشرك الايمان
Aliy dari Ayahnya dari Ibnu Abi
‘Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Fudhail bin Yasaar yang berkata aku
mendengar Aba ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan sesungguhnya Iman
mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman, Iman adalah apa yang
diyakini di dalam hati dan Islam apa yang diatasnya berlaku pernikahan, pewarisan dan terlindung darahnya, Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman [Al Kafiy Al Kulainiy 2/26 no 3].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya:
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328]
- Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846]
Matan riwayat menunjukkan bahwa Islam di
dalamnya berlaku bolehnya pernikahan, pewarisan dan terjaga darahnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dibolehkan menikahi orang yang tidak
meyakini perkara Wilayah
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن زرارة قال: قلت لأبي جعفر (عليه السلام) إني أخشى أن لا يحل لي أن أتزوج من لم يكن على أمري فقال: ما يمنعك من البله من النساء؟ قلت: وما البله؟ قال: هن المستضعفات من اللاتي لا ينصبن ولا يعرفن ما أنتم عليه
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu Abi Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Zurarah yang berkata aku
berkata kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] aku khawatir tidak
dihalalkan bagiku menikahi wanita yang tidak berdiri di atas urusanku
[wilayah]. Maka Beliau berkata “apa yang mencegahmu dari wanita al
balah?”.Aku berkata “apa itu al balah?” Beliau
berkata “mereka adalah kaum yang lemah tidak melakukan nashb dan tidak
pula mereka mengenal apa yang engkau berada di atasnya [wilayah]” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/349 no 7].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya:
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328]
- Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337]
Hadis di atas menjadi bukti bahwa mereka
yang tidak mengenal Imamah juga merupakan seorang Muslim menurut hadis
shahih riwayat Ahlul Bait dalam mazhab Syi’ah. Dibolehkannya menikahi
wanita yang tidak meyakini Imamah menunjukkan bahwa mereka masih
tergolong ke dalam Islam.
Riwayat Yang Dijadikan Hujjah Dalam Mengkafirkan Ahlus Sunnah
Sebagian nashibiy mengutip berbagai
riwayat dalam kitab mazhab Syi’ah yang menurut mereka mengkafirkan ahlus
sunnah, berikut riwayat yang dimaksud:
Riwayat Pertama:
أبو علي الأشعري، عن الحسن بن علي الكوفي، عن عباس بن عامر، عن أبان بن عثمان، عن فضيل بن يسار، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركوا هذه يعني الولاية
Abu ‘Aliy Al ‘Asyariy dari Hasan bin
Aliy Al Kuufiy dari ‘Abbas bin ‘Aamir dari Aban bin ‘Utsman dari Fudhail
bin Yasaar dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata
rukun islam itu ada lima yaitu shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah,
dan tidak diserukan sesuatu seperti diserukan tentang wilayah maka
orang-orang mengambil yang empat dan meninggalkan yang ini yaitu wilayah [Al Kafiiy Al Kulainiy 2/18 no 3].
Riwayat di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris bin Ahmad adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]
- Hasan bin Aliy Al Kuufiy adalah Hasan bin Aliy bin ‘Abdullah bin Mughiirah Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy 62 no 147]
- ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744]
- Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]
- Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846]
Riwayat di atas muwatstaq karena Aban bin
‘Utsman yang kendati mendapat predikat ta’dil ia seorang yang mazhabnya
menyimpang. Riwayat ini juga dikuatkan oleh riwayat shahih lainnya yang
menyebutkan bahwa wilayah termasuk rukun islam dalam mazhab Syi’ah
yaitu riwayat Zurarah sebagaimana yang disebutkan dalam Al Kafiy dengan
riwayat yang panjang [Al Kaafiy Al Kulainiy 2/18-19 no 5]. Dan dalam
riwayat Zurarah setelah menyebutkan kelima rukun Islam [termasuk
wilayah] maka terdapat tambahan bahwa mereka yang tidak mengenal Wilayah
tidak berhak atas pahala amal perbuatannya dan bukan termasuk ahlul
iman.
Disini kami hanya akan menampilkan
ringkasan riwayat tersebut sebagaimana dinukil Syaikh Al Hurr Al Amiliy
dalam kitabnya Wasa’il Syi’ah:
وعن علي بن إبراهيم، عن أبيه، وعبد الله بن الصلت جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن زرارة، عن أبي جعفر (عليهالسلام) – في حديث في الإمامة – قال: أما لو أن رجلا قام ليله وصام نهاره وتصدق بجميع ماله وحج جميع دهره ولم يعرف ولاية ولي الله فيواليه ويكون جميع أعماله بدلالته إليه ما كان له على الله حق في ثوابه ولا كان من أهل الايمان
Dan dari Aliy Ibrahim dari Ayahnya
dan ‘Abdullah bin Ash Shalt keduanya dari Hammaad bin Iisa dari Hariiz
dari Zuraarah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] hadis tentang Imamah,
Beliau berkata “adapun seandainya seseorang
menegakkan shalat di waktu malam, puasa di waktu siang, bersedekah
dengan seluruh hartanya, haji dengan seluruh umurnya tetapi ia tidak
mengenal wilayah waliy Allah, berwala’ kepadanya, dan menjadikan seluruh
amalnya atas petunjuknya maka ia tidak berhak atas Allah tentang pahala
amalnya dan bukanlah ia termasuk ahlul Iman [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Aamiliy 27/65-66].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- ‘Abdullah bin Ash Shalt Abu Thalib Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 217 no 564]
- Hammad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy ia seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370]
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy seorang penduduk Kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
- Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337]
Mengenai lafaz “tidak berhak atas pahala dan bukan termasuk ahlul iman”
maka lafaz ini tidak menyatakan kekafiran bagi mereka yang tidak
meyakini Wilayah. Tidak diragukan bahwa dalam mazhab Syi’ah, Wilayah
termasuk rukun Islam tetapi riwayat-riwayat sebelumnya telah membuktikan
bahwa mazhab lain yang menyimpang dari Syi’ah termasuk ahlus sunnah
masih masuk dalam batasan Islam walaupun dikatakan dalam mazhab Syi’ah
bahwa mereka adalah muslim yang tersesat bukan tergolong mukmin dan
bukan pula kafir. Dan ma’ruf dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka membedakan
terminologi muslim dan mu’min.
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن محبوب، عن ابن رئاب، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: إنا لا نعد الرجل مؤمنا حتى يكون بجميع أمرنا متبعا مريدا، ألا وإن من اتباع أمرنا وإرادته الورع، فتزينوا به، يرحمكم الله وكبدوا أعدائنا [به] ينعشكم الله
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Mahbuub dari Ibnu Ri’aab dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya
kami tidak menganggap seseorang sebagai mu’min sampai ia mengikuti
semua perintah kami dengan taat dan ridha, dan sungguh ia mengikuti
perintah kami dan memenuhinya dengan wara’, maka hiasilah diri
kalian dengannya [wara’] semoga Allah merahmati kalian dan hadapilah
musuh kami dengannya [wara’] semoga Allah mengangkat kalian [Al Kafiy Al
Kulainiy 2/78 no 13].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
Nampak dalam riwayat Al Kaafiy di atas
bahwa seseorang dikatakan mu’min sampai ia memenuhi Wilayah ahlul bait
dalam arti mengikuti semua perintah ahlul bait dengan taat dan ridha.
وروى الحسن بن محبوب، عن يونس بن يعقوب، عن حمران بن أعين ” وكان بعض أهله يريد التزويج فلم يجد امرأة يرضاها، فذكر ذلك لأبي عبد الله عليه السلام فقال: أين أنت من البلهاء واللواتي لا يعرفن شيئا؟ قلت: إنما يقول: إن الناس على وجهين كافر ومؤمن، فقال: فأين الذين خلطوا عملا صالحا وآخر سيئا؟! وأين المرجون لأمر الله؟! أي عفو الله “
Dan riwayat Hasan bin Mahbuub dari
Yunus bin Ya’qub dari Hamraan bin A’yun bahwa sebagian dari keluarganya
ingin menikah maka mereka tidak menemukan wanita yang diridhainya,
disebutkan hal itu kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] maka Beliau
berkata “kemana engkau dari wanita-wanita al balah yang tidak mengenal
sesuatu [wilayah]?. Maka aku berkata “sesungguhnya kami mengatakan bahwa
orang-orang hanya terbagi menjadi dua yaitu kafir dan mu’min. Maka
Beliau berkata “lantas dimana orang-orang yang mencampuradukkan amal
shalih dengan amal yang buruk? Dimana orang-orang yang dikembalikan
urusannya kepada Allah SWT?. Dimana ampunan Allah SWT?. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 3/408 no 4427].
Riwayat Syaikh Shaduq dalam kitab Man Laa
Yahdhuruh Al Faqiih telah dishahihkan oleh Syaikh Shaduq sebagaimana
dikatakannya dalam muqaddimah kitab. Tetapi tentu saja yang paling baik
dalam perkara ini adalah melihat sanad lengkap atau jalan sanad Syaikh
Ash Shaduq sampai Hasan bin Mahbuub
وما كان فيه عن الحسن بن محبوب فقد رويته عن محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه عن عبد الله بن جعفر الحميري، وسعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب
Adapun yang kami sebutkan tentangnya
dari Hasan bin Mahbuub maka sungguh itu diriwayatkan dari Muhammad bin
Muusa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al
Himyariy dan Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Iisa dari Hasan bin
Mahbuub. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 4/453].
Riwayat Syaikh Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Muhammad bin Musa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
- ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Yunus bin Ya’qub seorang yang tsiqat, termasuk sahabat Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 368]
- Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]. Ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975]
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq menyebutkan
bahwa dalam pandangan Imam Abu ‘Abdullah manusia itu tidak hanya terbagi
menjadi dua golongan mu’min dan kafir tetapi terdapat juga mereka orang
muslim yang mencampuradukkan amal shalih dengan keburukan, yang
kedudukannya dikembalikan kepada Allah SWT atau akan diampuni oleh Allah
SWT. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mengenal wilayah
ahlul bait. Inilah yang dimaksud mereka tidak berhak akan pahala yaitu
kedudukan amal shalihnya akan diserahkan keputusannya kepada Allah SWT.
Dan mereka dikatakan “bukan termasuk ahlul iman” tetapi tetap dikatakan
muslim karena berdasarkan riwayat shahih, lafaz mu’min di sisi Syi’ah
disifatkan pada mereka yang meyakini dan mentaati Wilayah ahlul bait.
.
Riwayat Kedua
علي بن إبراهيم، عن صالح بن السندي، عن جعفر بن بشير، عن أبي سلمة عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سمعته يقول: نحن الذين فرض الله طاعتنا، لا يسع الناس إلا معرفتنا ولا يعذر الناس بجهالتنا، من عرفنا كان مؤمنا، ومن أنكرنا كان كافرا، ومن لم يعرفنا ولم ينكرنا كان ضالا حتى يرجع إلى الهدى الذي افترض الله عليه من طاعتنا الواجبة فإن يمت على ضلالته يفعل الله به ما يشاء
Aliy bin Ibrahim dari Shalih bin As
Sindiy dari Ja’far bin Basyiir dari Abi Salamah dari Abi ‘Abdullah
[‘alaihis salaam] yang berkata aku mendengarnya mengatakan kami adalah
orang-orang yang Allah SWT wajibkan ketaatan kepada kami, tidak diberi
pilihan orang-orang kecuali mengenal kami, tidak diberikan udzur
orang-orang yang jahil terhadap kami, barang
siapa yang mengenal kami maka ia mu’min dan barang siapa yang
mengingkari kami maka ia kafir, barang siapa yang tidak mengenal kami
dan tidak pula mengingkari kami maka ia tersesat sampai ia kembali
kepada petunjuk dimana Allah SWT mewajibkan atasnya ketaatan kepada
kami, dan jika ia mati dalam keadaan tersesat tersebut maka Allah SWT
akan menetapkan sesuai dengan kehendaknya [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/187 no 11].
Riwayat di atas berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif karena Shalih bin As Sindiy
seorang yang majhul [Al Muufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 282].
Terdapat sebagian ulama muta’akhirin yang mengisyaratkan tautsiq
terhadapnya seperti Syaikh Muhammad bin Ismaiil Al Mazandaraniy menukil
dalam kitabnya biografi Shalih bin Sindiy bahwa ia meriwayatkan Kitab
Yunus bin ‘Abdurrahman dan Ibnu Walid telah mempercayainya [Muntaha Al
Maqal 4/13 no 1447].
Shalih bin As Sindiy memang termasuk
diantara perawi yang meriwayatkan kitab Yunus bin ‘Abdurrahman
sebagimana disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy [Al Fahrasat hal 266
biografi Yunus bin ‘Abdurrahman] kemudian Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan:
قال أبو جعفر بن بابويه: سمعت ابن الوليد رحمه الله يقول كتب يونس بن عبد الرحمن التي هي بالروايات كلها صحيحة يعتمد عليها الا ما ينفرد به محمد بن عيسى بن عبيد عنه ولم يروه غيره وانا لا نعتمد عليه ولا نفتي به
Abu Ja’far bin Babawaih berkata aku
mendengar Ibnu Walid [rahimahullah] mengatakan Kitab Yunus bin
‘Abdurrahman yang datang dengan riwayat semuanya shahih dapat berpegang
dengannya kecuali apa yang diriwayatkan secara tafarrud Muhammad bin Isa
bin ‘Ubaid darinya dan tidak diriwayatkan oleh selainnya, maka aku
tidak berpegang dengannya dan tidak berfatwa dengannya [Al Fahrasat
Syaikh Ath Thuusiy hal 266].
Dari perkataan Ibnu Walid ini tidak ada
tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy, disini Ibnu Walid menyatakan bahwa
kitab Yunus bin ‘Abdurrahman semuanya shahih kecuali riwayat Muhammad
bin Isa bin Ubaid secara tafarrud maka bukan berarti semua perawi Kitab
Yunus selain Muhammad bin Isa statusnya tsiqat dalam pandangan Ibnu
Walid. Apalagi Shalih bin Sindiy bukan satu-satunya perawi yang
meriwayatkan kitab Yunus selain Muhammad bin Iisa.
Ibnu Walid termasuk ulama mutaqaddimin
dimana ulama mutaqaddimin ketika menyatakan shahih suatu riwayat atau
kitab tidak selalu bermakna semua perawi dalam sanad atau kitab tersebut
shahih. Karena bisa saja bermakna bahwa riwayat tersebut atau kitab
tersebut shahih matannya, diriwayatkan secara mutawatir atau terdapat
dalam kitab Usul dan alasan lainnya. Masih mungkin untuk dikatakan
Shalih bin Sindiy ini dhaif atau majhul tetapi karena riwayatnya
bersesuaian dengan perawi lain maka riwayatnya Kitab Yunus bin
‘Abdurrahman shahih dalam pandangan Ibnu Walid.
Maka dari itu pendapat yang rajih isyarat
tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy disini tidak jelas penunjukkannya
hanya bersifat kemungkinan dimana ada banyak kemungkinan lain yang
menafikannya.
Riwayat Ketiga
يونس، عن داود بن فرقد، عن حسان الجمال، عن عميرة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: سمعته يقول: أمر الناس بمعرفتنا والرد إلينا والتسليم لنا، ثم قال: وإن صاموا وصلوا وشهدوا أن لا إله إلا الله وجعلوا في أنفسهم أن لا يردوا إلينا كانوا بذلك مشركين
Yunus dari Dawud bin Farqad dari
Hasan Al Jamaal dari ‘Umairah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
[‘Umairah] berkata aku mendengarnya mengatakan orang-orang diperintahkan
mengenal kami mengembalikan [permasalahan] kepada kami dan tunduk
sepenuhnya kepada kami kemudian Beliau
berkata meskipun mereka puasa, shalat dan bersaksi tiada Tuhan selain
Allah tetapi mereka tidak mengembalikan [permasalahan] kepada kami maka
mereka musyrik [Al Kafiy Al Kulainiy 2/398 no 5].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya dhaif
karena Umairah seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam Al
Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits:
عميرة: مجهول – روى رواية عن أبي عبد الله (ع) في الكافي ج 2 كتاب الايمان والكفر، باب الشرك
Umairah majhul perawi yang
meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis sallam] dalam Al Kaafiy juz 2
Kitab Iman dan Kafir Bab Syirik [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits
hal 443]
Riwayat Keempat:
محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن صفوان بن يحيى، عن العلاء بن رزين عن محمد بن مسلم قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: كل من دان الله عز وجل بعبادة يجهد فيها نفسه ولا إمام له من الله فسعيه غير مقبول، وهو ضال متحير والله شانئ لاعماله، ومثله كمثل شاة ضلت عن راعيها وقطيعها، فهجمت ذاهبة وجائية يومها، فلما جنها الليل بصرت بقطيع غنم مع راعيها، فحنت إليها واغترت بها، فباتت معها في مربضها فلما أن ساق الراعي قطيعه أنكرت راعيها وقطيعها، فهجمت متحيرة تطلب راعيها وقطيعها،فبصرت بغنم مع راعيها فحنت إليها واغترت بها فصاح بها الراعي: الحقي براعيك، وقطيعك فأنت تائهة متحيرة عن راعيك وقطيعك، فهجمت ذعرة، متحيرة، تائهة، لا راعي لها يرشدها إلى مرعاها أو يردها، فبينا هي كذلك إذا اغتنم الذئب ضيعتها، فأكلها، وكذلك والله يا محمد من أصبح من هذه الأمة لا إمام له من الله عز وجل ظاهر عادل، أصبح ضالا تائها، وإن مات على هذه الحالة مات ميتة كفر ونفاق، و اعلم يا محمد أن أئمة الجور وأتباعهم لمعزولون عن دين الله قد ضلوا وأضلوا فأعمالهم التي يعملونها كرماد اشتدت به الريح في يوم عاصف، لا يقدرون مما كسبوا على شئ، ذلك هو الضلال البعيد
Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin
Husain dari Shafwaan bin Yahya dari Al A’laa bin Raziin dari Muhammad
bin Muslim yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis salaam]
mengatakan “Semua yang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan
mengharapkan imbalan dan berjuang dalam melakukannya, tetapi tanpa
memiliki Imam dari Allah maka usahanya tidak diterima. Dan dia adalah
orang yang tersesat, Allah tidak menyukai amal perbuatannya.
Permisalannya seperti domba yang hilang yang menyimpang jauh dari
gembala dan kawanannya . Dia mengembara di siang hari dan pada malam
hari dia menemukan kawanan domba dengan gembala yang berbeda .Dia
tertarik kepadanya dan tertipu olehnya, jadi dia bergabung dengan mereka
di gudang mereka, tetapi ketika gembala mengeluarkan mereka, dia tidak
mengakui gembala dan kawanan tersebut.Maka dia mengembara bingung dalam
mencari gembala dan kawanannya.Kemudian dia menemukan kembali kawanan
domba dengan gembala, dia tertarik dengannya dan tertipu olehnya tetapi
gembala tersebut berteriak kepadanya “carilah kawanan dan gembalamu
sendiri, karena engkau hilang dan tersesat dari gembala dan
kawananmu”.Jadi dia mengembara sedih, bingung dan tersesat, dengan tidak
ada gembala untuk membimbingnya ke tempat gembala dan gudang. Kemudian
pada saat itu serigala mengambil kesempatan dan memakannya. Demi
Allah, begitulah wahai Muhammad hal yang sama terjadi pada umat ini
tanpa memiliki Imam dari Allah ‘azza wajalla yang zhahir lagi adil,
mereka seperti hilang dan tersesat. Dan jika mati pada keadaan seperti
ini, maka ia mati seperti kematian orang kafir dan munafik. Dan
ketahuilah wahai Muhammad, bahwa Imam yang tidak adil dan pengikut
mereka terputus dari agama Allah. Mereka telah sesat dan menyesatkan,
sehingga perbuatan mereka yang telah mereka lakukan seperti debu yang
diterbangkan oleh angin ketika badai. Mereka tidak mampu mendapatkan
keuntungan dari perbuatan mereka begitulah keadaan yang tersesat jauh. [Al Kafiy Al Kulainiy 1/183-184 no 8]
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010]
- Muhammad bin Husain bin Abi Khaththab seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897]
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
- Al A’laa bin Raziin termasuk sahabat Muhammad bin Muslim, seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 298 no 811]
- Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]
أحمد بن إدريس، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن الفضيل، عن الحارث بن المغيرة قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: من مات لا يعرف إمامه مات ميتة جاهلية؟ قال: نعم، قلت: جاهلية جهلاء أو جاهلية لا يعرف إمامه؟ قال جاهلية كفر ونفاق وضلال
Ahmad bin Idriis dari Muhammad bin
‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Fudhail dari Al Harits bin Mughiirah
yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi] berkata “barang
siapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal Imamnya maka ia mati
seperti kematian jahiliyah”?. Beliau berkata “benar”. Aku berkata
“Jahiliyah orang-orang bodoh atau jahiliiyah tidak mengenal Imamnya?.
Beliau berkata Jahiliyah orang-orang kafir, munafik dan tersesat [Al Kafiy Al Kulainiy 1/377 no 3]
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Ahmad bin Idris bin Ahmad Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]
- Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar ia adalah Ibnu Abi Ashabaan seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391]
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
- Fudhail bin Utsman atau Fadhl bin Utsman Al Muraadiy seorang yang tsiqat tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 456]
- Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361]
Makna mati seperti kematian orang kafir
dan munafik dalam riwayat di atas sama maknanya dengan mati seperti
kematian orang-orang jahiliyah. Dan jahiliyah disini bukan bermakna
orang-orang bodoh atau jahil tetapi bermakna seperti orang-orang di
zaman Jahiliyah dahulu yang mana mereka adalah orang-orang kafir yang
tersesat karena tidak memiliki Imam yang memberikan petunjuk kepada
mereka. Jadi bukan bermakna mereka yang tidak mengenal wilayah berarti
kafir dan pasti masuk neraka. Makna seperti ini sesuai dengan
hadis-hadis sebelumnya yang menegaskan keislaman mereka yang tidak
mengenal Wilayah ahlul bait.
Disebutkan dalam riwayat shahih mazhab
Syi’ah bahwa kedudukan mereka akan dikembalikan nanti urusannya kepada
Allah SWT. Sebagaimana nampak dalam riwayat panjang dari Dhurais Al
Kanaasiy yang bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam], dalam
riwayat panjang tersebut terdapat penggalan berikut:
قلت أصلحك الله فما حال الموحدين المقرين بنبوة محمد (صلى الله عليه وآله) من المسلمين المذنبين الذين يموتون وليس لهم إمام ولا يعرفون ولايتكم؟ فقالأما هؤلاء فإنهم في حفرتهم لا يخرجون منها فمن كان منهم له عمل صالح ولم يظهر منه عداوة فإنه يخد له خد إلى الجنة التي خلقها الله في المغرب فيدخل عليه منها الروح في حفرته إلى يوم القيامة فيلقى الله فيحاسبه بحسناته وسيئاته فإما إلى الجنة وإما إلى النار فهؤلاء موقوفون لأمر الله، قال: وكذلك يفعل الله بالمستضعفين والبله والأطفال وأولاد المسلمين الذين لم يبلغوا الحلم
Aku [Dhurais] berkata [kepada Abu
Ja’far] “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, maka bagaimana
keadaan orang-orang Islam yang bertauhid dan meyakini Kenabian Muhammad
[shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan mereka mati dalam keadaan tidak
memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kalian?. Maka Beliau [Abu
Ja’far] berkata “adapun mereka di dalam
kubur mereka dan tidak keluar darinya, maka barang siapa diantara mereka
yang memiliki amal shalih dan tidak nampak dari mereka permusuhan
[kepada ahlul bait] maka ia akan diberikan ruangan yang terhubung ke
surga [taman surga] yang diciptakan Allah di Barat maka akan masuk dari
sana wewangian surga ke dalam kuburnya hingga hari kiamat ia bertemu
Allah dan Allah akan menghisabnya sesuai dengan amal kebaikan dan
keburukannya, adapun apakah ia ke surga atau ke neraka maka semua mereka
diserahkan urusannya kepada Allah. Beliau berkata “begitu pula yang
akan ditetapkan Allah atas orang-orang mustadha’ifiin, albalah [orang
bodoh], anak yang baru lahir atau anak-anak kaum muslimin yang belum
mencapai baligh” [Al Kafiy Al Kulainiy 3/247].
Riwayat Al Kafiy di atas adalah riwayat yang panjang, sanad lengkap riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، وسهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن ضريس الكناسي قالسألت أبا جعفرعليه السلام
Sekelompok sahabat kami dari Ahmad
bin Muhammad dan Sahl bin Ziyaad, Dan Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya,
semuanya [Ahmad bin Muhammad, Sahl bin Ziyaad dan Ibrahim bin Haasyim]
berkata dari Ibnu Mahbuub dari ‘Aliy bin Ri’ab dari Dhurais Al Kanaasiy
yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy
Al Kulainiy 3/246].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
- Dhurais bin ‘Abdul Malik Al Kanasiy seorang yang khair, fadhl, tsiqat [Rijal Al Kasyiy 2/601 no 566]
Riwayat Al Kafiy di atas menguatkan
penafsiran bahwa makna mati dalam kematian jahiliah kafir musyrik
tersesat itu bermakna kematian seperti orang-orang kafir dan sesat di
zaman jahiliyah yang tidak memiliki Imam yang memberi petunjuk atas
mereka. Bukan bermakna mati dalam keadaan kafir yang pasti masuk neraka
karena riwayat shahih di atas menunjukkan dengan jelas bahwa orang islam
yang tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kedudukannya
diserahkan kepada Allah SWT apakah ke surga atau ke neraka.
Sebenarnya hadis dengan lafaz “mati dalam keadaan jahiliyah” tidak hanya ditemukan dalam kitab mazhab Syi’ah. Dalam kitab mazhab ahlus sunnah juga ditemukan hadis dengan lafaz demikian:
حدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري حدثنا أبي حدثنا عاصم وهو ابن محمد بن زيد عن زيد بن محمد عن نافع قالجاء عبدالله بن عمر إلى عبدالله بن مطيع حين كان من أمر الحرة ما كان زمن يزيد بن معاوية فقال اطرحوا لأبي عبدالرحمن وسادة فقال إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقوله سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Telah menceritakan kepada kami
‘Ubaidillah bin Mu’adz Al ‘Anbariy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aashim
dan ia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid dari Zaid bin Muhammad dari Nafi’
yang berkata ‘Abdullah bin Umar datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ dan
ia adalah pemimpin Harrah pada zaman Yaziid bin Mu’awiyah. Ia berkata
“berikan bantal kepada ‘Abu ‘Abdurrahman”. [Ibnu ‘Umar] berkata “aku
datang bukan untuk duduk tetapi aku datang kepadamu untuk menceritakan
kepadamu hadis yang aku dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam], [Abdullah bin ‘Umar] mengatakan aku mendengar Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang melepaskan
tangannya dari ketaatan maka ia akan menemui Allah SWT pada hari kiamat
dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barang siapa yang mati tanpa
baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah [Shahih Muslim 3/1478 no 1851].
Para ulama Ahlus sunnah menafsirkan makna
kematian jahiliyah tersebut sebagai kematian orang-orang kafir pada
masa jahiliyah yang tidak taat kepada pemimpin atau tidak memiliki
pemimpin, para ulama Ahlus Sunnah tidak memaknai hadis tersebut sebagai
mati dalam keadaan kafir.
وأخبرني محمد بن أبي هارون أن إسحاق حدثهم أن أبا عبد الله سئل عن حديث النبي صلى الله عليه وسلم من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية ما معناه ؟ قال أبو عبد الله تدري ما الإمام ؟ الإمام الذي يجمع المسلمون عليه كلهم يقول هذا إمام ، فهذا معناه
Telah mengabarkan kepadaku Muhammad
bin Abi Haruun bahwa Ishaaq mengabarkan kepada mereka bahwa Abu
‘Abdullah ditanya tentang hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
“barang siapa mati tanpa memiliki Imam maka ia mati seperti kematian
Jahiliyah” apa maknanya?. Abu ‘Abdullah berkata “tahukah engkau yang
disebut Imam?. Imam adalah orang yang berkumpul atasnya kaum muslimin
seluruhnya dan mengatakan inilah Imam, maka inilah makna hadis tersebut
[As Sunnah Al Khalaal no 11].
Muhammad bin Abi Haruun Abu Fadhl adalah seorang yang shalih, fadhl dan banyak memiliki ilmu [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 21/291]. Ishaaq adalah Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam
dikatakan Muslim bahwa ia tsiqat ma’mun dan Nasa’iy berkata tsiqat
[Tarikh Baghdad 6/362 no 3386] dan Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal
yang sudah dikenal keilmuannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah.
Pertanyaan terkait hadis ini adalah siapakah Imam kaum muslimin sekarang
dimana jika kaum muslimin tidak membaiatnya dan mati dalam keadaan
demikian maka mereka mati seperti kematian jahiliyah. Kalau lafaz
“kematian jahiliyah” ini dimaknai sebagai kafir maka kaum muslimin [dari
kalangan ahlus sunnah] akan menjadi kafir mengingat di zaman sekarang
ini tidak ada Imam dimana berkumpul dan berbaiat atasnya seluruh kaum
muslimin.
Dan terkadang zhahir lafaz “kafir” dalam
suatu riwayat atau hadis tidak selalu bermakna kekafiran yang
mengeluarkan seseorang dari Islam. Memang terdengar aneh, tetapi konsep
kekafiran di bawah kekafiran ini cukup dikenal dalam mazhab Ahlus
Sunnah. Silakan perhatikan hadis berikut
حدثنا أبو عبد الله قال ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه قال سئل ابن عباس عن قوله ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون قال هي به كفر قال ابن طاوس وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه ورسله
Telah menceritakan kepada kami ‘Abu
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang
berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari
Ayahnya yang berkata ‘Ibnu ‘Abbas ditanya tentang firman Allah “barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. Ibnu
‘Abbas berkata “Itu adalah Kafir”. Ibnu Thawus berkata “dan bukanlah
itu seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan
Rasul-Nya” [As Sunnah Al Khalaal no 1443].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya:
- Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal salah seorang imam tsiqat hafizh faqiih hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/84 no 96].
- ‘Abdurrazzaaq bin Hamaam Ash Shan’aniy seorang tsiqat hafizh, penulis kitab, buta di akhir umurnya bercampur hafalannya dan ia bertasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/354 no 4064]. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia buta dan bercampur hafalannya.
- Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsaabit, A’masyiy, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At Tahdzib 1/541 no 6809]. Ini adalah riwayatnya dari ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy yang dijadikan hujjah oleh Bukhariy Muslim.
- ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy seorang yang tsiqat fadhl ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/308 no 3397].
- Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].
حدثني يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا هشيم قال أخبرنا عبد الملك بن أبي سليمان عن سلمة بن كهيل عن علقمة ومسروق أنهما سألا ابن مسعود عن الرشوة فقال من السحت قال فقالا أفي الحكم؟ قال ذاك الكفر ثم تلا هذه الآية ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub
bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang
berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Sulaiman dari
Salamah bin Kuhail dari ‘Alqamah dan Masruuq bahwa keduanya bertanya
kepada Ibnu Mas’ud tentang suap, Maka Ibnu Mas’ud berkata “itu perbuatan
haram”, Keduanya berkata “bagaimana hukumnya?”. Ibnu
Mas’ud berkata “itu kafir” kemudian Ia membaca ayat “barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. [Tafsir Ath Thabariy 10/357 no 12061].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya
- Ya’qub bin Ibrahiim Ad Dawraaqiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan termasuk hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/607 no 7812]
- Husyaim bin Basyiir perawi kutubus sittah, seorang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqrib At Tahdzib 1/574 no 7312]
- ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman, termasuk perawi Muslim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4184] kemudian disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4184]
- Salamah bin Kuhail Al Hadhramiy perawi kutubus sittah yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/248 no 2508]
- Alqamah bin Qais An Nakha’iy perawi kutubus sittah, tsiqat tsabit faqiih ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/397 no 4681]
- Masruuq bin Al A’jda’ Al Hamdaaniy perawi kutubus sittah tsiqat faqiih ahli ibadah mukhadhramun [Taqrib At Tahdzib 1/528 no 6601]
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa
hadis dengan lafaz “kafir” tidak selalu bermakna keluar dari Islam atau
murtad, para ulama ahlus sunnah [salafus shalih] menerima konsep
kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari
Islam atau kekafiran yang tidak seperti kafir kepada Allah SWT,
Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Kami membawakan riwayat-riwayat
ahlus sunnah ini hanya ingin menunjukkan bahwa konsep kekafiran di bawah
kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam juga
dikenal dalam mazhab ahlus sunnah.
Kesimpulan:
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab
Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat
riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain
mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang
mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
di atas.
Benarkah Mazhab Syi’ah Mengkafirkan Mayoritas Sahabat Nabi?
Salah satu diantara Syubhat para pembenci
Syi’ah [baik dari kalangan nashibiy atau selainnya] adalah Syi’ah
mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi kecuali tiga orang. Mereka mengutip
beberapa hadis dalam kitab Syi’ah untuk menunjukkan syubhat tersebut.
Dalam tulisan ini akan kami tunjukkan bahwa syubhat tersebut dusta, yang benar di sisi mazhab Syi’ah adalah para
sahabat Nabi telah tersesat dalam perkara Imamah Aliy bin Abi Thalib
[‘alaihis salaam] tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari Islam dan terlepas dari perkara Imamah cukup banyak para sahabat Nabi yang dipuji oleh Imam Ahlul Bait [‘alaihis salaam].
Dalam pembahasan ini akan dibahas
hadis-hadis mazhab Syi’ah yang sering dijadikan hujjah untuk menunjukkan
kekafiran mayoritas sahabat Nabi. Hadis-hadis tersebut terbagi menjadi
dua yaitu
- Hadis yang dengan jelas menggunakan lafaz “murtad”
- Hadis yang tidak menggunakan lafaz “murtad”
Hadis Dengan Lafaz Murtad
Hadis yang menggunakan lafaz murtad dalam
masalah ini ada lima hadis, empat hadis kedudukannya dhaif dan satu
hadis mengandung illat [cacat] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Berikut hadis-hadis yang dimaksud:
Riwayat Pertama:
علي بن الحكم عن سيف بن عميرة عن أبي بكر الحضرمي قال قال أبو جعفر (عليه السلام) ارتد الناس إلا ثلاثة نفر سلمان و أبو ذر و المقداد. قال قلت فعمار ؟ قال قد كان جاض جيضة ثم رجع، ثم قال إن أردت الذي لم يشك و لم يدخله شيء فالمقداد، فأما سلمان فإنه عرض في قلبه عارض أن عند أمير المؤمنين (عليه السلام) اسم الله الأعظم لو تكلم به لأخذتهم الأرض و هو هكذا فلبب و وجئت عنقه حتى تركت كالسلقة فمر به أمير المؤمنين (عليه السلام) فقال له يا أبا عبد الله هذا من ذاك بايع فبايع و أما أبو ذر فأمره أمير المؤمنين (عليه السلام) بالسكوت و لم يكن يأخذه في الله لومة لائم فأبى إلا أن يتكلم فمر به عثمان فأمر به، ثم أناب الناس بعد فكان أول من أناب أبو ساسان الأنصاري و أبو عمرة و شتيرة و كانوا سبعة، فلم يكن يعرف حق أمير المؤمنين (عليه السلام) إلا هؤلاء السبعة
Aliy bin Al Hakam dari Saif bin Umairah dari Abi Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata orang-orang murtad kecuali tiga yaitu Salman, Abu Dzar dan Miqdaad.
Aku berkata ‘Ammar?. Beliau berkata “sungguh ia telah berpaling
kemudian kembali” kemudian Beliau berkata “sesungguhnya orang yang tidak
ada keraguan didalamnya sedikitpun adalah Miqdaad, adapun Salman
bahwasanya ia nampak dalam hatinya nampak bahwa di sisi Amirul Mukminin
[‘alaihis salaam] terdapat nama Allah yang paling agung yang seandainya
ia meminta dengannya maka bumi akan menelan mereka. Dia ditangkap dan
diikat lehernya sampai meninggalkan bekas, ketika Amirul mukminin
melintasinya, Ia berkata kepadanya [Salman] “wahai Abu ‘Abdullah, inilah
akibat perkara ini, berbaiatlah” maka ia berbaiat. Adapun Abu Dzar maka
Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] memerintahkannya untuk diam dan tidak
terpengaruh dengan celaan para pencela di jalan Allah, ia menolak dan
berbicara maka ketika Utsman melintasinya ia memerintahkan dengannya,
kemudian orang-orang kembali setelah itudan mereka yang pertama kembali
adalah Abu Saasaan Al Anshariy, Abu ‘Amrah dan Syutairah maka mereka
jadi bertujuh, tidak ada yang mengenal hak Amirul Mukminin [‘alaihis
salaam] kecuali mereka bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/47 no 24].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya dhaif
karena terputus Antara Al Kasyiy dan Aliy bin Al Hakaam. Syaikh Ja’far
Syubhaaniy berkata
وكفى في ضعفها أن الكشي من أعلام القرن الرابع الهجري القمري ، فلا يصح أن يروي عن علي بن الحكم ، سواء أكان المراد منه الأنباري الراوي عن ابن عميرة المتوفى عام ( 217 ه) أو كان المراد الزبيري الذي عده الشيخ من أصحاب الرضا ( عليه السلام ) المتوفى عام 203
Dan cukup untuk melemahkannya bahwa
Al Kasyiy termasuk ulama abad keempat Hijrah maka tidak shahih ia
meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam, jika yang dimaksud adalah Al
Anbariy yang meriwayatkan dari Ibnu Umairah maka ia wafat tahun 217 atau
jika yang dimaksud adalah Az Zubairiy yang disebutkan Syaikh dalam
sahabat Imam Ar Ridha [‘alaihis salaam] maka ia wafat tahun 203 H
[Adhwaa ‘Ala ‘Aqa’id Syi’ah Al Imamiyah, Syaikh Ja’far Syubhaaniy hal
523].
Disebutkan riwayat di atas oleh Al Mufiid
dalam Al Ikhtishaash dengan sanad yang bersambung hingga Aliy bin Al
Hakam, berikut sanadnya
علي بن الحسين بن يوسف، عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن إسماعيل، عن علي بن الحكم، عن سيف بن عميرة، عن أبي بكر الحضرمي قال: قال أبوجعفر عليه السلام: ارتد الناس إلا ثلاثة نفر: سلمان وأبوذر، والمقداد
Aliy bin Husain bin Yuusuf dari
Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad
bin Isma’iil dari ‘Aliy bin Al Hakam dari Saif bin ‘Umairah dari Abu
Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Salmaan, Abu Dzar dan Miqdaad…[Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 10].
Terlepas dari kontroversi mengenai kitab
Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid. Riwayat Al Mufiid di atas sanadnya dhaif
sampai Aliy bin Al Hakam karena Aliy bin Husain bin Yuusuf dan Muhammad
bin Isma’iil majhul
- Aliy bin Husain bin Yusuf, Syaikh Asy Syahruudiy dalam biografinya menyatakan “mereka tidak menyebutkannya” [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy 5/359 no 9957]
- Muhammad bin Isma’iil Al Qummiy meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Yahya [Mu’jam Rijal Al Hadits 16/118 no 10293]. Disebutkan bahwa ia majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 502]
Kesimpulannya riwayat di atas dhaif tidak tsabit sanadnya sampai ke Aliy bin Al Hakam maka tidak bisa dijadikan hujjah
Riwayat Kedua:
محمد بن إسماعيل، قال حدثني الفصل بن شاذان، عن ابن أبي عمير عن إبراهيم بن عبد الحميد، عن أبي بصير، قال: قلت لأبي عبد الله ارتد الناس الا ثلاثة أبو ذر وسلمان والمقداد قال: فقال أبو عبد الله عليه السلام: فأين أبو ساسان وأبو عمرة الأنصاري؟
Muhammad bin Isma’iil berkata telah
menceritakan kepadaku Al Fadhl bin Syadzaan dari Ibnu Abi ‘Umair dari
Ibrahiim bin ‘Abdul Hamiid dari Abi Bashiir yang berkata aku berkata
kepada Abu ‘Abdullah “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Abu Dzar, Salmaan dan Miqdaad”.
Maka Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata “maka dimana Abu Saasaan
dan Abu ‘Amrah Al Anshaariy?” [Rijal Al Kasyiy 1/38 no 17].
Riwayat ini sanadnya dhaif karena Muhammad bin Isma’iil An Naisaburiy yang meriwayatkan dari Fadhl bin Syadzaan adalah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 500]
Riwayat Ketiga:
عدة من أصحابنا، عن محمد بن الحسن عن محمد بن الحسن الصفار، عن أيوب بن نوح، عن صفوان بن يحيى، عن مثنى بن الوليد الحناط، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر عليه السلام قال: ارتد الناس بعد النبي صلى الله عليه وآله إلا ثلاثة نفر: المقداد بن الأسود، وأبو ذر الغفاري وسلمان الفارسي، ثم إن الناس عرفوا ولحقوا بعد
Sekelompok dari sahabat kami dari
Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Ayuub bin
Nuuh dari Shafwaan bin Yahya dari Mutsanna bin Waliid Al Hanaath dari
Buraid bin Mu’awiyah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata “orang-orang
telah murtad sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] keucali
tiga yaitu Miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifaariy, dan Salman Al
Faarisiy kemudian orang-orang mengenal dan mengikuti setelahnya [Al Ikhtishaas Syaikh Mufiid hal 6].
Riwayat Al Mufiid di atas kedudukannya
dhaif karena tidak dikenal siapakah “sekelompok sahabat” yang
dimaksudkan dalam sanad tersebut.
Riwayat Keempat:
وعنه عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين، عن موسى بن سعدان، عن عبد الله بن القاسم الحضرمي، عن عمرو بن ثابت قال سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول إن النبي صلى الله عليه وآله لما قبض ارتد الناس على أعقابهم كفارا ” إلا ثلاثا ” سلمان والمقداد، وأبو ذر الغفاري، إنه لما قبض رسول الله صلى الله عليه وآله جاء أربعون رجلا ” إلى علي بن أبي طالب عليه السلام فقالوا لا والله لا نعطي أحدا ” طاعة بعدك أبدا “، قال ولم؟ قالوا إنا سمعنا من رسول الله صلى الله عليه وآله فيك يوم غدير [خم]، قال وتفعلون؟ قالوا نعم قال فأتوني غدا ” محلقين، قال فما أتاه إلا هؤلاء الثلاثة، قال وجاءه عمار بن ياسر بعد الظهر فضرب يده على صدره، ثم قال له مالك أن تستيقظ من نومة الغفلة، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم أنتم لم تطيعوني في حلق الرأس فكيف تطيعوني في قتال جبال الحديد، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم
Dan darinya dari Muhammad bin Hasan
dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Husain dari Muusa
bin Sa’dan dari ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy dari ‘Amru bin Tsabit
yang berkata aku mendengar ‘Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan “Sesungguhnya
setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, maka orang-orang
murtad kecuali tiga orang yaitu Salman, Miqdad dan Abu Dzar Al Ghiffariy.
Sesungguhnya setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat,
datanglah empat puluh orang lelaki kepada Aliy bin Abi Talib. Mereka
berkata “Tidak, demi Allah! Selamanya kami tidak akan mentaati
sesiapapun kecuali kepadamu. Beliau berkata Mengapa?. Mereka berkata
“Sesungguhnya kami telah mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyampaikan tentangmu pada hari Ghadir [Khum]. Beliau berkata
“apakah kamu semua akan melakukannya?” Mereka berkata “ya”. Beliau
berkata “datanglah kamu besok dengan mencukur kepala”. [Abu ‘Abdillah]
berkata “Tidak datang kepada Ali kecuali mereka bertiga. [Abu ‘Abdillah]
berkata: ‘Ammar bin Yasir datang setelah Zuhur. Beliau memukul tangan
ke atas dadanya dan berkata kepada Ammar Mengapa kamu tidak bangkit
daripada tidur kelalaian? Kembalilah kamu, kerana aku tidak memerlukan
kamu. Jika kamu tidak mentaati aku untuk mencukur kepala, lantas
bagaimana kamu akan mentaati aku untuk memerangi gunung besi, kembalilah
kamu, aku tidak memerlukan kamu” [Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 6].
Riwayat Syaikh Al Mufiid di atas
berdasarkan Ilmu Rijal Syi’ah sanadnya dhaif jiddan karena Musa bin
Sa’dan dan ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy:
- Muusa bin Sa’dan Al Hanath ia adalah seorang yang dhaif dalam hadis [Rijal An Najasyiy hal 404 no 1072]
- ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy seorang pendusta dan ghuluw [Rijal An Najasyiy hal 226 no 594]
Riwayat Kelima:
حنان، عن أبيه، عن أبي جعفر (ع) قال: كان الناس أهل ردة بعد النبي (صلى الله عليه وآله) إلا ثلاثة فقلت: ومن الثلاثة؟ فقال: المقداد بن الاسود وأبوذر الغفاري و سلمان الفارسي رحمة الله وبركاته عليهم ثم عرف اناس بعد يسير وقال: هؤلاء الذين دارت عليهم الرحا وأبوا أن يبايعوا حتى جاؤوا بأمير المؤمنين (ع) مكرها فبايع وذلك قول الله تعالى: ” وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين
Hannan dari ayahnya [Sadiir], dari Abu Ja‘far [‘alaihis salaam] yang berkata
“Sesungguhnya orang-orang adalah Ahli riddah [murtad] setelah Nabi
[shallallahu ‘alaihi wa alihi] wafat kecuali tiga orang. [Sadiir]
berkata ‘Siapa ketiga orang itu?’ Maka Beliau berkata ‘Miqdaad bin
Aswad, Abu Dzar Al Ghifariy dan Salman Al Farisiy [semoga Allah
memberikan rahmat dan barakah kepada mereka]. Kemudian
orang-orang mengetahui sesudah itu. Beliau berkata mereka itulah yang
menghadapi segala kesulitan dan tidak memberikan ba’iat sampai mereka
mendatangi Amirul Mukminin [‘alaihissalaam] yang dipaksa mereka memberi
ba’iat. Demikianlah yang difirmankan Allah SWT “Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang,
barang siapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada
orang yang bersyukur [Al Kafiy Al Kulainiy 8/246 no 341].
Sebagian orang mendhaifkan sanad ini
dengan mengatakan bahwa riwayat Al Kulainiy terputus Antara Al Kulainiy
dan Hanaan bin Sadiir. Nampaknya hal ini tidak benar berdasarkan
penjelasan berikut:
Riwayat di atas juga disebutkan Al Kasyiy dalam kitab Rijal-nya dengan sanad Dari Hamdawaih dan Ibrahim bin Nashiir dari Muhammad bin ‘Utsman dari Hannan dari Ayahnya dari Abu Ja’far
[Rijal Al Kasyiy 1/26 no 12]. Al Majlisiy dalam kitabnya Bihar Al Anwar
mengutip hadis Al Kasyiy tersebut kemudian mengutip sanad Al Kafiy
dengan perkataan berikut:
الكافي: علي عن أبيه عن حنان مثله
Al Kafiy : Aliy [bin Ibrahim] dari Ayahnya dari Hanaan seperti di atas [Bihar Al Anwar 28/237]
Al Kulainiy menyebutkan dalam Al Kafiy pada riwayat sebelumnya sanad yang sama yaitu nampak dalam riwayat berikut:
علي بن ابراهيم، عن أبيه، عن حنان بن سدير، ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد عن محمد بن إسماعيل، عن حنان بن سدير، عن أبيه قال: سألت أبا جعفر
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Hanaan bin Sadiir dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari
Muhammad bin Isma’iil dari Hanaan bin Sudair dari Ayahnya yang berkata
aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]… [Al Kafiy Al Kulainiy
8/246 no 340].
Maka disini dapat dipahami bahwa dalam pandangan Al Majlisiy sanad utuh riwayat tersebut adalah Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hanaan dari Ayahnya dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam].
Sanad ini para perawinya tsiqat selain Sadiir bin Hakiim Ash Shairaafiy,
ia tidak dikenal tautsiq-nya dari kalangan ulama mutaqaddimin Syi’ah
tetapi Allamah Al Hilliy telah menyebutkannya dalam bagian pertama
kitabnya yang memuat perawi yang terpuji dan diterima di sisi-nya. Dalam
kitabnya tersebut Al Hilliy juga menukil Sayyid Aliy bin Ahmad Al
Aqiiqiy yang berkata tentang Sadiir bahwa ia seorang yang mukhalith
[kacau atau tercampur] [Khulashah Al Aqwaal hal 165 no 3]. Pentahqiq
kitab Khulashah Al Aqwal berkata bahwa lafaz mukhalith tersebut bermakna
riwayatnya ma’ruf dan mungkar.
Dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan
Allamah Al Hilliy, Sadiir bin Hakiim termasuk perawi yang diterima hanya
saja dalam sebagian riwayatnya kacau sehingga diingkari. Kedudukan
perawi seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud dan tidak
diterima hadisnya jika bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat.
Berikut riwayat shahih dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang
membuktikan keislaman para sahabat pada saat itu:
أبى رحمه الله قال: حدثنا سعد بن عبد الله قال: حدثنا أحمد بن محمد ابن عيسى، عن العباس بن معروف، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر ” ع ” قال: إن عليا ” ع ” لم يمنعه من أن يدعو الناس إلى نفسه إلا انهم ان يكونوا ضلالا لا يرجعون عن الاسلام أحب إليه من أن يدعوهم فيأبوا عليه فيصيرون كفارا كلهم
Ayahku [rahimahullah] berkata telah
menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari ‘Abbaas bin
Ma’ruuf dari Hammad bin Iisa dari Hariiz dari Buraid bin Mu’awiyah dari
Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya Aliy [‘alaihis
salaam], tidak ada yang mencegahnya mengajak manusia kepadanya kecuali
bahwa mereka dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar dari Islam
lebih ia sukai daripada ia mengajak mereka dan mereka menolaknya maka
mereka menjadi kafir seluruhnya [Ilal Asy Syara’i Syaikh Ash Shaduq
1/150 no 10].
Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan para perawinya:
- Ayah Syaikh Shaduq adalah ‘Aliy bin Husain bin Musa bn Babawaih Al Qummiy disebutkan oleh An Najasyiy Syaikh yang faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- ‘Abbaas bin Ma’ruf Abu Fadhl Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 281 no 743]
- Hammaad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370]
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
- Buraid bin Mu’awiyah meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat faqiih [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 81-82]
Riwayat Syaikh Ash Shaduq dengan jelas
menyatakan bahwa para sahabat yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis
salaam] pada saat itu memang dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar
dari Islam.
Hadis Yang Tidak Ada Lafaz Murtad
Ada dua hadis yang tidak mengandung lafaz
“murtad” hanya menunjukkan bahwa mereka para sahabat meninggalkan baiat
atau telah tersesat dan celaka kecuali tiga orang. Dan berdasarkan
hadis shahih sebelumnya [riwayat Syaikh Ash Shaduq] mereka para sahabat
yang tidak membaiat Imam Aliy adalah orang-orang yang tersesat tetapi
tidak keluar dari Islam
Riwayat Pertama:
محمد بن مسعود، قال حدثني علي بن الحسن بن فضال، قال حدثني العباس ابن عامر، وجعفر بن محمد بن حكيم، عن أبان بن عثمان، عن الحارث النصري بن المغيرة، قال سمعت عبد الملك بن أعين، يسأل أبا عبد الله عليه السلام قال فلم يزل يسأله حتى قال له: فهلك الناس إذا؟ قال: أي والله يا ابن أعين هلك الناس أجمعون قلت من في الشرق ومن في الغرب؟ قال، فقال: انها فتحت على الضلال أي والله هلكوا الا ثلاثة ثم لحق أبو ساسان وعمار وشتيرة وأبو عمرة فصاروا سبعة
Muhammad bin Mas’ud berkata telah
menceritakan kepadaku Aliy bin Hasan bin Fadhl yang berkata telah
menceritakan kepadaku ‘Abbas Ibnu ‘Aamir dan Ja’far bin Muhammad bin
Hukaim dari Aban bin ‘Utsman dari Al Harits An Nashriy bin Mughiirah
yang berkata aku mendengar ‘Abdul Malik bin ‘A’yun bertanya kepada Abu
‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia tidak henti-hentinya bertanya kepadanya
sampai ia berkata kepadanya “maka orang-orang telah celaka?”. Beliau
berkata “demi Allah, wahai Ibnu A’yun orang-orang telah celaka
seluruhnya”. Aku berkata “orang-orang yang di Timur dan orang-orang yang
di Barat?”. Beliau berkata “sesungguhnya
mereka berada dalam kesesatan, demi Allah mereka celaka kecuali tiga
kemudian diikuti Abu Saasaan, ‘Ammar, Syutairah dan Abu ‘Amrah hingga
mereka jadi bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/34-35 no 14].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya
muwatstsaq para perawinya tsiqat hanya saja Aliy bin Hasan bin Fadhl
disebutkan bahwa ia bermazhab Fathahiy dan Aban bin ‘Utsman bermazhab
menyimpang
- Muhammad bin Mas’ud termasuk guru Al Kasyiy dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 350 no 944]
- Aliy bin Hasan bin Fadhl orang Kufah yang faqih, terkemuka, tsiqat dan arif dalam ilmu hadis [Rijal An Najasyiy hal 257 no 676]
- ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744]
- Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]
- Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361]
- Abdul Malik bin A’yun termasuk sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] dan Imam Shadiq [‘alaihis salaam], disebutkan dalam riwayat shahih oleh Al Kasyiy mengenai kebaikannya dan istiqamah-nya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 356]. Allamah Al Hilliy memasukkannya ke dalam daftar perawi yang terpuji atau diterima di sisinya [Khulashah Al Aqwaal hal 206 no 5]
Riwayat Al Kasyiy di atas tidak bisa
dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena dalam
lafaz riwayat-nya memang tidak terdapat kata-kata kafir atau murtad.
Riwayat diatas menjelaskan bahwa para sahabat telah celaka dan mengalami
kesesatan [karena perkara wilayah] tetapi hal ini tidaklah mengeluarkan
mereka dari Islam sebagaimana telah ditunjukkan riwayat shahih
sebelumnya.
Riwayat Kedua:
حمدويه، قال حدثنا أيوب عن محمد بن الفضل وصفوان، عن أبي خالد القماط، عن حمران، قال: قلت لأبي جعفر عليه السلام ما أقلنا لو اجتمعنا على شاة ما أفنيناها! قال، فقال: الا أخبرك بأعجب من ذلك؟ قال، فقلت: بلي. قال: المهاجرون والأنصار ذهبوا (وأشار بيده) الا ثلاثة
Hamdawaih berkata telah menceritakan
kepada kami Ayuub dari Muhammad bin Fadhl dan Shafwaan dari Abi Khalid
Al Qamaath dari Hamran yang berkata aku berkata kepada Abu Ja’far
[‘alaihis salaam] “betapa sedikitnya jumlah kita, seandainya kita
berkumpul pada hidangan kambing maka kita tidak akan menghabiskannya”.
Maka Beliau berkata “maukah aku kabarkan kepadamu hal yang lebih
mengherankan daripada itu?”. Aku berkata “ya”. Beliau berkata “Muhajirin dan Anshar meninggalkan [dan ia berisyarat dengan tangannya] kecuali tiga [Rijal Al Kasyiy 1/37 no 15]
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya
- Hamdawaih bin Nashiir dia seorang yang memiliki banyak ilmu dan riwayat, tsiqat baik mazhabnya [Rijal Ath Thuusiy hal 421]
- Ayuub bin Nuuh bin Daraaj, agung kedudukannya di sisi Abu Hasan dan Abu Muhammad [‘alaihimus salaam], ma’mun, sangat wara’, banyak beribadah dan tsiqat dalam riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 102 no 254]
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
- Yaziid Abu Khalid Al Qammaath seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 452 no 1223]
- Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]
Riwayat Al Kasyiy di atas juga tidak bisa
dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena tidak
ada dalam riwayat tersebut lafaz kafir atau murtad. Riwayat ini
menunjukkan bahwa para sahabat meninggalkan Imam Aliy dan membaiat
khalifah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sepeninggal Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam]. Dan sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih
sebelumnya bahwa mereka telah tersesat tetapi hal itu tidak mengeluarkan
mereka dari Islam.
Kesimpulan:
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi
yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis salaam] telah tersesat , Imamah
Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah
bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari
islam.
Rektor Al Azhar : Muslim Boleh Berpindah Mazhab dari Sunni ke Syiah atau Sebaliknya
Muslim Boleh Berpindah Mazhab dari Sunni ke Syiah atau Sebaliknya
2014, 24 April 5:56 AM
Rektor Universitas al Azhar: Muslim Boleh Berpindah Mazhab dari Sunni ke Syiah atau Sebaliknya
Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam dan bukan suatu kesalahan bagi umat Islam menganut mazhab Syiah atau terjadi peralihan mazhab dari sunni ke syiah atau sebaliknya. Sebagaimana bolehnya beralih mazhab dalam internal mazhab Sunni yang empat.
Syaikh Ahmad at Tayyib Rektor Universitas al Azhar Mesir dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Mesir channel Neil News menyatakan Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam dan bukan suatu kesalahan bagi umat Islam menganut mazhab Syiah atau terjadi peralihan mazhab dari sunni ke syiah atau sebaliknya. Sebagaimana bolehnya beralih mazhab dalam internal mazhab Sunni yang empat.
Berikut redaksi menukilkan sebagian dari wawancara tersebut:
Wartawan Neil News: Apakah menurut anda, aqidah mazhab Syiah tidak bermasalah?
Syaikh Tayyib: Tidak. Apa masalahnya?. 50 tahun lalu Syaikh Shaltut telah mengeluarkan fatwa Syiah adalah mazhab kelima Islam dan diakui sebagaimana empat mazhab lainya.
WN: Jika salah seorang anak kita masuk Syiah, apa yang mesti kita lakukan?
ST: Apa salahnya? Sebagaimana kita tidak mempermasalahkan muslim yang sebelumnya bermazhab Hanafi beralih ke mazhab Maliki. Jadi bukan kesalahan jika seorang muslim beralih dari mazhab yang empat ke mazhab kelima.
WN: Kami memang mengenal muslim Syiah berlaku baik dan hormat perlakuannya terhadap kami. Dan terjadi di antara kami pernikahan. Bagaimana pendapat anda?
ST: Apa masalahnya?. Pernikahan antar pengikut mazhab adalah sesuatu yang dibolehkan.
WN: Ada yang mengatakan Syiah itu memiliki Al-Qur’an yang berbeda. Bagaimana pendapat anda?
ST: Perkataan tersebut, adalah khurafat dan khayalan orang-orang yang lanjut usia. Al-Qur’an muslim Syiah sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an yang kita muslim Sunni yakini, bahkan termasuk dalam khat dan penyusunan halaman sekalipun.
WN: 23 ulama dari Negara Arab Saudi telah mengeluarkan fatwa Syiah adalah orang-orang rafidah dan kafir.
ST: Untuk kaum muslimin diseluruh dunia, hanya fatwa dari Al Azhar yang berlaku, dan fatwa mereka tidak memiliki i’tibar sama sekali, kecuali untuk mereka saja, bukan untuk seluruh kaum muslimin.
WN: Lantas apa yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertikaian antara sunni dan syiah dibeberapa Negara muslim?
ST: Perselisihan tersebut dipicu oleh kepentingan politik asing, dan dalam meloloskan kepentingan mereka, mereka menciptakan perselisihan dan pertikaian antara kaum muslim dengan menghembuskan isu-isu perbedaan yang terdapat dalam mazhab-mazhab Islam yang ada.
WN: Bukankah kita tahu, Syiah itu tidak mengakui Abu Bakar dan Umar, lantas bagaimana anda menyebutnya tetap sebagai muslim?.
ST: Iya, mereka memang tidak menerimanya. Namun bukankah percaya dan mengakui kekhalifaan Abu Bakar dan Umar bukan bagian dari ushul agama ini? Kisah mengenai Abu Bakar dan Umar ra adalah penggalan sejarah yang tidak memiliki keterkaitan dengan ushul aqidah.
WN: Diantara keyakinan Syiah yang lain, adalah mereka meyakini Imam Zaman mereka masih hidup sampai sekarang sejak kelahirannya lebih dari seribu tahun yang lalu. Pendapat anda?
ST: Ya mungkin saja. Mengapa tidak mungkin?. Hanya saja dalil mereka tidak meyakinkan kita untuk mengikuti apa yang mereka yakini.
WN: Apakah mungkin seorang anak kecil yang masih berumur 8 tahun telah menjadi imam? Syiah meyakini, salah seorang diantara imam mereka, telah menjadi imam disaat masih berusia 8 tahun.
ST: Jika seorang bayi dengan izin Allah telah diangkat menjadi Nabi, maka seorang anak diusia 8 tahun bisa saja telah mampu menjadi imam, dan itu bukan sesuatu yang ajaib. Sebagai Ahlus Sunnah apa yang Syiah yakini mengenai imam mereka, tidak kita terima. Namun apa yang mereka yakini itu tidak merusak hakikat Islam, dan mereka tetap saja bagian dari kaum muslimin.
Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam dan bukan suatu kesalahan bagi umat Islam menganut mazhab Syiah atau terjadi peralihan mazhab dari sunni ke syiah atau sebaliknya. Sebagaimana bolehnya beralih mazhab dalam internal mazhab Sunni yang empat.
Syaikh Ahmad at Tayyib Rektor Universitas al Azhar Mesir dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Mesir channel Neil News menyatakan Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam dan bukan suatu kesalahan bagi umat Islam menganut mazhab Syiah atau terjadi peralihan mazhab dari sunni ke syiah atau sebaliknya. Sebagaimana bolehnya beralih mazhab dalam internal mazhab Sunni yang empat.
Berikut redaksi menukilkan sebagian dari wawancara tersebut:
Wartawan Neil News: Apakah menurut anda, aqidah mazhab Syiah tidak bermasalah?
Syaikh Tayyib: Tidak. Apa masalahnya?. 50 tahun lalu Syaikh Shaltut telah mengeluarkan fatwa Syiah adalah mazhab kelima Islam dan diakui sebagaimana empat mazhab lainya.
WN: Jika salah seorang anak kita masuk Syiah, apa yang mesti kita lakukan?
ST: Apa salahnya? Sebagaimana kita tidak mempermasalahkan muslim yang sebelumnya bermazhab Hanafi beralih ke mazhab Maliki. Jadi bukan kesalahan jika seorang muslim beralih dari mazhab yang empat ke mazhab kelima.
WN: Kami memang mengenal muslim Syiah berlaku baik dan hormat perlakuannya terhadap kami. Dan terjadi di antara kami pernikahan. Bagaimana pendapat anda?
ST: Apa masalahnya?. Pernikahan antar pengikut mazhab adalah sesuatu yang dibolehkan.
WN: Ada yang mengatakan Syiah itu memiliki Al-Qur’an yang berbeda. Bagaimana pendapat anda?
ST: Perkataan tersebut, adalah khurafat dan khayalan orang-orang yang lanjut usia. Al-Qur’an muslim Syiah sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an yang kita muslim Sunni yakini, bahkan termasuk dalam khat dan penyusunan halaman sekalipun.
WN: 23 ulama dari Negara Arab Saudi telah mengeluarkan fatwa Syiah adalah orang-orang rafidah dan kafir.
ST: Untuk kaum muslimin diseluruh dunia, hanya fatwa dari Al Azhar yang berlaku, dan fatwa mereka tidak memiliki i’tibar sama sekali, kecuali untuk mereka saja, bukan untuk seluruh kaum muslimin.
WN: Lantas apa yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertikaian antara sunni dan syiah dibeberapa Negara muslim?
ST: Perselisihan tersebut dipicu oleh kepentingan politik asing, dan dalam meloloskan kepentingan mereka, mereka menciptakan perselisihan dan pertikaian antara kaum muslim dengan menghembuskan isu-isu perbedaan yang terdapat dalam mazhab-mazhab Islam yang ada.
WN: Bukankah kita tahu, Syiah itu tidak mengakui Abu Bakar dan Umar, lantas bagaimana anda menyebutnya tetap sebagai muslim?.
ST: Iya, mereka memang tidak menerimanya. Namun bukankah percaya dan mengakui kekhalifaan Abu Bakar dan Umar bukan bagian dari ushul agama ini? Kisah mengenai Abu Bakar dan Umar ra adalah penggalan sejarah yang tidak memiliki keterkaitan dengan ushul aqidah.
WN: Diantara keyakinan Syiah yang lain, adalah mereka meyakini Imam Zaman mereka masih hidup sampai sekarang sejak kelahirannya lebih dari seribu tahun yang lalu. Pendapat anda?
ST: Ya mungkin saja. Mengapa tidak mungkin?. Hanya saja dalil mereka tidak meyakinkan kita untuk mengikuti apa yang mereka yakini.
WN: Apakah mungkin seorang anak kecil yang masih berumur 8 tahun telah menjadi imam? Syiah meyakini, salah seorang diantara imam mereka, telah menjadi imam disaat masih berusia 8 tahun.
ST: Jika seorang bayi dengan izin Allah telah diangkat menjadi Nabi, maka seorang anak diusia 8 tahun bisa saja telah mampu menjadi imam, dan itu bukan sesuatu yang ajaib. Sebagai Ahlus Sunnah apa yang Syiah yakini mengenai imam mereka, tidak kita terima. Namun apa yang mereka yakini itu tidak merusak hakikat Islam, dan mereka tetap saja bagian dari kaum muslimin.
Mengkafirkan-mengutuk-mencaci maki para SAHABAT dan Isteri Nabi bukan ajaran Syi’ah Ahlul Bait
Syiah Bagian Dari Umat Islam
Statemen di atas “Syi’ah bagian dari Umat Islam” adalah jawaban Ketua Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy saat ditanya oleh salah seorang hadirin dalam pertemuan beliau dengan beberapa perwakilan ormas Islam di Aula MUI Pusat Sabtu, 7 Desember 2013.
Dalam acara silaturahmi yang mengangkat tema “Peran Ulama Menghadapi Berbagai Tantangan Umat” itu beliau menegaskan, tidak seorang pun bisa mengingkari bahwa umat Syiah telah ada 1300 tahun yang lalu dan merupakan bagian dari umat Islam yang besar ini.
Karenanya dalam beberapa konferensi yang diadakan oleh lembaga yang diembannya, hadir pula para ulama Syiah.
Menurutnya, adanya perbedaan pandangan antara Ahlussunnah dan Syiah tidaklah serta-merta mengizinkan kita untuk menegasikan dan mengingkari posisi mereka sebagai muslim.
“Apalagi banyak dari para ulama kontemporer Syiah yang moderat dan mengoreksi beberapa pandangan para pendahulunya,” tambahnya.
At Turkiy yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri Konferensi Internasional Media Islam yang ke III, dalam pertemuan malam itu selain menjelaskan tentang visi dan misi serta organisasi yang dipimpinnya, juga mengkritik adanya kontradiksi antara apa yang ia dengar bahwa MUI adalah forum yang mengumpulkan perwakilan semua ormas Islam di Indonesia namun di sisi lain, dinamai Majelis Ulama tapi berposisi sebagai sebuah lembaga yang memproduksi fatwa.
Menurutnya jika hanya kumpulan perwakilan ormas Islam maka tidak selayaknya disebut Majelis Ulama namun Majelis Tinggi Ketua-ketua Ormas Islam Indonesia lebih tepat. Atau jika memang yang diinginkan adalah kumpulan ulama yang akan memproduksi fatwa maka haruslah terdiri dari orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam berijtihad dan berfatwa.
Menanggapi kritik tersebut Prof. Dr. Junaidi salah seorang pimpinan MUI menjelaskan tentang posisi MUI sebagai forum diskusi dan konsultasi para ulama dan pimpinan ormas Islam yang memiliki beberapa komisi, diantaranya komisi Fatwa.
Syaikh dalam orasinya juga berharap para ulama di Indonesia
memberikan konsentrasi yang penuh pada berbagai isu besar dan penting
yang merupakan tantangan yang dihadapi umat di era global ini dengan
menyusun program-program strategis serta meninggalkan hal-hal remeh dan
sepele.
“Kamipun siap bekerjasama untuk merealisasikan hal itu,” tegasnya.
“Dan kamipun berkomitmen untuk tidak mencampuri kebijakan dalam negeri setiap negara dan berbagai ciri khasnya,” lanjutnya.
Acara ditutup dengan tukar-menukar cinderamata yang dalam hal ini MUI diwakili salah seorang ketua harian MUI Pusat, Prof. Dr. KH. Umar Shihab.
Tindakan caci maki terhadap istri dan sahabat Nabi Saw
bukan mewakili akhlak dan perilaku Ahli Bait as ! Itu cuma perilaku
oknum, bukan perilaku mazhab syi’ah yang sesungguhnya..
Syi’ah Ali adalah pengikut aliran pemikiran yang berprilaku mengikuti para imam suci as.
Apakah Muslim Syiah tidak akan masuk neraka?
Pertanyaan: Ada sebuah riwayat dari Imam Ali as: “Umat Islam Syiah tidak akan masuk neraka.” Begitu juga aku membaca dalam sebuah buku bahwa tingkat pertama neraka Jahanam adalah khusus untuk umat Islam (umat nabi) yang pendosa! Mana yang benar?
Jawaban Global:
Tolak ukur perhitungan di hari kiamat untuk menentukan apakah sesorang layak memasuki surga atu neraka berdasar pada kaidah-kaidah yang telah dijelaskan oleh Allah swt dalam ayat-ayat suci-Nya. Tuhan tidak mempedulikan faktor perbedaan kelompok, keturunan, dan bangsa dalam hal ini. Tolak ukur utama adalah amal perbuatan manusia; yakni kenikmatan surga adalah balasan dari iman dan amal saleh, sedangkan neraka adalah balasan kekufuran dan dosa.
Jawaban Detil:
Sepanjang sejarah banyak yang membahas masalah umat yang bakal selamat di akhirat (firqah najiah). Pembahasan tersebut kurang lebih bertumpu pada sebuah hadits yang diaku dari nabi, yang dikenal dengan hadits iftiraq. Para penulis buku-buku sekte dan mazhab-mazhab berusaha mengkategorikan sekte-sekte yang ada sebisa mungkin agar susuai dengan hadits tersebut. Dalam riwayat itu dijelaskan bahwa akan hanya ada satu kelompok yang selamat dan masuk surga. Akhirnya setiap sekte dan mazhab berusaha untuk menyebut dirinya sebagai kelompok yang benar itu dan layak memasuki surga.
Al-Qur’an dalam menyinggung masalah kebahagiaan sejati akhirat sering kali menjelaskan adanya beberapa kelompok yang tak hanya menganggap diri mereka yang layak masuk surga, namun juga berkeyakinan bahwa selain mereka tidak berhak masuk ke dalam surga. Begitu juga dalam riwayat-riwayat Ahlu Sunah dan Syiah banyak sekali ditemukan hadits tentang pahala dan siksa akhirat, dan terkadang setiap salah satu dari mereka memberikan tolak ukur tertentu untuk permasalahan tersebut. Dengan memahami pendahuluan singkat tersebut, kini perlu dijelaskan dua hal:
Pertama: Apakah Tuhan telah menjelaskan toak ukur orang-orang yang berhak masuk surga dan neraka? Atau tidak?
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang sebagian kaum yang menyatakan diri merekalah yang paling berhak untuk masuk surga. Mereka mengira bahwa adzab neraka hanya akan mereka rasakan selama beberapa hari saja, lalu akhirnya mereka akan mendapatkan tempat di surga. Dalam menanggapi keyakinan seperti itu, Allah swt berfirman: “Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”” (QS. al-Baqarah [2]:80)
Setelah itu Allah swt menjelaskan kaidah umum untuk menentukan siapakah yang berhak masuk surga atau neraka. Ya, orang-orang yang melakukan dosa, lalu dampak dosa itu meliputi dirinya, maka orang seperti itu adalah penduduk neraka, dan mereka kekal di sana. Adapun mereka yang beriman dan melakukan amal perbuatan baik, mereka adalah penduduk surga dan untuk selamanya mereka di sana.[1]
Begitu pula sebagian berkeyakinan bahwa hanya Yahudi dan Nashrani saja yang akan masuk surga. Lalu Al-Qur’an menepis pengakuan mereka dan menyatakan bahwa perkataan mereka tidak memiliki bukti, menganggap semua itu hanyalah mimpi dan khayalan mereka saja. Lalu Al-Qur’an menjelaskan tolak ukur sebenarnya dengan berfirman: “…bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:112).
Ayat suci itu menyatakan bahwa sebab utama masuk surga adalah penyerahan diri kepada perintah Tuhan dan perbuatan baik. Yakni surga tidak akan diberikan kepada orang yang hanya mengaku-aku saja, namun diperlukan iman dan amal saleh. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjadikan amal perbuatan sebagai tolak ukur berhaknya seseorang untuk masuk surga atau neraka. Meski juga ada kelompok ketiga yang berada di antara mereka, yang mana Al-Qur’an menjelaskan mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan terhadap Tuhannya; namun hanya Ia yang tahu entah mereka dimaafkan atau disiksa.[2]
Kedua: Siapakah yang dimaksud orang-orang Syiah yang dijanjikan masuk surga itu?
Di antara riwayat-riwayat Syiah, juga ada hadits-hadits dari nabi dan para imam maksum yang menjelaskan tentang bahwa umat Syiah akan masuk surga. Kata-kata “Syiah” dalam hadits tersebut membuat kita terdorong untuk mengkaji lebih matang siapakah yang dimaksud dengan “Syiah” dalam hadits-hadits itu? Baru setelah itu kita akan membahas masalah-maslaah lain yang berkaitan dengannya.
Makna Leksikal Syiah
Para ahli bahasa menyebutkan banyak makna untuk kata “Syiah”. Misalnya: kelompok, umat, para penyerta, para pengikut, para sahabat, para penolong, kelompok yang berkumpul pada satu perkara.[3]
Makna Istilah Syiah
Syiah dalam istilah adalah orang-orang yang meyakini bahwa hak kepenggantian nabi ada pada keluarga risalah, dan dalam menerima makrifat-makrifat Islami mereka mengikuti Ahlul Bait as, yakni para imam Syiah as.[4]
Kata Syiah sepanjang sejarah mengalami berbagai perubahan dalam maknanya. Misalnya terkadang diartikan sebagai kelompok politik, terkadang pecinta, atau juga pengikut aliran pemikiran yang berprilaku mengikuti para imam suci as.
Syiah Menurut Para Imam Maksum as
Dari beberapa riwayat yang dinukil dari kalangan Ahlul Bait as dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Syiah adalah orang-orang khusus yang tidak hanya mengaku sebagai pengikut saja. Namun para Imam suci menekankan adanya sifat-sifat khas yang dimiliki mereka, seperti mengikuti para Imam dalam amal dan perilaku. Oleh karena itu sering kali para Imam menegaskan kepada sebagian orang yang mengaku Syiah untuk berprilaku sebagaimana yang diakuinya. Untuk lebih jelasnya mari kita membaca beberapa riwayat yang akan kami sebutkan.
Ada banyak riwayat dari para Imam maksum as yang sampai ke tangan kita tentang siapa Syiah sejati yang sebenarnya. Tak hanya itu, bahkan ada celaan terhadap sebagian orang yang berkeyakinan bahwa diri mereka tidak akan masuk neraka karena Syiah, lalu mereka disebut sebagai Syiah paslu.
Seseorang berkata: “Aku berkata kepada Imam Shadiq as: “Sebagian dari pengikutmu melakukan dosa-dosa dan berkata: “Kami memiliki harapan.” Lalu Imam as berkata: “Mereka berbohong. Mereka bukanlah kawan kami. Mereka adalah orang-orang yang membawa harapannya kesana kemari, yang mana ketika mereka mengharap sesuatu, mereka mengejarnya, lalu jika mereka takut akan sesuatu, mereka lari.”.”[5]
Imam Shadiq as pernah berkata: “Bukanlah Syiah (pengikut) kami orang yang mengaku dengan lisannya namun berperilaku bertentangan dengan kami. Syiah adalah orang yang hati dan lidahnya sejalan dengan kami, begitu pula perilaku dan amal perbuatannya mengikuti kami; merekalah Syiah kami.”[6]
Para Imam as sering kali menyebutkan kriteria-kriteria Syiah sejati. Misalnya anda dapat membaca dua riwayat di bawah ini:
Imam Baqir as berkata: “Wahai Jabir, apakah cukup bagi pengkut kami untuk hanya mengaku sebagai Syiah? Demi Tuhan, Syiah kami adalah orang-orang yang bertakwa dan takut akan Tuhannya, menjalankan perintah-perintah-Nya. Mereka (Syiah) tidak dikenal kecuali sebagai orang yang rendah hati, khusyu’, banyak mengingat Tuhan, berpuasa, shalat, beramah-tamah dengan tetangga yang miskin, orang yang butuh, para pemilik hutang, anak-anak yatim, serta berkata jujur, sering membaca Al-Qur’an, menjaga lidahnya terhadap sesamanya, dan juga orang yang dipercaya oleh keluarganya.”[7]
Imam Ja’far Shadiq as berkata: “Syiah kami adalah orang yang bertakwa, setia, zuhud, ahli ibadah, dan orang yang di malam hari shalat sebanyak lima puluh satu rakaat, dan berpuasa di siang hari, menunaikan zakat hartanya, menjalankan ibadah haji, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram.”[8]
Jika tidak dijelaskan apa maksud Syiah sejati yang sebenarnya, maka artinya perbuatan buruk diperbolehkan untuk dilakukan oleh sekelompok orang. Di sepanjang sejarah kita pun menyaksikan sebagian kelompok yang mengaku Syiah namun tidak menjalankan perintah-perintah agama, lalu berdalih dengan riwayat-riwayat tersebut seraya menekankan bahwa “agama adalah mengenal Imam”[9], dan mereka pun terus-terusan sembarangan melakukan dosa dan kemunkaran. Akhirnya fenomena tersebut sangat merugikan ke-Syiahan yang sebenarnya yang mana tak dapat terbayar dengan mudah.
Sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan bahwa kadar pahala dan siksa seseorang bergantung pada sikapnya terhadap agama. Fakta ini tidak berbeda antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Kelompok, aliran atau apapun tidak akan mendekatkan diri seseorang kepada Tuhan dan tak dapat dijadikan alat untuk lari dari siksaan neraka. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]:13).
Imam Ridha as berkata kepada saudaranya yang dikenal dengan sebutan Zaida al-Nar: “Wahai Zaid, apakah perkataan para pedagang pasar: “Fathimah telah menjaga dirinya dan Allah mengharamkan api neraka terhadapnya dan juga anak-anaknya.” telah membuatmu sombong? Demi Tuhan bahwa hal itu hanya berlaku untuk Hasan dan Husain serta anak yang lahir dari rahimnya. Apakah bisa Imam Musa bin Ja’far as mentaati Tuhan, berpuasa di siang hari, bertahajud di malam hari dan shalat malam, lalu engkau dengan seenaknya bermaksiat kemudian di akhiran tanti engkau berada di derajat yang sama dengannya? Atau lebih mulia darinya?!”[10]
Salah satu misi agama adalah mengantarkan manusia baik secara individu maupun bersama kepada kesempurnaan. Tujuan itu tidak akan mungkin tercapai tanpa ketaatan akan perintah-perintah Tuhan. Atas dasar itu, agama ini tidak mungkin memberikan jalan bagi suatu kelompok untuk berjalan di luar jalur yang telah ditunjukkan lalu menempatkan mereka di tempat yang sama atau lebih tinggi dari selainnya di akhirat nanti. Hal ini bertentangan dengan tujuan penciptaan yang sebenarnya. Jika yang dimaksud denga Syiah adalah apa yang telah dijelaskan oleh para Imam, maka tidak heran jika orang-orang dengan kriteria seperti itu bakal mendapatkan tempat di surga. Adapun orang-orang yang hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, jelas mereka tidak akan mendapatkan apa yang dijanjikan kepada Syiah sejati.
Adapun tentang riwayat yang menjelaskan bahwa tingkat pertama neraka jahanam adalah khusus untuk umat Islam yang pendosa, perlu dikatakan bahwa tolak ukur surga dan neraka menurut Al-Qur’an adalah amal manusia. Hanya sebutan Muslim saja tidak cukup, karena antara Islam dan Iman sangat jauh perbedaannya. Tuhan semesta alam dalam hal ini berfirman kepada orang-orang yang mengaku beriman:“Jangan katakan kami telah beriman, katakan kami telah Muslim.” (QS. Al-Hujurat [49]:14). Ketika seseorang mengucapkan dua syahadat, maka orang itu telah menjadi Muslim; dan hal ini hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi dan status sosial saja. Adapun surga dan balasan di dalamnya, adalah untuk orang-orang yang lebih dari sekedar menjadi Muslim saja; yakni sebagaimana yang telah dijelaskan, untuk memasuki surga, seseorang harus menjadi Muslim (menyerahkan diri) dan juga memiliki keimanan di hati, serta melakukan amal saleh dengan raga. Oleh karena itu tolak ukur kelayakan masuk surga atau neraka sangat jelas sekali dalam Al-Qur’an, dan hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, atau Islam, tidak akan menghindarkan seorangpun dari siksa api neraka atau memasukkanya ke surga.
Kesimpulannya, amal perbuatan adalah tolak ukur utama, bukan pengakuan sebagai Muslim, Syiah, atau selainnya. Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, orang Islam dan Syiah yang tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya pasti tidak akan mendapatkan rahmat Tuhan dan layak untuk disiksa di neraka. Adapun apakah adzab di neraka itu kekal abadi ataukah tidak, lain lagi permasalahannya. Selain itu juga ada masalah Syafa’at yang masih perlu dibahas terkait dengan hal itu di kesempatan lainnya.
Untuk kami ingatkan, maksud kami bukan berarti ke-Syiah-an seseorang sama sekali tak ada gunanya. Namun tak dapat diingkari bahwa pemikiran (atau iman) dan amal perbuatan adalah dua sayap bagi manusia untuk terbang menuju kesempurnaan. Untuk mengkaji lebih jauh, seilahkan merujuk: Turkhan, Qasim, Negaresh i Erfani, Falsafai wa Kalami be Syakhsiyat va Qiyam e Emam Husain as, hal. 440-447.
Referensi:
[1] QS. Al-Baqarah [2]:81-82.
[1] QS. Al-Baqarah [2]:81-82.
[2] QS. At-Taubah [9]:106.
[3] Ibnu Mandzur, Jamaluddin, Lisan Al-Arab, jil. 8, hal. 188, Dar Shadir, Birut, cetakan pertama, 1410 H.
[4] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Syi’e dar Esalam, hal. 25-26, Ketabkhane e Bozorg e Eslami, Tehran, 1354 HS.
[5] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kafi, jil. 2, hal. 68, Darul Kutub Islamiah, Tehran, cetakan keempat, 1365 HS.
[6] Majlisi, Muhammad Baqir, Biharl Al-Anwar, jil. 65, hal. 164, Muasasah Al-Wafa’, Beirut, Lebanon, cetakan keempat, 1404 H.
[7] Shaduq, Muhammad bin Ali, Al-Amali, terjemahan Kamrei, hal. 626, Islamiah, Tehran, cetakan keenam, 1376 HS.
[8] Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar Al-Anwar, jil. 65, hal. 164, Muasasah Al-Wafa’, Beirut, Lebanon, cetakan keempat, 1404 H.
[9] Man La Yahdhuruhul Faqih, jil. 4, hal. 545, Muasasah Nasyr Islami, Qom, cetakan ketiga, 1413 H.
[10] Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar Al-Anwar, jil. 43, hal. 230, Muasasah Al-Wafa’, Beirut, Lebanon, cetakan keempat, 1404 H.
Berkenaan dengan Klasifikasi Syiah Indonesia oleh Habib Rizieq Shihab, berikut ini Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia:
1. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia berpendapat bahwa klasifikasi Syiah menjadi 3 golongan (ghulat, rafidhah dan mu’tazilah), merupakan pendapat ilmiah Habib Rizieq Shihab yang patut dihargai dan perlu dikaji lebih jauh.
2. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas berlepas tangan dari golongan ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan rafidhah yang digambarkan sebagai pencaci-maki para sahabat dan istri Nabi.
3. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga menegaskan kepada semua pihak tentang ketiadaan Syiah ghulat di Indonesia. Andaikata ada oknum Syiah ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka bagi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia mereka adalah kafir.
4. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga ingin menegaskan kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa mayoritas mutlak Syiah di Indonesia adalah mu’tadilah sebagaimana klasifikasi Habib Rizieq Shihab, yaitu Syiah yang bersikap menghargai seluruh figur yang dihormati dan dimuliakan umat Islam Indonesia.
5. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menegaskan, seluruh Syiah Indonesia sudah paham sepenuhnya bahwa caci-maki dan pengutukan bukanlah akhlak yang diajarkan oleh Ahlul Bait sebagai panutan mereka dan bukan pula fatwa ulama Syiah paling muktabar pada saat ini.
6. Ahlul Bait Indonesia mengajak seluruh elemen umat Islam untuk menyadari bahwa gerakan pengkafiran dan penyesatan yang menggunakan kekerasan sama sekali bukanlah jalan yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
7. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa oknum-oknum Syiah yang mencaci-maki para sahabat dan istri Nabi, yang sikapnya bertentangan dengan fatwa ulama Syiah paling muktabar di zaman ini, jelas merupakan agen-agen Zionis yang sengaja disusupkan untuk memecah-belah ukhuwah umat Islam dan mengobarkan konflik sektarian di negeri Indonesia tercinta. Karena itu Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menganggap mereka sama dengan kelompok takfiri yang mengkafirkan Syiah itu sendiri dan menganggap mereka sebagai dua sisi dari satu blok yang sama, yakni blok musuh Islam.
Demikian Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia ini kami sampaikan. Semoga Allah Swt senantiasa meridhai setiap langkah kita dan mempererat ukhuwah umat Islam di Indonesia.
Jakarta, 14-12-2013
KH. Hasan Alaydrus
Ketua Umum DPP Ahlul Bait Indonesia
Amir al-Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah yang dipilih
oleh-Nya untuk meneruskan tanggung-jawab mengemban Risalah setelah para
nabiNya. Mereka adalah para wasi Nabi. Setiap nabi memilik wasi, dan
wasi Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Kami mengutamakannya
atas semua sahabat karena Allah dan Rasul-Nya mengutamakan-Nya. Dan kami
mempunyai dalil akli dan nakli, AlQuran dan Sunnah dalam hal ini.
Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlu SunnahWal Jamaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani Umaiyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amir al-Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syi’ah Ali dan para pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau adalah Waliullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaciWaliullah.
Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah. Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu’amalat banyak sekali jumlahnya. Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai mengucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunatkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa sorga itu adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya.”
Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlu SunnahWal Jamaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani Umaiyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amir al-Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syi’ah Ali dan para pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau adalah Waliullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaciWaliullah.
Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah. Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu’amalat banyak sekali jumlahnya. Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai mengucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunatkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa sorga itu adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya.”
Fatwa Ayatullah Uzma Sistani Menentang Caci Maki terhadap Istri dan Sahabat Nabi
Marja’ Taklid Syi’ah, Ayatullah Uzma Ali Sistani mengecam keras
tindakan caci maki terhadap istri dan sahabat Nabi Saw seraya
menyebutnya bertentangan dengan akhlak dan perilaku Ahli Bait as.
Dalam jawabannya terhadap pertanyaan fatwa yang dilontarkan oleh salah satu mukalid tentang tindakan sekelompok orang yang mencaci maki Khalifah Umar bin Khathab dan Siti Aisyah istri Nabi Saw, Marjak Taklid Syi’ah Ayatullah Uzma Ali Sistani mengecam keras tindakan caci maki itu seraya menyebutnya bertentangan dengan akhlak dan perilaku Ahli Bait as.
Fatwa ini dikeluarkannya mengingat slogan berapa pemuda di daerah Al-A’dzamiyah kota Baghdad yang melecehakan tokoh-tokoh kehormatan Ahli Sunnah. Bersamaan dengan itu, Nuri Maliki perdana menteri Irak juga mengecam penghinaan itu seraya mengeluarkan perintah penangkapan para pelaku.
Berapa waktu yang lalu telah tersebar berbagai rekaman vidio seorang bernama Tsa’ir Ad Darraji di situs-situs internet yang mencaci maki sebagian dari sahabat Nabi Muhammad Saw dan diikuti oleh sekelompok orang di sekitarnya.
Pelecehan yang dilakukan oleh kelompok pemuda dengan pimpinan Tsa’ir Ad Darraji ini langsung ditentang keras oleh para ulama dan marjak taklid Syi’ah di Irak.
Muqtada Sadr salah satu ulama Irak dan pemimpin Aliran Sadr juga mengecak keras tindakan itu seraya menyatakan, ‘Tindakan ini dilakukan oleh sekelompok orang bayaran untuk mencetuskan fitnah di Irak.’
Fatwa Sayid Khamene’i Larangan Mencaci Sahabat dan Simbol-Simbol Ahlussunnah
Ayatullah Ali Khamenei Haramkan Hujatan terhadap Istri Nabi dan Simbol-Simbol Ahlusunah
Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Spiritual dari Iran, menerbitkan sebuah fatwa yang mengharamkan perlakuan buruk terhadap istri Nabi, Ummul mukminin Aisyah dan melecehkan simbol-simbol (tokoh-tokoh yang diagungkan) ahlusunah waljamaah.
Hal itu tertera dalam jawaban atas istifta’ (permohonan fatwa) yang diajukan oleh sejumlah ulama dan cendekiawan Ahsa, Arab Saudi, menyusul penghinaan yang akhir-akhir ini dilontarkan seorang pribadi tak terpuji bernama Yasir al-Habib yang berdomisili di London terhadap istri Nabi, Aisyah. Para pemohon fatwa menghimbau kepada Sayid Khamenei menyampaikan pandangannya terhadap “penghujatan jelas dan penghinaan berupa kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan terhadap istri Rasul saw., Aisyah.”
Menjawab hal itu, Khamenei mengatakan, “…diharamkan melakukan penghinaan terhadap (tokoh-tokoh yang diagungkan) ahlusunah waljemaah apalagi melontarkan tuduhan terhadap istri Nabi saw. dengan perkataan-perkataan yang menodai kehormatannya, bahkan tindakan demikian haram dilakukan terhadap istri-istri para nabi terutama penghulu mereka Rasul termulia.”
Fatwa Khamenei ini dapat dapat dianggap sebagai fatwa paling mutakhir dan menempati posisi terpenting dalam rangkain reaksi-reaksi luas kalangan Syiah sebagai kecaman terhadap pelecehan yang dilontarkan oleh (seseorang bernama) Yasir al-Habib terhadap Siti Aisyah ra.
Sebelumnya puluhan pemuka agama di kalangan Syiah di Arab Saudi, negara-negara Teluk dan Iran telah mengecam dengan keras pernyataan-pernyataan dan setiap keterangan yang menghina Siti Aisyah atau salah satu istri Nabi termulia saw.
Berikut teks fatwa dalam bahasa Arab tersebut:
نص الاستفتاء: بسم الله الرحمن الرحيم سماحة آية الله العظمى السيد علي
الخامنئي الحسيني دام ظله الوارف السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
تمر الامة الاسلامية بأزمة منهج يؤدي الى اثارت الفتن بين ابناء المذاهب
الاسلامية ، وعدم رعا ية الأولويات لوحدة صف المسلمين ، مما يكون منشا
لفتن داخلية وتشتيت الجهد الاسلامي في المسائل الحساسة والمصيرية ، ويؤدي
الى صرف النظر عن الانجازات التي تحققت على يد ابناء الامة الاسلامية في
فلسطين ولبنان والعراق وتركيا وايران والدول الاسلامية ، ومن افرازات هذا
المنهج المتطرف طرح ما يوجب الاساءة الى رموز ومقدسات اتباع الطائفة السنية
الكريمة بصورة متعمدة ومكررة .
فما هو رأي سماحتكم في ما يطرح في بعض وسائل الاعلام من فضائيات وانترنت
من قبل بعض المنتسبين الى العلم من اهانة صريحة وتحقير بكلمات بذيئة
ومسيئة لزوج الرسول صلى الله عليه واله ام المؤمنين السيدة عائشة واتهامها
بما يخل بالشرف والكرامة لأزواج النبي امهات المؤمنين رضوان الله تعالى
عليهن.
لذا نرجو من سماحتكم التكرم ببيان الموقف الشرعي بوضوح لما سببته
الاثارات المسيئة من اضطراب وسط المجتمع الاسلامي وخلق حالة من التوتر
النفسي بين المسلمين من اتباع مدرسة أهل البيت عليهم السلام وسائر المسلمين
من المذاهب الاسلامية ، علما ان هذه الاساءات استغلت وبصورة منهجية من بعض
المغرضين ومثيري الفتن في بعض الفضائيات والانترنت لتشويش وارباك الساحة
الاسلامية واثارة الفتنة بين المسلمين .
ختاما دمتم عزا وذخرا للاسلام والمسلمين .
التوقيع
جمع من علماء ومثقفي الاحساء4 / شوال / 1431هـــــ
:جواب الإمام الخامنئي
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
يحرم النيل من رموز إخواننا السنة فضلاً عن اتهام زوج النبي (صلى الله
عليه وآله) بما يخل بشرفها بل هذا الأمر ممتنع على نساء الأنبياء وخصوصاً
سيدهم الرسول الأعظم (صلّى الله عليه وآله).
موفقين لكل خير
Teks Permohonan Fatwa:
Bismillahirrahmanirrahim Yang Mulia Ayatullah Al-Uzma Sayid Ali Al-Khamenei Al-Husaini Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Umat Islam mengalami krisis metode yang mengakibatkan penyebaran fitnah (cekcok) antar para penganut mazhab-mazhab Islam dan mengakibatkan diabaikannya prioritas-prioritas bagi persatuan barisan muslimin. Hal ini menjadi sumber bagi kekacauan internal dan terhamburkannya kontribusi Islam dalam penyelesaian isu-isu penting dan menentukan. Salah satu akibatnya adalah teralihkannya perhatian terhadap capaian-capaian putra-putra umat Islam di Palestina, Lebanon, Irak, Turki, Iran dan negara-negara Islam lainnya. Salah satu hasil dari metode ekstrim ini adalah tindakan-tindakan yang menjurus kepada pelecehan secara sengaja dan konstan terhadap ikon-ikon dan keyakinan-keyakinan yang diagungkan oleh para penganut mazhab suni yang kami muliakan.
Maka, bagaimanakah pendapat Yang Mulia tentang hal-hal yang dilontarkan dalam sebagian media televisi satelit dan internet oleh sebagian orang yang menyandang predikat ilmu berupa penginaan terang-terangan dan pelecehan berupa kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan istri Rasul saw., Ummulmukminin Aisyah serta menuduhkan dengan hal-hal yang menodai kehormatan dan harkat istri-istri nabi, semoga Allah Taala meridai mereka?
Karenanya, kami memohon Yang Mulia berkenan memberikan pernyataan tentang sikap syar’i secara jelas terhadap akibat-akibat yang timbul dari sensasi negatif berupa ketegangan di tengah masyarakat Islam dan menciptakan suasana yang diliputi ketegangan psikologis antar sesama muslim baik di kalangan para penganut mazhab ahlulbait maupun kaum muslimin dari mazhab-mazhab Islam lainnya, mengingat penghujatan-penghujatan demikian telah dieksploitasi secara sistematis oleh para provokator dan penebar fitnah dalam sejumlah televisi satelit dan internet demi mengacaukan dan mengotori dunia Islam dan menyebarkan perpecahan antar muslimin.
Sebagai penutup, kami berdoa semoga Yang Mulia senantiasa menjadi pusaka bagi Islam dan muslimin.
Tertanda, Sejumlah ulama dan cendekiawan Ahsa, 4 Syawal 1431 H.
Jawaban Imam Khamenei:
Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Diharamkan menghina simbol-simbol (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, ahlusunah, berupa tuduhan terhadap istri Nabi saw. dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya, bahkan tindakan ini diharamkan terhadap istri- istri para nabi terutama penghulunya, yaitu Rasul termulia saw.
Semoga Anda semua mendapatkan taufik untuk setiap kebaikan.
**************************
LALU SIAPAKAH YASIR HABIB SANG PENCERCA ITU ?
Pernah, seorang pengunjung blog berkomentar mengenai tidak mungkinnya persatuan Syiah dan suni karena masih adanya caci-maki terhadap sahabat dan istri Nabi. Dalam komentarnya, dia juga memberi link sebuah video di YouTube untuk “membuktikan” klaim tersebut. Saya buka video tersebut dan tulisan di awal video adalah “YASIR AL-HABIB, di antara ulama Syiah yang terkemuka di abad 20.”
Saya membalas komentarnya begini, “Yasir Al-Habib? Ulama terkemuka abad 20? Terlalu berlebihan. Saya kasih contoh yang terkemuka: Ayatullah Khamenei, Ayatullah Sistani, Syekh Subhani, Husein Fadhlullah, dll.” Jadi, siapa Yasir Al-Habib?
Yasser al-Habib, begitu transliterasi dalam bahasa Inggrisnya, dilahirkan di Kuwait pada tahun 1979—masih muda untuk jadi ukuran ulama “terkemuka”. Dia adalah lulusan Ilmu Politik Universitas Kuwait, artinya tidak ada latar belakang keilmuan hauzah ilmiah. Pandangannya dalam agama sangat ekstrim, termasuk mengenai sejarah wafatnya Fatimah putri Nabi saw. yang kerap kali kecaman dialamatkan kepada Khalifah Abu Bakar, Umar serta Ummulmukminin Aisyah ra. Makiannya yang dilakukan dalam sebuah ceramah tertutup ternyata tersebar dan membuatnya dipenjarakan oleh pemerintah Kuwait pada tahun 2003.
Belum setahun, ia dibebaskan di bawah pengampunan Amir Kuwait (menurut pengakuannya dia bertawasul kepada Abul Fadhl Abbas), namun beberapa hari kemudian ditangkap lagi. Sebelum dijatuhi hukuman selama 25 tahun, ia pergi meninggalkan Kuwait. Karena tidak mendapat izin dari pemerintah untuk tinggal di Irak dan Iran, ia mendapat suaka dari pemerintah Inggris.
Sejak berada di Kuwait, ia sudah memimpin Organisasi Khaddam Al-Mahdi. Setelah mendapat suaka dari pemerintah Inggris, entah bagaimana organisasinya semakin “makmur”. Punya kantor, koran, hauzah (semacam pesantren), majelis, yayasan dan juga website sendiri. Karena perkembangannya yang cepat inilah muncul kecurigaan bantuan dana dari pemerintah Inggris. Kita semakin curiga, karena pemerintah Kuwait berulang kali meminta agar Yasser Al-Habib ditangkap namun ditolak oleh Interpol.
Hubungannya dengan Mesir, Iran, dan sebagian besar ulama Syiah nampaknya tidak harmonis. Dalam situsnya, ia kerap kali mengecam ulama rujukan sekelas, Imam Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei, bahkan tidak menganggapnya sebagai mujtahid dan marja’. Jadi bisa dikatakan bahwa Yasser Al-Habib sangat tidak merepresentasikan mayoritas ulama Syiah yang menghendaki persatuan dan perbaikan umat muslim. Tidak adil jika Anda mengutip pendapatnya dan menuliskan bahwa itu adalah pandangan (mayoritas) pengikut Syiah, padahal hanyalah pandangan pribadinya. Dan karena itu kita perlu waspada dan mengetahui mengenai rancangan CIA dalam menciptakan “ulama-ulama” palsu.
Ayatullah Makarim Syirazi: Yasser Al Habib itu Tidak Tahu Apa-apa, dan Wahabi Lebih Bodoh Lagi
Pribadi ini memang tidak tahu apa-apa, atau memang sedang tidak waras, namun lebih bodoh dari itu adalah ulama-ulama Wahabi yang bersandar dengan ucapan-ucapan Yasser dengan mengatakan, “Syiah telah menampakkan hakekat aslinya.” Ini menunjukkan mereka berdalil dengan sesuatu yang tidak logis sebab hanya menyandarkan pendapatnya pada satu orang yang tidak dikenal, dan tidak bersandar pada pendapat ulama-ulama Syiah lainnya. Saya menulis sekitar 140 kitab mengenai aqidah, tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya dan tidak satupun dalam kitab saya, saya menulis penghinaan terhadap istri Nabi, sementara Yasser tidak menghasilkan karya apapun dan berbicara tanpa sanad.
Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi dalam perkuliahannya ahad kemarin (3/10) menyikapi munculnya fitnah terbaru yang dihadapi umat Syiah dengan keberadaan Yasser al Habib yang mengatasnamakan Syiah telah melakukan penghinaan terhadap istri Nabi Ummul Mukminin Aisyah ra berkata, “Apakah kamu mendengar ada seseorang yang tidak tahu apa-apa namun menyebut diri sebagai ulama Syiah yang sekarang menetap di London yang telah mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak sepantasnya disematkan kepada istri Nabi saww?”
Beliau menegaskan bahwa individu tersebut tidak layak mengatasnamakan diri sebagai ulama Syiah sebab tidak memiliki kapasitas apa-apa, ” Pribadi ini memang tidak tahu apa-apa, atau memang sedang tidak waras, namun lebih bodoh dari itu adalah ulama-ulama Wahabi yang bersandar dengan ucapan-ucapan Yasser dengan mengatakan, “Syiah telah menampakkan hakekat aslinya.” Ini menunjukkan mereka berdalil dengan sesuatu yang tidak logis sebab hanya menyandarkan pendapatnya pada satu orang yang tidak dikenal, dan tidak bersandar pada pendapat ulama-ulama Syiah lainnya. Saya menulis sekitar 140 kitab mengenai aqidah, tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya dan tidak satupun dalam kitab saya, saya menulis penghinaan terhadap istri Nabi, sementara Yasser tidak menghasilkan karya apapun dan berbicara tanpa sanad.”.
Ulama besar yang merupakan marja taklid dalam dunia Syiah ini melanjutkan, “Kami mengatakan bahwa ucapan orang tersebut adalah perkataan buruk dan bohong besar, dan ia tidak tahu apa-apa namun ulama-ulama Wahabi justru bersandar pada ucapannya. Ada kemungkinan ceramah-ceramah tidak senonoh dari orang yang bermukim di London ini adalah sebuah konspirasi, dan Wahabi yang berada di Hijaz memanfaatkan ceramah-ceramah itu untuk merusak citra Syiah dan menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam sampai mereka mendapatkan keuntungan pribadi dari tipu muslihat ini.”.
Tenaga pengajar Hauzah Ilmiyah Qom ini melanjutkan, “Di antara syubhat lainnya, yang ulama-ulama Wahabi lontarkan, mereka berkata, kalau memang perbuatan Yasser tersebut sesuatu yang terlaknat lantas mengapa Ayatullah-ayatullah kalian tidak mengatakan apa-apa?. Mereka melontarkan syubhat tersebut dengan terus bertanya sementara kita telah mengutuk perbuatan tersebut dan mengatakan bahwa kita tidak mengenal bentuk penghinaan apapun terhadap istri-istri Nabi, yang kita tahu, penghinaan terhadap istri-istri Nabi sama halnya menghina Nabi sendiri.”.
“Apakah Wahabi lupa mengenai fatwa mati Imam Khomaeni terhadap Salman Rusdi yang telah menghina Islam dan menyatakan bahwa ia telah murtad dari Islam? Apa mereka ulama-ulama Wahabi itu tidak mengetahui bahwa Salman Rusdi dalam buku Ayat-ayat Syaitannya itu bukan hanya menghina Nabi namun juga melakukan penghinaan terhadap istri-istri Nabi tetapi mengapa mereka berdiam saja dan tidak mengeluarkan kutukan apapun terhadap Salman Rusdi sementara Imam Khomeini melakukannya?. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan ahli logika dan tidak lagi mampu berpikir sehat. Berseberangan dengan mereka, di antara ulama-ulama Sunni mengetahui fatwa-fatwa dan pengecaman kita (ulama-ulama Syiah) dan mereka menyatakan kegembiraannya dengan itu.” Tegasnya.
Ayatullah Makarim Syirasi di akhir pembicaraannya mengatakan, “Kita harus lebih waspada dan berhati-hati dalam setiap diskusi dan dialog, jawablah setiap pertanyaan dengan dalil dan hujjah yang tegas, dengan argumen-argumen yang sehat dan kuat dan jangan melakukan hal-hal yang dapat memicu perselisihan dan semakin memperlebar jurang perpecahan. Saya yakin umat Islam pada akhirnya akan bergandengan tangan satu sama lain dan tidak terjebak dalam fitnah perpecahan yang gencar dihembuskan musuh-musuh Islam.”
Diberitakan, pribadi yang bernama Yasser al Habib tidak layak menggunakan pakaian yang merupakan ciri khas pakaian ulama Syiah, karena ia bukan lulusan dan alumni dari Hauzah Ilmiyah manapun.
Yasser al Habib selama bulan Ramadhan kemarin dalam berbagai acara khususnya acara peringatan kematian Aisyah istri Nabi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu pertikaian dengan menyematkan hal-hal yang tidak pantas kepada Ummul Mukminin Aisyah. Ulama-ulama Syiah dari Arab Saudi dan Kuwait diantaranya, Syaikh Amri, Syaikh Husain Mu’tawaq, Syaikh Hasan Safaar, Saikh Al al-Muhsin, Syaikh Hasyim as salman dan lain-lain telah mengecam keras pernyataan-pernyataan Yasser al Habib yang dianggap telah melukai hati umat Islam.
Sesuatu yang mengherankan, ditengah kecaman kaum muslimin, Yasser al Habib justru mendapat perlindungan dan pembelaan dari pemerintah Inggris.
Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi (abna.id)
Larangan Mencerca Sahabat Nabi
Tanya:
Madzhab Ahlul Bait punya keyakinan bahwa kepemimpinan (imamah/khilafah) atas ummat sepeninggal Rasulullah merupakan hak para imam dari Ahlul Bait. Sementara itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa yang menjadi khalifah adalah para Sahabat. Dengan demikian, dalam pandangan madzhab Ahlul Bait, telah terjadi pengambilan hak kepemimpinan atas ummat oleh Sahabat. Tapi, saya mendengar bahwa para marji, ternasuk Imam Ali Khamenei, melarang pengecaman kepada para Sahabat. Bagaimana penjelasannya?
Jawab:
Pada Itrah edisi 7, sebagian dari masalah ini sudah sebenarnya pernah dibahas, yaitu yang berkenaan dengan hukumnya melaknat sahabat. Tapi, mengingat beberapa peristiwa terakhir yang terkait dengan isu-isu ikhtilaf, ada baiknya kita ulas lagi masalah ini dengan beberapa penambahan keterangan.
Mencerca sahabat memang menjadi salah satu isu sensitif di antara kelompok Sunni dan Syiah. Sejarahnya juga lumayan panjang. Dulunya, selama sekitar 80 tahun, ada kebiasaan buruk di kalangan Bani Umayyah untuk mencerca Imam Ali di mimbar-mimbar Jumat, sampai akhirnya dihentikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Atas kebiasaan tersebut, ada di kalangan Syiah yang bereaksi keras, di antaranya dengan balik mencerca para Sahabat yang dimuliakan oleh Sunni.
Setelah berlalu berabad-abad, kebiasaan mencerca Ali dan Ahlul Bait Nabi lainnya sudah tidak lagi didapati di kalangan Ahlu Sunnah manapun. Yang ada adalah cercaan terhadap ajaran Syiah secara umum. Akan tetapi, di kalangan Syiah, terkadang memang masih ditemukan orang-orang yang mencerca Sahabat. Perilaku tersebut biasanya dihubung-hubungkan dengan keyakinan bahwa telah terjadi kezhaliman yang dilakukan para Sahabat terhadap Ahlul Bait Nabi, dalam bentuk perampasan hak kepemimpinan.
Akan tetapi, logika bahwa para pengikut madzhab Ahlul Bait berhak mencerca sahabat karena para Sahabat itu telah mengambil hak imamah/khilafah dari para imam, tidak dibenarkan oleh para ulama madzhab Ahlul Bait sendiri. Sayid Kazhim Thabathabai, Imam Jumat Kota Zabol, Iran (Zabol adalah salah satu kota kawasan utara Iran, berdekatan dengan Laut Kaspia. Salah satu keunikan kota itu adalah keberadaan orang-orang Sunni yang jumlahnya cukup banyak), dalam salah satu wawancaranya mengatakan:
“Para ulama, khatib, cendekiawan, akademisi, dan kalangan pesantren harus tampil memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa demi persatuan ummat yang memang diwajibkan oleh agama, maka segala macam penghinaan terhadap hal-hal yang sangat dihormati oleh masing-masing kelompok, baik itu kalangan Sunni ataupun Syiah, hukumnya adalah haram. Agama, akal kita, dan juga budaya yang berkembang di masyarakat manapun sangat menentang perilaku seperti itu.” (http://www.taghribnews.ir.)
Sementara itu, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, sebagaimana yang bisa dibaca pada http://nahadsbmu.ir. mengatakan:
“Menyinggung dan melukai perasaan sesama Mukmin adalah tindakan terlarang dalam agama. Apalagi jika kita meletakkan masalah ini dalam konteks persatuan ummat Islam. Saling mencaci dan saling menuduh antara kelompok Sunni dan Syiah adalah salah satu hal yang sangat diinginkan musuh Islam. Jika kalian mencerca para Sahabat Nabi atau melakukan tindakan apapun yang bisa diartikan sebagai pelecahan terhadap kepercayaan orang-orang Sunni, pihak yang paling senang adalah setan dan musuh Islam.”
Teramat jelas pandangan kedua ulama Syiah itu. Tidak mungkin ada celah untuk menyelewengkan maksud dari ucapan keduanya. Intinya adalah satu: bagi orang Syiah, mencerca para Sahabat adalah tindakan terlarang secara agama.
Dari pemaparan pendapat dan fatwa dari tiga ulama Syiah yang sangat representatif di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa kebiasaan mencerca Sahabat yang dilakukan oleh sebagian orang Syiah itu sama sekali tidak legitimated (ghayru masyru’). Pelarangan yang disampaikan juga tidak asal-asalan, melainkan didasari oleh alasan-alasan yang sangat logis.
Pertama, pada dasarnya, mencerca adalah sikap yang buruk. Kepada siapapun, bahkan kepada orang kafir sekalipun, seorang Muslim memang dilarang untuk mencerca. Apalagi jika yang dicerca adalah sesama Muslim.
Alasan kedua, Sahabat adalah orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh Ahlu Sunnah. Kata-kata dan perilaku mereka menjadi teladan. Ahlu Sunnah bahkan punya keyakinan tentang keadilan para Sahabat (bahkan ada keyakinan tentang pasti masuk surganya sebagian Sahabat). Pendeknya, Sahabat sudah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari keyakinan agama. Bisa dibayangkan, betapa terusiknya perasaan orang-orang Sunni manakala ada yang mempermasalahkan (apalagi sampai mencerca) para Sahabat. Menurut Ayatullah Khamenei, bagi orang-orang Sunni, cercaan terhadap Sahabat sama menyakitkannya dengan cercaan kepada para Imam dan ulama bagi orang-orang Syiah. Tepo seliro, kurang lebih itulah pesan Ayatullah Khamenei kepada orang-orang Syiah terkait masalah Sahabat ini. Kalau Anda merasa tidak nyaman oleh perbuatan orang lain, Anda tentunya tidak akan melakukan perbuatan yang sama buat orang lain.
Alasan ketiga terkait dengan persatuan. Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu tembok psikologis yang menghalangi upaya persatuan adalah adanya kebiasaan sebagian orang Syiah yang mencerca Sahabat. Isu yang tersebar bahkan menyatakan bahwa mencerca Sahabat bukan ulah oknum, melainkan memang merupakan salah satu pilar ajaran Syiah. Dengan landasan pemikiran bahwa mempererat persatuan antara sesama Muslim adalah salah satu perintah agama, dan mencerca Sahabat dipastikan akan menghambat perwujudan persatuan itu, maka mencerca Sahabat adalah perbuatan yang melanggar perintah agama.
(Syiah-Ali/Hauzah-Maya/Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email