Pesan Rahbar

Home » » Syiah Membantah Atas Tuduhan Abu salafy: Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah (Bagian 1)

Syiah Membantah Atas Tuduhan Abu salafy: Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah (Bagian 1)

Written By Unknown on Wednesday 22 April 2015 | 19:25:00


Mari saya kutip dari tulisan Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah Sebagai berikut:

KESESATAN SYIAH : MAKAM ABU LULU (LAKNATULLAH’ALAIH) PEMBUNUH KHALIFAH UMAR RA. DIAGUNGKAN OLEH SYIAH

Ajaran syiah dengan amalan dan doktrin sesat mereka.

Imam Syiah dan Imam Yahudi.

Berikut ini kami kutipkan fatwa-fatwa para Imam dan para Ulama mengenai aliran Syi’ah. Mereka itu mengeluarkan fatwa-fatwa setelah mempelajari dan mengetahui sampai dimana kesesatan Syiah. Bahkan dari mereka itu ada yang hidup dalam satu zaman dan satu daerah dengan orang-orang Syiah. Fatwa-fatwa para Imam dan Ulama ini kami kutip dari kitab “Ushul Mazhab Asy’Syiah Al-Imamiyah Al-Its’naasyariyah” oleh Dr. Nasir bin Abdullah bin Ali Al Ghifari.

Para Imam dan para Ulama tersebut dengan tegas menghukum Kafir orang-orang Rofidhoh atau orang-orang Syiah yang suka mencaci-maki dan mengkafirkan para sahabat, serta menuduh Siti Aisyah istri Rasulullah SAW berbuat serong dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini sudah tidak orisinil lagi (Muharrof).

Diantara para Imam dan para Ulama yang telah mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut adalah :

1. Imam Malik

االامام مالك
روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سمعت أبا عبد الله يقول :
قال مالك : الذى يشتم اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم
ليس لهم اسم او قال نصيب فى الاسلام.
( الخلال / السن: ۲،٥٥٧ )

Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, katanya : Saya mendengar Abu Abdulloh berkata, bahwa Imam Malik berkata : “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” ( Al Khalal / As Sunnah, 2-557 ).

2. Ibnu Katsir
Ibnu Katsir berkata, dalam kaitannya dengan firman Allah surat Al Fath ayat 29, yang artinya :
“ Muhammad itu adalah Rasul (utusan Allah). Orang-orang yang bersama dengan dia (Mukminin) sangat keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka, engkau lihat mereka itu rukuk, sujud serta mengharapkan kurnia daripada Allah dan keridhaanNya. Tanda mereka itu adalah di muka mereka, karena bekas sujud. Itulah contoh (sifat) mereka dalam Taurat. Dan contoh mereka dalam Injil, ialah seperti tanaman yang mengeluarkan anaknya (yang kecil lemah), lalu bertambah kuat dan bertambah besar, lalu tegak lurus dengan batangnya, sehingga ia menakjubkan orang-orang yang menanamnya. (Begitu pula orang-orang Islam, pada mula-mulanya sedikit serta lemah, kemudian bertambah banyak dan kuat), supaya Allah memarahkan orang-orang kafir sebab mereka. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk orang-orang yang beriman dan beramal salih diantara mereka”.

Beliau berkata : Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, beliau mengambil kesimpulan bahwa golongan Rofidhoh (Syiah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW, adalah Kafir.

Beliau berkata : “Karena mereka ini membenci para sahabat, maka dia adalah Kafir berdasarkan ayat ini”. Pendapat tersebut disepakati oleh sejumlah Ulama. (Tafsir Ibin Katsir, 4-219)

3. Imam Al Qurthubi
Imam Al Qurthubi berkata : “Sesungguhnya ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya juga benar, siapapun yang menghina seorang sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin”. (Tafsir Al Qurthubi, 16-297).

4. Imam Ahmad

الامام احمد ابن حمبل:
روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سألت ابا عبد الله عمن يشتم
أبا بكر وعمر وعائشة ؟ قال: ماأراه على الاسلام
( الخلال / السنة : ۲، ٥٥٧)

Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya, saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam”. ( Al Khalal / As Sunnah, 2-557).

Beliau Al Khalal juga berkata : Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata : “Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka kami khawatir dia keluar dari Islam, tanpa disadari”. (Al Khalal / As Sunnah, 2-558).

Beliau Al Khalal juga berkata :

وقال الخلال: أخبرنا عبد الله بن احمد بن حمبل قال : سألت أبى عن رجل شتم رجلا
من اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم فقال : ما أراه على الاسلام
(الخلال / السنة : ۲،٥٥٧)

“ Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita pada kami, katanya : “Saya bertanya kepada ayahku perihal seorang yang mencela salah seorang dari sahabat Nabi SAW. Maka beliau menjawab : “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”. (Al Khalal / As Sunnah, 2-558).

Dalam kitab AS SUNNAH karya IMAM AHMAD halaman 82, disebutkan mengenai pendapat beliau tentang golongan Rofidhoh (Syiah) :

“Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rofidhoh (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.”

5. Imam Al-Bukhori

الامام البخارى
قال رحمه الله : ماأبالى صليت خلف الجهمى والرافضى
أم صليت خلف اليهود والنصارى
ولا يسلم عليه ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
( خلق أفعال العباد :١٢٥)

Iman Bukhori berkata : “Bagi saya sama saja, apakah aku sholat dibelakang Imam yang beraliran JAHM atau Rofidhoh (Syiah) atau aku sholat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh mengunjungi mereka ketika sakit juga tidak boleh kawin dengan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan yang disembelih oleh mereka.” (Imam Bukhori / Kholgul Afail, halaman 125).

6. Al-Faryabi

الفريابى :
روى الخلال قال : أخبرنى حرب بن اسماعيل الكرمانى
قال : حدثنا موسى بن هارون بن زياد قال: سمعت الفريابى ورجل يسأله عمن شتم أبابكر
قال: كافر، قال: فيصلى عليه، قال: لا. وسألته كيف يصنع به وهو يقول لا اله الا الله،
قال: لا تمسوه بأيديكم، ارفعوه بالخشب حتى تواروه فى حفرته.
(الخلال/السنة: ۲،٥٦٦)

Al Khalal meriwayatkan, katanya : “Telah menceritakan kepadaku Harb bin Ismail Al Karmani, katanya : “Musa bin Harun bin Zayyad menceritakan kepada kami : “Saya mendengar Al Faryaabi dan seseorang bertanya kepadanya tentang orang yang mencela Abu Bakar. Jawabnya : “Dia kafir”. Lalu ia berkata : “Apakah orang semacam itu boleh disholatkan jenazahnya ?”. Jawabnya : “Tidak”. Dan aku bertanya pula kepadanya : “Mengenai apa yang dilakukan terhadapnya, padahal orang itu juga telah mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh?”. Jawabnya : “Janganlah kamu sentuh jenazahnya dengan tangan kamu, tetapi kamu angkat dengan kayu sampai kamu turunkan ke liang lahatnya”. (Al Khalal / As Sunnah, 6-566).

7. Ahmad bin Yunus
Beliau berkata : “Sekiranya seorang Yahudi menyembelih seekor binatang dan seorang Rofidhi (Syiah) juga menyembelih seekor binatang, niscaya saya hanya memakan sembelihan si Yahudi dan aku tidak mau makan sembelihan si Rofidhi (Syiah), sebab dia telah murtad dari Islam”. (Ash Shariim Al Maslul, halaman 570).

8. Abu Zur’ah Ar-Rozi

أبو زرعة الرازى.
اذا رأيت الرجل ينتقص أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
فاعلم أنه زنديق، لأن مؤدى قوله الى ابطال القران والسنة.
( الكفاية : ٤٩)

Beliau berkata : “Bila anda melihat seorang merendahkan (mencela) salah seorang sahabat Rasulullah SAW, maka ketahuilah bahwa dia adalah ZINDIIG. Karena ucapannya itu berakibat membatalkan Al-Qur’an dan As Sunnah”. (Al Kifayah, halaman 49).

9. ABDUL QODIR AL BAGHDADI Beliau berkata : “Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah dan Imamiyah adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh di sholatkan dan tidak sah berma’mum sholat di belakang mereka”. (Al Fargu Bainal Firaq, halaman 357).

Beliau selanjutnya berkata : “Mengkafirkan mereka adalah suatu hal yang wajib, sebab mereka menyatakan Allah bersifat Al Bada’ 10. IBNU HAZM Beliau berkata : “Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah, bahwa Al-Qur’an sesungguhnya sudah diubah”.

Kemudian beliau berkata : ”Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW”. (Al Fashl, 5-40).

11. ABU HAMID AL GHOZALI Imam Ghozali berkata : “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar Rodhialloh Anhuma, maka berarti ia telah menentang dan membinasakan Ijma kaum Muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.

Kemudian kata beliau : “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”. (Fadhoihul Batiniyyah, halaman 149).

12. AL QODHI IYADH
Beliau berkata : “Kita telah menetapkan kekafiran orang-orang Syiah yang telah berlebihan dalam keyakinan mereka, bahwa para Imam mereka lebih mulia dari pada para Nabi”.

Beliau juga berkata : “Kami juga mengkafirkan siapa saja yang mengingkari Al-Qur’an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana golongan Batiniyah (Syiah) dan Syiah Ismailiyah”. (Ar Risalah, halaman 325).

13. AL FAKHRUR ROZI Ar Rozi menyebutkan, bahwa sahabat-sahabatnya dari golongan Asyairoh mengkafirkan golongan Rofidhoh (Syiah) karena tiga alasan :
Pertama: Karena mengkafirkan para pemuka kaum Muslimin (para sahabat Nabi). Setiap orang yang mengkafirkan seorang Muslimin, maka dia yang kafir. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW, yang artinya : “Barangsiapa berkata kepada saudaranya, hai kafir, maka sesungguhnya salah seorang dari keduanya lebih patut sebagai orang kafir”.

Dengan demikian mereka (golongan Syiah) otomatis menjadi kafir.

Kedua: “Mereka telah mengkafirkan satu umat (kaum) yang telah ditegaskan oleh Rasulullah sebagai orang-orang terpuji dan memperoleh kehormatan (para sahabat Nabi)”.
Ketiga: Umat Islam telah Ijma’ menghukum kafir siapa saja yang mengkafirkan para tokoh dari kalangan sahabat.
(Nihaayatul Uguul, Al Warogoh, halaman 212).

14. SYAH ABDUL AZIZ DAHLAWI Sesudah mempelajari sampai tuntas mazhab Itsna Asyariyah dari sumber-sumber mereka yang terpercaya, beliau berkata : “Seseorang yang menyimak aqidah mereka yang busuk dan apa yang terkandung didalamnya, niscaya ia tahu bahwa mereka ini sama sekali tidak berhak sebagai orang Islam dan tampak jelaslah baginya kekafiran mereka”. (Mukhtashor At Tuhfah Al Itsna Asyariyah, halaman 300).

15. MUHAMMAD BIN ALI ASY SYAUKANI Perbuatan yang mereka (Syiah) lakukan mencakup empat dosa besar, masing-masing dari dosa besar ini merupakan kekafiran yang terang-terangan.
Pertama : Menentang Allah.
Kedua : Menentang Rasulullah.
Ketiga : Menentang Syariat Islam yang suci dan upaya mereka untuk melenyapkannya.

Keempat : Mengkafirkan para sahabat yang diridhoi oleh Allah, yang didalam Al-Qur’an telah dijelaskan sifat-sifatnya, bahwa mereka orang yang paling keras kepada golongan Kuffar, Allah SWT menjadikan golongan Kuffar sangat benci kepada mereka. Allah meridhoi mereka dan disamping telah menjadi ketetapan hukum didalam syariat Islam yang suci, bahwa barangsiapa mengkafirkan seorang muslim, maka dia telah kafir, sebagaimana tersebut di dalam Bukhori, Muslim dan lain-lainnya.
(Asy Syaukani, Natsrul Jauhar Ala Hadiitsi Abi Dzar, Al Warogoh, hal 15-16)

16. PARA ULAMA SEBELAH TIMUR SUNGAI JAIHUN
Al Alusi (seorang penulis tafsir) berkata : “Sebagian besar ulama disebelah timur sungai ini menyatakan kekafiran golongan Itsna Asyariyah dan menetapkan halalnya darah mereka, harta mereka dan menjadikan wanita mereka menjadi budak, sebab mereka ini mencela sahabat Nabi SAW, terutama Abu Bakar dan Umar, yang menjadi telinga dan mata Rasulullah SAW, mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, menuduh Aisyah Ummul Mukminin berbuat zina, padahal Allah sendiri menyatakan kesuciannya, melebihkan Ali r.a. dari rasul-rasul Ulul Azmi. Sebagian mereka melebihkannya dari Rasulullah SAW dan mengingkari terpeliharanya Al-Qur’an dari kekurangan dan tambahan”.
(Nahjus Salaamah, halaman 29-30).

Demikian telah kami sampaikan fatwa-fatwa dari para Imam dan para Ulama yang dengan tegas mengkafirkan golongan Syiah yang telah mencaci maki dan mengkafirkan para sahabat serta menuduh Ummul mukminin Aisyah berbuat serong, dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini tidak orisinil lagi (Mukharrof). Serta mendudukkan imam-imam mereka lebih tinggi (Afdhol) dari para Rasul.

Semoga fatwa-fatwa tersebut dapat membantu pembaca dalam mengambil sikap tegas terhadap golongan Syiah.

“Yaa Allah tunjukkanlah pada kami bahwa yang benar itu benar dan jadikanlah kami sebagai pengikutnya, dan tunjukkanlah pada kami bahwa yang batil itu batil dan jadikanlah kami sebagai orang yang menjauhinya.”

Read more: http://www.sarkub.com/2012/fatwa-para-imam-dan-ulama-tentang-syiah/#ixzz29E7XOCJm

Jawaban jakfari dan AHLUL BAIT NABI SAW sepakat Meluruskan:

Salafy-Wahhabi Menggugat Syi’ah.

Di antara perkara yang menyebalkan bagi seorang Muslim yang peduli akan masa depan agama dan Umat Islam adalah ketika ia harus membicarakan dan mendiskusikan kembali masalah-masalah agama yang telah didiskusikan dan dibahas tuntas oleh para ulama terdahulu. Akan tetapi sepertinya sulit baginya untuk menghindarinya ketika ia dihadapkan dengan kondisi dimana ia dengan terpaksa harus mengulanginya demi membidas berbagai klaim dan tuduhan tidak berdasar yang dijajakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab atau pena-pena komersial yang siap melayani tuan-tuan mereka…

Sebagian orang punya kegemaraan mengulang-ulang pembicaraan seputar masalah-masalah khilafiyah sebagai penyampung lidah fitnah pendahulunya untuk ia pekikkan di tengaah-tengah masyarakat Muslim tanpa bosan dan kekenduran semangat sedikitpun selama beradab-abad!

Itulah mungkin yang dilakukan oleh sebagian orang di antaranya adalah pendiri Sekte Sempalan Wahhabi….

Setelah ia meluncurkan edisi-demi edisi pengkafiran kaum Muslim Sunni dengan alasan bahwa mereka telah terjebak dalam kemusyrikan dalam ibadah/ penghambaan kepada Allah dengan praktik ritual kemusyrikan seperti tawassul, tabarruk, meminta syafa’at kepada seorang yang sudah mati, beristighatsah, menziarai kuburan dengan niat mendapat keberkahan, memperingati hari maulid Nabi Muhammad saw. atau hari maulid seorang wali Allah dan alasan-alasan lain yang tidak semestinya menjadi sebab pengkafiran…

kaum Sunni menjadi bulan-bulanan pengafiran Imam Agung Sekte Sempalan Wahhabi….

Yang tentunya dengan alasan yang sama bahkan dengan alasan bahwa praktik ritual tersebut di atas lebih kental di kalangan masyarakat Muslim Syi’ah maka ia juga menjatuhkan vonis kafir dan musyrik atas Syi’ah…. melalui buku-buku kecilnya, seperti Kitab at Tauhid dan kasyfu asy Syubuhât dll., Muhammad ibn Abdil Wahhab menvonis kafir Ahlusunnah dan tidak segan-segan menyebut mereka sebagi musyrik! Kafir! Pelestari agama Amr ibn Luhay dll. Sebagaimana melalui Risalah kecil berjudul Risalah ar Radd ‘Alâ ar Râfidhah ia menghujat Syi’ah dengan keras dan hujan panah fitnah beracun penuh kepalsuan.

Dalam kesemptan ini, saya bermaksud menetili berbagai gugatan dan tuduhan tidak berdasar Imam Agung Sekte Sempalan Wahhabi yang ia alamatkan kepada Syi’ah.

Beberapa belas tahun lalu, ketika saya sibuk belajar di sebuah Lembaga Bahasa Arab yang didirikan kaum Wahhabi di Jakarta pada tahun 90an, saya sudah diperkenalkan kepada buku kecil itu….

Buku itu penuh dengan caci-maki, tuduhan palsu dan fitnah keji, bahasa yang tidak santun, disamping banyak kesalahan yang mencerminkan kejahilan penulisnya… waktu itu saya belum banyak memahami kekurangan dan cacat berat dalam buku tersebut! Terlebih ketika itu, saya hidup di lingkungan para pemuda Wahhabi yang sedang “Gila” Arab Saudi dan semua yang datangnya dari para muthawwi’ Arab yang sok alim dan pandai!

Buku kecil Imam Agung Wahhabi itu terdiri dari 32 mathlab/bahasan dan penutup… sebagiannya hanya sekedar pengulangan… karenanya saya akan rangkum beberapa mathlabnya dengan menyebutkan dalil-dalil yang di kemukakan…. Setelahnya saya akan sanggah satu persatu dengan izin Allah Isya Allah.

Saya yakin para pembaca akan menyaksikan betapa rapuh dan amburadulnya sajian Imam Agung Wahhabi dalam masalah ini.


Mathlab Pertama


Khilafah

Pada Mathlab al Washiyyah, Syeikh Ibnu Abdi al Wahhab berkata:

إن مفيدهم قال في كتابه روضة الواعظين : ” إن الله أنزل جبريل على النبي صلى الله عليه وسلم بعد توجهه إلى المدينة في الطريق في حجة الوداع فقال : يا محمد إن الله تعالى يقرئك السلام ويقول لك : إنصب علياً للإمامة ونبّه أمتك على خلافته . فقال النبي صلى الله عليه وسلم : يا أخي جبريل إن الله بغّض أصحابي لعلي ، إني أخاف منهم أن يجتمعوا على إضراري فاستعف لي ربي .فصعد جبريل وعرض جوابه على الله تعالى . فأنزله الله تعالى مرة أخرى . وقال النبي صلى الله عليه وسلم مثلما قال أولاً. فاستعفى النبي صلى الله عليه وسلم كما في المرة الأولى . ثم صعد جبريل فكرّر جواب النبي صلى الله عليه وسلم ، فأمره الله تكرير نزوله معاتباً له مشدّداً عليه بقوله : ) يا أيها الرسول بلّغ ما أُنزل اليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته ( فجمع أصحابه وقال : يا أيها الناس إن علياً أمير المؤمنين وخليفة رب العالمين ، ليس لأحد أن يكون خليفة بعدي سواه ، من كنت مولاه فعلي مولاه ، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه . انتهى .فانظر أيها المؤمن إلى حديث هؤلاء الكذبة الذي يدل على إختلاقه ركاكة ألفاظه وبطلان أغراضه ولا يصح منه إلا من كنت مولاه ، ومن إعتقد منهم صحة هذا فقد هلك ، إذ فيه إتهام المعصوم قطعاً من المخالفة بعدم إمتثال أمر ربه إبتداءاً وهو نقص ، ونقص الأنبياء عليهم الصلاة والسلام كفر….

“Sesungguhnya Mufid mereka; Ibnu Mu’allim berkata dalam kitab Rawdhatul Wâ’idhîn bahwa: Sesunnguhnya Allah menurunkan Jibril atas Nabi saw. setelah keberangkatannya menuju kota Madinah di tengan jalan dalam haji Wada’, ia berkata, ‘Hai Muhammad, Sesungguhnya Allah –ta’ala- menyampaikan salam atasmu dan berfirman kepadamu: “Tunjuklah Ali sebagai Imam, dan ingatkan umatmu akan kekhalifahannya.”

Nabi saw. bersabda, “Hai saudaraku Jibril, sesunggunya Allah telah menjadikan sahabat-sahabatku membenci Ali, aku takut mereka bersepakat untuk membahayakanku, maka mintakan maaf untukku dari Tuhanku. Lalu Jibril naik dan menyampaikan jawaban Nabi saw. kepada Allah –Ta’ala-, maka Allah menurunkan Jibril sekali lagi dan berkata kepada Nabi saw. seperti perkataannya yang pertama, Nabi pun meminta maaf (agar diberi izin untuk tidak menyampaikan) seperti pada kali pertama. Kemudian Jibril naik lagi dan mengulang jawaban Nabi saw., dan Allah pun memerintaah Jibri untuk turun lagi dan menegur Nabi saw. dengan teguran keras dengan firman-Nya:

.يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Mâidah [5];67)

Lalu Nabi saw. mengumpulkan para sahabatnya dan bersabda: “Hai sekalian manusia! Sesungguhynya Ali adalah Amirul Mukminin dan Khalifah rabbil Alamin. Tidak seorang pun yang berhak menajdi Khalifah setelahku selainnya. Barang siapa yang aku maula/pemimpinnya maka Ali juga peminpinnya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” (selesai)

Perhatikan wahai saudaraku yang Mukmin hadis riwayat para pembohong itu yang kerendahan susunannya dan kebatilan tujuannya membuktikan kepalsuannya. Dan tidak ada yang shahih darinya selain sabda: من كنتُ مولاه dan barang siapa di antara mereka meyakini keshahihan hadis itu maka ia benar-benar binasa, sebab di dalamnya terdapat tuduhan kepada seorang yang pasti kema’shûmannya bahwa ia melanggar perintah Allah dengan tidak menjalankan perintah-Nya. Dan hal itu adaalah sebuah kekurangan, dan kekurangan para nabi as. adalah kekufuran…!”


Sanggahan Kami:
Pada keterangannya di atas, ada dua perkara yang perlu mendapat perhatian:


Pertama: Tentang Syeikh Mufid dan kitab Rawdhatul Wâ’idhîn.

Setelah kami lakukan penelusuran dan penelitian terhadap nama-nama kitab-kitab karangan Syeikh Mufid yang dijalaskan dan dipaparkan para ulama Syi’ah ternyata tidak pernah ada karangan Syeikh Mufid yang betjudul Rawdhatul Wâ’idhîn.

Di kalangan ulama Syi’ah hanya ada empat kitab karya ulama mereka yang berjudul Rawdhatul Wâ’idhîn.
1. Rawdhatul Wâ’idhîn Fi Ahâdîtsi al Aimmati ath Thâhirîn karya Sayyid Hasyim ibn Ismail al Katkâni.
2. Rawdhatul Wâ’idhîn Fi Syarhi Ahâdîtsi al Arba’în ‘An Sayyidi al Mursalîn karya Maula Miskin al Farahi.
3. Rawdhatul Wâ’idhîn Wa Bashîrati al Mutta’idhîn Syeikh Syahid Abu Ali Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Ali al Hafidz al Wâ’idz al Fârisi yang dikenal dengan nama Ibnu al Fattâl.
4. Rawdhatul Wâ’idhîn Bi al Haqqi al Mubîn dengaan bahasa Persi tentang nasihat dan sejaraah para imam terdiri dari 27 pasal dan penutup.

Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa Imam Agung Sekte Wahhabi ini jahil dan tidak mengenal apapun tentang Syeikh Mufid… ia hanya menebak-nebak seperti ahli nujum!!

Kedua: Tantang Riwayat tersebut yang ia kecam.

Andai benar kitab tersebut ada dalam kitab Rawdhatul Wâ’idhîn tulisan Syeikh Mufid seperti yang ia katakan, atau dalam kitab-kitab ulama Syi’ah! Andai benar, apakah riwayat tersebut hanya Syi’ah saja yang meriwayatkannya?! Atau jusretu ulama dan Muhaddis Ahlusunnah juga meriwayatkannya dan atau hadis-hadis dengan makna yang serupa dalam kitab-kitab mereka?!

Agar pembaca menyaksikan langsung bahwa kajahilan Syiekh Ibnu Abdi al Wahhab tidak terbatas pada pengenalannya atas kitab-kitab dan ulama Syi’ah, akan tetapi juga terhadap kitab-kitab dan karangan berharga ulama Ahlusunnah sendiri, agar pembaca mengetahuinya, saya akan sebutkan sekelumit riwayat yang diriwayatkan ulama Ahlusunnah dalam masalah ini.

(1) Dari Hasan, ia berkata, “Bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Ketika Allah mengutusku dengan karasulan, aku menjadi sempit, aku mengatahui bahwa di antara orang-orang akan ada yang membohongkanku.’ Rasulullah saw. takut kepada kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi dan Nashara. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.

(2) Dari Mujahid ia berkata, “Ketika turun ayat:

 يا أيها الرسول بلغ مل أنزل إليك

 , Nabi bersabda, ‘Wahai Tuhanku, aku ini seorang diri bagaimana yang aku harus perbuat, orang-orang akan bersatu melawanku? Maka turunlah ayat:

 وَ إن لم تفعل فما بلغت رسالته .

(3) Dari Ibnu Abbas ra. Tentang ayat:

 وَ إن لم تفعل فما بلغت رسالته

ia berkata, “Jika engkau sembunyikan/rahasiakan satu ayat pun dari yang diturunkan kepadamu maka sama dengan engkau tidak menyampaikan Risalah-Nya.”.

Riwayat-riwayat di atas dapat Anda baca langsung dalam:
o Asbâb an Nuzûl; al Wâhidi:204.
o Tafsir Fathu al Qadîr; Asy Syaukani,2/60.
o Tafsir ad Durr al Mantsûr,3/117.
o Tafsir Rûh al Ma’âni; al Alûsi,6/189.
o Tafsir Mafâtih al Ghaib; ar Râzi,2/49.
o Tafsir Ibnu Katsîr,2/80.
o Umdatu al Qâri Syarh Shahih Bukhari; al Qasthtallâni,18/206.
o Dll.

Al Qurthubi berkata, “Makna ayat itu adalah: Tampakkan tabligh, sebab beliau di awal masa Islam menyembunyikan da’wahnya karena takut dari kaum Musyrikin. Kemudian Allah memerintahkan dalam ayat ini agar beliau menampakkannya dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah akan menjaganya dari gangguan manusia.” (Tafsir al Jâmi’ Li Ahkâm al Qur’ân; al Qurthubi,6/242.).

Ibnu Qutaibah berkata, “Menurut saya pada ayat itu terdapat kaata yang disembunyikan yang dijelaskan oleh kata setelahnya, yaitu bahwa Rasulullah saw. berhati-hati dengan sebagian kehati-hatian dan menyembunyikan sebagian yang beliau diperintahkan untuk menyampaikannya sesuai yang disampaikan kepada beliau sebelum Hijrah. Setelah Allah menaklukkan kota Mekkah dan Islam tersebar, Allah memerintahkan beliau untuk bertabligh seraca terang-terangan tanpa harus berhati-hati kepada kaum kafir atau takut atau merayu mereka. Dan dikatakan kepada beliau: “Jika engkau tidak menyampaikannya sesuai dengan yang engkau terima maka sama artinya engkau tidak menyampaikan Risalah Tuhanmu.” Dan yang menunjukkan makna itu adalah firman Allah:

وَ اللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ .

“Dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang- orang yang kafir.” Yaitu Allah akan mencagah manusia dari mengganggumu. (Masâil wa Ajwibah Fi al Hadîts wa at Tafsîr:222).

Fakhruddin ar Râzi berkata, “Telah diriwayatkan bahwa Nabi saw. ketika tinggal di kota Mekkah beliau menampakkan sebagian Al Qur’an dan menyembunyikan sebagian lainnya karena khawatir akan keselamatan dirinya dari sikap kasar kaum Musyrikun kepadanya dan kepada para sahabatnya. Dan ketika Allah telah menjayakan Islam dan menguatkannya dengan kaum Mukminin Allah berfirman kepadanya:

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”

Yaitu jangan engkau menghiraukan siapapun dan jangan engkau meningalkan suatu apapun yang diturunkan kepadamu karena takut ditimpa oleh kesusahan/kejelakan.” (Tafsir Mafâtih al Ghaib,12/49).

Dari kutuipan ringkas di atas dapat Anda sakskian bahwa pada riwyat-riwayat dan keterangan para ulama Ahlusunnah juga terdapat tuduhan bahwa Nabi saw. melanggar perintah Allah dengan tidak menjalankan perintah Allah dan tidak menyampaikan sebagian Risalah karena takut akan gangguan orang!

Dan jika memandang bahwa hal itu sebagai sebuah penyimpangan bahkan kekafiran, maka bukan hanya Syi’ah semestinya yang harus ia vonis… ulama Ahlusunah juga ternyata sama dengan Syi’ah dalam masalah ini!!


Sebab Nuzûl Ayat at Tablîgh

Adapun tentang sebab turunnya ayat at Tablîgh ubtuk Imam Ali as., maka perhatikan beberapa riwayat yang akan saya sebutkan di bawah ini.

1. Al Wâhidi, Ibnu ‘Asâkir dan as Suyuthi, asy Syaukâni, al ‘Aini dkk meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata, Ayat ini:

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu.”.

turun atas Rasulullah saw. pada hari Ghadir Khum tentang Ali ibn Abi Thalib ra.” (Asbâb an Nuzûl:204, ad Durr al Mantsûr,3/117, Tarikh Damasqus,42/37, Umdatu al Qâri,18/206, Fathu al Qadîr,2/60 dan al Fushûl al Muhimmah:42.)

2. Fakhruddîn ar Râzi berkata, “Ayat ini turun tentang keutamaan Ali ibn Abi Thalib. Dan ketika ayat itu turun, Nabi memegang tangan Ali dan bersabda: “Barang siapa aku maulanya maka Ali juga maulanya. Ya Allah bimbinglah yang menjadikan Ali sebagi pemimpinnya dan musuhi yang memusuhi Ali.” Lalu kemudian Umar menjumpai Ali dan ia berkata kepadanya, “Selamat hai putra Abu Thalib engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap orang Mukmin dan Mukminah.”
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Barâ’ ibn ‘Âzib dan Muhammd ibn Ali.” (Tafsir ar Râzi,12/50)

Jalaluddin as Suyuthi dan asy Syaukani berkata: “Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Kami membaca ayat ini di masa Nabi demikian:

{يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ} أنَّ علِيًّا مولَى الْمُؤمنين { وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ}

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu, bahwa Ali adalah pemimpin kaum Mukminin. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Ad Durr al Mantsûr,3/117 dan Fathu al Qadîr,2/60).


Kemutwatiran Hadis Ghadir

Satu kesalahan lagi yang dilakukan Syeikh Muhammad ibn Abdi al Wahhab ketika ia mengatakan bahwa tidak shahih dari hadis Ghadir kecuali sabda Nab saw.: من كنت مولاه (barang siapa yang aku pemimpinnya).

Kesalahan itu sunggguh mengerankan dan sebagai bukti kedangkalan Syeikh dalam mengenalannya terhadap hadis-hadis Nabi saw., sebab para imam ahli hadis dan para hafidz telah menshahihkan banyak jalur hadis Ghadir dengan redaksinya yang jauh lebih lengkap dari yang sekedar diklaim oleh Syeikh Muhammad ibn Abi al Wahhab!


Bahkan tidak jarang ulama dan ahli hadis Sunni yang menegaskan kemutawatirannya.

Di bawah ini saya akan sebutkan bebepa komentar para ulama dan ahli hadis yang menjadi rujukan dan i’timâd para ulama Ahlusunnah.

Al Hafidz Ibnu katsir menyebutkan komentar Adz Dzahabi tentang hadis Abu Hurairah: “Ketika Rasulullh saw. mengangkat tangan Ali dan bersabda:

من كنت مولاه

“Barang siapa yang aku pemimpinnya maka Ali juga peminmpinnya.”

Maka Allah –Azza wa Jalla- menurunkan ayat:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu… “

Abu Hurairah berkata, “Dia adalah hari Ghadir Khum. Barang siapa berpuasa pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah maka Allah menulis untuknya pahala berpuasa enam puluh tahun.”

Adz Dzahabi bertaka:

وصدر الْحديثِ متواترٌ أتَيقَّنُ أنَّ رسولَ الله (ص) قاله. و أما: أللهُمَّ والِ من والاه فزيادةٌ قويةُ الإسنادِ. و أما هذا الصوم فليسَ بِصحيحٌ… 

“Bagian awal hadis itu adalah mutawatir. Saya yakin bahwa Rasulullah saw. menyabdakannya.

Adapun sabda:

أللهُمَّ والِ من والاه

Ia adalah tambahan yang kuat sanadnya.

Adapaun puasa itu (yang disebutkan Abu Hurairah) ia tidak shshih…. “
Baca al Bidâyah wa an Nihâyah; Ibnu Katsir,5/214.

Sebagaimana kemutawatiran hadis Ghadir telah ditegaskan oleh ulama lain seperti:

Ketika menggomentari hadis Abu Lailâ, Ibnu al Jazari berkata:
Abu Lailâ berkata, “Aku mendengar Ali ra. di Rahbah (suduh masjid kota Kufah) meminta manusia memberikan kesaksian (akan kebenaran sabda Nabi saw), ‘Barang siapa mendengar Nabi saw. bersabda:

من كنت مولاه فعليٌّ مولاه، أللهُمَّ والِ من والاه، و عادِ مَن عاداه؟

“Barang siapa yang aku pemimpinnya maka Ali juga peminmpinnya. Ya Allah bimbinglah yang mejadikan Ali peminpinnya dan musuhi yang memusuhinya?”

maka bangunla dua belas orang yang ikut serta dalam perang Badar, mereka memberikan kesaksian bahwa mereka mendengar Rasulullah saw. menyabdakannya.

Ibnu al Jazari berkata, “Hadis ini dari jalur ini adalah hasan, dan ia shahih dari jalur-jaluar lain yang banyak, ia mutawatir dari Amirul Mukminin Ali ra. dan ia juga mutawatir dari Nabi saw. ia telah dirwayatkan oleh jumah yang banyak dari perawi dari jumah yang banyak pula. Dan tidak perlu dihiraukan orang yang melemahkannnya dari kalangan orang yang tidak punya pengetahuan tentang ilmu ini..

Hadis Ghidir telah diriwayatkan secara marfû’ dari: Abu Bakar ash Shiddîq, Umar ibn al Khaththâab, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn al ‘Awwâm, Sa’ad ibn Abi Waqqâsh, Abdurrahman ibn Auf, Abbas ibn Abdul Muththalib, Zaid ibn Arqam,, Barâ’ ibn ‘Âzib, Buraidah ibn al Khashîb, Abu Hurairah, Abu Sa’id al Khudri, Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Abbas, Hubsyi ibn Junâdah, Abdullah ibn Mas’ud, Imrân iibn Hushain, Abdullah ibn Umar, Ammar ibn Yasir, Abu Dzar al Ghaffâri, Salman al Farisi, Sa’ad ibn Zurarah, Khuzaimah ibn Tsâbit, Abu Ayyub al Anshari, Sahl ibn Hunaif, Hudzaifah ibn al Yamân, Saumurah ibn Jundub, Zaid ibn Tsabit, Anas ibn Malik dan selain mereka dari kalangan sahabat. ra.

Dan telah shahih dari sekelompok orang yang dengannya diperoleh kepastian akan berita mereka. Dan telah tetap juga bahwa sabda itu beliau sabdakan di Ghadir Khum.“.
Baca Asnâ al Mathâlib Fi Manâqib Ali ibn Abi Thalib:48.

Al hafidz al Faqîh Ibnu al Maghâzili asy Syâfi’i menegaskan dalam kitab Manâqib Amiruil Mu’minîn telah diriwayatkan oleh kurang lebih seratus sahabat Nabi saw. dan tidak terdapat cacat sedikitpun padanya.

Pada bagian-bagian awal kitabnya, setelah menyebutkan nasab, kuniyah/gelar, tempat kelahiran dan usia ketiak Imam Ali as. menerima Islam, Ibnu al Maghâzili menulis pasal tentnag sabda Nabi saw.: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه di dalamnya ia menyebutkan lima belas jalur periwayatan hadis tersebut, hadis dengan nomer 23 hingga 38. dan pada akhirnya ia menutup dengan mengutip pernyataan Abu al Qâsim al Fadhl ibn Muhammad, ia berkata: “Abu al Qâsim al Fadhl ibn Muhammad berkata, ‘hadis ini shahih dari Rasulullah saw.. dan telah diriwayatkan dari beliau oleh sekitar seratus (100) sahabat termasuk di antaranya adalaah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia adalah hadis yang tetap, aku tidak mengetahui ada cacat padanya. Ini adalah keutamaan yang khusus dimiliki Ali, selainnya tidak menyertainya dalam keutamaan ini.’” (Manâqib Amiruil Mu’minîn:16-27).


Para Ulama Ahlusunnah Menulis Buku Tentang Hadis Ghadir.

Karena banyaknya jalur periwayatan hadis Ghadir tersebut, maka para ulama dan Ahli Hadis Sunni memperikan perhatian khusus mereka dengan menulis buku yang merangkum jalur-jalur periwatannya. Di antara mereka adalah:
1) Ibnu ‘Uqdah.
Ibnu ‘Uqdah nama lengkapnya adaalah Abu al Abbas Ahmad ibn Ahmad ibn ‘Uqdah. Seorang hafidz yang kokoh hafalan dan periwayatannya dan tsiqah/terpercaya di kalangan para ulama hadis. Lahir tahun 244 H dan wafat taahun 332 H..

Para ulama menyebutnya dengan disertai pujian dan pengagungan. As Suyuthi mengatakan tentangnya, “Ibnu ‘Uqdah adalah tergolong pembesar para hafidz. Orang berselisih tentang pujian ada pencacatan atasnya. Ad Dâruquthni berkata, ‘Berbohonglah orang yang menuduhnya sebagai pemalsu hadis.’… Abu Ali al Hafidz berkata, ‘Abu al Abbas adalah seorang imam hafidz, posisi dia seperti posisi para tabi’în dan tabi’ut tabi’in. (Al Lalâli al Mashnû’ah,1/337).

Kendati kitab karangan ibnu ‘Uqdah tersebut hilang ditelan masa, akan tetapi para ulama menegaskan bahwa benar Ibnu ‘uqdah pernah menulis buku tersebut…. Di antara para ulama yang menegaskan hal itu adalah:
A) Ibnu Taimiyah, ia berkata, “Dan Abu al Abbas Ibnu ‘Uqdah telah menulis sebuah buku yang menghimpun jalur-jalur hadis itu (Ghadir).” (Minhâj as Sunnah,4/86).

B) Ibnu Hajar al Asqallani berkata, “Adapun hadis: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه ia telah diriwayatkan oleh at turmudzi dan an Nasa’i. ia adalah hadis yang banyak jalurnya. Ibnu ‘Uqdah telah merangkumnya dalam sebuah buku karangan khusus, banyak dari jalurnya yang shahih dan hasan.” (Fathu al Bâri,7/61) selai itu, Ibnu Hajar juga sering menyebut keberadaan kitab tersebut dalam buku-bukunya yang lain, seperti al Ishâbah,2/413 ketika menyebutkan beberapa riwayat hadis Ghadir.

Dan selain mereke berdua banyak ulama lain menyebutkan keberadaan buku karya Ibnu ‘Uqdah tersebut.

2) Imam ath Thabari.
Selain Ibnu ‘Uqdah, Ibnu Jarir ath Thabari juga menulis buku khusus yang merangkum jalur-jalur hadis Ghadir.

Keberadaan kitab ath Thabari tentang jalur-jalur hadis Ghadir ini telah dikaui oleh para ulama Ahlusunnnah, di antara mereka adalah:
A) Adz Dzahabi:
Dalam Tadzkirah al Huffâdz, Adz Dzahabi berkata, “Muhammad ibn Jarir menulis sebuah kitab tentang hadis Ghadir, aku telah menyaksikan dan membacanya, aku sangat terkejut karena banyaknya jalur periwayatan hadis tersebut.” (Ar Rawdhah an Nadiyyah:57).

B) Yaqût al Hamawi:
Yaqût al Hamawi dalam Mu’jam al Buldân mengatakan, “Ada sebagian Syiekh di kota Baghdad membohongkan hadis Ghadir Khum, ia berkata, ‘Ali ibn Abi Thalib ketika Nabi saw. berpidato di Ghadir itu berada di Yaman, ia mengarang qashidah (bait-bait syair) menyinggung masalah itu…. Lalu sampailah hal itu kepada Abu Ja’far (ath Thabari), maka ia memulai menulis tentang keutamaan Ali dan menyebut jalur-jalur hadis Ghadir Khum.” (Mu’jam al Buldân,6/455).

C) Ibnu Hajar:
Ibnu Hajar al Asqallani berkata, Dan Ibnu Jarir telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadis Ghadir dalam sebuah kitab khusus yang jauh lebih banyak ia dikumpulkan Ibnu Abdir Barr dalam Isti’abnya.” (Tahdzîb at Tahdzîb,7/339).


Tidak Meragukan Keshahihan Hadis Ghadir Kecuali Orang Jahil Atau Penentang Kebenaran!

Setelah Anda saksikan bagaimana pendapat ulama tentang kemutawatiran hadis Ghadir Khum, dan ia telah diriwayatkan dari tidak kuran seratus sabahat dengan berbagai jalur, ang kebanyakan darinya adalah shahih atau hasan, dan bagaimana para ulama dan para peneliti hadis telah menulis buku-buku khusus untuk merangkum jalur-jalurnya, maka adalah aneh jika masih ada yang berusaha meragukan kemutawatiran apalagi keshahihannya! Dan tidak meragukannya melainkan orang yang jahil tidak mengerti apa-apa tentang ilmu hadis atai seorang penentang yang sengaja menentang kebenaran setelah jelas di hadapannya!

Telah lewat disebutkan pernyataan al Jazari bahwa: Dan tidak perlu dihiraukan orang yang melemahkannnya dari kalangan orang yang tidak punya pengetahuan tentang ilmu ini.

Mirza Muhammad ibn Mu’tamad Khân al Badkhesyi dalam kitab Nuzul al Abrâr:21 menegaskan, “Hadis ini adalah shahih dan masyhur sekali, dan tidak mencacat keshahihannya melainkan orang yang fanatik buta yang menentang dan tidak perlu dihiraukan omongannya. Sebab Sesungguhnya hadis ini banyak sekali jalurnya. Ibnu ‘Uqdah telah merangkumnya dalam kitab khusus. Adz Dzahabi telah menegaskan keshahihan banyaak darinya. Hadis ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat.”


Penunjukan Ali Sebagai Khalifah!

Syeikh berkata:

وليس في قوله : من كنت مولاه ، أن النص على خلافته متصله ، ولو كان نصاً لادّعاها علي رضي الله عنه لأنه أعلم بالمراد، ودعوى إدّعائها باطل ضرورة ، ودعوى علمه يكون نصاً على خلافته وترك إدعائها تقية أبطل من أن يبطل .
وما أقبح ملة قوم يرمون إمامهم بالجُبن والخور والضعف في الدين مع أنه أشجع الناس وأقواهم.

“Dan pada sabda: من كنت مولاه bukanlah nash/penunjukan atas khilafah secara bersambung, jika demikian pastilah Ali mengakunya, sebab ia lebih mengerti maksudnya. Dan mengklaim bahwa Ali mengakunya adalah batil/palsu secara pasti, dan mengklaim bahwa Ali mengetahuinya tetepi ia meninggalkan mengakunya kerena taqiyyah lebih batil untuk dibantah.

Alangkah jelaknya agama kaum yang menuduh imam mereka pengecut dan takut serta lemah dalam menegakan agama, padahal ia termasuk paling berani dan paling kuatnya orang … “

Tanggapan Kami:
Tidak diragukan lagi bahwa apa yang dikatakan Syeikh adalah tidak berdasar kepada realita, sebab siapapun yang rajin menelaah Sunnah Nabi dalam kitab-kitab Ahlulannah pasti mengathui dengan pasti bahwa banyak hadis shahih yang dapat menguatkan pendapat Syi’ah Imamiyah tentang adanya penunjukan Ali as. sebagai Khalifah sepeninggal beliau.

Dan untuk menyederhanakan pembahasan saya hanya akan membatasi penyajian bukti-bukti tekstual itu hanya pada hadis Ghadir Khum saja.


Riwayat Hadis Ghadir dalam Kitab-kitab Ahlusunnah

Sebelum membuktikan hak imamah Ali as. dalam hadis Ghadir, perlu kiranya kita memerhatikan beberapa riwayat hadis tersebut sebagaimana diriwayatkan dan dishahihkan ulama Ahlusunnah dalam kitab-kitab mereka.

Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyebutkan beberapa saja darinya….
Riwayat ath Thabarâni:
Ath Thabarâni dan para muhaddis lain meriwayatkan dengan sanad yang disepakati kashahihannya[1] dari sahabat Zaid ibn Arqam, ia berkata:

خطب رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم ، بغدير خمّ ، تحت شجرات ، فقال : أيّها الناس ! يوشك أن أُدعى فأُجيب ، وإنّي مسؤول ، قالوا : نشهد أنّك قد بلّغت وجاهدت ونصحت ، فجزاك الله خيراً . فقال : أليس تشهدون أن لا إله إلاّ الله ، وأنّ محمّداً عبده ورسوله ، وأنّ جنّته حقّ ، وأنّ ناره حقّ ، وأنّ الموت حقّ ، وأنّ البعث حقّ بعد الموت ، وأنّ الساعة آتية لا ريب فيها ، وأنّ الله يبعث مَن في القبور ؟ ! قالوا : بلى نشهد بذلك. قال : اللّهمّ اشهد .

“Rasulullah saw. berpidato di Ghadir Khum di bawah pepohonan, beliau bersabda:
“Hai sekalian manusia, telah dekat waktu untuk aku dipanggil, dan aku akan memenuhinya[2]. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, dan kalian pun akan dimintai pertangan jawab[3], lalu apa yang akan kalian katakana?” Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan pesan, berjuang dan tulus dalam menasehati, semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan.’
Belaiu melanjutkan, “Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah?! Dan sesungguhnya surga itu haq?! Dan sesungguhnya neraka itu haq?! Kematian itu haq?! Dan kebangkitan setelah kematian itu haq?! Dan kedatangan hari kiamat itu adalah pasti, tiada keraguan di dalamnya dan Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kuburan?!”
Mereka berkata, “Benar! Kami berkasi atas itu!”[4]
Nabi saw. menyambung, “Ya Allah saksikan!”

Kemudian beliau bersabda:

يا أيّها الناس ! إنّ الله مولاي ، وأنا مولى المؤمنين ، وأنا أوْلى بهم من أنفسهم ، فمَن كنت مولاه ، فهذا مولاه ـ يعني عليّاً ـ اللّهمّ والِ مَن والاه ، وعادِ مَن عاداه .

“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah adalah maulaku dan aku adalah maula-nya kaum Mukminin. Aku lebih berhak terhaap mereka lebih dari diri mereka sendiri![5] Maka barang siapa aku maula-nya ali adalah maula-nya juga. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadilakan Ali maula-nya dan musuhi yang memusuhinya.”.

Kemdian beliau bersabda:

يا أيّها الناس ! إنّي فرطكم ، وإنّكم واردون علَيّ الحوض ، حوض أعرض ممّا بين بصرى إلى صنعاء ، فيه عدد النجوم قدحان من فضّة ، وإنّي سائلكم حين تردون علَيّ عن الثقلين ، كيف تخلفوني فيهما ؟ الثقل الأكبر : كتاب الله عزّ وجلّ ، سبب طرفه بيد الله تعالى ، وطرفه بأيديكم ، فاستمسكوا به لا تضلّوا ولا تبدّلوا ، وعترتي أهل بيتي ، فإنّه قد نبّأني اللطيف الخبير أنّهما لن ينقضيا حتّى يردا علَيّ الحوض

“Wahai sekalian manusia, aku akan mendahului kalian, dan kalian akan dating menjumpaiku di haudh, sebuah haudh yang lebih lebar dari kota Bushrâ hingga kota Shan’â’. Di dalamnya terdapat cawan-cawan perak sejumlah bintang di langit; Aku akan menanyai kalian ketika kalian menjumpaiku tentang dua pusaka, bagaimana perlakuakn kalian terhadapnya? Pusaka terbesar adalah Al Qur’an: Kitabullah –Azza wa Jalla-, sebuah sebab yang satu ujungnya di tangan Allah –Ta’alâ– dan satu ujungnya lainnya di tangan-tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya, jangan menyimpang dan jangan merubah-rubah! Dan (pusaka kedua) itrah-ku yaitu Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berakhir hingga menjumpaiku di haudh kelak.”

Ini adalah redaksi hadis riwayat ath Thabarâni, Ibnu Jarir, al hakîm at Turmudzi dari Zaid ibn Arqam. Ibnu Hajar al Haitami telah menukilnya dalam kitab ash Shawâiq:25 dari ath Thabarâni dan lainnya dan ia menshahihkannya.

o Riwayat Al Hakim
Al Hafidz al Hakim dalam al Mustadrak-nya3/109 pada bab Manâqib Ali as. meriwayatkan dari Zaid ibn Arqam dari dua jalur yang ia shahihkna berdasarkan syarat Syaikhain (Bukhari&Muslim), ia berkata:

لمّا رجع رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم ، من حجّة الوداع ونزل غدير خمّ ، أمر بدوحات فقممن ، فقال.

“Ketika Rasulullah saw. pulang dari haji Wadâ’ dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan agar beberapaa pohon itu disapu sekelilingnya, setelahnya beliau bersabda:

كأنّي دعيت فأجبت ، وإنّي قد تركت فيكم الثقلين ، أحدهما أكبر من الآخر ، كتاب الله تعالى وعترتي ، فانظروا كيف تخلفوني فيهما ، فإنّهما لن يفترقا حتّى يردا عليّ الحوض .

“Seakan-akan aku telah dipanggil dan aku memenuhinya. Dan aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka berharga, yang satu lebih besar dari yang lainnya; Kitabullah –Ta’alâ– dan Itrahku. Maka perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeningglaku. Karena Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh/telaga.”

Kemudian beliau melanjutkan:

ثمّ قال : إنّ الله عزّ وجلّ مولاي ، وأنا مولى كلّ مؤمن ، ثم أخذ بيد عليّ ، فقال : مَن كنت مولاه فهذا وليّه ، اللّهمّ وال مَن والاه ، وعاد مَن عاداه….

“Sesungguhnya Allah –Azza wa Jalla– adalah maulaku dan aku adalah maula setiap Mukmin.”

Kemudian beliau mengangkat tangan Ali dan bersabda, “Maka barang siapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah, bimbinglah yang menjadikan Ali sebagai maulanya dan musuhi yang memusuhinya.”

Adz Dzahabi dalam Talkhish Mustadraknya tidak menentang penshahihan al Hakim dengan kata-kata apapun.

Dan Al Hakim juga meriwayatkan dalam Bab Dzikru Zaid ibn Arqam,3/533 dan ia menegaskan keshahihannya. Dan adz Dzahabi, kendati ia sangat ketat dalam menshahihkan hadis-hadis keutamaan Ahlulbait as. juga menyetujuinya.


o Riwayat Imam Ahmad
Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya,4/372 dari hadis riwayat Zaid ibn Arqam, ia berkata:

نزلنا مع رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم بواد ، يقال له : وادي خمّ ، فأمر بالصلاة فصلاّها بهجير ، قال : فخطبنا ، وظلّل لرسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم بثوب على شجرة سمرة من الشمس ، فقال : ألستم تعلمون ، أولستم تشهدون أنّي أوْلى بكلّ مؤمن من نفسه ؟ ! قالوا : بلى . قال : فمَن كنت مولاه ، فعليّ مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه .

“Kami bersma Rasulullah saw. berhenti di sebuah lembah yang dinamai Khum, lalu beliau memerintah agar kami berkumpul untuk shalat. Beliau meminpin shalat di sata panas, kemudian beliau berpidato. Rasulullah saw. dinaungi dari sengatan panas matahari dengan kain (yang dihamparkan di ataas pepohonan). Beliau bersabda, “Apakah kalian mengetahui atau: Apakah kalian bersaksi bahwa aku berhak atas diri setiap mukmin lebih darinya sendiri?! Mereka berkata, “Benar.” Beliau bersabda (menanjutkan), “Barang siapa yang aku maula-nya maka Ali juga maula-nya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali maula-nya dan musuhim orang yang memusuhinya.”.

o Riwayat Imam an Nasa’i
Imam An Nasa’i juga meriwayatkan dalam Khushâish-nya hadis no. 74 pada bab Dzikru Qauli an Nabi man Kuntu Maulâhu fa Hadzâ Maulâhu, dari Zaid ibn Arqam, ia berkata;

لمّا دفع النبيّ من حجّة الوداع ونزل غدير خمّ ، أمر بدوحات فقممن ، ثمّ قال : كأنّي دعيت فأجبت ، وإنّي تارك فيكم الثقلين ، أحدهما أكبر من الآخر ، كتاب الله وعترتي أهل بيتي ، فانظروا كيف تخلفوني فيهما ، فإنّهما لن يفترقا حتّى يردا عليّ الحوض .. ثمّ قال : إنّ الله مولاي ، وأنا وليّ كلّ مؤمن ، ثمّ إنّه أخذ بيد عليّ ، فقال : مَن كنت وليّه فهذا وليّه ، اللّهم وال مَن والاه ، وعاد مَن عاداه .
قال أبو الطفيل : فقلت لزيد : سمعته من رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم؟ ! فقال : وإنّه ما كان في الدوحات أحد إلاّ رآه بعينيه وسمعه بأُذنيه .

“Ketika Nabi saw. pulang dari haji Wadâ’, beliau berhenti di Ghadir Khum, lalu memerintahkan agar beberapa pohon itu dibersihkan sekitarnya, kemudian beliau bersabda, “Sepertinya aku telah dipanggil dan aku memenuhinya, dan aku tinggalkan pada kalian dua pusaka berharga, yang satu lebih besar dari yang lainnya; Kitabullah dan Itrahku yaitu Ahlulbaitku. Maka perhatikan bagaimana perlakuakn kalian terhadap keduanya sepeninggalku. Kerena Sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di haudh.”.

Kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah adalah maulaku dan aku adalah walinya setiap Mukmin.”

Lalu mengangkat tangan Ali ra. Dan bersabda, “Barang siapa yang aku walinya maka dia ini walinya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali wali-nya dan musuhim orang yang memusuhinya.”

Abu Thufail berkata, “Lalu aku berkata kepada Zaid, ‘Apakah engkau mendengar sendiri dari Rasulullah saw.?’” Zaid menjawab, ‘Ya, tiada seorang pu di dekat pohon itu melainkan menyaksikan beliau dan mendengar sabdanya.”[6]

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad dalam Musnad-nya4/370 dan an Nasa’i dalam Khashâish-nya, hadis no.88 dengan sanad shahih, dari Abu Thufail:

جمع عليّ الناس في الرحبة ثمّ قال لهم : أُنشد الله كلّ امرئ مسلم سمع رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم يقول يوم غدير خمّ ما سمع لما قام . فقام ثلاثون من الناس .. (قال :) وقال أبو نعيم : فقام ناس كثير ، فشهدوا حين أخذه بيده ، فقال للناس : أتعلمون أنّي أوْلى بالمؤمنين من أنفسهم ؟ !
قالوا : نعم يا رسول الله .
قال : مَن كنت مولاه فهذا مولاه ، اللّهمّ والِ مَن والاه ، وعادِ مَن عاداه .
قال أبو الطفيل : فخرجت وكأنّ في نفسي شيئاً، فلقيت زيد بن أرقم ، فقلت له : إنّي سمعت عليّاً يقول : كذا وكذا . قال زيد : فما تنكر ؟ ! قد سمعت رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم يقول ذلك له.

“Ali mengumpulkan orang-orang di Rahbah, lalu berkata meminta, “Aku meninta dengan nama Allah agar setiap orang yang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di Ghadir Khum: “Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku berhak atas kaum Mukminin lebih dari diri mereka sendeiri (ketika itu beliau sambil berdiri, lalu mengangkat tangan Ali dan bersabda): “Barang siapa yang aku maula-nya maka Ali juga maula-nya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali wali-nya dan musuhim orang yang memusuhinya.” Untuk bangu dan memberikan kesaksian!

Abu Thufai berkata, Lalu ketika aku keluar di dalam hatiku ada sesuatun tentang hal itu, kemudian aku menjumpai Zaid ibn Arqam dan kutanykan hal itu, aku berkata kepadanya, “Aku mendengar Ali berkata begini dan begitu.” Zaid berkata, “Apa yang engkau ingkari?!” [7]Aku benar-benar telah mendengarnya dari Rasulullah saw.

Dalam kesempatan lain Imam Ahmad juga meriwayatkan dari hadis riwayat al Barâ’ ibn ‘Âzib dari dua jalur, ia berkata:

كنّا مع رسول الله ، فنزلنا بغدير خمّ ، فنودي فينا : الصلاة جامعة ، وكُسح لرسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم تحت شجرتين ، فصلّى الظهر وأخذ بيد عليّ ، فقال : ألستم تعلمون أنّي أوْلى بالمؤمنين من أنفسهم ؟ ! قالوا : بلى . قال : ألستم تعلمون أنّي أوْلى بكلّ مؤمن من نفسه ؟ ! قالوا : بلى . قال : فأخذ بيد عليّ ، فقال : مَن كنت مولاه فعليّ مولاه ، اللّهمّ وال مَن والاه ، وعاد مَن عاداه ..

“Kami bersama Rasulullah saw., lalu kami berhenti di Ghadir Khum, lalu diumumkan agar berkumpul, kemudian disapulah halaaman di sekitar dua pohon di sana, lalu beliau shalat dzuhur dan (setelahnya) beliau mengangkat tangan Ali dan bersabda, “Tidakkah kalian tahukah bahwa aku ini berhak atas kaum Mukminin lebih dari diri mereka sendiri?!” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau melanjutkan, “Tahukah kalian bahwa ku berhak atas setiap Mukmin lebih dari dirinya sendiri?!” Mereka menjawab, “Benar.” Barâ’ berkata, “Lalu beliau mengangkat tangan Ali dan bersabda, “Barang siapa yang aku maula-nya maka Ali juga maula-nya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali maula-nya dan musuhim orang yang memusuhinya.”

Barâ’ berkata (lagi):

قال : فلقيه عمر بعد ذلك ، فقال له : هنيئاً يا ابن أبي طالب ، أصبحت وأمسيت مولى كلّ مؤمن ومؤمنة .

“Lalu setelahnya Umar menemui Ali dan berkata kepadanya, “selamat atasmu wahai putra Abu Thalib, engkau sekarang telah menjadi maula setiap mukimn dan mukminah.” (Musnad,4/281).

Imam an Nasa’i juga meriwayatkan dalam Khashâishnya, hadis no.89 dari Aisyah bintu Sa’ad dan ‘Âmir ibn Sa’ad, berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda padaa hari Juhfah, beliau mengangkat tangan Ali dan berpidato, beliau mengucapkaan tahmid daan memuji Allah, kemudian bersabda:

أيّها الناس ! إنّي وليّكم ، قالوا : صدقت يا رسول الله .

“Wahai sekalian manusia, bukankah aku wali kalian! Mereka menjawab, “Benar.”.

Lalu beliau mengangkat tangan Ali dan bersabda:

هذا وليّي ، ويؤدّي عنّي دَيني ، وأنا موالٍ من والاه ، ومعادٍ من عاداه ..

“Orang ini adalah waliku, yang akan melunasi hutangku. Dan aku bermuwalah kepada orang yang menjadikannya maula dan memusuhi yang memsuhinya.”.

Selain riwayat-riwayat di atas, masih sangat banyak riwayat lainnya. Dan seperti dapat disaksikan bahwa ia sangat jelas dan tegas menetapkan hak kewalian ali atas kaum Mukminin!

Referensi:
[1] Para ulama telah menegaskan keshahihan hadis di atas, sampai-sampai Ibnu hajar al Haitami mengakuinya ketika ia menyebutkan hadis di atas dari riwayat ath Thabarani dan lainnya di tengah-tengah ia menyebtukan bantahan atas syubhat kesebalas pada pasal V bab I dalam kitab Shawaiq-nya:25.
[2] Dengan menyebut hal ini beliau saw. sepertinya ingin menyadarkan bahwa waktu untuk menyampaikan pesan penting ini benar-benar telah mendesak sehingga apabila ditunda-tunda lagi, mungkin akan terlewatkan dengan datangnya ajal beliau.
[3] Tanggung jawab itu sangat berat, dan penunjukan Ali as. Sebagai pengganti beliau dalam posisi sebagai pemimpin tertinggi umat Islam adalah berat untuk diterima oleh banyak kalangan yang punya minta untuk bersaing, memendam rasa dengki, kebencian dan kemunafikan. Karenanya sebelum menyamiakannya beliau saw. Menyampaikan terlebih dahulu permintaan uzur kepada mereka bahwa ini adalah tugas ilahi yang harus beliau sampaikan, agar mereka tidak terseret jauh menuruti hawa nafsu mereka sehingga akan celaka! Oleh sebab itu sabda ini beliau sampaikan: “Aku akan dimintai pertanggung jawaban, dan kalian pun akan dimintai pertangan jawab.”
[4] Bisa jadi sabda di atas menunjuk kepada hadis yang diriwayatkan para muhaddis, seperti ad Dailami dan lainnyan (seperti disebutkan dalam kitab as Shawâiq dan lainnya) dari sahabat Abu Sa’id al Khudri, ia berkata tentang ayat:

و قفُوهُم إنَّهُم مَسؤولونَ {عن ولاية عليٍ}

“Hentikan mereka karena mereka akan ditanyai/dimintai pertanggugan jawab.”

Nabi saw. bersabda tentang ayat itu bahwa mereka akan dimintai pertanggung jawaban tentang sikap mereka terhadap wilayah/kepemimpinan Ali.
[5] Ini adalah bukti kuat bahwa yang dimaksud dengan kata maulâ dalam hadis tersebut adalah aula/yang lebih berhak, seperti nanti akan saya buktikan!
[6] Komentator kitab Khashâish –terbitan dâr al Bâz, Mekkah -Saudi Arabiah- Syeikh Abu Ishaq al Huwaini al Atsari menegaskan keshahihannya, dengan catatan jika ia selamat dari pentadlisan Habib Abi Tsabit. (Khashâish:72)
[7] Pertanyaan Abu Thufail itu juga sebuah bukti kuat bahwa hadis Ghadir bukan dalam rangka menetapkan kewajiban umat untuk mencintai Ali as., seperti yang hendak difahami Ahlusunnah, sebab tidak ada yang perlu dipertanyakan apalagi diingkari jika sabda itu untuk makna perintah kecintaan. Hal yang mengganjal pikiran Abu Thufail adalah tentang kepemimpinan Imam Ali as., karenanya ia menjadi terheran, walau telah disabdakan Nabi saw. mengapa Ali disingkrikan!
____________________________________


Petunjuk Hadis Ghadir

Ibnu Abdi al Wahhâb menolak bahwa hadis Ghadir menunjukkan makna penunjukkan Ali sebagai Khalifah dan imam atas umat Islam… akan tetapi tidak ada bukti yang ia ajukan selain kebetaran-keberatan yang ia munculkan dari benaknya tanpa disertai bukti… ia tidak melibatkan diri dalam mengupas makna kata perkata dari hadis yang disambdakan lisan suci Rasulullah saw…. saya tidak mengerti, apakah itu karena ketidak mampuannya dalam kaijan-kajian seperti itu, atau ia menganggap bahwa apapun yang ia lontarkan tidak perlu harus disertai dengan pembuktikan apapun, sebab:

وَ ما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى‏ إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحى.

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm[53];4)

dan tidak sepantasnya orang mempertanyakan apapun yang ia lontarkan, justru merekalah yang harus ditanyai!

Karenanya, saya akan ajukan alasan yaang dikemukakan oleh para tokoh penentang Syi’ah yang sibuk membantah dan memalingkan pemaknaan hadis Ghadir agar tidak menjadi senjata kuat kaum Syi’ah untuk menegakkan hujjah mereka!

Diskusi saya akan tefokus kepada mereka, dan bukan kepada pada para mukallid buta mereka!


Kata Maula Tidak Pernah Datang Untuk Makna Aula Bit tasharruf

Mereka mengemukakan bahwa para ahli bahasa tidak pernah membenarkan pemaknaan kata:مولى untuk makna:أولى بالتصرف/yang paling berhak mengatur! Syubhat ini ditelan mentah-mentah kaum Nawâshib dari imam mereka Ibnu Taimiyah dan ad Dahlawi dalam kitab at Tuhfah-nya.

Dan untuk melihat sejauh mana ke benaran klaim mereka itu, mari kita ikuti kajian bahasa di bawah ini:

Dalam membela klaim mereka, tidak segan-segan mereka memalsu atas nama klaim ijmâ’ ahli habasa! Akan tetapi klaim ijmâ’ itu sangat naif dan tidak berdasar! Seperti akan saya buktikan di bawah ini.

Ad Dahlawi berkata dalam at Tuhfah al Itsnâ ‘Asyâriyah, setelah menyebutkan satu riwayat hadis Ghadir dari riwayat Buraidah ibn Khashîf al Aslami, ia berkata:

قالت الشيعة في تقرير الاستدلال بهذا الحديث : إنّ المولى بمعنى الأوْلى بالتصرّف؛ وكونه أوْلى بالتصرّف عين الاِمامة . ولا يخفى : إنّ أوّل الغلط في هذا الاستدلال هو إنكار أهل العربية قاطبةً ثبوت ورود المولى بمعنى الأوْلى ، بل قالوا : لم يجىَ قطّ المفعل بمعنى أفعل في موضعٍ ومادّةٍ أصلاً ، فضلاً عن هذه المادّة بالخصوص.

“Syi’ah berkata dalam berdalil dengan hadis itu, “Sesungguhnya kata maula artinya adalah yang paling berhak mengurus, dan paling berhak mengurus itu adalah inti imamah.

Tidak samar bahwa awal kesalahan mereka dalam berdalil seperti itu adalah adanya pengingkaran seluruh ahli bahasa Arab bahwa kata maulâ dengan arti aula. Bahkan mereka berkata, ‘tidak pernah datang (dalam penggunaan bahasa) wazan maf’al untuk arti af’al dalam satu tempat pun dan dalam satu kata pun, apalagi untuk kata itu secara khusus… “ (Baca Mukhtashar at Tuhfah al Itsnâ ‘Asyâriyah:1790180)

Saya berkata:
Untuk menaggapai klaim ad dahlawi di atas, saya akan mengajak Anda memerhatikan pernyataan para pakar bahasa Arab dan ahli tafsir tantang pemaknaan kata maulâ dalam ayat-ayat Al Qur’an, hadis Nabi saw. maupun syair-syair para pujangga Arab klasik yang berkopenten dalam bahasa Arab!

Imam al Fakhru ar Râzi ketika menafsirkan ayat:

فَالْيَوْمَ لا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَ لا مِنَ الَّذينَ كَفَرُوا مَأْواكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلاكُمْ وَ بِئْسَ الْمَصيرُ.

“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat- jahat tempat kembali.” (QS. Al Hadîd [57];15).

Ia berkata:

وفي لفظ المولى ها هنا أقوال : أحدها …. والثاني : قال الكلبي : يعني : أوْلى بكم. وهو قول الزجّاج والفرّاء وأبي عبيدة…

“Pada kata المولى terdapat banyak pendapat, pertama: …. . Kedua: al kalbi berkata, yaitu yang paling berhak atas kalian. Ini adalah pendapatnya az Zajjâj, Al Farrâ’ dan Abu ‘Ubaidah…. .” (Tafsir ar Râzi,29/227).

Abu Hayyân berkata, tentang tafsir ayat:

(قل لن يصيبنا إلاّ ما كتب الله لنا هو مولانا وعلى الله فليتوكّل المؤمنون)

Katakanlah:” Sekali- kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang- orang yang beriman harus bertawakal.”(QS. At Taubah [9];51).

قال الكلبي : أوْلى بنا من أنفسنا في الموت والحياة. وقيل : مالكنا وسـيّدنا ، فلهذا يتصرّف كيف شاء ، فيجب الرضا بما يصدر من جهته… » (3) .

“Al Kalbi berkata, “tafsirnya adalah ia lebih berhak terhadap kita lebih dari diri kita sendiri dalam hal kematian dan kehidupan. Ada yang mengatakan artinya: Pemilik dan tuan/pemimpin kita, karenanya Dia (Allah) berbuat terhadap kita sekehandak-Nya, wajib (atas kita) menerimanya dengan rela apapun yang keluar dari sisi-Nya. “(Tafsir al Bahru al Muhîth,5/42).

Dari dua kutipan di atas dapat Anda ketahui bahwa ada empat pakar bahasa Arab yang menegaskna bahwa kataمولى dapat diartikanأولى بالتصرف . Mereka itu adalah Muhammd ibn as Sâib al Kalbi, al Farrâ’, Az Zajjâj dan Abu ‘Ubaidah.

Catatan:
Al Kalbi seorang tokoh pakar tafsir yang sangat terkenal, wafat tahun 146 H.

Al Farrâ’ adalah pakar paling kreatif dalam disiplin ilmu Nahwu (tata bahasa Arab), bahasa Arab dan berbagai cabang sasrta Arab. Wafat tahun702 H.

Az Zajjâj adalah seorang imam dalam bahasa Arab wafat tahun 113 H.

Sedangkan Abu ‘Ubaidah adalah bernama Ma’mar ibn al Mutsanna al Taimi al Bashri. Seorang pakar bahasa dan sejarah, serta banyak menulis buku. Belioau adaalah dikenal sebagai bejana ilmu. Wafat tahun 210.

Al Baghawi berkata tentang ayat:

مأواكم النار هي مولاكم.

“Tempat kamu ialah neraka. Dialah adalah maula kalian.”.

Maknanya:

صاحبتكم وأوْلى بكم؛ لِما أسلفتم من الذنوب.

“Dia adalah teman kalian dan yang paling berhak atas kalian disebabkan apa yang dahuli kalian perbuat.” (Tafsir Ma’âlim at Tanzîl,8/29).

Az Zamakhsyari berkata:

قيل : هي أوْلى بكم

“Ada yang mengatakan: Dia (neraka itu) lebih berhak atas kalian…” (Tafsir al Kasysyâf,4/476).

dan dalam kitab Asâs al Balâghah, az Zamakhsyari kembali menerangkan pada kata: ولي:

« ومولاي : سيدي وعبـدي ، ومولى من الولاية : ناصر ، وهو أوْلى به.

“Kata maulâya artinya: Tuanku, hambaku. Kata maulâ diambil dari kata al Wilâyah: Penolong, dan dia lebih berhak terhaadapnya.”.

Abu al Faraj ibn al Jauzi berkata tantang tafsir ayat di atas:

قال أبو عبيدة : أي أوْلى بكم .

“Abu Ubaidah berkata: yaitu ia lebih berhak terhadap kalian.”(Tafsir Zâd al Masîr,8/167).

An Nisaburi berkata:

قيل : المـراد أنّها تتوّلى أُموركم كما تولّيتم في الدنيا أعمال أهل النار. وقيل : أراد هي أوْلى بكم؛ قال جار الله : حقيقته هي محراكم ومقمنكم ، أي مكانكم الذي يقال فيه : هو أوْلى بكم… .

“Ada yang mengatakan maksudnya: dia (neraka) akan mengurus urusan kalian seperti kalian dahulu di dunia mengerjakan amalan penghuni neraka. Ada yang mengatakan: Yang dimaksud adalah dia lebih berhak terhadap kalian. Jarullah (az Zamakhsyari) berkata, “hakikat maknanya adalah ia lebih berhak dan lebih pantas, maksudnya nereka itu adalah tempat kalian yang dikatakan untuknya dia lebih berhak terhadap kalian…. “ (Tafsir Ghrâib al Qur’an, dicetak dipinggir tafsir ath Thabari,27/131).

Dan ketika menafsirkan ayat:

قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمانِكُمْ وَ اللَّهُ مَوْلاكُمْ وَ هُوَ الْعَليمُ الْحَكيمُ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah maula kalian dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Tahrîm [66];2).

Artinya:

متولّي أُموركم ، وقيل : أوْلى بكم من أنفسكم ، ونصيحته أنفع لكم من نصائحكم لأنفسكم

“Dia Allah adalah Dzat yang mengurus urusan kalian. Ada yang mengatakan: Dia yang lebih berhak atas kalian dari diri kalian sendiri. Nasihat-Nya lebih bermanfa’at untuk kalian dari nasihat-nasihat kalian sendiri.” (Tafsir Ghrâib al Qur’an, dicetak dipinggir tafsir ath Thabari,28/101).

al Qadhi al Baidhâwi berkata tentang ayat:

هي مولاكم.

“Dia lebih berhak terhadap kalian… “ (Tafsir Anwâr at Tanzîl:716).

Demikian juga dengan para mufassir lain seperti:
An Nasafi dalam tafsirnya Madârik at Tanzîl,4/226.
Penulis tafsir Al Jalalain:716 dan Abu Sa’du dalam tafsirnya,8/72.

Dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa mereka adalah pakar dan ahli tafsir Ahluusnnah… kitab-kitab mereka lebih masyhur untuk diperkenalkan di sini… tafsir-tafsir mereka tersebut adalah rujukan utama dalam ilmu tafsir di kalangan Ahlusunnah!!

Penafsiran tersebut juga dibenarkan oleh para pakar teologi Ahluusannah, seperti Sa’ad at Taftaz^ani, al ‘Alâ’ al Qusyji dan lain-lain.

Ringkas kata, penggunaan kata maulâ untuk arti yang mengurus urusan, pemilik urusan yang lebih berhak mengurus adalah pengggunaan yang beredar dan dibenarkan serta masyhur dalam pengggunaan orang-orang Arab yang fashîh. Ia addalah kata benda untuk arti tersebut, bukan dalam konteks bahwa kata maulâ satu kedudukan dengan kata aulâ, sehingga keberatan sebagian orang yang mengatakan, bahwaa kata maulâ bukan termasuk shighat tafdhîl dan tidak digunakan untuk makna tersebut! Sebab –kata para penentang itu- jika benar kata maulâ artinya aula, maka mestinya kedua kata tersebut dapat digunakan saling bergantian, seperti:

هذا مولى من فلان/ dia ini lebih berhak terhadap dari fulan, sebagaimana dibenarkan ketika kita menggunakan kata aula untuk itu dalam contoh ini:هذا أوْلى من فلان/ dia ini lebih berhak terhadap fulan.

Akan tetapi keberatan para penentang itu tidak berdasar, sebab, tidak setiap kata yang dapat diartikan dengan makna tertentu, seperti kata maulâ diartikan dengan aula- berarti dalam pengggunaannya boleh saling mengganti.

Dalam bahasa Arab banyak sekali kita temukan dua kata dengan makna yang sama akan tetapi dalam penggunaannya tidak boleh digunakan saling bergantian, seperti:
A) حتّى dan إلى keduanya menunjukkan makna : الغاية/akhir tujuan, akan tetapi penggunaan kata kedua yaitu إلى tidak dapat digunakan untuk kata ganti, berbeda dengan kata pertama: حتّى, ia bisa masuk kepada kata ganti.
B) Huruf athaf: الواو danحتى keduanya sama-sama berfungsi sebagai huruf ‘athaf/penyambung antara dua kata/kalimat. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbadaan dalam penggunaannya, seperti dipaparkan panjang lebar oleh Ibnu Hisyam seorang pakar kaidah bahasa Arab dalam kitabnya Mughni al Labîb.
D) Demikian juga dengan: إلاّdan غير.
E) Dan juga dengan dua adat istifhâm: هل dan الهمزةseperti dipaparkan Jalaluddin as Suyuthi dalam kitab al Asybâh wa an Nadhâirnya.

Jadi keberatan sebagian mukallid dalam masalah ini tertolak dan tidak berdasar, ia hanya sekedar mengad-ngada!


Beberapa Bukti Pendukung Makna Hadis Ghadir Adalah Imamah!

Hadis Ghadir Dengan Redaksi:

 مَن كنت أوْلى به

Bukti lain yang mendukung penafsiran kata maulâ dengan arti: أوْلى / yang lebih berhak adalah adanya riwayat hadis Ghadir Khum dalam beberapa sumber terpercaya dengan redaksi: : مَن كنت أوْلى به. Dan hadis-hadis itu saling menafsirkan satu dengan lainnya.

Ath Thabarâni dalam al Mu’jam al Kabîrnya,5/185 meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Zaid ibn Arqam, (diantaranya ia berkata):

ثمّ أخذ بيد عليّ رضي الله عنه فقال : مَن كنت أوْلى به من نفسه فعليّ وليّه ، اللّهمّ والِ من والاه وعادِ من عاداه.

“Kemudian Nabi mengambil tangan Ali ra. dan bersabda: “Barang siapa yang aku lebih berhak atas dirinya maka Ali adalah Wali-nya. Ya Allah bimbinglah orang menjadikan Ali walinya dan musuhi orang yang memeusuhinya.”.

Hadis Ghadir Dengan Redaksi:

 مَن كنت وليّه فعليٌّ وليّه

Bukti lain lagi adalah adanya riwayat hadis Ghadir dengan redaksi:

 مَن كنت وليّه فعليٌّ وليّه 

, hal jelas sekali bahwa makna Wali adalah yaitu yang memiliki hak kewalian. Hadis-hadis dengan redaksi tersebut telah diriwayatkan para ulama dan muhaddis diantaranya adalah Imam Ahmad, an Nasa’i, Ibnu Mæjah, ath Thabari, al Hakim, adz Dzahabi, Ibnu Katsîr dkk. dengan berbagai sanad yang shahih dari Rasulullah saw.

(Baca: Musnad Ahmad, 5/350, 358 dan 361, Al Mustadrak,3/109, al Khashâish:93-94, Sunan Ibn Mâjah,1/43Kanzul Ummâl,13/104-105 dan Tarikh Ibn Katsîr,5/209.

Kesimpulan:
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata مولى dapat berarti sama dengan kata أولى به.

Para ulama dan pakar tafsir, ahli teoloqi Ahlusunnah, ahli bahasa dan para sastrawan Arab telah mengakuinya. Banyak bukti yang mereka kemukakan untuk mendukungnya. Maka dengan demikian keberatan sebagian orang dalam masalah ini adalah tertolak! Apalagi klaim adanya ijmâ’ tentangnya!

Bahkan hadis Ghadir dengan redaksi الأوْلى telah merela riwayatkan dengan sanad shahih dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Di sini tinggal satu masalah yang perlu dituntaskan bahwa kata الأوْلى butuh kepada shilah/kaitan. Apa shilah yang tepat uintuk keta tersebut? Atau dengan kata lebih kata الأوْلى yang beratikan utama, itu lebih utama dalam hal apa?

Apakah lebih utama untuk dicintai? Yaitu al mahabbah: الأوْلى بالمحبّة

Atau lebih utama untuk dibela? Yaitu an nushrah: الأوْلى بالنصرة.

Atau lebih utama untuk mengurus? Yaitu: الأوْلى بالتصرّف.

Di sini setelah para penentang terpaksa menerima bahwa arti maulâ adalah aula, mereka mengajukan keberatan bahwa: Mengapa tidak kalian artikan shilah kata tersebut adalah: الأوْلى بالمحبّة?

Kami menjawab:
Dalam menanggapi syubhat itu, kami mengatakan:
Pertama: Telah tetap dalam bahasa Arab bahwa kata maulâ datang dengan arti aulâ.

Ar Râzi dalam tafsirnya,23/74 telah menafsirkan kata maula dalam ayat:

واعتصموا بالله هو مولاكم.

Dengan arti:

… هو مولاكم : سـيّدكم والمتصرّف فيكم…

هو مولاكم artinya Dia (Allah) adalah Tuan kalian dan yang berhak berbuat terhadap kalian.

Dan beberapa ayat lain yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Kedua: Telah tetap juga bahwa kata maulâ datang denga arti: متولّي الأمر. Dan arti itu sama sekali tidak berbeda dengan arti kata: المتصرّف yang bertasharruf/ berbuat atas miliknya.

Ketiga: Kata maulâ datang juga dengan arti: المليك dan kata tersebut tidak lain maknanya adalah:

 المتصرّف في الأُمور 

yaitu yang berbuat/bertindak dalam urusan-urusan. Seperti juga diterima pemaknaan itu oleh Bukhari.

Dalam kitabut tafsîr, beliau berkata ketika menafsirkan ayat:

ولكلٍّ جعلنا موالي ممّا ترك الوالدان والأقربون والّذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبَهم إنّ الله كان على كلِّ شيءٍ شهيدا.

Marmar berkata:

موالي : أولياء ، ورثة. عاقد أيمانكم : هو مولى اليمين ، وهو الحليف. والمولى أيضاً : ابن العم ، والمولى : المنعم المعتق ، والمولى : المعتق ، والمولى : المليك ، والمولى : مولىً في الدين

, “kata موالي artinya adalah auliyâ’, pewaris, penetap perjanjian. Dia adalah maulâ Yamîm. Dia adalah sekutu. Al Maulâ juga berartikan anak paman, pemberi nikmat, pembebas dari perbudakan dan yang dibebaskan dari perbudakan. Maulâ juga beratikan Malîkun. Maulâ dalam urusan piutang. (baca Tafsir Ibnu Katsîr,2.309, Kasysyâf,1/333, Tahdzîb al Asmâ’ wa al Lughât,4/196, an Nihâyah; Ibnu al Atsîr, pada kata: ولي dan al Mirqât Fî Syarhi al Misykât,5/568).

Al ‘Aini berkata dalam Syarah al Bukhari:

المولى : المليك؛ لأنّه يلي أُمور الناس .

“Maulâ artinya Malîk sebab ia yang mengatur urusan manusia.”

Keempat: Kata maulâ dating dengan makna: السـيّدdan sepereti dimengerti bahwa seorang imam, waliyyul amri dan raîs adalah tuan/sayyid secara muthlak.

Kelima: Shilah kata aula haruslah kata التصرّف atau kata-kata yang semakna yang menunjukkan makna keharusan untuk dita’ati dan dituruti perintahnya… dan itu artinya ia memiliki wilâyah/otoritas umum/universal.

Khalifah Abu Bakar dan Umar telah memahami makna tersebut, seperti disebutkan Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Shawâiq-nya:26. Ia berkata:

سلّمنا إنّه (أوْلى) لكنْ لا نسلّم أنّ المراد أنّه أولى بالاِمامة ، بل بالاتّباع والقرب منه ، فهو كقوله تعالى : (إنّ أوْلى الناس بإبراهيم للّذين اتّبعوه) ، ولا قاطع بل ولا ظاهر على نفي هذا الاحتمال ، بل هو واقع إذ هو الذي فهمه أبو بكر وعمر ، وناهيك بهما في الحديث ، فإنّهما لمّا سمعاه قالا له : أمسيت يا ابن أبي طالب مولى كلّ مؤمن ومؤمنة. أخرجه الدارقطني..
وأخرج أيضاً أنّه قيل لعمر : إنّك تصنع بعلي شيئاً لا تصنعه بأحدٍ من أصحاب النبيّ صلّى الله عليه [وآله] ؟ فقال : إنّه مولاي.

“Kita terima bahwa kata maula artinya adalah aula, akan tetapi kami tidak menerima jika diartikan bahwa yang dimaksudkan adalah imamah. Akan tetapi yang dimaksud adalah lebih berhak untuk diikuti dan lebih dekat. Darinya firman Allah: “Sesungguhnya manusia paling berhak atas Ibrahim adalah mereka yang mengikutinya.”.

Dan tidak ada pemasti tidak juga tampak/dzâhir ditutupnya kemungkinan itu. Bahkan itulah yang riil sebab makna itulah yang difahami oleh Abu Bakar dan Umar. Dan mereka berdua adalah sangat berkopenten dalam hadis. Keduanya ketika mendengar sabda itu berkata kepada Ali: “Hai putra Abu Thalib, engkau telah menjadi maulâku dan maulâ setiap mukmin dan mukminah.” (HR ad Dâruquthni).

Ia juga meriwayatkan bahwa dikatakan kepada Umar, “Engkau berbuat terhadap Ali sesuatu yang tidak engkau perbuat kepada selainnya dari sahabat Nabi saw.! Maka ia menjawab: “Karena sesunguhnya dia adalah Maulâku.”

Keenam: Banyak ulama Ahlusunnah yang membolehkan menetapkan bahwa shilah kata aulâ adalah at tasharruf. Hanya saja mereka merasa pemaknaan itu berbnturan dengan kenyataan akan adanya dua pihak yang sama-sama berkuasa di waktu yang sama. Akan tetapi keberatan itu dapat dijawab bahwa tidak menjadi masalah, asalkan yang satu tidak memfungsikan otoritasnya atau ketika ia menggunakan fungsinya ia tidak membentur kebijakan dan otiritas yang difungsikan oleh pihak lain yang juga memiliki otiritas tersebut.

Dari keberatan terakhir ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sah-sah saja menetapkan kata tasharruf sebagaia shilah dari kata aula, hanya saja kerena ada keberatan tersebut maka ia jharus dipalingkan! Akan tetapi dengan jawaba yang saya sebutkan keberatan itu dapat diatasi. Wal hamdulillah.


Apakah Penyebutan Kata Cinta dan Benci Mempengaruhi Pemaknaan Hadis Ghadir Untk Arti Imamah?

Dalam anggapan sebagian orang, khususnya sebagian penulis Wahhabi bahwa penyebutan kalimat akhir dalam hadis Ghadir: اللّهم والِ من والاه وعادِ من عاداه… adalah kendala serius dalam memaknai hadis Ghadir dengan arti imamah/kepemimpinan tertinggi Ali as. atas umat Islam sepeninggal Nabi saw.

Dalam anggapan mereka, dengan menyebutkan kalimat terakhir tersebut, makna hadis Ghadir tersebut adalah demikian: “Barang siapa yang aku mencitainya/atau yang mencintaiku maka Ali juga mencintainya/dia harus mencintai Ali. Ya Allah cintailah yang mencintai Ali dan musuhi yang memusihinya!”

Penyebutan do’a terakhir inilah yang menghalangi kita memaknai maulâ/aulâ dalam sabda Nabi tersebut dengan yang lebih berhak memimpin!

Ibnu Jakfari berkata:
Pertama: Keberatan ini dengan dasar adanya do’a dalam hadis di atas yang dikemukakan sebagian penulis Wahhabi (yang notabane) pengikut dan muqallid buta Ibnu Taimiyah) adalah sangat aneh. Sebab Ibnu Taimiyah sendiri menolak adanya tambahan tersebut dalam hadis Ghadir, dan menganggapnya palsu! Lalu bagaiaman sekarang pengikutnya yang masih bersandar kepada penyimpangannya dalam menelaah hadis Ghadir menjadikan tambahan palsu itu sebagai dalil dan hujjah?!

Ibnu Taimiyah berkata menjawab Allamah al Hilla (tokoh Syi’ah penulis kitab Minhâj al Karâmah):

الوجه الخامس : إنّ هذا اللفظ ـ وهو قوله : « اللّهمّ والِ من والاه وعادِ من عاداه ، وانصر من نصره واخذل من خذله » ـ كذبٌ باتّفاق أهل المعرفة بالحديث… »

“Jawab kelima: Lafadz ini (yaitu:

 اللّهمّ والِ من والاه وعادِ من عاداه ، وانصر من نصره واخذل من خذله

) adalah kebohongan/kidzbun berdasarkan kesepakatan ulama hadis… “

Akan tetapi, seperti telah dibuktikan para ulama dan para peneliti bahwa tambahan tersebut telah diriwayatkan para ulama dan ahli hadis dengan sanad yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya.

Lebih lanjut baca:
1) Musnad Ahmad,1/118, 4/368,370 dan 372.
2) Al Mushannaf; Abdurrazzâq,2/67 dan 78.
3) Al Khashâish; an Nasa’I;100.
4) Sunan Ibnu Mâjah,1/43.
5) Tarikh Ibnu Katsir,7/347.
6) Kanz al Ummâl,13/168.
7) Musykil al Âtsâr, 2/308.
8) Al Mustadrak,3/116.
9) Dll

Dari sini dapat diketahui siapa yang sedang berbual dan berbohong dalam menisbatkan kepalsuan itu kapada ahli hadis?!

Kedua: Dalam sebagian redaksi do’a dalam hadis Ghadir tersebut terdapat redaksi: « والِ من والاه… » dan « أحب من أحبّه… » disebutkan secara bersama! Dan ini bukti bahwa makna kalimat: والِ من والاه bukan cintailah orang yang mencintainya (Ali), sebab akan sama arti kalimat tersebut denga kalimat: أحب من أحبّه/cintailah orang yang mencintainya! Dan jika tetap dipaksakan pemaknaan tersebut maka akan ada dua kalimat yang memiliki satu arti yang sama! Lalu apa fungsi pengathafan (penggandengan dua kalimat) dengan huruf athaf/penggandeng?! Bukankah funsi athaf adalah menunjukkan bahwa yang diathafkan itu berbeda dengan yang diathafi?!

Riwayat dengan redaksi yang saya makusd telah diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Târîkh-nya,7/348 dengan beberapa sanad bersambung kepada Zaid ibn Batsî’, ia berkata, “Aku mnendnegar Ali berpidaton di Rahbah….. Lalu bangunlah tiga belas orang sahabat memberikan kesaksian bahwa Nabi saw. benar-benar telah bersabda:

من كنت مولاه فعليّ مولاه ، اللّهمّ والِ من والاه وعادِ من عاداه ، وأحب من أحبّه وابغض من أبغضه ، وانصر من نصره واخذل من خذله.

Hadis tersebut juga diriwayatkan al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al Ummâl-nya,13/158 dari riwayat al Bazzâr, Ibnu Jarir, al Khal’i dalam al Khal’iyyat. Ia berkata, ‘Al Haitsami berkata:

رجال إسناده ثقاة.

“Para perawinya terpercaya.”

Ibnu Hajar berkata;

ولكنّهم شيعة

“Tetapi mereka Syi’ah.”

Ketiga: Sebagian ulama Ahlusunnah menolak penafsiran tersebut dengan alasan pemaknaan itu tidak sesuai denga teks. Al Hafidz Muhibbuddîn ath Thabari asy Syâfi’i berkata:

قد حكى الهروي عن أبي العبّـاس : إنّ معنى الحديث : من أحبّني ويتولاّني فليحبَّ عليّاً وليتولّه.
وفيه عندي بُعد؛ إذ كان قياسه على هذا التقدير أن يقول : من كان مولاي فهو مولى عليّ ، ويكون المولى ضـدّ العدو ، فلمّا كان الاِسناد في اللفظ على العكس بعُد هذا المعنى… »

“Al Harawi menukil dari Abu al Abbâs bahwa makna hadis itu: ‘Barang siapa yang mencintaiku hendaknya ia mencintai Ali.”.

Arti itu menurut saya jauh, sebab dengan pemaknaan seperti itu semestinya redaksinya harus demikian:

من كان مولاي فهو مولى عليّ 

/barangsiapa yang dia itu maulâku maka dia adalah maulânya Ali.’

(Baca: Ar Riyâdh an Nadhirah,1/205).


Keempat: Do’a itu beliau panjatkan setelah selesai menyabdakan hadis Ghadir yang mengangkat Ali sebagai maulâ atas kaum Mukimin. Anda kata maulâ itu butuh kepada penjelasan mestinya kalimat sebelum:

 من كنت مولاه فهذا عليّ مولاه 

yang menjalaskannya. Dan pada kalimat/sabda:

« ألست أوْلى بكم من أنفسكم ؟ ! »

atau

« ألست أوْلى بالمؤمنين من أنفسهم ؟ ! »

Khusunya redaksi hadis yang menggunakan huruf Fâ’ yang dalam istilah kaidah bahasa Arab disebut dengan Fâ’ tafrî’. Dan hal ini bukti pendukung yang menentukan makna sabda suci tersebut!

Di antara yang meriwayatkan pengantar tamhaban tersebut adalah: Imam Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, al Bazzâr, Abu Ya’la al Mûshili, ath Thabari, ad Dâruquthni, Abu Musa al Madîni, Abu al Abbâs ath Thabari dan Ibnu Katsîr.

Tambahan tersebut menunjuk kepada ayat al Qur’an yang menetapkan hak mewalian/kepemimpinan tertinggi untuk Nabi saw.:

النبيّ أوْلى بالمؤمنين من أنفسهم…

“Nabi itu lebih utama terhadap kaum Mukminin dari diri mereka… “

ketika menafsirkan ayat di atas, para mufassir Ahlusunnah.

Baca misalnya:
1. Tafsir atl Baghawi,5/191 (dicetak di pinggir Tafsir al Khâzin).
2. Tafsir al Kasysyâf,3/523.
3. Tafsir al Baidhâwi:552.
4. Tafsir an Nasafi,3/294.
5. tafsir an Nisaburi,21/77-78 (dicetak di pinggir tafsir ath Thabari).
6. Tafsir al Jalâlain:552.
7. Irsyâd as Sâri Fî Syarhi al Bukhrai,7/280.
8. Tafsir ad Durr al Mantsûr,5/182.

Kelima: Dalam sebagian redaksi hadis Ghadir disebutkan kata: بعدي sebelum kata: مولاه, hal mana tegas-tegas menunjukkan makna kepempinan. Sebab dengan dimasukkannya kata:بعدي/setelahku telah menutup kemungkinan pemaknaan lain, baik:مولى dengan arti kecintaan atau pembelaan. Mungkinkah Nabi meminta umat Islam untuk mencintai Ali setelah kematian belaua? Lalu sebelum wafat beliau apa yang harus dilakukan?! Atau Nabi saw. menegaskan bahwa Ali adalah pembela kalian setelah wafatku! Lalu sebelum wafat beliau?


Hadis dengan redaksi tersebut telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah dari al Barâ’ ibn Âzib.

Abdurrazzâq meriwayatkan dari al Barâ’ ibn Âzib, ia berkata:

نزلنا مع رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم عند غدير خم ، فبعث منادياً ينادي ، فلمّا اجتمعنا ، قال : ألست أوْلى بكم من أنفسكم ؟ ! قلنا : بلى يا رسول الله ! قال : ألست ؟ ألست ؟ قلنا : بلى يا رسول الله ! قال : من كنت مولاه فإنّ عليّاً بعدي مولاه ، اللّهمّ والِ من ولاه وعادِ من عاداه.
فقال عمر بن الخطّاب : هنيئاً لك يا ابن أبي طالب ، أصبحت اليوم وليّ كلّ مؤمن »

“Kami turun (singgah) bersama Rasulullah saw. di Ghadir Khum, lalu beliau menutus seorang untuk mengumumkan (agar kami berkumpul), setelah kami berkumpul beliau bersabda:

: ألست أوْلى بكم من أنفسكم ؟ !

“Bukankah aku lebih utama terhadap kalian dari diri kalian sendiri?!”
Kami menjawab: “Benar wahai Rasulullah.”
Beliau juga bersabda: “Bukankah aku…. ““Bukankah aku…. “ Dan kami berkata: “Benar wahai Rasulullah.”
(Setelahnya) beliau bersabda:

من كنت مولاه فإنّ عليّاً بعدي مولاه ، اللّهمّ والِ من ولاه وعادِ من عاداه.

“Barang siapa yang aku maulânya maka Ali maulânya setelahku. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali maulânya dan musuhi yang memusuhinya.”

Lalu Umar setelahnya berkata kepada Ali, “Selamat wahai putra Abu Thalib. Engkau sekarang menjadi maulâku dan maulâ setiap Mukmin.” (Al Bidâyah wa an Nihâyah,7/349).

Andai makna hadis Ghadir bukan menunjukkan arti kepemimpinan, lalu bagaimana kita akan memaknai ucapan Umar di atas?

Enam: Andai makna hadis Ghadir itu tidak menunjukkan arti kepemimpinan tertinggi setelah Nabi saw….. dan ia hanya menunjukkan perintah Nabi agar manusia mencintai Imam Ali as., maka mengapakan sebagian sahabat dan tabi’in meresa keberatan ketika mendengarnya? Apa yang aneh dengan perintah mencintai Ali? Apa yang aneh dengan perintah membela Ali? Yang mendorong munculnya keberatan dari sebagian mereka adalah karena sabda Nabi saw. tersebut menetapkan hal imamah/wilayah/kepemipinan tertingga setelah Nabi, hal mana itu artinya bahwa para pendahulu Ali sebenarnya tidak memiliki hak dalam memimpin umat Islam! Ali –lah yang sebenarnya Pemimpin tertingga, Pemilik otoritas mengurus umat setelah Nabi saw. dan Pemegang Hak Wilayah mutlak!

Perhatikan riwayat ini:
Imam Ahmad dalam Musnad-nya4/370 dan an Nasa’i dalam Khashâish-nya, hadis no.88 dengan sanad shahih meriwayatkan dari Abu Thufail:

جمع عليّ الناس في الرحبة ثمّ قال لهم : أُنشد الله كلّ امرئ مسلم سمع رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم يقول يوم غدير خمّ ما سمع لما قام . فقام ثلاثون من الناس .. (قال :) وقال أبو نعيم : فقام ناس كثير ، فشهدوا حين أخذه بيده ، فقال للناس : أتعلمون أنّي أوْلى بالمؤمنين من أنفسهم ؟ !
قالوا : نعم يا رسول الله .
قال : مَن كنت مولاه فهذا مولاه ، اللّهمّ والِ مَن والاه ، وعادِ مَن عاداه .
قال أبو الطفيل : فخرجت وكأنّ في نفسي شيئاً، فلقيت زيد بن أرقم ، فقلت له : إنّي سمعت عليّاً يقول : كذا وكذا . قال زيد : فما تنكر ؟ ! قد سمعت رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم يقول ذلك له.

“Ali mengumpulkan orang-orang di Rahbah, lalu berkata meminta, “Aku meninta dengan nama Allah agar setiap orang yang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di Ghadir Khum: “Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku berhak atas kaum Mukminin lebih dari diri mereka sendeiri (ketika itu beliau sambil berdiri, lalu mengangkat tangan Ali dan bersabda): “Barang siapa yang aku maula-nya maka Ali juga maula-nya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali wali-nya dan musuhim orang yang memusuhinya.” Untuk bangu dan memberikan kesaksian!

Abu Thufai berkata, “Lalu ketika aku keluar di dalam hatiku ada sesuatun tentang hal itu, kemudian aku menjumpai Zaid ibn Arqam dan kutanykan hal itu, aku berkata kepadanya, “Aku mendengar Ali berkata begini dan begitu.” Zaid berkata, “Apa yang engkau ingkari?!” Aku benar-benar telah mendengarnya dari Rasulullah saw.


Bukti Lain

Di samping bukti-bukti yang telah saya sampaikan, banyak bukti lain yang mempertegas bahwa sabda nabi saw. di Ghadir Khum adalah penunjukan Ali as. sebagai Pemimpin Tertinggi Umat Islam sepeninggal Nabi saw. di antara bukti-bukti itu adalah turunnya ayat al Balâgh/at Tablîgh sebelum peristiwa Ghadir Khum!

Bukti itulah yang akan kita teliti dalam artikel akan dating Insya Allah.

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah.

Di antara bukti yang mempertegas makna hadis Ghadir sebagai penunjukan Ali as. sebagai Imam adalah diturunkannya ayat at Tablîgh/ al Balâgh sebelum penyampaian pidato pengangkatan tersebut.

Sebelumnya telah saya sebutkan beberapa kutipan riwayat/hadis yang diriwayatkan para ulama terkait dengan ayat tersebut, di mana Allah SWT memerintah Rasul-Nya untuk menyampaikan sebuah pesan penting, kemudian Nabi saw. menyampaikan uzur akan beratnya tugas tersebut mengingat kebanyakan dari umat beliau adalah hadîtsul ‘ahdi bil jâhiyyah/baru saja meninggalkan kondisi kejahiliyahan. Akan tetapi kemudian Allah SWT. mewajibkan atas beliau untuk menyampaikannya tanpa menunda-nunda barang sebentar pun.

Perintah Allah SWT tersebut ditegaskan dalam ayat 67 surah al Maidah [5] yang dikenal dengan nama ayat at Tablîgh/ al Balâgh.

Allah berfirman:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته والله يعصمك من الناس إنّ الله لا يهدي القوم الكافرين.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah [5]; 67)

Para Ulama Ahlusunnah Yang Meriwayatkan Turunnya Ayat Tersebut Dalam Peristiwa Ghadir Khum

Turunnya ayat tersebut dalam kaitan peristiwa pengangkatan Imam Ali as. sebagai Imam di Ghadir Khum telah diriwayatkan oleh para ulama dan pembesar ahli tafsir Ahlusunnah, di antara mereka adalah:
1) Imam Ahli Tafsir Salaf, Ibnu Jarir ath Thabari (w.310H)
2) Ibnu Abi Hatim Abdurrahman ibn Muhammad ibn Idris ar Râzi (w.327H)
3) Abu Abdilllah al Husin ibn Ismail al Mahâmili (w.330H)
4) Abu Bakar Ahmad ibn Abdurrahman al Fârisi asy Syîrâzi (w.407 atau 411H)
5) Abu Bakar Ahmad ibn Musa ibn Mardawaih al Isfahâni (w. 410H)
6) Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdillah al Isfahâni (w.430H)
7) Abul Hasan Ali ibn Ahmad al Wâhidi (w. 468 H)
8) Abu Sa’id Maus’ud ibn Nâshir as Sijistâni (w. 477H)
9) Abul Qâsim Abudullah ibn Abdillah al Hakim al Hiskâni.
10) Abu Kabar Muhammad ibn Mukmin asy Syîrâzi (penulis buku Mâ Nazala Fî Ali wa Ahlil Bait.
11) Abul Fath Muhammad ibn Ali ibn Ibrahim an Nathanzi (w.550 H)
12) Ibnu ‘Asâkir; Abul Qâsim Ali ibn Husain (w 571 H)
13) Abu Sâlim Muhammad ibn Thalhah an Nashîbi asy Syâfi’i (w652 H)
14) Imam Fakhruddin ar Râzi (w.653 H)
15) Nidzamuddin Hasan ibn Muhammad an Nisâburi, penulis tafsir.
16) Badruddin Mahmud ibn Ahmad al ‘Aini (w. 855 H)
17) Jalaluddin as Suyuthi (w. 911 H)
18) Syeikh Muhammd ibn Ali Asy Syawkani (w.1250 H)
19) Sayyid Syihabuddin Al Alûsi (w.1270 H)
20) Syeikh Sulaiman al Qandûzi al Hanafi (1293 H)

Serta banyak lainnya sengaja tidak saya sebutkan di sini. Dan sebelumnya telah saya sebutkan sebagian riwayat mereka.

Banyak Dari Riwiyat Tentangnya Shahih

Selain itu tidak sedikit di antara riwayat tentangnya adalah shahih berdasarkan kriteria yang ditetapkan para Ahli Hadis Ahlusunnah.

Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis shahih tersebut:
A) Riwayat Abu Nu’ainal Isfahâni[1]:
Di antara riwayat shahih itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nu’iam sebagai berikut di bawah ini:

Abu Nu’aim berkata:

حدّثنا أبو بكر ابن خلاّد، قال: حدّثنا محمّـد بن عثمان بن أبي شيبة، قال: حدّثنا إبراهيم بن محمّـد بن ميمون، قال: حدّثنا عليّ بن عابس، عن أبي الجَحّاف والاَعمش، عن عطية، عن أبي سعيد الخدري، قال: نزلت هذه الآية على رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم في عليّ بن أبي طالب عليه السلام: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك).

“….. dari Abu Siad al Khudri, ia berkata, “Ayat ini:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك

turun kepada Rasulullah saw. tentang Ali ibn Abi Thalib as.”


o Sekilas Tentang Para Pariwayat

Para periwayat dalam sanad tersebut adalah:
1) Abu Bakar ibn Khallâd.
Nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad ibn Yusuf al Baghdâdi (w.359 H).

Dalam Târîkh-nya, Al Khathîb menyebutkan data tentangnya, demikian juga dengan adz Dzahabi dalam Siyar A’lam-nya.

Di bawah ini saya sebutkan komentar para ulama tentangnya:
Al Khathîb berkata:

كان لا يعرف شيئاً من العلم، غير أنّ سماعه صحيح.

“Ia tidak tau menau tentang ilmu, hanya saja pendengarnya/ periwayatannya shahih.”.

Abu Nu’aim berkata”:

كان ثقة.

“Ia tsiqah/terpercaya.”

Demikian juga dia telah ditsiqahkan oleh Abul Fath dan Ibnu al Fawâris. [2]

Adz Dzahabi mensifatinya dengan:

الشيخ الصدوق، المحدّث، مسند العراق.

Syeikh yang jujur, Muhaddis, Musnid/ahli hadis penduduk negeri Irak.”[3]

2) Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah (w.297 H)
Adz Dzahabi menyebutkan biodatanya dan mensifatinya dengan:

الاِمام الحافظ المسند

“Imam, Hafidz Musnid”

kemudian ia menambahkan:

وجمع وصنّف، وله تاريخ كبير، ولم يرزق حظّاً، بل نالوا منه، وكان من أوعية العلم.

“Beliua menghimpun banyak hadis dan menulis buku. Beliau memiliki kitab tentang sejarah yang cukup besar, tapi sayang beliau kurang beruntung, bahkan banyak kalangan mencelanya. Beliau adalah bejana ilmu.”.

Shaleh Jazarah berkata:

ثقة.

“Beliau adalah tsiqah/terpecaya.”.

Ibnu Adi berkata:

لم أرَ له حديثاً منكَراً فأذكره.

“Aku belum pernah melihat ia memiliki satu hadis munkarpun sehingga (perlu) aku sebutkan.”

Setelah itu, al Khathîb menyebutkan bahwa ada beberapa orang yang hidup sezaman dengannya yang mencacatnya, yaitu Abdullah putra Imam Ahmad (w. 290 H), Ibnu Kharrâsy (w.283 H) dan Muthayyin (297 H).

Dan dari data yang ada ternyata kelihatannya bahwa pencacatan itu dipicu oleh adanya perselisihan di antara mereka dengannya, sehingga mendorong mereka mencacatnya dan berkomentar negatif tentangnya. Khususnya antara dia dengan Ibnu Kharrâsy, sehingga antara kedua saling mencacat dan mencela.[4]

Sementara itu, seperti ditegaskan para ulama bahwa pencacatan yang terjadi di antara para ulama hadis yang hidup sezaman, aqrân/muta’âshirain tidak perlu dianggap dan dijadikan pedoman dalam pencacatan seorang periwayat.

Karenanya adz Dzahabi seperti dikutip Ibnu Hajar berkomentar, “Ucapan aqrân, para teman sezaman tentang sesama mereka tidak perlu dihiraukan, khususnya jika tanpak darinya bahwa ia muncul karena permusuhan atau perbedaan mazhab atau rasa hasud…. Andai aku mau pasti aku akan sebutkan berlembar-lembar kasus ini.“[5]

Setelah menyebutkan penukilan al Hakim tentang perseteruan dan saling lempar kecaman antara ‘Amr ibn Ali dan Ali ibn al Madîni, adz Dzahabi berkomentar, “Sesungguhnya omongan aqrân tidak dapat dianggap satu sama lainnya. Jika ia tidak dijelaskan maka tidak akan menggugurkan keadilan (yang dicacat).”[6]

Adz Dzahabi juga berkata, “Dan kasus ini (pencacatan antara teman sezaman dengan dasar hawa nafsu) adalah sangat banyak, sepantasnya untuk dilipat (dirahasiakaan) dan tidak diriwayatkan, dibuang dan tidak dijadikan dasar pencacatan, tha’nan. Dan hendaknya setiap orang diperlakukan dengan adil.”[7]

Serta banyak lagi komentar serupa dari para ulama Ahli Hadis.

3) Ibrahim ibn Muhammad ibn Maimûn.
Ibnu Hibbân telah memasukkannya dalam daftar nama-nama para periwayat tsiqât/terpercaya sembari berkata, “Ibrahim ibn Muhammad ibn Maimûn al Kindi al Kufi, ia telah meriwayatkan hadis dari Sa’id ibn Hakîm al Absi dan Daud ibn Zarqâ’. Dan darinya Ahmad ibn Yahya ash Shufi meriwayatkan hadis. “[8]

Dan ia tidak pernah disebut-sebut dalam daftar periwayat dha’if.

Hanya saja yang menjadi alasan ia dicacat oleh sebagian adalah konsistensinya dalam meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. dan sikap sektarian dan ketidak-obyektifan seperti itu dari sebagian ulama hadis, khususnya yang terjangkit virus penyakit nashb/kebencian kepada Ahlulbait as., bukanlah hal samar bagi pemerhati liku-liku ilmu hadis! Banyak contoh akan hal itu. Seperti dikatakan adz Dzahabi tentang Ahmad ibn al Azhar, ia berkata tentangnya:

وهو ثقة بلا تردّد، غاية ما نقموا عليه ذاك الحديث في فضل عليٍّ رضي الله عنه.

“Ia tsiqah tanpa diragukan lagi. Hanya saja mereka (para Ahli Hadis) murka atasnya dikarenakan ia meriwayatkan sebuah hadis tentang keutamaan Ali ra.”[9]

4) Ali ibn Âbis
Ia adalah periwayat andalan Imam at Turmudzi dalam Sunannya. Hanya saja, para ulama hadis mencacatnya tanpa alasan semata hanya karena ia meriwayatkan hadis di atas dan hadis-hadis keutamaan Ali as. lainnya! Hal itu dapat diketahui dari komentar Ibnu Adi ketika ia berkata:

له أحاديث حسان، ويروي عن أبان بن تغلب وعن غيره أحاديث غرائب، وهو مع ضعفه يكتب حديثه.

”Ia memiliki banyak hadis yang hasan/baik dan ia meriwayatkan dari Abân ibn Taghlib dan selainnya banyak hadis gharib. Dan ia kendati lemah, hadisnya boleh ditulis.”[10]

Jika kita ketahui bahwa Abân ibn Talghlib adalah salah seorang tokoh besar Syi’ah Imamiyah[11], maka menjadi jelaslah bagi kita bahwa hadis-hadis yang dicacat Ibnu Adi dengan kata-kata gharâib adalah tentang keutamaan Ahlulbait as, dan karenanya ia pun dicacat, walaupun pada hakikatnya ia seorang yang jujur, oleh karena itu hadisnya pun boleh ditulis, maksudnya hadis-hadis selain keutamaan Ali dan Ahlulbait as. Sebab jika ia seorang pembohong maka tidaklah benar bagi Ibnu Adi mengatakan bahwa hadisnya boleh ditulis!

5) Abu al Jahâf.
Nama lengkapnya adalah Daud ibn Abi ‘Auf. Ia periwayat yang dipakai oleh Adu Daud, an Nasa’i dan Ibnu Mâjah. Imam Ahmad dan Yahya ibn Ma’in mentsiqahkannya.

Abu Hâtim berkata tentangnya, “Ia bagus hadisnya.”
An Nasa’i berkata, “Ia tidak mengapa-ngapa, lâ ba’sa bihi.”

Namun anehnya, kendati tidak ada cacat padanya, Ibnu Adi tetap saja tidak mau berhujjah dengannya!

Mengapa demikian?

Perhatikan alasan yang disampaikan Ibnu Adi tentangnya sebagaimana di bawah ini:

ولاَبِي الْجَحّاف أحاديث غير ما ذكرته، وهو من غالية التشـيّع، وعامّة حديثه في أهل البيت، ولم أرَ لمن تكلّم في الرجال فيه كلاماً، وهو عندي ليس بالقوي، ولا ممّن يحتجّ به في الحديث.

“Abu Jahâf memiliki beberapa hadis selain yang saya telah sebutkan. Ia termasuk Syi’ah ekstrim. Rata-rata hadis yang ia riwayatkan tentang keutamaan Ahlulbait. Dan saya tidak melihat ada seorang alim pun yang membicarakan/mencacatnya. Dan dia menurutku tidak kuat dan termasuk yang tidak boleh dijadikan hujjah dalam hadisnya.” [12]

6) Al A’masy.
Ia termasuk periwayat yang dipercaya seluruh penulis eman kitab hadis standar Ahlusunnah yang, ash Shihâh as Sittah.[13] Jadi tidak perlu diragukan kredibilitasnya dalam dunia hadis.

Kesimpulan!
Dari paparan ringkas di atas dapat disimpulkan bahwa hadis Abu Nu’aim di atas adalah dapat diandalkan, ia shahih, dan telah diriwayatkan melalui mata rantai periwayat yang terpercaya di kalangan ulama Ahlusunnah sendiri.

Adapun tentang Athiyyah akan dibicarakan nanti!

Referensi:
[1] Khashâish al Wahyi al Mubîn, Ibnu Bithrîq (W.600 H): 53 dari Mâ Nazala Min al Qur’an Fî Ali; Al Hafidz Abu Nu’aim al Isfahâni.
[2] Târîkh Baghdâd,5/220-221.
[3] Siyar A’lam an Nubalâ’,16/69.
[4] Tarikh Baghdâd,3/43.
[5] Lisân al Mîzân,1/201-202 ketika menyebut diodata Abu Nuiam; Ahmad ibn Abdullah.
[6] Tahdzîb at Tahdzîb,8/71 ketika menyebut diodata ‘Amr ibn Ali ibn Bahr ibn Kanîz al Bâhili.
[7] Ar Ruwât ats Tsiqât:24. Dan kenyataan ini sebenarnya sangat membahayakan lagi dapat menggugurkan kepercayaan terhadap obyektifitas para ulama itu. Perhatikan!
[8] Ats Tsiqât,8/74. kenyataan pahit ini harus selalu menjadi bahan pertimbangan bagi yang menemukan pencacatan atas seorang periwayat, khususnya yang meriwayatkan hadis keutamaan Ahlulbait as.!
[9] Siyar A’lâm an Nubalâ’,12/364.
[10] Al Kil Fi adh Dhu’afâ’,5/190 nomer data1347.
[11] Ibnu Hajar berkomentar tentangnya, “Abân tsiqah, ia dibicarakan sebab kesyi’ahannya.” Adz Dzahabi berkata, “Abân ibn Taghlin Al Kufi, seorang Syi’ah tulen tetapi ia sangat jujur… Ibnu Adi mengatakan, “Ia seorang Syi’ah ekstrim”.
[12] Al Kâmil Fi adh Dhu’afâ,3/82-83 nomer data 625.
[13] Taqrîb at Tahdzîb,1/331.
_______________________________________

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (2)

A) Riwayat Ibnu ‘Asâkir
Ibnu Asâkir berkata:

أخبرنا أبو بكر وجيه بن طاهر، أنبأنا أبو حامد الاَزهري، أنبأنا أبو محمّـد المخلّدي الحلواني، أنبأنا الحسن بن حمّاد سجّادة، أنبأنا عليّ ابن عابس، عن الاَعمش وأبي الجَحّاف، عن عطية، عن أبي سعيد الخدري، قال: نزلت هذه الآية: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك) على رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم يوم غدير خمّ في عليّ ابن أبي طالب.

“Abu Bakar Wajîh ibn Thâhir mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abu Hamid al Azhari mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abu Muhammad al Mukhallad al Hulwâni mengabarkan kepada kami, ia berkata, Hasan ibn Hammâd Sajjâdah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ali ibn Âbis mengabarkan kepada kami, dari A’masy dan Abu Jahhâf dari Athiyyah dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata, “Ayat ini:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك

turun kepada Rasulullah saw. pada hari Ghadir Khum tentang Ali ibn Abi Thalib.” [1]

Catatan Seputar Sanad Hadis
1) Wajîh ibn Thâhir (w.541 H).
Perawi pertama dalam mata rantai sanad di atas adalah Wajîh ibn Thâhir (w.541 H). Tentangnya Ibnu al Jawzi berkata:

كان شيخاً، صالحاً، صدوقاً، حسن السيرة، منوّر الوجه والشيبة، سريع الدمعة، كثير الذِكر. ولي منه إجازة بمسموعاته ومجموعاته.

“Ia adalah seorang Syeikh, baik/shaleh, jujur, bagus prilakunya, bercahaya wajah dan ubannya, cepat mencucurkan air mata dan banyak berdzikir. Aku punya ijazah tentang riwayat-riwayat yang beliau sampaikan dan kitab-kitab rangkumannya.”[2]

As Sam’âni berkata:

كتبت عنه الكثير، وكان يملي في الجامع الجديد بنيسابور كلّ جمعة مكان أخيه، وكان خير الرجال، متواضعاً متودّداً، ألوفاً، دائم الذِكر، كثير التلاوة، وصولاً للرحم، تفرّد في عصره بأشياء…..

”Aku banyak menulis riwayat darinya, beliau mendektekan hadis di masjid Jâmi’ Baru di kota Naisâbûr pada setiap hari Jum’at sebagai ganti posisi saudaranya. Beliau sebaik-baik tokoh, rendah hati, dan supel dalam bergaul, selalu berdzikir, banyak membaca Al Qur’an, sangat menyambung tali kekerabatan. Di masanya, beliau mengungguli teman-temannya dalam banyak hal… “[3]

Adz Dzahabi berkata:

الشيخ العالم، العدل، مسند خراسان.

“Beliau seorang Syeikh, Alim, Adil dan Musnid (ahli hadis) kota Khurâsân.”[4]

2) Abu Hamid al Azhari
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn al Hasan an Naisâbûri (w. 463 H).
Tentangnya Adz Dzahabi berkomentar:

الاَزهري، العدل، المسند، الصدوق، أبو حامد أحمد ابن الحسن بن محمّـد بن الحسن بن أزهر، الاَزهري، النيسابوري، الشروطي، من أولاد المحدّثين. سمع من أبي محمّـد المخلّدي… حدّث عنه: زاهر ووجيه ابنا طاهر… توفّي في رجب سنة 463.

Al Azhari adalah seorang yang adil, Musnid, Shaudûq/jujur,; Abu Hâmid Ahmad ibn al Hasan ibn Muhammad ibn al hasan, ibn Azhar al Azhari an Naisâbûri asy Syuruthi. Dari keturuna Ahli Hadis. Ia telah mendengar hadis dari Abu Muhammad al Mukhalladi…. Dan telah meriwayatkan darinya Zahir da Wajîh keduanya putra Thâhir… ia wafat pada bulan Rajab tahun 463 H.”[5]

3) Abu Muhammad al Mukhalladi (w.389 H)
Adapun Abu Muhammad al Mukhalladi, nama lengkapnya al Hasan ibn Ahmad an Naisâbûri (w. 389 H). tentangnya al Hâkim berkomentar:

هو صحيح السماع والكتب، متقن في الرواية، صاحب الاِملاء في دار السُـنّة، محدّث عصره، توفّي في رجب سنة 389.

“Ia shahih pendengaran/periwayatan hadisnya dan penulisannya, sangat rapi dan kokoh dalam periwayatan. Banyak mendektekan hadis di kota Sunnah/Hadis. Ia Muhaddis/tokoh Ahli Hadis di masanya. Wafat pada bulan Rajab tahun 389 H. [6]

Adz Dzahabi berkomentar:

المخلّدي، الشيخ الصدوق، المسند أبو محمّـد… العدل، شيخ العدالة، وبقية أهل البيوتات… .

Al Mukhalladi adalah Syeikh yang jujur, Musnid; Abu Muhammad… beliau adil, Syeikh/tokohnya keadilan dan pribadi agung yang tersisa dari keluarga-keluarga terhormat.”[7]

4) Abu Bakar Muhammad ibn Hamdûn an Naisâbûri (w.320 H)
para ulama berkomentar positif tentangnya, berikut ini komentar mereka:

Al Hâkim berkata:

كان من الثقات الاَثبات الجوّالين في الاَقطار، عاش 87 سـنة.

“Ia tergolong orang-orang yang tsiqah, kokoh dan pelancong dalam menuntut ilmu. Ia berusia 87 tahun.”

Al Khalili berkata:

حافظ كبير.

Adz Dzahabi berkata:

الحافظ الثبت المجوّد.

“Ia seorang hafidz yang kokoh lagi bagus.”[8]


5) Muhammad ibn Ibrahim al Hulwâni (w.672 H)[9]

Tentangnya al Khathib berkomentar:


محمّـد بن إبراهيم بن عبـد الحميد، أبو بكر الحلواني، قاضي بلخ، سكن بغداد، وحدّث بها…
روى عنه: إسماعيل ابن محمّـد الصفّار، ومحمّـد بن عمرو الرزّاز، وأبو عمرو ابن السمّاك، وحمزة بن محمّـد الدهقان. وكان ثقة.

“Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdil Hamîd; Abu Bakar al Hulwani, Qadhi kota Balakh. Ia berdomisili di kota Baghdad dan menyebarkan hadis di sana… dari Ismail ibn Muhammad ash Shaffâr, Muhammad ibn ‘Amr al Zarrâr, Abu ‘Amr ibn Sammâk, Hamzah ibn Muhammad ad Dahqân meriwayatkan. Ia seorang yang tsiqah.”[10]


Ibnu al Jawzi berkomentar:

وكان ثقة.

“Ia seorang yang tsiqah.”[11]

6) Al Hasan ibn Hammâd Sajjâdah (w.241H)
Ia adalah periwayat andalan Abu Daud, an Nasa’i dan Ibnu Mâjah. Tentangnya para ulama berkomentar positif:

Imam Ahmad berkomentar:

صاحب سُـنّة، ما بلغني عنه إلاّ خير.

“Ia pemegang teguh Sunnah. Tidak sampai kepadaku tentangnya melainkan kebaikan.”.

Adz Dzahabi berkata:

كان من جِلّة العلماء وثقاتهم في زمانه.

“Ia tergolong paling mulianya ulama dan orang terpercaya di masanya.”[12]

Ibnu Hajar berkomentar:

صدوق.

“Ia seorang yang jujur.”[13]

Adapun Ali ibn ‘Âbis, Abu Jahhâf dan Al A’masy telah lewat kami sebutkan komentar ulama tentang kejujuran mereka. Sedangkan tentang Athiyyah akan kami bicarakan nanti.

Referensi:
[1] Biodata Imam Ali as. pada kitab Tarikh Damasqus,2/86.
[2] Al Muntadzim,18/54.
[3] Siyar A’lam an Nubalâ’,10/110.
[4] Ibid,109.
[5] Ibid18/254.
[6] Ibid.1/540.
[7] Ibid,16/539.
[8] Ibid. 15/60.
[9] Al Muntadzim,12/279.
[10] Tarikh Baghdad,1/398.
[11] Al Muntadzim,12/279.
[12] Siyar A’lam an Nubalâ’.11/393.
[13] Taqrîb at Tahdzîb,1/165.
___________________________________________


Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (3)

A) Hadis Riwayat al Wâhidi:

أخبرنا أبو سعيد محمّـد بن عليّ الصفّار، قال: أخبرنا الحسن بن أحمد المخلّدي، قال: أخبرنا محمّـد بن حمدون، قال: حدّثنا محمّـد إبراهيم النحلوتي، قال: حدّثنا الحسن بن حمّاد سجّادة، قال: حدّثنا عليّ بن عابس، عن الاَعمش وأبي الحفّاب، عن عطية، عن أبي سعيد الخدري، قال: نزلت هذه الآية: (يا أيّها الرسـول بلّـغ ما أُنـزل إليـك من ربّـك) يوم غـدير خـمّ في عليّ بن أبي طالب رضي الله عنه.

…. Dari Abu Sa’id al Khudri ia berkata, “ … “ (riwayat yang sama dengan riwayat sebelumnya).[1]

Dari sini dapat disaksikan bahwa riwayat al Wâhidi dalam Asbâb an Nuzûlnya adalah shahih. Abu Sa’id Muhammad ash Shaffâr perawi dari al Hasan ibn Ahmad al Mukhallad hingga akhir sanad telah disebutkan biodatanya oleh Hafidz Abul Hasan Abdul Ghâfir al Fârisi (w.529 H) sebagai berikut ini:

محمّـد بن عليّ بن محمّـد بن أحمد بن حبيب الصفّار، أبو سعيد، المعروف بالخشّاب، ابن أُخت أبي سهل الخشّاب اللحياني، شيخ مشهور بالحديث، من خواصّ خدم أبي عبـد الرحمن السلمي، وكان صاحب كتب، أوصى له الشيخ بعد وفاته وصار بعده بندار كتب الحديث بنيسابور، وأكثر أقرانه سماعاً وأُصولاً، وقد رزق الاِسناد العالي، وكتبة الاَُصول، وجمع الاَبواب، وإفادة الصبيان، والرواية إلى آخر عمره، وبيته بيت الصلاح والحديث. ولد سنة 381، وتوفّي في ذي القعدة سنة 456… .

“Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Habib ash Shaffâr; Abu Sa’id yang dikenal dengan panggilan al Khasysyâb, anak saudari Abu Sahl al Khasysyâb. Seorang Syeikh yang dikenal dengan ilmu hadisnya. Ia pembantu khusus Abu Abdurrahman as Sulami. Ia pemilik beberapa buku, ia berwasiat kepadanya (Al Khasysyâb) untuk mengurus kitab-kitabnya, maka ia menjadi pemilik banyak kitab di kota Naisâbûr. Ia paling banyak meriwayatkan dan memiliki kitab-kitab ushûl dibanding rekan-rekannya. Ia memiliki sanad yang tinggi (sedikit perantaraannya hingga sampai kepada sumber hadis), menulis ushûl dan merangkum bab-bab serta memberi manfa’at ilmu kepada para pelajar muda. Ia terus meriwayat hingga akhir hayatnya. Keluarganya adalah keluarga shaleh dan ilmu hadis. Ia lahir tahun 381 H dan wafat bulan Dul Qa’dah tahun 456 H… .”[2]

Adz Dzahabi dan Ibnu ‘Ammâd juga menyebutnya dalam kitab Wafayât dan Syadzarât adz Dzahab.

Tentang Athiyyah

Secara ringkas di sini saya ingin menyebutkan bahwa Athiyyah adalah seorang tokoh genarasi Tabi’în. Al Hâkim berkata tentang genarasi Tabi’în:

فخير الناس قرناً بعـد الصحـابة من شـافه أصحـاب رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلّم، وحفظ عنهم الدين والسنن، وهم قد شهدوا الوحي والتنزيل.

“Maka sebaik-baik generasi setelah sahabat (Nabi saw.) adalah mereka yang bertemu langsung dengan para sahabat Rasulullah saw., memelihara dari mereka agama dan sunnah, sementara mereka (sahabat) itu menyaksikan wahyu dan diturunkannya (Al Qur’an).”[3].

Selain itu, Athiyyah termasuk periwayat yang dipakai oleh Abu Daud, dimana Abu Daud telah mengatakan sendiri:

ما ذكرت فيه حديثاً أجمع الناس على تركه

“Aku tidak menyebutkan hadis yang disepakati untuk ditinggalkan orang-orang (ulama).”.

Al Kahthtâbi berkata tentang kitab Sunan Abu Daud:

لم يصنّف في علم الدين مثله، وهو أحسن وضعاً وأكثر فقهاً من الصحيحين.

“Tidak dikarang sebuah kitab tentang ilmu agama sepertinya, ia lebih bagus penyusunannya dan lebih banyak muatan fikih dibanding dengan kitab Bukhari dan Muslim.”[4]

Athiyyah juga periwayat yang dipakai oleh at Turmudzi yang telah berkata:

صنّفت هذا الكتاب فعرضته على علماء الحجاز فرضوا به، وعرضته على علماء العراق فرضوا به، وعرضته على علماء خراسان فرضوا به. ومن كان في بيته هذا الكتاب فكأنّما في بيته نبيّ يتكلّم.

“Aku telah mengarang kitab ini, lalu aku sodorkan kepada ulama Hijâz maka mereka relah (puas). Aku sodorkan kepada ulama Iraq maka mereka rela (puas). Aku sodorkan kepada ulama Khurâsân maka mereka rela (puas). Jadi barang siapa yang di rumahnya terdapat kitab ini maka seakan-akan ada Nabi saw. berbicara.” Demikian masyhur dinukil para ulama dari at Turmudzi.”.

Selain itu, Athiyyah juga perawi yang dipakai oleh Ibnu Majah dalam kitab Shahihnya. Tentang kitab Ibnu Majah tersebut, Abu Zar’ah berkomentar setelah menelitinya:

لعلّه لا يكون فيه تمام ثلاثين حديثاً ممّا في إسناده ضعف.

“Mungkin dalam rangkaian tiga puluh hadis yang ia sebutkan tidak satu pun hadis yang dha’if dalam sanadnya.”[5]

Disamping itu semua, Ibnu Sa’d telah menegaskan ketsiqahannya. Yahya ibn Main menilainya sebagai shaleh/baik. Abu bakar al Bazzâr kerkomentar tentangnya, “Ia tergolong berfaham Syi’ah. Para ulama agung meriwayatkan hadis darinya.”

Jadi dapat dimengerti bahwa mereka yang mencacatnya hanya karena dorongan kebencian dan persetuan mazhab, bukan karena cacat yang ada pada kejujurannya. Lagi pula para pencacatnya adalah orang-orang yang cacat aqidah yaitu kaum pembenci Ahlulbait (Nawâshib). Para ulama Ahlusunnah telah menggolongkan kenashibian (kebencian kepada Ahlulbait Nabi) adalah faham yang menyimpang dan bid’ah dhalalah. Penyandangnya adalah mubtadi’ (ahli bid’ah). Sementara itu, para ulama dan pakar hadis Ahlusunnah juga mengatakan bahwa pencacatan yang dilakukan oleh kaum pembid’ah tidak dapat diterima, seperti ditegaskan Ibnu Hajar.[6]


Hanya Kaum Nawashib Yang Mencacat Athiyyah

Dan apabila kita perhatikan mereka yang mencacat Athiyyah, Anda akan dapatkan nama-nama gembong kaum Nawâshib sebagai yang paling getol dan bersemangat dalam mencacatnya, seperti al Jauzajâni dkk.

Tentang kenashibian al Jauzajani Ibnu Hajar berkomentar:

كان ناصبيّاً منحرفاً عن عليّ

“Ia (al Jauzajâni) adalah seorang Nâshibi yang menyimpang dari Ali.”[7] Dalam kesempatan lain ia menyebutkan bahwa Al Jawzajâni adalah seorang yang ghâlin fi an Nushbi, ekstrim dalam penyimpangannya dari Ali…”[8]

Ibnu Adi berkata, “Ia sangat condong kepada mazhab penduduk Syam dalam hal membenci Ali.”

Karenanya, tidaklah heran jika orang sepertinya selalu menjulurkan lidah berbisanya untuk mencacat para pecinta Ali dan penyebar hadis keutamaannya. Demikian disinggung oleh Ibnu Hajar, ia berkata, ““… Maka sesungguhnya seorang yang jeli jika ia memperhatikan pencacatan Abu Ishaq Al Jawzajâni tehadap penduduk kota Kufah pasti ia menyaksikan hal dahsyat, yang demikian itu disebabkan ia sangat menyimpang dalam kenasibiannya, sementara penduduk kota Kufah tersohor dengan kesyi’ahnnya. Engkau tidak menyaksikannya segan-segan mencacat siapapun dari penduduk Kufah yang ia sebut dengan lisan sadis dan rekasi lepas/tanpa tanggung jawab. Sampai-sampai ia melemahkan orang seperti al A’masy, Abu Nu’aim, Ubaid ibn Musa dan tokoh-tokoh hadis dan pilar-pilar periwayatan…“[9]

Dan alasan yang menjadikan mereka mencacat Athiyyah adalah karena ia mengutamakan Imam Ali as. atas sahabat-sahabat lain.

o Catatan Penting
Pertama, disini perlu kami informasikan bahwa hadis yang menerangkan turunnya ayat al Balâgh pada hari Ghadir Khum terkait dengan peristiwa pengangkatan Imam Ali as. telah diriwayatkan para ulama dan muhaddis dari banyak sahabat Nabi saw., di antaranya:
1) Abu Sa’id al Khudri.
2) Abdullah ibn Abbas.
3) Zaid ibn Arqam.
4) Jabir ibn Abdillah.
5) Al Barâ’ ibn Âzib.
6) Abdullah ibn Mas’ud.
7) Abu Hurairah.
8) Abdullah ibn Abi Aufâ.

Kedua, Kenyataan tersebut begitu masyhur di kalangan para sahabat Nabi saw., sampai-sampai Ibnu Mas’ud berkata seperti diriwayatkan as Suyuthi dalam tafsir ad Durr al Mantsûr-nya:

وأخرج ابن مردويه عن ابن مسعود، قال: كنّا نقرأ على عهد رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك ـ أنّ عليّـاً مولى المؤمنين ـ وإنْ لم تفعلْ فما بلّغت رسالته والله يعصمك من الناس).

“Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami (para sahabat) dahulu di masa hidup Rasulullah saw. membaca ayat itu demikian:

(يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك ـ أنّ عليّـاً مولى المؤمنين ـ وإنْ لم تفعلْ فما بلّغت رسالته والله يعصمك من الناس).

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu [bahwa Ali adalah Pemimpin kaum Mukminin]. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[10]

Ketiga, diantara ulama yang meriwayatkan hadis tersebut adalah Ibnu Abi Hatim ar Râzi. As Suyuthi berkata:

وأخرج ابن أبي حاتم وابن مردويه وابن عساكر عن أبي سعيد الخدري قال: نزلت هذه الآية: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك) على رسـول الله صلّى الله عليـه [وآله] وسـلّم يوم غدير خمّ في عليّ بن أبي طالب.

Ibnu Abi Hâtim, Ibnu Mardawaih dan Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dari abu Sa’id al Khudri, ia berkata, “Ayat itu turun kepada Rasulullah saw. pada hari Ghadir tentang Ali ibn Abi Thalib.” [11]

Sementara itu Ibnu Taimiyah telah menegaskan bahwa Ibnu Abi Hâtim tidak pernah meriwayatkan hadis palsu dalam tafsirnya! Ia hanya menyebutkan hadis tershahih dalam tafsir setiap ayat. Demikian ditegaskan as Suyuthi dalam Itqân-nya,2/188. Dan “kegilaan” pendiri sekte Wahhabi dan para mukallidnya kedapa Ibnu Tamiyyah tidak diragukan lagi!

Ikhtisar kata, bahwa turunnya ayat tersebut dalam kaitannya dengan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum adalah shahih!

Referensi:
[1] Asbâb an Nuzûl:135.
[2] Tarikh Naisâbûr:54.
[3] Ma’rifah Ilmi al Hadîts:41.
[4] Al Mirqât Fî Syarhi al Misykât,1/22.
[5] Tadzkirah al Huffâdz,2/189.
[6] Mukaddimah Fath al Bâri:387.
[7] Hadyu as Sâri Mukaddimah Fath al Bâri,2/144.
[8] Ibid,160.
[9] Lisân Mizân,1/16.
[10] Ad Durr al Matsûr,2/298.
[11] Ibid.
____________________________________


Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah.(4)


Sejenak Bermasa Ibnu Taimiyah

Allamah al Hilli –salah seorang tokoh ulama Syi’ah- telah berdalil dengan ayat di atas dan hadis yang terkait dengan turunnya ayat tersebut sebagai dalil imamah Ali as., beliau menulis:

البرهان الثاني: قوله تعالى: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته). اتّفقوا على نزولها في عليّ.
وروى أبو نعيم الحافظ ـ من الجمهور ـ بإسناده عن عطية، قال: نزلت هذه الآية على رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلّم في عليّ بن أبي طالب.
ومن تفسير الثعلبي، قال: معناه: (بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك) في فضل عليّ، فلمّا نزلت هذه الآية أخذ رسول الله صلّى الله عليه ]وآله[ وسلّم بيد عليّ، فقال: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه… .

Dalil kedua adalah firman Allah SWT.:

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Mâidah [5];67)


Para ulama sepakat bahwa ia turun untuk Ali.

Al Hafidz Abu Nu’aim –seorang ulama Jumhur/Ahlusunnah- meriwayatkan dari Athiyyah, bahwa ia berkata ayat ini turun kepada Rasulullah saw. untuk Ali ibn Abi Thalib.

Dalam tafsir ats Tsa’labi disebutkan, “Maknanya adalah sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu tentang keutamaan Ali. Dan ketika ayat ini turun Rasulullah saw. memegang tangan Ali dan bersabda, ‘Barang siapa yang aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya.’ … “

Menanggapi pembuktian di atas Ibnu Tamiyyah bangkit membantahnya dengan mengatakan:

إنّ هذا أعظم كذباً وفريةً من الاَوّل.
وقوله: اتّفقوا على نزولها في عليّ، أعظم كذباً ممّا قاله في تلك الآية، فلم يقل لا هذا ولا ذاك أحد من العلماء الّذين يدرون ما يقولون.
وأمّا ما يرويه أبو نعيم في الحلية أو في فضائل الخلفاء والنقّاش والثعلبي والواحدي ونحوهم في التفسير، فقد اتّفق أهل المعرفة على أنّ في ما يروونه كثيراً من الكذب الموضوع.
واتّفقوا على أنّ هذا الحديث المذكور الذي رواه الثعلبي في تفسيره هو من الموضوع…
ولكنّ المقصود هنا أنّا نذكر قاعدة فنقول: المنقولات فيها كثير من الصدق وكثير من الكذب، والمرجع في التمييز بين هذا وهذا إلى أهل علم الحديث… فلكلّ علم رجال يعرفون به، والعلماء بالحديث أجلّ هؤلاء قدراً، وأعظمهم صدقاً، وأعلاهم منزلة، وأكثر ديناً، وهم من أعظم الناس صدقاً وأمانةً وعلماً وخبرةً في ما يذكرونه من الجرح والتعديل…
فالاَصل في النقل أن يُرجع فيه إلى أئمّة النقل وعلمائه… ومجرّد عزوه إلى رواية الثعلبي ونحوه ليس دليلاً على صحّته باتّفاق أهل العلم بالنقل؛ لهذا لم يروِه أحد من علماء الحديث في شيء من كتبهم… .
أنتم ادّعيتم أنّكم أثبتّم إمامته بالقرآن، والقرآن ليس في ظاهره ما يدلّ على ذلك أصلاً، فإنّه قال: (بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك) وهذا اللفظ عامّ في جميع ما أُنزل إليه من ربّه، لا يدلّ على شيء معيّن… فإن ثبت ذلك بالنقل كان ذلك إثباتاً بالخبر لا بالقرآن…
لكنّ أهل العلم يعلمون بالاضطرار أنّ النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم لم يبلّغ شيئاً في إمامة عليّ… .

“Pernyataan ini lebih besar kebohongan dan kepalsuaanya di banding yang pertama.


Dan ucapannya, mereka/ulama bersepakat tentang turunnya ayat tersebut untuk Ali adalah lebih besar kebohongannya dari apa yang ia ucapkan tentang tafsiran ayat tersebut. Tidak ada seorang ulama pun yang menyadari ucapannya mengatakannya, tidak yang ini dan tidak juga yang itu.

Adapun hadis yang diriwayatkan Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah-nya atau dalam kitab Fadhâil-nya atau yang diriwayatkan an Naqqâsy, ats Tsa’labi, al Wahidi dan yang semisalnya dalam kitab-kitab tafsir, maka para ahli ma’rifat (ulama) telah sepakat bahwa apa yang mereka riwayatkan itu banyak sekali yang bohong dan palsu.

Dan para ulama telah sepakat bahwa hadis tersebut di atas yang diriwayatkan ole hats Tsa’labi dalam tafsirnya adalah palsu…

Akan tetapi yang menjadi tujuan di sini ialah kami akan menyebutkan kaidah. Kami berkata, “Riwayat-riwayat yang dinukil itu di dalamnya terdapat banyak yang benar dan banyak pula yang bohong. Rujukan untuk membedakannya yang benar dari yang palsu adalah kembali kepada para ulama ahli ilmu hadis… setiap ilmu itu mempunyai pakar yang mumpuni tentangnya. Para ulama Ahli Hadis lebih mulia kedudukannya, lebih besar kejujurannya, lebih tingi derajatnya, dan lebih benyak keberagamannya. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur, paling amanat dan paling mengetahui tentang apa yang mereka sebutkan tentang jarh dan ta’dîl (penelitina kualitas perawi hadis) …

Dalam hal penukilan rujukan utamanya adalah kembali kepada para imam/tokoh dan ulama ahli nukilan/riwayat…. Sekedar menyandarkan sebuah nukilan kepada riwayat ats Tsa’labi atau yang semisalnya bukanlah dalil akan keshahihannya berdasarkan kesepakatan para ulama hadis. Karenanya, hadis tersebut di atas tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari ulama hadis dalam buku-buku mereka sama sekali… .

Kalian (Syi’ah) mengklaim bahwa kalian menegakkan dalil imamah dengan Al Qur’an, sementara Al Qur’an tidak menyebutkannya sama sekali dalam dzahir ayat. Sebab firman: “sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” adalah lafadz yang bersifat umum tentang apa saja yang diturunkan kepada Nabi saw. dari Tuhannya, ia tidak menujukkan sesuatu tertentu secara khusus/spesifik… jika kekhususan itu ditetapkan dengan riwayat, maka itu artinya menetapkan imamah dengan hadis bukan dengan Al Qur’an…

Akan tepapi para ulama mengetahui dengan pasti bahwa Nabi saw. tidak pernah menyabdakan satu hadis pun tentang imamah Ali … “[1]

Ibnu Jakfari berkata:
Adapaun pernyataannya bahwa diantara riwayat-riwayat yang disebutkan Abu Nu’aim dan ats Tsa’labi dalam kitab-kitab mereka itu terdapat riwayat-riwayat palsu… itu benar dan kami pun sepakat dengannya atas pernyataan itu. Sebab tidak ada kitab apapun selain Al Qur’an al karîm yang seluruh isi dan muatannya benar secara absolut, tidak terkecuali kitab-kitab hadis standar yang dikenal dengan nama ash Shahih sekali pun. Bahkan di dalam kitab Shahih Bukhari yang dinomer-satukan Jumhur Ahlusunnah terdapat banyak hadis palsu dan menyimpang. Sebagian ulama dan para peneliti telah memaparkannya dalam banyak karya mereka!

Di antara riwayat-riwayat yang dimuat di dalamnya terdapat yang benar dan shahih sebagaimana terdapat juga yang palsu dan maudhû’. Dan rujukan untuk mengetahui dan membedakan serta memilah antara yang shahih dan yang maudhû’ adalah para pakar dan peneliti dari kalangan ulama Ahli Hadis!

Karenanya, dalam menetapkan keshahihan hadis-hadis yang dikemukakan sebagai dalil imamah, kami berujuk kepada penelitian para ulama Ahli Hadis, termasuk ketika kami membuktikan keshahihan hadis tentang turunnya ayat al Tablîgh/ al Balâgh. Dan jika telah terbukti sebuah hadis itu shahih berdasarkan bukti-bukti dan penelitian seksama, maka bagi semua berkewajiban menerimanya, dan barang siapa menolaknnya dan atau membohongkannya maka sebenarnya ia sedang membohongkan Rasulullah saw. dan barang siapa membohongkan kebenaran yang disampaikan Rasulullah saw. maka ia kafir, menentang Allah dan Rasul-Nya!! Semoga kita dilindungi darinya.

Maka atas dasar itu, argumentasi yang dikemukan seputar ayat di atas tidak sekedar menyandarkan hadis itu kepada riwayat Ats Tsa’labi atau Abu Nu’aim. Akan tetapi semu itu setelah terbutki dengan hasil penelitian bahwa hadis/riwayat itu benar-benar shahih berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku di kalangan para ulama Ahli Hadis.

Adapun tuduhannya bahwa dengan cara seperti itu, argumentasi yang ditegakkan sebanarnya berdasarkan hadis dan bukan berdasarkan Al Qur’an… maka itu hanya sekedar ta’ashsuhb/fatanik buta yang memalukan. Sebab Ibnu Taimiyyah sendiri telah melakukan hal serupa ketika ia berdalil dengan ayat:

إِذْ هُما فِي الْغارِ إِذْ يَقُولُ لِصاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنا

“ … sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:” Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah [9];40).

untuk menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar.

Ia berkata:

إنّ الفضيلة في الغار ظاهرة بنصّ القرآن، لقوله تعالى: (إِذْ هُما فِي الْغارِ إِذْ يَقُولُ لِصاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنا )… وقد أخرجا في الصحيحين من حديث أنس عن أبي بكر… .

“Sesungguhnya keutamaan (Abu Bakar ) dalam gua adalah tampak jelas berdasarkan nash Al Qur’an, berdasar firman-Nya:

إِذْ هُما فِي الْغارِ إِذْ يَقُولُ لِصاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنا

“ … sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:” Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah [9];40)…

Bukhari dan muslim telah meriwayatkan dalam kedua kitab Shahihnya sebuah hadis dari Anas dari Abu Bakar…. “[2]

Di sini Ibnu Taimiyyah menjadikan hadis itu sebagai penafsir ayat tersebut dan ia menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar dalam ayat tersebut… padahal ayat di atas tidak menyebut sama sekali nama Abu Bakar!

Contoh lain ialah Ibnu Taimiyyah mengaku bahwa ayat 17-18 surah al Lail [92]:

وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى* الَّذي يُؤْتي‏ مالَهُ يَتَزَكَّى.

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu * Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.”

turun untuk keutamaan Abu Bakar, lalu ia menetapkan keutamaan dari ayat tersebut untuk Abu Bakar! Sementara ayat tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut Abu Bakar! Hanya saja ada riwayat-riwayat tertentu yang mengaitkannya dengan Abu Bakar!”

Dan yang mengelikan di sini ialah bahwa Ibnu Taimiyyah dalam menafsirkan ayat tersebut sebagai keutamaan Abu Bakar mengandalkan riwayat ats Tsa’labi –yang ketika membawakan riwayat keutamaan Imam Ali as. ia lecehkan dan ia ragukan kualitas karyanya!-

Ibnu Taimiyyah berkata:

وقد ذكر غير واحدٍ من أهل العلم أنّها نزلت في قصّة أبي بكر. وكذلك ذكره ابن أبي حاتم والثعلبي أنّها نزلت في أبي بكر عن عبـدالله بن المسيّب. وذكر ابن أبي حاتم في تفسيره: حدّثنا أبي، حدّثنا محمّـد بن أبي عمـر العـدني، حدّثنا سفيان، حـدّثنا هشام بن عروة، عن أبيه، قال: أعتق أبو بكر سبعة كلّهم يعذّب في الله… قال: وفيه نزلت (وسيجنّبها الاَتقى) إلى آخر السورة.

“Banyak ahli ilmu (ulama) menyebutkan bahwa ayat tersebut turun tentang kisah Abu Bakar. Demikian juga Ibnu Abi Hatim dan ats Tsa’labi meriwayatkan bahwa bahwa ia turun untuk Abu Bakar dan Abdullah ibn al Musayyib. Ibnu Abu Hatim menyebutkan dalam fatsirnya: Ayahku mengabarkan kepadaku, ia berkata, Muhammad ibn Abi Umar al ‘Adani mengabarkan kepaka kami, ia berkata Sufyan mengabarkan kepaka kami, ia berkata, Hisyam ibnu Urwah mengabarkan kepaka kami dari ayahnya ia berkata, “Abu Bakar memerdekakakn enam orang budak sahaya yang telah disiksa di jalan Allah… ia berkata, “Untuknyalah ayat tersebut turun:

وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى* ….

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu…. (hingga akhir surah).”[3]

Serta masih banyak lagi keanehan Ibnu Taimiyyah seperti di atas…

Akan tetapi ketika para pecinta Imam Ali as. berdadli dengan ayat:

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Mâidah [5];67).

sebagai bukti imamah Imam Ali as. dengan mantuan hadis-hadis shshih yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, ats Tsa’labi dan lainnya dari kalangan ahli hadis dan para mufassir Ahluusnnah, maka Ibnu Taimiyyah menjulurkan lisan beracunya dan berkata:

فمن ادّعى أنّ القرآن يدلّ على أنّ إمامة عليّ ممّا أُمر بتبليغه فقد افترى على القرآن.

”Maka barang siapa mengaku bahwa Al Qur’an telah menunjukkan imamah Ali dari apa yang diperintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikannya, maka ia ia benar-benar telah membuat kepalsuan atas mana Al Qur’an.”[4]

Selain itu berdalil dengan hadis-hadis riwayat ulama dan para muhaddis Ahlusunnah yang dilakukan oleh para ulama Syi’ah adalah sesuai dengan etika berdialoq sehat, sebab para ulama Ahlusunnah telah mengikat diri mereka menerima hadis-hadis riwayat ulama mereka sendiri. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan ulama Ahlusunnah -termasuk Ibnu Taimiyyah- ketika mereka berdalil dengan riwayat-riwayat mereka sendiri untuk melawan mazhab Syi’ah! Hal seperti itu jelas menyalahi etika berdialoq, sebab hadis-hadis riwayat Ahlusunnah tidak mengikat Syi’ah! Ia tidak dapat dijadikan hujjah untuk melemahkan mazhab Syi’ah! Walaupun hadis yang sedang mereka ajukan sebagai dalil itu telah diriwayatkan Bukhari dan Muslim sekalipun!

Jadi perhatikan, siapa sebenarnya yang sedang berbohong dan mengada-ngada atas nama Allah dan rasul-Nya?! Atas nama Al Qur’an al Karîm?!

Ibnu Taimiyyah atau Allamah al Hillai –rahimahullah– dan para ulama Syi’ah?

Referensi:
[1] Minhâj as Sunnah,7/33.
[2] Ibid.8/373.
[3] Ibid,8/495.
[4] Ibid.7/47.


(Bersambung)

(Jakfari/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: