Pesan Rahbar

Home » » Syiah Membantah Atas Tuduhan Abu salafy: Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah (Bagian 2)

Syiah Membantah Atas Tuduhan Abu salafy: Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah (Bagian 2)

Written By Unknown on Wednesday, 22 April 2015 | 19:43:00


Mari saya Lanjutkan kutipan dari tulisan Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah .

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (5)

Senjata Terakhir& Upaya Keputus Asaan

Menyaksikan kuat dan tegasnya hadis-hadis tentang sebab turunnya ayat al Balâgh dalam peristiwa Ghadir Khum terkait dengan pengangkatan Imam Ali as., serta ketidak-mampuan mereka membantah dan membatalkannya, maka dihadapan mereka tersisa dua usaha, walaupun terbukti apa yang mereka usahakan itu sia-sia, sebab menegakkannya sebagai bukti bak menegakkkan benang basah dan alasan yang mereka andalkan lebih rapuh dari rumah laba-laba!

Di sini ada dua usaha yang mereka lakukan:
Pertama, mengaitkan ayat di atas dengan siyâq/konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Kedua, menyajikan riwayat-riwayat tandingan tentang turunnya ayat tersebut dalam peristiwa lain.


Syubhat Siyâq

Dalam kesempatan ini saya hanya akan menelaah kedua masalah ini secara ringkas, agar tidak makin melebar pembicaraan dan diskusi kita, dan semoga dalam kesempatan lain Allah SWT memberi taufiq saya untuk menuntaskan kajian tentangnya. Amîn.


Akan tetapi, sebelum mendiskusikan kedua syubhat di atas, perlu diketahui bahwa:
1) Ayat tersebut di atas adalah bagian dari surah al Mâidah yangt telah disepakati ia sebagai surah Madaniyyah (turun setelah Hijrah Nabi saw.), dan dia termasuk surah-surah yang terakhir turun. Lebih lanjut baca tafsir al Qurthubi, tafsir al Khâzin, dan al Itqân fî ‘Ulûmil Qur’ân,1/26-52, serta kitab-kitan tafsir dan Ulumul Qur’an lainnya.

2) Peletakan sebuah ayat dalam tempatnya dalam sebuah surah itu tidak mesti sesuai urutan turunnya. Bisa jadi sebuah ayat turun pada suatu waktu tertentu, akan tetapi Nabi saw. memerintahkan agar ia diletakkan dalam rangkaian ayat-ayat yang telah turun beberapa waktu sebelumnya. Sebab peletakan ayat-ayat pada posisinya dalam surah-surah adalah bersifat tawqîfi. Untuk itu banyak contoh telah dikemukan para pakar dan ahli Al Qur’an.

Karenanya, semata bersandar kepada siyâq itu belum cukup sebagai bukti bahwa ayat tertentu itu berbicara dalam konteks yang sesuai dengan siyâq-nya dan dalam penafrisanannya harus dikaitkan dengannya, selama belum ada bukti pasti bahwa ia turun bersamaan dengan rangkaian ayat-ayat tersebut!

Peletakan ayat al Balâgh di antara rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang Ahlul Kitab telah menyebabkan sebagain mufassir terjebak dalam syubhat di atas.

Fakhruddin ar Râzi berkata:


اعلم أنّ هذه الروايات وإن كثرت، إلاّ أنّ الاََوْلى حمله على أنّه تعالى آمنه من مكر اليهود والنصارى، وأمره بإظهار التبليغ من غير مبالاة منه بهم، وذلك لاَنّ ما قبل هذه الآية بكثير وما بعدها بكثير، لمّا كان كلاماً مع اليهود والنصارى، امتنع إلقاء هذه الآية الواحـدة في البين على وجه تكون أجنبيّة عمّا قبلها وما بعدها»(2).

“Ketahuilah bahwa kendati riwayat-riwayat itu banyak, hanya saja memaknai ayat itu dengan: “Bahwa Allah –Ta’ala– menjamin keamanan bagi Nabi dari makar jahat kaum Yahudi dan Nashrani, dan perintah agar menampakkan tablîgh tanpa menghiraukan mereka, hal itu dikarenakan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang Yahudi dan Nashrani, maka tidaklah mungkin melontarkan ayat tunggal tersebut di celah-celahnya sehingga ia menjadi asing dari ayat-ayat sesebelum dan sesudahnya.”[1]

Di sini, sepertinya ar Râzi lalai bahwa ayat al Balâgh itu terdapat dalam surah al Mâidah. Dan surah al Mâidah itu turun di masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad saw., di mana Nabi saw. tidak lagi takut kepada ancaman musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nashrani maupun kaum Musyirk. Siyâq itu akan menjadi bukti pendukung penafsiran sebuah ayat, jika tidak ada nash mu’tabar yang menentangnya! Di sini, seperti Anda baca sendiri, ar Râzi mengakui bahwa turunnya ayat tersebut terkait dengan keutamaan Imam Ali as. adalah telah ditegaskan dalam banyak riwayat, dan ia adalah pendapat para sahabat besar dan tokoh Tabi’in seperti Ibnu Abbas, Barâ’ ibn Âzib dan Imam Muhammad ibn Ali al Baqir as. Sementara itu ketika mengajukan pendapatnya itu, ia sama sekali tidak mendukungnya dengan satu bukti pun. Tidak pula pendapat-pendapat lain yang ia sebutkan selain pendapat yang menegaskan bahwa ayat itu turun tentang keutamaan Ali as.!!

Adapun riwayat-riwayat yang disebutkan para ulama yang menandingi hadis bahwa ayat tersebut turun sebagai keutamaan Imam Ali as. dapat Anda baca dalam tafsir ath Thabari dan ad Durr al Mantsûr; as Suyuthi. Dan dengan sedikit merenungkan dan membandingkan antara yang satu dengan lainnya akan Anda temukan sederatan pertentangan dan ketidak harmonisan! Di sampin yang memperparah semuanya ialah bahwa surah al Mâidah itu berdasarkan ijmâ’ para Ahli tafsir –seperti telah saya katakan- turun di akhir masa hidup Nabi saw., sehingga semua riwayat di atas tertolak.

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (6)


Riwayat-riwayat Tandingan!

Syubhat kedua adalah adanya riwayat yang mengatakan bahwa ayat al Balâgh bukan di Ghadir Khum!
Di bawah ini akan saya ajak pembaca untuk memerhatikan riwayat-riwayat tersebut.

Riwayat Pertama:

أخرج الطبراني وأبو الشيخ وأبو نعيم في الدلائل وابن مردويه وابن عساكر، عن ابن عبّـاس، قال: «كان النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم يُحرس، وكان يرسل معه عمّه أبو طالب كلّ يوم رجالاً من بني هاشم يحرسونه.

فقال: يا عمّ! إنّ الله قد عصمني، لا حاجة لي إلى من تبعث

Ath Thabarâni, Abu Syeikh, Abu Nu’aim dalam ad Dalâil, Ibnu Murdawaih dan Ibnu ‘Asâkir dari Ibnu Abbas ra., “Nabi saw. dijaga. Dan Abu Thalib; paman beliau mengirim beberapa orang dari bani Hasyim untuk menjaga beliau.

Lalu beliau berkata, “Wahai paman, Allah telah menjagaku. Aku tidak butuh lagi penjagaan orang-orang yang engkau utus.”

Hadis di atas jelas palsu, sebab ia menerangkan bahwa ayat itu turun di Mekkah sebelum Hujrah, sementara telah disepakati bahwa ia turun setelah Hijrah, di samping bukti-bukti lain yang akan saya sebutkan nanti.


Riwayat Kedua:

و أخرج ابن مردويه والضياء في المختارة، عن ابن عبّاس، قال: «سئل رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: أيّ آية أُنزلت من السماء أشدّ عليك؟ فقال: كنت بمنى أيّام موسم، واجتمع مشركو العرب وأفناء الناس في الموسم، فنزل علَيَّ جبرئيل فقال: (يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته والله يعصمك من الناس).
قال: فقمت عند العقبة فناديت: يا أيّها الناس! من ينصرني على أنْ أُبلّغ رسالة ربّي ولكم الجنّة؟
أيّها الناس! قولوا: لا إله إلاّ الله وأنا رسول الله إليكم، تنجحوا ولكم الجنّة.
قال: فما بقي رجل ولا امرأة ولا صبي إلاّ يرمون علَيّ بالتراب والحجارة، ويبصقون في وجهي، ويقولون: كذّاب صابئ! فعرض علَيّ عارض فقال: يا محمّـد! إنْ كنت رسول الله فقد آن لك أنْ تدعو عليهم كما دعا نوح على قومه بالهلاك.
فقـال النبيّ صـلّى الله عليـه [وآلـه] وسلّم: اللّهمّ اهـدِ قـومي فإنّهم لا يعلمون، وانصرني عليهم أن يجيبوني إلى طاعتك.
فجاء العبّـاس عمّه فأنقذه منهم وطردهم عنه.
قال الاَعمش: فبذلك تفتخر بنو العبّـاس، ويقولون: فيهم نزلت (إنّك لا تهدي من أحببت ولكنّ الله يهدي من يشاء) هوى النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم أبا طالب، وشاء الله عبّـاس بن عبـد المطّلب.

“Ibnu Murdawaih dan adh Dhiyâ’ dalam Mukhtârah-nya dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. ditanya, ayat apa yang turun paling berat atas Anda?

Beliau menjawab, “Ketika aku berada di Mina pada musim haji, dan kaum Arab Musyrik dan kelompok-kelopok lain berkumpul di sana, maka turunlah kepadaku ayat, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.”

Lalu aku bangkit di bukit Aqabah dan aku serukan, “Hai sekalian manusia! Siapa yang menolongku sehingga aku menyampaikan Risalah Tuhanku, dan untuk kalian surga?

Hai sekalian manusia! Katakan “Tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah rasul Allah kepada kalian” kalian pasti akan selamat dan untuk kalian adalah surga.”

Ia (Ibnu Abbas) berkata, “Maka tiada seorang pun, pria, wanita maupun kanak-kanak melainakn mereka melempariku dengan tanah dan batu, serta meludahi wajahku. Mereka mengecamku dengan mengatakan, ‘Hai pembohong! Hai murtad!

Maka ada yang datang menghampiriku dan berkata, “Wahai Muhammad! Jika engkau benar seorang rasul Allah, maka telah tiba saatnya engkau mendo’akan celaka atas kaummu, seperti Nuh mendo’akan celaka atas kamunya.’

Lalu Nabi saw. berdoa, “Ya Allah berilah kaumku hidayah, karena mereka tidak mengetahui. Dan tolonglah aku atas mereka agar mereka memenuhi ajakanku untuk ta’at kepada Mu.”

Maka datanglah Abbas; paman beliau dan menyelamatkan beliau dan mengusir mereka.”

A’masy berkata, “Karena itu, bani Abbas (keturunn Abbas) berbangga. Mereka mengatakan, “Untuk mereka turun ayat ini: “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayat orang yang engkau sukai, akan tetapi Allah memberi hidayah siapa yang Ia kehendaki.” Kecenderungan Nabi adalah kepada Abu Thalib, akan tetapi Allah menghendaki Abbas ibn Abdul Muththalib.”

Akan tetapi tanda-tanda kepalsuan sangat tampak pada wajah dongeng di atas.


Para Sahabat Selalu Menjaga Nabi saw.

Tidak jarang kita mendengar keterangan bahwa para sahabat selalu menjaga Nabi saw., kemudian setelah turunnya ayat al Balâgh, Nabi saw. memerintah mereka untuk tidak lagi menjaga beliau. Seperti riwayat-riwayat di bawah ini:

Riwayat Pertama:

أخـرج ابن جرير وأبو الشيخ، عن سعيد بن جبير، قال: «لمّا نزلت (يا أيّها الرسول) إلى قوله: (والله يعصمك من الناس) قال رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: لا تحرسوني! إنّ ربّي قد عصمني.

Ibnu Jarir, Abu Syeikh dari Said ibn Jubair, ia berkata, “Ketika ayat:يا أيّها الرسول hingga والله يعصمك من الناس, Rasulullah saw. bersabda, “Kalian jangan menjagaku lagi! Sesungguhnya Tuhanku telah memeliharaku.”

Riwayat Kedua:

أخرج ابن جرير وابن مردويه، عن عبـدالله بن شقيق، قال: «إنّ رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم كان يتعقّبه ناس من أصحابه، فلمّا نزلت (والله يعصمك من الناس) فخرج فقال: أيّها الناس! الحقوا بملاحقكم، فإنّ الله قد عصمني من الناس».

Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawah dari Abdullah ibn Syaqiq, ia berkata, “Sesugguhnya para sahabat selalu bergantian menjaga Rasulullah saw., lalu ketika turun ayat: والله يعصمك من الناسbeliau keluar dan bersabda, “Wahai sekalian manusia, pergilah kalian ke tempat-tempat tinggal kalian, karena sesugguhnya Tuhanku telah memeliharaku dari manusia.”


Riwayat Ketiga:

وأخرج عبـد بن حميد وابن جرير وأبو الشيخ، عن محمّـد بن كعب القرظي، أنّ رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم ما زال يُحرس، يحارسه أصحابه، حتّى أنزل الله (والله يعصمك من الناس) فترك الحرس حين أخبره أنّه سيعصمه من الناس.

Abdu ibn Humaid, IbnuJarir dan Abu Syeikh meriwayatkan dari Muhammad ibn Ka’ab al Quradhi, bahwa Sesungguhnya Rasulullah saw. senantiasa dijaga; para sahabat menjaga beliau, sehingga Allah menurunkan: والله يعصمك من الناس, maka setelah diberitahu bahwa Allah memelihara beliau dari manusia, beliau tidak lagi dijaga.”

Riwayat Keempat:

وأخرج أبو نعيم في الدلائل، عن أبي ذرّ، قال: «كان رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم لا ينام إلاّ ونحن حوله من مخافة الغوائل، حتّى نزلت آية العصمة: (والله يعصمك من الناس)».

Abu Nu’aim meriwayatkan dalam ad Dalâil dari Abu Dzarr, ia berkata, “Rasulullah saw. tidak tidur melainkan kami berada di sekirat beliau, karena takut ada serangan, sehingga turun ayat: والله يعصمك من الناس.

Riwayat Kelima:

وأخرج الطبراني وابن مردويه، عن عصمة بن مالك الخطمي، قال: «كنّا نحرس رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم بالليل حتّى نزلت (والله يعصمك من الناس) فترك الحرس».

”Ath Thabarâni dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari ‘Ishmah ibn Mâlik al Khathmi, ia berkata, “Dahulu kami menjaga Rasulullah saw. di malam hari sehingga turun ayat: والله يعصمك من الناس, maka ditinggalkan penjagaan itu.”

Riwayat-riwayat di atas dan yang semisalnya yang tidak saya sebutkan di sini yang mengatakan bahwa sebelum turunnya ayat tersebut Nabi saw. selalu dijaga para sahabat adalah tidak dapat dibenarkan. Ia hanya mengada-ngada untuk menandingin hadis turunnya ayat tersebut berkaitan dengan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum. Kepalsuan riwayat-riwayat di atas akan semakin jelas dengan memerhatikan beberapa catatan di bawah ini:
(1) Keterangan yang telah lewah disampaikan bahwa ayat al Balâgh turun setelah hijrah Nabi saw.
(2) Bukti-bukti sejarah yang akurat bahwa Nabi saw. meminta bantuan dari para pemimpin kabilah-kabilah Arab di musim Haji agar membela beliau. Sebagaimana di antara butir-butir bai’at yang diminta Rasulullah saw. dari kaum Anshar adalah untuk membela dan menjaga beliau dan keluarga beliau seperti mereka membela dan menjaga diri dan keluarga mereka sendiri!
(3) Bukti-bukti sejarah yang akurat bahwa Nabi saw. sampai waktu jauh setelah yang mereka sebutkan dalam riwayat-riwayat di atas masih dijaga oleh para sahabat beliau.


o Nabi saw. Meminta Pembelaan Dari Kepala-kepala Suku

Selain itu, banyak sekali data sejarah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. menawarkan Da’wah Islam kepada kepala-kepala suku/kabilah dan meminta dari mereka untuk membela beliau dalam menyampaikan da’wah dan Risalah Allah dari gangguan kaum penentang, seperti:

A) Tawaran yang beliau ajukan kepada kepala suku Bani ‘âmir ibn Sha’sha’ah, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hisyam dalam Sirahnya,2/289, ath Thabari dalam Târîkhnya,2/84, Ibnu Katsir dalam Sirahnya,2/158, Bahjah al Mahâfil; al ‘Âmiri,1/128, Sirah al halabiyah,2/3 Sirah Zaini Dahlan,1/302 dan Hayat Muhammad; Haikal:152 serta kitab-kitab sejarah lain.
B) Tawaran yang beliau ajukan kepada suku Kindah, sebagaimana diriwayatkan Ibnu katsir dalam Sirahnya,2/159.
C) Tawaran beliau kepada ‘Âmir ibn ath Thhufail sebagaimana diriwayatkan Ibnu katsir dalam Sirahnya,4/114.


o Nabi saw. Membai’at Kaum Untuk Membela dan Menjaga Nabi saw.

Butir-butir bai’at yang diajukan Nabi saw. kepada kaum Anshar di penghujung masa kehidupan beliau di kota Mekkah, sebelum kemudian beliau berhijrah ke kota Yatsrib[1] adalah:
(1) Membela dan menjaga Nabi saw. seperti mereka membela dan menjaga diri-diri mere sendiri.
(2) Membela dan memelihara keluarga, Ahlulbait dan dzurriyah Nabi saw. seperti mereka membela dan menjaga keluarga dan keturunan mereka sendiri.
(3) Tidak merebut kepemimpinan dari pemiliknya.

Banyak sekali data yang menegaskan hal tersebut. Untuk mempersingkat saya hanya akan menyebutkan beberapa saja darinya.

Al Haitsmai dalam Majma’ az Zawâid-nya,6/49 meriwayatkan dari sahabat Ubâdah ibn Shâmit, bahwa Sa‘ad ibn Zurârah berkata, “Hai sekalian manusia, tahukan kalian, atas dasar apa kalian membaiat Muhammad saw.? Kalian membai’atnya untuk memerangi kaum Arab dan Ajam, manusia dan jin! Mereka berkata, “Kami siap berperang dengan siapa yang beliau perangi dan berdamai dengan siapa yang beliau berdamai denganya. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, tetapkan syarat itu!

Maka beliau bersabda, “Kalian bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dan aku adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat. Tunduk dan ta’at, dan tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya. Dan kalian harus menjagaku/membelaku seperti kalian menjaga diri dan keluarga kalian sendiri.”

Husain ibn Ali berkata, “Kaum Anshar datang untuk membai’at Rasulullah saw. di ‘Aqabah, maka beliau bersabda memerintah Ali, “Hai Ali bangun dan ambillah bai’at dari mereka.” Ali berkata, “Atas dasar apa wahai Rasulallah?”

Nabi saw. bersabda, “Atas dasar ta’at kepada Alllah dan tidak menentan-Nya. Dan atas dasar membela Rasul-Nya saw. dan Ahlulbait dan dzurriyah-nya seperti mereka membala diri dan keluarga/keturunan mereka sendiri.”

Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya,2/23, ath Thabari dalam Târîkh-nya,2/82 dan Ibnu katsir dalam Sirah-nya,2/155 dari Rabî’ah ibn Abbâd, ia berkata, “Ketika aku belia bersama ayahku di Mina sementara Rasulullah saw. berdiri di depan perkemahan kabilah-kabilah Arab (yang datang untuk menunaikan haji ala Jahiliyyah_pen), beliau berkata, ‘Hai bani fulan, aku ini benar-benar seorang Rasul utusan Allah kepada kalian semua, Dia memerintahkan kalian untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan agar kalian meninggalkan sesembahan yang kalian sembah selain-Nya, dan agar beriman dan percaya kepadaku, dan agar kalian membelaku sehingga aku dapat menerangkan tugas yang aku dutus untuknya.”

Al Ya’qûbi meriwayatkan dalam Târîkh-nya melaporkan bahwa Rasulullah saw. menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab pada setiap musim haji, beliau mengajak bicara pimpinan mereka masing-masing. Beliau tidak meminta dari mereka melainkan agar mereka menampung dan membela beliau. Beliau bersabda, “Aku tidak memaksa seorang pun dari kalian, aku hanya ingin kalian membelaku dari pembunuhan yang mereka kehendaki terhadapku, sehingga aku dapat mentablghkan risalah Tuhanku.” Dan mereka berkata, “Kaumnya seseorang lebih mengenalnya!”.

Dan selain data-data sejarah yang saya sebutkan di atas banyak ditemukan dalam buku-buku sejarah, khususnya ketika menerangkan tentang aktifitas da’wah Nabi di masa-masa akhir periode Mekkah.

Dari data-dataa di atas dan selainnya, dapat dimengerti bahwa Rasulullah saw. telah meminta perlindungan dan pembelaan kepada ruasâ’ qabâil, kepala-kepala suku Arab agar dapat menyampaikan Risalah Allah SWT., sesuai dengan sunnah para rasul sebelum beliau sehingga beliau mendapat pembelaan dan kemudian Allah menganugrahkan kemenangan sehingga Risalah dan kekuasaan beliau meliputi semenanjung Jazirah Arab, dan kekuatan kemusyikan dan kekafiran dapat ditumbangkan, dan para aimmatul kufri,gembong-gembong kekafiran dari kalangan Ahlil Kitab dan kaum Musyrik bertekuk lutut di hadapan kekuasaan beliau saw.

Karena itu, di sini ada sebuah poin yang perlu direnungkan, yaitu setelah puncak kemenangan yang dicapai Rasulullah saw. selama perjalanan da’wahnya, dan kini semua kekuatan telah tunduk di hadapan kekuasaannya, dan beliau sampai di penghujung masa kehidupan bersama umatnya, Allah memerintahkannya untuk segera dan tanpa menunda-nundda lagi menyampaikan sebuah Risalah khusus, dan untuknya Allah SWT menjamin penjagaan beliau dari manusia.

Allah berfirmna:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته والله يعصمك من الناس إنّ الله لا يهدي القوم الكافرين.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah [5]; 67).

Siapa kira-kira manusia yang dimaksud? Mungkinkah kaum Yahudi dan kaum Musyri yang telah bertekuk lutut di hadapan kekauasaan beliau? Atau manusia yang dimaksud di sini adalah kamu Munafik yang menyelinap dan membawur di tengah-tengah kaum Muslimin?

Lalu apa kira-kira bentuk penjagaan yaang diberikan Allah SWT?

Kejelasan dan lurusnya penafsiran ayat tersebut di atas sangat bergantung kepada sikap kita terhadap riwayat-riwayat shahihah yang menjelaskan sebab turunya. Dan karena dengan mengindahkan dan menerima dengan lapang dada serta ketundukan kepada riwayat-riwayat tersebut pastilah ayat tersebut mengarahkan kita untuk menerima bahwa ayat tersebut turun terkait dengan pengangkatan Imam Ali as. Dan itu artinya kita harus siap meruntuhkan doqma yang selama ini diikuti dengan tanpa dasar yang shahih!


Para Sahabat Senantiasa Menjaga Rasulullah saw.

Riwayat-riwayat di atas yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. senantiasa dijaga para sahabatnya sehingga ayat tersebut turun, setelahnya beliau meminta mereka tidak lagi menjaganya… riwayat-riwayat itu seperti telah saya katakan adalah tidak dapat dibenarkan sama sekali…. karena selain alasan dan bukti yang telah lewat di saya sebtukan sebelumnya, juga karena alasan dan bukti bahwa ternyata sejarah mencatatn bahwa hingga sampai waktu yang sangat jauh setelah turunnya ayat tersebut (sesuai pendapat mereka), Rasulullah saw. tetap masih dijaga oleh para sahabat!

Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa catatan sejarah tersebut:
Al Hâkim meriwayatkan dalam Mustadrak-nya,2/326 dari ‘Ubâdah ibn ash Shâmit ra., aku (perawi) bertanya kepadanya tentang ayat surah al Anfâl, maka ia berkata, “Untuk kamilah ayat itu turun pada perang Badar. Manusia terdiri dari tiga kelompok, satu kelompok berperang melawan musuh, satu kelmpok bertugas mengumpulkan barang-barang dan menawan musuh, dan satu kelompok lagi di sekitar kemah menjaga Rasulullah saw.. Dan ketika pengumpulan barang-barang papmapasan perang, mereka berselisih …. , maka Rasulullah saw. membaginya sama rata..”

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya,2/222 bahwa Rasulullah saw. para peperangan Tabûk, bangun malam untuk shalat sementara para sahabat menjaga di belakang beliau, sehingga setelah selesai shalat, mereka menyingkir…. “

Hadis tersebut juga diimuat dalam Kanz al ‘Ummâl,12/430 dari Musnad Abdullah ibn ‘Amr ibn al ‘Âsh. Dan Al Haitsami meriwayatkannya dalam Majma’ az Zawâid,10/367 dan ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan paraa perawinya tsiqat/terpeccaya.”

Sementara seperti kita ketahui bersama bahwa peperangan Tabûk itu terjadi pada tahun akhir kehidupan Rasulullah saw.

Dalam kitab ‘Uyûn al Atsar disebutkan, “Pada peperangan Badar, ketika Rasulullah saw. tidur di Arisy (kemah khusus untuk beliau), beliau dijaga oleh Sa’ad ibn Mu’âdz. Pada peperangan Uhud dijaga oleh Muhammad ibn Maslamah, pada peparangan Khandaq dijaga oleh Zubair ibn Awwâm. Pada malam peperangan bani Quraighah beliau dijaga oleh Abu Ayyûb al Anshâri di Khaibar atau di sebagian perjalanan beliau. dan ia menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Ya Allah jagalah Abu Ayyûb sebagaimana ia menjagaku.” Dan di lembah Qira beliau dijaga oleh Bilal, Sa’ad ibn Abi Waqqâsh dan Dzakwân …. “

Dari sini dapat dimengerti bahwa dibatalkannya penjagaan Rasulullah saw. setelah turunnya ayat: “Allah memelihara kamu dari manusia” adalaah tidak berdasar!

Dan untuk sementara saya cukupkan diskusi kita dalam masalah ini, untuk menyoroti tuduhan palsu yang dilontarkan tanpa malu dan tanpa rasa tanggung jawab.

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (7)


Tuduhan Keji Tanpa Malu

Dalam kaitannya dengan ayat al Balâgh, sebagian ulama Ahlusunnah meriwayatkan sebuah pernyataan dari al Anbâri –salah seorang tokoh kenamaan mereka- sebagai berikut: “Adalah Nabi saw. menampakkan sebagian Al Qur’an ketika beliau tinggal di Mekkah, dan merahasiakan sebagian lainnya karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari kejahataan kaum Musyrik yang akan dilamatkan keepada dirinya dan kepada para sahabatnya.”[1]


Pernyataan itu jelas sebuah kepalsuan belaka!!

Akan tetapi yang aneh dari peenyataan tersebut adaalah sikap sebagain ulama Ahlusunnah seperti al Qurthubi dalam Tafsir-nya dan al Qasthallani dalam Irsyâd as Sârî fî Syarah Shahih al Bukhari-nya. Mereka justeru meluapkan kemarahan dan murka serta kutukannya atas kaum Syi’ah yang mereka tuduh meyakini keyakinan tersebut!

Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya,6/243:
“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad saw, merahasiakan sesuatu dari wahyu maka ia telah membohongkan Allah –Ta’ala-. Allah berfirman:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.

Semoga Allah menjelakkan wajah-wajah kaum Rafidhah yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. merahasiakan sebagian wahyu yang dibutuhkan manusia.”

Tuduhan yang sama juga dilontarkan oleh al Qasthallani dalam Irsyâd as Sâri,7/106.

Coba Anda perhatikan tuhudan keji yang mereka lontarkan kepada Syi’ah Ali as. mereka menuduhnya bahwa Syi’ah telah menuduh Rasulullah saw. telah merahasiakan materi wahyu yang dibutuhkan umat manusia. Sementara pada kenyataannya keyakinan sesat itu adalaah pendapaat menyimpan yang diyakini oleh tokoh kenamaan Ahlusunnah yaitu al Anbâri, seperti disebutkan al Wahidi dalam tafsir al Wasîth-nya.

Demikianlah, ayat al Balaâgh yang turun sebagai keutamaan Imam Ali as. kini, di tangan mereka ddijadikan senjata untuk memerangi Imam Ali as. dengan memerangi dan menuduh secara keji Syi’ahnya! Dan kejahatan seperti itu bukan kejahatan tunggal yang dilakukan musuh-musuh Imam Ali as.

Setelah menyaksikan keji dan menyimpangnya pendapat al Anbâri yang sangat mencoreng wajah ulama Ahlusunnah, mereka bukan mengkritiknya atau menyalahkannya dan atau mengecamnya. Akan tetepi jusretu berbalik mengecam Syi’ah dengan mengada-ngada kepalsuan atas naama mazhab mereka. Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaih Râji’ûn, Wallahul Must’ân.

Yang menjaddi keyakinan Syi’ah terhadap para imam mereka, utamanya Imam Ali as. adalah bahwa mereka adalah para perawis ilmu kenabian. Seluruh tafsir dan kandungan Al Qur’an ada pada mereka! Semua sunnah Rasulullah saw. telah mereka warisi dengan sempurna!

Tidak ada satu meteri agama pun yang dibutuhkan umat di masa beliau yang belum beliau Rasulullah saw. Sementara hal-hal lain beliau telaah sampaikan kepada para imam suci Ahlulbait as. aagaar mereka tablighkan di masa kepemimpinan mereka masing-masing sesuai dengan kebijakan Allah SWT.

Dan yang sangat menherankan adalah bahwa kalangan Ahlusunnah meyakini kenyakinan serupa tentang Rasulullah saw., di mana Rasulullah saw. dengan sengajaa merahasiakan sebagian materi wahyu yang dibutuhkan umat manusia dari mereka dan hanya mentablighkannya kepada Abu Bakar seorang! Tidak kepada seorang pun selain Abu Bakar!

Coba perhatikan pada kasus hukum waris para nabi as., ternyata dalam keyakinan Ahlusunnah, Nabi saw. hanya menyampaikan hukum itu kepada Abu Bakar seorang! Bahkan kepada keluarganya yang jusretu sangat berkepentingan untuk mengetahui hukum itu sekali pun tidak beliau beritahukan!

Dalam kasus dimana Rasulullah saw. harus dikebumikan, tidak seorang pun diberitahu Rasulullah saw. di mana beliau seharusnya dikebumikan, sehinggga para sahabat berselisih. Hanya kepada Abu Bakar seorang Nabi saw. memberitahukan!

Serta masih banyak contoh lainnya dalam hal ini! Walaupun Anda berhak bertanya-tanya akan kebenaran riwayat-riwayat tentang masalah tersebut.

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (8)


Sikap Syeikh Agung Wahhabi; Nashiruddin al Albâni Tentang Hadis Ghadir

Diriwayatkannya hadis Ghadir dan hadis tentang sebab turunnya ayat al Balâgh dalam kitab-kitab kalangan Jumhur adalah bukti pemeliharaan Allah SWT akan agama-Nya, sebab pada dasarnya hadis Ghadir adalah bukti kuat penunjukan Imam Ali as. sebagai pemimpin, Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. karenanya sebagian kaum Nawâshib (para pembenci Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw.) merasa sakit hati terhadapnya, dan benar-benar dibuat kebingungan untuk menentukan sikap terhadapnya, yang kemudian mencari-cari cela dan mengada-ngada catat pada hadis tersebut, walau harus menjungkir balikkan etika penelitian dan kaidah-kaidah yang berlaku. Dan seperti biasanya, senjata kaum lemah adalah memuaskan nafsu mereka dengan caci-maki, kata-kata keji dan tuduhan palsu!

Sebelumnya Anda telah menyaksikan bagaimana Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb- pendiri aliran Wahhabiyyah- mencacat tanpa dasar hadis tersebut!

Kini, Anda saya ajak melihat sikap tokoh andalan kaum Wahhabiyyah dan yang selalu dibanggakan dalam penelitian hadis, ia adalah Syeikh Nâshiruddîn al Albâni. Dalam bukunya Silsilah al Ahâdits ash Shahîhah (yang penuh kesalahan dan kontradiksi seperti buku-bukunya yang lain), al Albâni mengatakan, “Nabi saw. senantiasa dijaga sehingga turun ayat: والله يعصمك من الناس, maka Rasulullah mengeluarkan kepala beliau dari qubah (kemah) dan bersabda kepada para penjaga, ‘Wahai manusia, pergilah kalian, karena Allah telah memeliharaku.’”

Hadis ini diriwayatkan oleh at Turmudzi,2/175, Ibnu Jarir,6/199 dan al Hâkim,2/3 dari jalur al Hârits ibn Ubaid dari Sa’ad al Jariri dari Abdu ibn Syaqiîq dari Aisyah, ia berkata, “…. .”

Dan setelah berpanjang-panjang menyebutkan mana yang benar di antara jalur periwayatan hadis di atas, dan setelah menyebutkan hadis Ibnu Hibbân dalam Shahih-nya:1739 dari Abu Hurairah melalui dua jalur bahwa ayat tersebut turun disebabkan ada seorang Arab Baduwi yang menyerang Nabi saw. di kemahnya di sa’at beliau tertidur, lalu membangunkan dan mengancam akan membunuhnya dengan mengatakan, ‘Hai Muhammad, siapakah yang akan menyelamatkanmu malam ini dariku? Dan Nabi menjawab, ‘Allah’. Maka Allah menurunkan ayat itu dalam peristiwa tersebut … setelah itu semua, ia menuangkan kemarahannya kepada Syi’ah, ia berkata, “Ketahuilah bahwa kaum Syi’ah mengaku –menyalahi hadis-hadis yang telah lewat- bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum tentang Ali ra.. Mereka menyebut beberapa riwayat yang kebanyakannya adalah berstatus mursal (tidak bersambung sanadnya) dan mu’dhal di antaranya adalah hadis riwayat Abu Sa’id al Khudri, dan ia tidak shahih darinya, seperti telah saya tahqîq dalam kitab Silsilah al Ahâdîts adh Dah’îfah:4922 …. dan setelah menuduh ulama Syi’ah sebagain yang gemar berbohong dan menghalalkannya dengan nama taqiyyah, serta menipu, dengan mengutip vinis Ibnu Taimiyyah (musuh bebuyutan Syi’ah yang tidak pernah jujur terhadap mereka), ia melanjutkan, “dan yang lebih jelas kebohongannya darinya (Syarafuddin) adalah Khumaini, ia menegaskan dalam kitabnya Kasyfu al Asrâr:149 bahwa ayat al Ishmah (al Balâgh) turun di Ghadir Khum berkaitan dengan imamah Ali ibn Abi Thalib sesuai dengan pengakuan ulama Ahlusunnah dan kesepakatan Syi’ah. Demikian ia katakan, semoga Allah memperlakukannya dengn yang layak baginya!”

Ibnu Jakfari berkata, “Wahai tuan al Albâni, tinggalkan kebiasaan mencaci, menuduh dan menvonis sembarangan…. sebab ia adalah senjata kaum lemah! Tinggalkan pula mengkalsivikasi manusia menjadi sekte yang jujur dan gemar berbohong… di antara penganut Syi’ah sebagaimana di antara penganut Ahlusunnah pasti beragam! Tetapi kaum Nawâshib yang gemar menolak dan mengkafiri nash-nash keutamaan Ahlulbait as., dan gemar menuduh secara palsu para pecinta mereka perlu ditetapkan atas mereka hukum dan sikap tertentu!

Dan jika Anda mengandalkan Ibnu Taimiyyah ddalam menilai kaum Syi’ah, maka sangat riskan, sebab seorang yang tidak pernah jujur dan obyektif sikapnya terhadap Imam Ali as. dan hadis-hadis keutaman beliau, apa munkin akan obyektif dan jujur terhadap para pecinta beliau?!


Bukankah Anda sendiri telah membantah kekejian sikap Ibnu Taimiyyah ketika menvonis palsu bagian akhir hadis Ghadir yang mutawatir itu, ketika itu Anda membantahnya dengan panjang lebar dan teliti serta mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah dalam sikapnya itu bergesah-gesah sebelum meneliti seluru jalur-jalurnya, seperti yang Anda tegaskan dalam Silsilah al Ahâdîts sh Shahîhah:344.

Ketika Anda menvonis hadis-hadis tentang turunnya ayat al balâgh di Ghadir Khum berkaitan dengan imammah Ali as. sebagai hadis-hadis mursal dan mu’dhal, apakah Anda telah meneliti seluruh-jalur-jalurnya?

Sudahkah Anda telah meneliti jalur hadis-hadis tersebut dalam riwayat ats Tsa’labi, riwayat Abu Nu’aim, riwayat al Wâhidi, riwayat Abu Sa’id as Sijistâni, riwayat al Hiskâni dengan mengecek satu persatu sanadnya, lalu Anda mendapatkannya riwayatriwayat mursalah dan mu’dhalah?!

Atau jangan-jangan Anda juga terjatuh dalam kubangan fanatisme dan ketergesah-gesahan dalam menvonis setiap riwayat yang bertolak belakaang dengan doktrin mazhabnya.

Sayang Anda telah meninggalkan alam baqa’ ini sehingga tidak dapat menanggapi apa yang saya katakan ini, namun paling tidak, harapan saya bahwa para pengagummu dari kalangan kaum Wahhabi dan Salafi dapat membelamu dan mau melakukan penelitian terhadap beberapa saja dari jalur-jalur hadis tersebut.

Di sini saya minta mereka sanggup melakukan penelitian terhadap sanad/jalur riwayat-riwayat hadis tersebut dalam kitab Syawâhid at Tanzîl, karya al Hâkim al Hiskâni –murid imam al Hâkim an Nisâbûri penulis al Mustadrak, pada riwayat dengan nomer:
1) 244 dari Abu Sa’id al Khudri.
2) 245-246,249 dan 250 dari Ibnu Abbas.
3) 247 dari Abdullah ibn Abi Aufâ.
4) 248 dari Muhammad al Baqir ibn Ali ibn Husain.

Dengan catatan gunakan kaidah dan metodologi yang biasa digunakan Syeikh al Albâni, dan jangan mendhaifkan seorang perawi di sini yang ia tsiqahkan ditempat lain hanya karena ia meriwayaatkan hadiss keutamaan Imam Ali as.!!

Dan sebenarnya apa yang telah saya sebutkan sebelumnya di awal pembahasan ini sudah cukup sebagai bukti keshahihan riwayat-riwayat tersebut, andai mereka mau bertaqwa kepada Allah dan bersikap jujur serta meningggalkan fanatisme terkutuk!


Turunnya ayat Ikmâluddîn (1)

Di antara bukti-bukti yang mempertegas bahwa sabda Nabi saw. untuk Imam Ali as. di Ghadir Khum itu menunjuk pada makna kepemimpinan, imamah, selain turunnya ayat al Balâgh sebelum peristiwa Ghadir tersebut, adalah turunnya ayat al Ikmâl setelahnya.

Setelah Nabi saw. menyampaikan sabdanya yang mengangkat Ali as. sebagai imam dan pemimpin tertinggi umat Islam setelah Rasulullah saw. Maka Allah Allah SWT menurunkan ayat dan menegaskan bahwa sekarang agama telah sempurna dan nikmat Allah pun telah lengkap!

Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5];3)

Turunnya ayat tersebut di atas dalam kaitan penyampaian hadis Ghadir adalah bukti nyata dan kuat bahwa yang dimaksud dengan sabda suci tersebut adalah kepemimpinan Imam Ali as., sebab tidak ada selain imamah dan khilafah yang pantas dijadikan penyempurna agama dan kelengkapan nikmat. Karenanya, imamah adalah sendi penting dalam agama, yang dengannya agama menjadi sempurna dan nikmat menjadi lengkap!

Bukti bahwa ayat tersubut turun dalam kaitan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum telah diriwayatkan dalam beberapa riwayat Ahlusunnah dari Rasulullah saw. melalui beberapa sabahat dan tabi’in, di antaranya Abu Sa’id al Khudir, Abu Hurairah, Jabir ibn Abdillah dan Mujahid.


Para Ulama Ahlusunnah Meriwayatkannya!

Hadis tentang turun ayat al Ikmâl dalam kaitan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum telah diriwayatkan oleh puluhan ulama Ahlusunnah melalui banyak jalur periwayatan. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa nama di antara mereka:
1) Ibnu Jarir ath Thabari (w.310 H)
2) Ad Dâruquthni (w.385 H).
3) Abu Hafs ibn Syâhîn (w.385H).
4) Abu Abdillah al Hâkim an Nîsâbûri (w.405H).
5) Abu Bakar Ibnu Mardawaih (w.410 H).
6) Abu Nu’aim al Ishfahâni (w.430 H).
7) Abu Bakaar Ahmad ibn Hasan al Baihaqi (w.458 H).
8) Abu Bakar al Khathîb al Baghdâdi (w.463 H).
9) Abu al Hasan Ibn Naqûr (w. 470 H)
10) Abu Sa’id as Sijistâni (w.477H).
11) Ibnu Al Maghâzili (w.483H).
12) Abu al Qâsim al Hâkim al Hiskâni.
13) Hasan ibn Ahmad al Haddad al Isfâhâni (w. 515 H)
14) Abu Bakar ibn al Marzûqi (w. 527 H).
15) Abul Hasan ibn Qubais (w. 530 H).
16) Abul Qasim ibn as Samarqandi (w. 536 H).
17) Abu al Fath an Nathanzi (w. 550 H).
18) Abu Manshur as Sahr Dâr ibn Syirawaih ad Dailami (w. 558 H).
19) Al Muwaffaq ibn Ahmad al Makki al Khawârizmi (w. 568 H).
20) Ibnu ‘Asâkir ad Dimasyqi (w.571 H).
21) Abu Hâmid Sa’aduddîn ash Shâlihâni.
22) Abu al Mudzaffar Sibtu Ibn Jawzi (w. 654 H).
23) Abdurrazzâq ar Ras’ani (w.661 H).
24) Syaikhul Islam al Hamaini al Juwaini (w. 722 H).
25) Ibnu Katsir ad Dimasyqi (w. 774 H).
26) Jalaluddîn as Suyuthi (w.911 H).

Mereka itulah para ulama Ahlusunnah yang meriwayatkan dalam buku-buku mereka riwayat tentang turunnya atas al Ikmâl terkait dengan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum.

Di bawah ini saya ajak pembaca untuk melihat langsung sebagian riwayat mereka agar menjadi jelas keshahihannya, tidak seperti anggapan sementara orang yang tidak bertanggung jawab!


o Riwayat Abu Nu’aim al Isfahâni:

Dalam kitab Mâ Nazalâ Fi Ali Min al Qur’ân,[1] Abu Nu’aim al Isfahâni meriwayatkan hadis sebagai berikut:

حدّثنا محمّـد بن أحمد بن عليّ بن مخلّد، قال: حدّثنا محمّـد بن عثمان بن أبي شيبة، قال: حدّثني يحيى الحماني، قال: حدّثنا قيس بن الربيع، عن أبي هارون العبدي، عن أبي سعيد الخدري ـ رضي الله عنه ـ: أنّ النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم دعا الناس إلى عليٍّ عليه السلام في غدير خمّ، وأمر بما تحت الشجر من الشوك فقمّ، وذلك يوم الخميس، فدعا عليّـاً، فأخذ بضبعيه فرفعهما حتّى نظر الناس إلى بياض إبطَي رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم، ثمّ لم يتفرّقوا حتّى نزلت هذه الآية: (اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاِسلام ديناً)، فقال رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: الله أكبر على إكمال الدين وإتمام النعمة، ورضا الربّ برسالتي وبالولاية لعليٍّ من بعدي.
ثمّ قال: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه، اللّهمّ والِ من والاه، وعادِ من عاداه، وانصر من نصره، واخذل من خذله.
فقال حسّان بن ثابت: ائذن لي يا رسول الله أن أقول في عليٍّ أبياتاً تسمعهنّ.
فقال: قل على بركة الله.
فقام حسّان فقال: يا معشر مشيخة قريش! أتبعها قولي بشهادة من رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم في الولاية ماضية. ثمّ قال:
يناديهم يـوم الغــدير نبـيـّهم * بــخـمّ وأسمع بالنبي مناديا
يقول فمن مولاكــم ووليّـكم * فقـــالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
إلهك مولانـا وأنـت ولـيّـنـا * ولـن تجـدنْ منّا لك اليوم عاصيا
فقال له: قم يا علــيّ فـإنّنـي * رضيتـك من بعـدي إماماً وهاديا
هنـاك دعـا اللّـهـمّ والِ ولـيّه * وكن للذي عادى عليّـاً معاديا.

Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Mukhallad menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata,Yahya al Himmani menyampaikan hadis kepadaku, ia berkata, Qais ibn Rabî’ menyampaikan hadis kepada kami dari Abu Harun al ‘Abdi dari Abu Sa’id al Khudri ra., bahwa Nabi saw. mengajak manusia kepada Ali as. di Ghadir Khum. Beliau memerintah agar duri-duri di bawah beberapa pohon disapu, ketika hari kamis, lalu Nabi memanggil Ali, dan mengangkat kedua lengannya dan mengankat sehingga putih ketiak beliau terlihat oleh orang-orang, kemudain sebelum mereka berpisah turun ayat ini:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat- Ku, dan telah Ku- ridai Islam itu jadi agama bagimu.”

Maka Rasulullah saw. bersabda, “Maka besar Allah atas penyempurnaan agama dan pelengkapan niktat, atas kerelaan Tuhan dengan kerasulanku dan dengan kepemimpinan,wilayah Ali sepeninggalku.”

Kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang Ali maulâ-nya maka Ali juga maulâ-nya. Ya Allah bimbinglah orang yaang menjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan musuhi yang memesuhinya. Belalah yang membelanya dan hinakan yang menghinakannya.”

Lalu Hassân ibn Tsâbit berkata memohon, “Wahai Rasulullah izinkan aku menggubah beberapa bait syair tentang Ali yang akan engkau dengar.”

Maka beliau bersabda, “Katakan atas keberkahan dari Allah!”

Maka Hassân bengun dan berkata:
Di Ghadir Khum Nabi memanggil mereka*** duhai alangkan lantangnya seruannya.

Beliau bersabda ”Siapa maulâ dan wali kalian kalian*** maka mereka menjawab dengan tegas…

Tuhanmu adalah maulâ kami dan engkau adalah wali kami*** dan engkau tidak akan mendapatkan kami pada hari yang menentangmu

Maka beliau bersabda: “Hai Ali! Bangunlah, Sesungguhnya aku tela rela engkau menjadi pemimpin/imam dan pemberi petunjuk sepeninggalku”.

Ketika itu Nabi berdoa, “Ya Allah bimbinglah yang menjadikan Ali pemimpinnya*** dan jadilah Engkau musuh atas yang memusuhi Ali.”


Sekilas Tentang Para Perawi dalam Sanad di Atas

Pada jalur periwayat diatas terdapat beberapa nama perawi yang perlu kita kenal lebih jauh, seperti:

o Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Mukhallad yang dikenal dengan nama Ibnu Muharram (w.357 H).
Ia adalah salah seorang murid terdekat Ibnu Jarir ath Thabari.


Ad Dâruquthni berkata:

لا بأس به.

Ia tidak apa-apa.[2]

Demikian juga dengan penilaian Abu Bakar al Burqâni.[3]

Sementara itu adz Dzahabi mensifatinya dengan seorang Imam, Mufti (memberi fatwa) yang panjang umur.[4]

Sebagian orang menilainya kurang baik disebabkan adanya beberapa hadis munkar dalam buku-bukunya, akan tetapi hal itu tidak cukup alasan untuk melemahkannya, sebab mereka tidak menjelaskan hadis-hadis munkar apa yang mereka maksud, bisa jadi yang mereka maksud adalah hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. seperti hadis yang beliau riwayatkan di atas!

o Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah.
Adapun Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah telah lewat dibicarakan sebelumnya.


o Yahya al Himmâni.

Beliau adalah salah seorang perawi yang dipercaya Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dan termasuk salah seorang guru Imam Abu Hatim, Muthayyin dan para pembesar ulama hadis lainnya. Tidak sedikit di antara ulama yang telah menukil pernyataan pujian untuknya dari Yahya ibn Ma’in. ia berkata:

صدوق ثقة

“Ia (Yahya al Himmâni) adalah jujur dan tsiqah/terpercaya.”[5]

Dan selain Yahya ibnu Ma’in, tidak sedikit ulama dan pakar al jarh wa at ta’dîl yang mentsiqahkannya. Dan mereka yang berusaha mencacatnya hanya terdorong karena rasa dengki dan hasud semata, serta karena sikapnya yang tegas terhadap Mu’awiyah (musuh bebuyutan Imam Ali as.) Yahya pernah berkata:

كان معاوية على غير ملّة الاِسلام.

”Adalah Mu’awiyah itu di atas agama selain Islam..”[6]


o Qais ibnRabî’

Adapun Qais ibn Rabî’ ia adalah perawi yang dipercaya dalam meriwayatkan hadis dalam Sunan Abu Daud, at Turmudzi dan Ibnu Mâjah.

Al Hâfidz Ibnu Hajar berkata:

صدوق، تغيّر لمّا كبر… .

Ia shadûq, ia berubah hafalannya ketika usia tuanya… .[7]


o Abu Harun al ‘Abdi

Adapun Abu Harun yang nama lengkapnya ‘Umârah ibn Juwain adalah seorang tabi’in yang sangat terkenal. Ia dipercataya Imam Bukhari dalam kitab Khalq A’mâlil ‘Ibâb, dan juga at Turmudzi dan Ibnu Mâjah. Ia adalah guru ats Tsawri dan Hamâd serta tokoh-tokoh lainnya. Sebagian orang ada yang membincangkannya disebabkan kesyi’ahnya.

Ibnu Abdil Barr berkata:

كان فيه تشـيّع، وأهل البصرة يفرطـون فيمن يتشـيّع بين أظهرهم لاَنّهم عثمانيّون

“Padanya terdapat ketasyayyu’an. Sementara itu penduduk Bashrah sangtat sinis terhadap oran yang bertasyayyu’ di tengah-tengah mereka sebab mereka (penduduk Bashrah) adalah Utsmaniyyuûn (anti Imam Ali as.)”

Setelah menukil kata-kata Ibnu Abdil Barr di atas, Ibnu Hajar berkata:

قلت: كيف لا ينسبونه إلى الكذب، وقد روى ابن عديّ في الكامل عن الحسن بن سفيان، عن عبـد العزيز بن سلام، عن عليّ بن مهران، عن بهز ابن أسد، قال: أتيت إلى أبي هارون العبدي، فقلت: أخرج إليّ ما سمعت من أبي سعيد.
فأخرج لي كتاباً، فإذا فيه: حدّثنا أبو سعيد: إنّ عثمان أُدخل حفرته وإنّه لكافر بالله.
قال: قلت: تقرّ بهذا؟!
قال: هو كما ترى!
قال: فدفعت الكتاب في يده وقمت.

“Saya berkata, Bagaimana mereka tidak menuduhnya sebagai pembohong, sementara Ibnu Adi dalam kitab al Kâmilnya menukil dari Hasan ibn Sufyân dari Abdul Aziz ibn Sallâm dari Ali ibn Mahrân dari Bahz ibn Asad, ia berkata, ‘Aku mendatangi Abu Harun al ‘Abdi, lalu aku berkata kepadanya, “keluarkan kepadaku riwayat yang Anda dengar (nukil) dari Abu Said! Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab (buku catatan), ternyata di dalamnya terdapat, “Abu Said menyampaikan hadis kepada kami, bahwa Utsman di masukkan ke dalam liang kuburnya dalam keadaan kafir krpada Allah.”

Aku berkata kepadanya, “Apakah engkau mengakui (kebenaran)nya?

Ia berkata, “ia (riwayat itu) seperti yang engkau saksikan!”

Lalu aku serahkan kitab itu dan aku pergi.”[8]

Karena itu, dalam Taqrîbnya, Ibnu Hajar berkata:

متروك، ومنهم من كذّبه، شـيعي.

Ia ditinggalkan, di antara mereka ada yang membohongkannya (menuduhnya berbohong). Ia seorang Syi’ah).[9]

Akan tetapi apabila kita jujur dan obyektif, sulit rasanya menertima vonis Ibnu Hajar di atas, sebab pada kenyataannya Qias bukanlah seorang perawi yang dibuang/matrûk, karena ia telah dipercaya Imam Bukhari sebagai perawi dalam selah sebuah kitab karyanya, sebagaimana ia juga dipercaya menjadi perawi dalam dua di antara enam kitab Shihâh Ahlusunnah. Adapan tuduhan bahwa ia berbohong telah Anda maklumi penyebabnya, yaitu kesyi’ahnya. Semantara kesyi’ahan seorang perawi tidaklah akan mencacat ketsiaqahannya, seperti telah dijelaskan panjang lebar dalam kajian para ulama Ahlusunnah sendiri. Dan sebagai bukti, bahwa ratusan parawi Syi’ah menjadi andalah periwayatan hadis dalam kitab-kitab Shahih Ahlusunnah, termasuk Shahih Bukhari dan Muslim.


Referensi:
[1] Sebagaimana dikutip dalam kitab Khashâish al Wahyi al Mubîn:61-62.
[2] Siyar A’lâm,16/61. Dan redaksi pujian seperti di atas adalah redaksi tingkat kedua, sepeti redaksi pujian Shadûq/jujur. (Tadrîb ar Râwi,1/343).
[3] Tarikh Baghdad,1/31 dan Syadzarât adez Dzahab,3/26.
[4] Siyar A’lâm,16/60.
[5] Penetapan status seorang perawi dengan kata-kata Tsiqah adalah pujian tingkat pertama, seperti juga kata-kata mutqin, Tsabtun, Hujjatun, ‘adlun hâfidzun,dan tsâbtun. (Tadrîb ar Râwi,1/342).
[6] Lebih lanjut silahkan baca Tahdzîb at Tahdzîb,11/213-218.
[7] Taqrîb at Tahdzîb,2/128.
[8] Tahdzîb at Tahdzîb,7/361-362.
[9] Taqrîb at tahdzîb,2/49.
__________________________________



o Riwayat Ibnu ‘Asâkir ad Dimasyqi

Ibnu ‘Asâkir telah meriwayatkan hadis tentang turunnya ayat al Ikmâl berkaitan dengan pengangkatan Imam Ali di Ghadir Khum dari berbagai jalur. Ia meriwayatkan dari jalur al Khathîb, seperti yang telah lewat saya sebutkan dari Tarikh Baghdad-nya, kemudian setelahnya ia berkata:

أخبرناه عالياً أبو بكر ابن المزرفي، أنبأنا أبو الحسين ابن المهتدي، أنبأنا عمر بن أحمد، أنبأنا أحمـد بن عبـدالله بن أحمد، أنبأنا عليّ بن سعيد الرقّي، أنبأنا ضمرة، عن ابن شوذب، عن مطر الورّاق، عن شهر بن حوشب، عن أبي هريرة… .

Abu Bakar ibn al Marzûqi mengabarkan kepada kami secara ‘aliyan,[1]ia berkata, Abul Hasan ibn al Muhtadi mengabarkan kepada kami, ia berkata, Umar ibn Ahmad mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad mengabarkan kepada kami, ia berkata Ali ibn Sa’id mengabarkan kepada kami, ia berkata Dhamrah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syaudzab dari Mathar al Warrâq dari Syahru ibn Hausyab dari Abu Hurairah…. .

Ia juga berkata:

وأخبرناه أبو القاسم ابن السمرقندي، أنبأنا أبو الحسين ابن النقور، أنبأنا محمّـد بن عبـدالله بن الحـسين الـدقّاق، أنبأنا أحمـد بـن عبـدالله بن أحمد بن العبّـاس بن سالم بن مهران المعروف بابن النيري… .

Dan Abul Qâsim as Samarqandi mengabarkan kepada kami, ia berkata Abul Hasan ibn Naqûr mengabarkan kepada kami, ia berkata, Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ad Daqqâq mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Abbas ibn Sâlim ibn Mahran yang dikenal dengan nama Ibnu an Niari… .[2]


o Sekilas Tentang Jalur Ibnu ‘Asâkir

Pada jalur Ibnu ‘Asâkir di atas terdapat beberapa nama parawi yang perlu Anda ketahui, seperti:

(1) Abu Bakar ibn al Marzûqi (w.527 H)
Ibnu al Jauzi berkata:

سمعت منه الحديث، وكان ثقة ثبتاً عالماً، حسن العقيدة.

“Aku mendengar hadis darinya, ia seorang yang tsiqah, tsabtun/kokoh lagi alim, akidahnya bagus.”[3]

Adz Dzahabi berkata:

كان ثقة متقنا.

“Ia seorang yang tsiqah lagi mutqin/rapi dalam periwayatan.”[4]

(2) Abul Hasan ibn al Muhtadi (w.465 H)
Tentangnya, Al Khathîb berkata:

كان ثقة نبيلاً.

“Ia seorang yang tsiqah lagi mulia.”

As Sam’âni berkata:

كان ثقة حجّة، نبيلاً، مكثراً.

“Ia seorang yang tsiqah, Hujjajh, mulia dan banyak meriwayatkan hadis.”

Ibnu Nursi berkata:

كان ثقة يقرأ للناس.

“Ia seorang yangt tsiqah, membacakan Al Qur’an untuk orang-orang (mengajar Al Qur’an).”

Adz Dzahabi berkata:

الاِمام العالم الخطيب، المحدّث، الحجّة، مسند العراق، أبو الحسين محمّـد بن عليّ بن محمّـد… سيّد بني هاشم في عصره… .

“Ia seorang Imam yang alim, orator ulung, muhaddis, hujjah, Musnidnya penduduk Irak, Abul Hasan Muhammad ibn Ali ibn Muhammad… penghulu bani Hasyim di masanya.”[5]

(3) Umar ibn Ahmad yang dikenal dengan nama Ibnu Syâhîn (w.385 H)
Al Khathîb berkata tentangnya:

كان ثقة أميناً.

“Ia tsiqah lagi terpercaya.”

Ibnu Makûla berkata:

هو الثقة الاَمين.

“Ia adalah tsiqah lagi amanat.”

Hamzah as Sahmi menukil ad Dâruquthni sebagai mengatakan:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Abu al Walîd al Bâji berkata:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Al Azhari berkata:

كان ثقة.

“Ia adalah tsiqah.”

Adz Dzahabi berkata:

ابن شاهين الشيخ الصدوق، الحافظ، العالم، شيخ العراق، وصاحب التفسير الكبير، أبو حفص عمر بن أحمد… .

“Ibnu Syahîn adalah Syeikh yang shadûq/jujur, hafidz, alim, guru besar penduduk Irak, penulis kitab Tafsir yang besar; Abu Hafsh Umar ibn Ahmad….”[6]

(4) Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad.
Ia adalah Ibnu an Nairi yang telah lewat kami sebeutkan. Adapun parawi lainnya dalam sanad ini akan kami bicarakan nanti.


Jalur Kedua:
Sedangkan pada jalur kedua ada beberapa nama yang perlu kita telaah, seperti:

(1) Abul Qâsim as Smarqandi (w.536 H)

Ibnu ‘Asâkir berkata:

كان ثقة مكثراً.

“Ia adalah tsiqah lagi banyak meriwayatkan.”

As Salafi berkata:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Adz Dzahabi berkata:

الشيخ الاِمام، المحدّث، المفيد، المسند، أبو القاسم إسماعيل بن أحمد… .

“Ia adalah Syeikh (guru besar) Imam, Muhaddits, Mufîd, Musnid; Abul Qâsim Ismail ibn Ahmad… .”[7]

(2) Abul Husain ibn an Naqûr (w.470 H)

Al Khathîb berkata:

كان صدوقا.

“Ia jujur.”.

Ibnu Khairân berkata:

ثقة.

“Ia tsiqah.”.

Adz Dzahabi berkata:

ابن النقور، الشيخ الجليل الصدوق، مسند العراق، أبو الحسين أحمد بن محمّـد بن أحمد بن عبـدالله بن النقور البغدادي البزّاز… .

“Ibnu an Naqûr adalah seorang Syeikh yang agung lagi jujur/shadûq, Musnid penduduk Irak; Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ibn an Naqûr al Baghdadi al Bazzâr…. .”[8]

(3) Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ad Daqqâq. Yaitu anak saudara Mîni yang telah lewat dibicarakan.
(4) Ahmad ibn Abdullah …. Ibnu an Nairi. Teleh lewah dibicarakan.

Sementara itu, para perawi lainnya akan dibicarakan nanti.

Referensi:
[1] Maksudnya dengan sanad yang pendek/sedikit perantaraannya, dan yang demikian itu makin menambah kualitas sanad dibanding jika mata rantai perawi dalam sanad itu panjang. Demikian dijelaskan para ulama.
[2] Tarikh Damasqus, ketika menyebut diodata Imam Ali as.,2, hadis dengan nomer 575-578 dan585.
[3] Al Muntadzim,17/281.
[4] Siyar A’lâm,19/631.
[5] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,18/241.
[6] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,168/431.
[7] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,20/28.
[8]Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,18/372.

_________________________________


Kenaifan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, rujukan utama dan kebanggaan kaum Wahhabi menolak hadis turunnya ayat tersebut pada peristiwa Ghadir Khum dengan tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti ilmiah… ia membantahnya hanya dengan bermodalkan retorika kosong dan kata-kata tak jelas arah dan tujuan.

Allamah al Hilli (rahmatullah ‘Alaihi/semoga rahmat Allah menyelimutinya) berdalil dengan ayat al Ikmâl. Beliau berkata:

Bukti ketiga adalah firmah Allah –Ta’ala-:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاِسلام ديناً.

Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Sa’id al Khudri, bahwa sesungguhnya Nabi saw. mengajak manusia ke Ghadir Khum …..

Lalu Ibnu Taimiyah membantahnya dengan mengulang-ulang apa yang ia katakan ketika membantah turunnya ayat sebelumnya (ayat al Balâgh), ia berkata:

إنّ مجرّد عزوه إلى رواية أبي نعيم لا تفيد الصحّة!
وإنّ هذا الحديث من الكذب الموضوع باتّفاق أهل المعرفة بالموضوعات!
وهذا لا يعرفه أهل العلم بالحديث، والمرجع إليهم في ذلك.
وإنّ هذه الآية ليس فيها دلالة على عليٍّ ولا إمامته بوجهٍ من الوجوه، بل فيها إخبار الله بإكمال الدين وإتمام النعمة على المؤمنين، ورضا الاِسلام ديناً.
فدعوى المدّعي أنّ القرآن يدلّ على إمامته من هذا الوجه كذب ظاهر.

”Sesungguhnya dengan sekedar menyandarkan hadis kepada Abu Nu’aim tidak memberi faedah keshahihan hadis tersebut!

Hadis itu adalah kebohongan lagi palsu berdasarkan kesepakatan para pakar yang mengetahui hadis-hadis palsu!

Hadis itu tidak dikenal oleh para ulama Ahli Hadis yang menjadi rujukan dalam masalah itu.

Ayat tersebut tidak terdapat di dalamnya petunjuk tentang imamah Ali sama sekali. Di dalamnya hanya ada pemberitaan Allah disempurnakannya agama dan dilengkapinya nikmat atas kaum Mukminin, serta kerelaan Islam sebagai agama.

Dan klaim orang yang mengaku bahwa Al Qur’an menunjukkan imamah Ali dari sisi ini adalah kepalsuan nyata.”

Ia juga berkata:

وإن قال: الحديث يدلّ على ذلك.
فيقال: الحديث إنْ كان صحيحاً فتكون الحجّة من الحديث لا من الآية، وإن لم يكن صحيحاً فلا حجّة في هذا ولا في هذا، فعلى التقديرين لا دلالة في الآية على ذلك… .

“Jika ada yang berkata, “Hadis telah menunjukkan hal itu.”

Maka akan dijawab bahwa hadis itu jika ia shahih, maka sebenarnya yang menjadi hujjah (dalam masalah ini) adalah hadis bukan ayat (tersebut). Dan jika ia tidak shahih, maka sama sekali tidak ada hujjah, tidak pada hadis itu sendiri tidak juga pada ayat tersebut. Maka dengan demikian, sama sekali tidak ada petunjuk untuk hal itu … “[1]

Ibnu Jakfari berkata:
Sebenarnya Allamah al Hilli berdalil dengan ayat tersebut yang telah ditafsirkan berdasarkan hadis. Jadi ia berdalil dengan ayat bukan dengan hadis! Sementara itu hadis yang sedang menafsirkan ayat tersebut adalah shahih, bukan mawdhû’ (palsu) seperti yang diaku Ibnu Taimiyah. Bukti-bukti keshahihannya telah saya paparkan sebelumnya. Dan apa yang dikatakannya tidak lebih dari sekedar fanatisme buta dan tidak bertanggung jawab! Para ulama telah menshahihkannya… para perawinya-pun telah memenuhi kualitas parawi hadis shahih! Jadi siapakah Ahli Hadis dan Pakar Peneliti yang ia maksud?! Mengapakah tidak satupun dari mereka itu ia sebutkan namanya dan atau keterangannya?!

Kebohongan seperti itu sudah sering kami dengar/baca dari Ibnu Taimiyah dan koleganya! Semoga kita dijauhkan dari kebutaan dalam agama. Amiîn.

Referensi:
[1] Minhâj as Sunnah,7/52-55.
________________________________________


Menyoal Sikap Ibnu Katsir (I)

Setelah Anda saksikan bagaimana hadis riwayat turunnya ayat al Ikmâl dalam peristiwa Gadir Khum itu sangat kuat dan melalui perawi-perawi terpercaya, dan bagaimana Anda saksikan penolakan tanpa dasar oleh Ibnu Taimiyah, maka kini Anda akan dapati Ibnu Katsir juga tidak kalah bersemangatnya dalam menolak kashahihan hadis tentangnya! Kendati harus meruntuhkan kaidah-kaidah yang semestinya ia perhatikan. Ia menuduh hadis riwayat Abu Hurairah dalam masalah ini sebagai munkarun jiddan/sangat munkar bahkan kidzbun/kebohongan belaka!

Perhatikan komentar Ibnu Katsir di bawah ini:

فأمّا الحديث الذي رواه ضمرة، عن ابن شوذب، عن مطر الورّاق، عن شهر بن حوشب، عن أبي هريرة، قال: لمّا أخذ رسول الله صلّى الله عليـه [وآله] وسـلّم بيـد عليٍّ قال: من كـنت مـولاه فعليٌّ مـولاه؛ فأنـزل الله عزّ وجلّ: (اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي). قال أبو هريرة: وهو يوم غدير خمّ، من صام يوم ثمان عشرة من ذي الحجّة كتب له صيام سـتّين شهراً.
فإنّه حديث منكَر جدّاً، بل كذب، لمخالفته لِما ثبت في الصحيحين عن عمر بن الخطّاب أنّ هذه الآية نزلت في يوم الجمعة يوم عرفة، ورسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم واقف بها كما قدّمنا.
وكذا قوله: إنّ صيام يوم الثامن عشر من ذي الحجّة، وهو يوم غدير خمّ، يعدل صيام ستّين شهراً؛ لا يصحّ؛ لاَنّه قد ثبت ما معناه في الصحيح أنّ صيام شهر رمضان بعشرة أشهر، فكيف يكون صيام يوم واحدٍ يعدل ستّين شهراً؟! هذا باطل.
وقد قال شيخنا الحافظ أبو عبدالله الذهبي ـ بعد إيراده هذا الحديث ـ هذا حديث منكَر جدّاً.
ورواه حبشون الخلاّل وأحمد بن عبـدالله بن أحمد النيري ـ وهما صدوقان ـ عن عليّ بن سعيد الرملي، عن ضمرة.
قال: ويروى هذا الحديث من حديث عمر بن الخطّاب، ومالك بن الحويرث، وأنس بن مالك، وأبي سعيد، وغيرهم، بأسانيد واهية.
قال: وصدر الحديث متواتر، أتيقّن أنّ رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم قاله.
وأمّا: اللّهمّ وال من والاه؛ فزيادة قويّة الاِسناد.
وأمّا هذا الصوم فليس بصحيح.
ولا والله ما نزلت هذه الآية إلاّ يوم عرفة قبل غدير خمّ بأيّام. والله تعالىأعلم.

”Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Dhamrah dari Ibnu Syaudzab dari Mathar al Warrâq dari Syahr ibn Hausyab dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘Ketika Rasulullah saw. mengangkat tangan Ali beliau bersabda, ‘Barang siapa yang aku pemimpinnya maka Ali juga pemiminnya, maka Allah menurunkan ayat:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي

Abu Hurairah berkata, ‘Ia adalah hari Ghadir Khum, barang siapa berpuasa pada hari ke delapan belas bulan Dzul Hijjah maka Allah menulis baginya pahala puasa enam puluh bulan.’

Hadis ini adalah munkarun jiddan/sangat munkar bahkan ia kebohongan belaka, sebab ia menyalahi apa yang tetap dalam Shahihain (Bukahri& Muslim) dari Umar ibn al Khaththâb bahwa ayat tersebut turun pada hari Jum’at di padang Arafah, sementara Rasulullah saw. berdiri, seperti telah lewat kami sebutkan.

Demikian juga sabda: “Sesungguhnya berpuasa pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah yaitu hari Ghadir Khum menyamai puasa enam puluh bulan” adalah tidak benar, sebab telah tetap hadis yang mengatakan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan menyamai sepuluh bulan, lalu bagaimana puasa sehari saja dapat menyamai enam puluh bulan?! Ini jelas kepalsuan!

Syaikh kami, al Hafidz Abu Abdillah adz Dzahabi setelah membawakan hadis di atas ia berkata, ‘Ini adalah hadis yang sangat munkar.

Hadis itu telah diriwayatkan oleh Habsyûn al Khallâl dan Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad an Nairi, -keduanya adalah shadûq/jujur- dari Ali ibn Sa’id ar Ramli dari Dhamrah.

Ia berkata, “Dan hadis ini juga diriwayatkan dari Umar ibn al Khaththâb, Malik ibn Huwairits, Anas ibn Malik, Abu Sa’id dan selainnya dengan sanad yang lemah.”

Ia (Adz Dzahabi) berkata, “Bagian awal hadis itu adalah mutawatir. Saya yakin bahwa Rasulullah saw. menyabdakannya.”

Adapun sabda:

أللهُمَّ والِ من والاه

Ia adalah tambahan yang kuat sanadnya.

Adapun puasa itu (yang disebutkan Abu Hurairah) ia tidak shshih.

Demi Allah ayat tersebut tidak turun melainkan di padang Arafah beberapa hari sebelum peristiwa Ghadir Khum. Wallahu A’lam/hanya Allah yang Maha Mengetahui.’”[1]

Ibnu Jakfari Berkata:
Setelah menyaksikan penolakan Ibnu Katsir di atas, mari kita perhatikan poin-poin penting di bawah ini.

Pertama:
Penolakan itu sama sekali tidak bersadar, sebab Ibnu Katsir sendiri telah mengakui bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur Dhamrah dari Ibnu Syaudzab dari Mathar al Warrâq dari Syahr ibn Hausyab dari Abu Hurairah. Sementara itu mereka semua adalah para perawi andalah para penulis kitab-kitab Shahih Ahlusunnah!

Seperti telah lewat saya paparkan, bahwa para perawi dalam jalur-jalur hadis ini para perawi tsiqat/terpercaya. Hanya saja di sini ada tambahan nama beberapa perawi yang harus kita teliti, mereka adalah:

(1) Ali ibn Sa’id ar Ramli.
Adz Dzahabi telah menegaskan bahwa perawi yang satu ini adalah tsiqah dan tidak seorang ulama’pun yang mencacatnya. Ia berkata, “Aku tidak melihatnya mengapa-ngapa, dan tidak seorang-pun mencacatnya. Ia shaleh/baik urusannya. Tidak seorang-pun dari penulis kitab Shahih mengeluarkan (meriwayatkan) hadisnya, padahal ia seorang yang tsiqah.”[2]

Menanggapi komentar adz Dzahabi di atas, Ibnu Hajar berkomentar, “Jika ia seorang yang tsiqah/jujur terpercaya, dan tidak seorang-pun mencacatnya, lalu mengapakah engkau (wahai adz Dzahabi) memasukkannya dalam daftar orang-orang dhu’afâ’/lemah…. Ia wafat tahun 216 H.”[3]

(2) Dhamrah ibn Rabi’ah al Filasthini Abu Abdillah ar Ramli(w.202 H).
Ia seorang perawi yang diandalkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad dan juga oleh empat penulis kitab Shahih Ahlusunnah (At Turmudzi, Abu Daud, Ibnu Mâjah dan an Nasa’i).

Abdullah putra Imam Ahmad menukil dari ayahnya ia berkata, “Ia (Dhamrah) adalah seorang yang shaleh, shaleh hadisnya,[4] termasuk orang-orang tsiqât/jujur terpercaya lagi amanat, di kota Syam tidak ada seorang yang menyerupainya. Ia lebih kami sukai dibanding Baqiyyah. Baqiyyah tidak memperhatikan dari siapa ia menyampaikan hadis.”

Utsman ibn Sa’id ad Dârimi berkata menukil Yahya ibn Ma’in dan an Nasa’i “Ia seorang yang tsiqah/jujur terpercaya.”

Abu Hatim berkata, “Ia shaleh.”

Muhammad ibn Sa’id berkata, “Ia seorang yang tsiqah, terpercaya lagi baik, tiada di kota Syam seorang yang lebih afdhal darinya,tidak al Walîd tidak juga selainnya, ia wafat tahun 202 H. Abu Daud, at Turmudzi, an Nasa’i dan Ibnu Mâjah meriwayatkan hadis darinya.”[5]

Adam ibn Yunus berkata, “Tidak ada seorang yang lebih menyadari apa yang keluar dari kepalanya seperti Dhamrah.”

Adz Dzahabi juga menukil banyak pujian ulama tentangnya, seperti Ahmad dan Ibnu Yunus.[6]

(3) Abdullah ibn Syaudzab (w.156 H).
Nama lengkapnya Abdullah ibn Syaudzab al Balkhi al Bashri. Ia berdomisi di kota Syam, tepatnya di Baitul Maqdis. Ia seorang Tabi’în… para Ahli hadis telah meriwayatkan hadis darinya, di antaranya Abu Ishaq al Fizâri, Dhamrah ibn Rabî’ah, Isa ibn Yusuf, Abdullah ibn Mubarak, Salamah ibn Iyar al Fizâri, Walîd ibn Mazîd, Ayyub ibn Suwaid, Ibrahim ibn Adham, Ibnu Muslim al Haffâf al Halabi dan Muhammad ibn Katsîr al Mashîshi.

Ia adalah perawi andalan Abu Daud, at Turmudzi, an Nasa’i dan Ibnu Mâjah.

Adz Dzahabi berkata, “Ia ditsiqahkan oleh banyak kalangan, jamâ’ah, memandangnya mengingatkan kita akan keagungan para malaikat.”[7]

Ibnu Hajar berkata, “Ia shadûq dan abid (ahli ibadah).”[8] Sufyan ats Tsawri berkata, “Ia tergolong guru-guru kami yang tsiqât/jujur terpercaya.”

Yahya ibn Ma’in dan an Nasa’i berkata, “Ia tsiqah.”

Abu Hatim berkata, “Ia tidak mengapa-ngapa.”[9]

Dan Ibnu Hibbân memasukkannya dalam daftar para perawi tsiqah.

(4) Mathar al Warrâq (w.129 H)
Ia adalah perawi andalan Imam Bukhari dalam bab at Tijarah fil Bahri (Perniagaan di Laut) dan juga perawi andalan Imam Muslim dan empat penulis kitab Shahih lainnya.[10]

Adz Dzahabi telah menyebutkan pujian para ulama terhadapnya dalam kitab Hilyatul Awliyâ’-nya,3/75-76.

(5) Syahr ibn Hausyab (w112 atau 111 atau 1oo atau 98 H).
Ia perawi andalan Imam Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad dan juga Imam Muslim dalam Shahih-ya dan empat penulis kitab Shahih Ahlusunnah lainnya.

Dan ini semua sudah cukup untuk mengenali kualitas Syahr ibn Hausyab dan ketsiqahannya.

Jika demikian keadaannya, lalu bagaimana Ibnu Katsir berani mengatakan bahwa ia adalah hadis palsu, kidzbun, hanya dengan satu alasan yang tidak berdasar yaitu karena ia bertentangan dengan riwayat Bukhari & Muslim! Sebab untuk menvonis sebuah hadis/riwayat itu palsu/kidzbun diperlukan kehati-hatian dan penelitian secara seksama serta melibatkan berbagai kaidah-kaidh yang berlaku dalam tindak tarjîhât (pengunggulan antara satu riwayat atas riwayat lainnya) dan upaya serius dalam mentaufiqkan (mengharmoniskan/mengkompromikan) antara riwayat-riwayat yang secara dzahir terkesan saling bertentangan! Tidak dapat dengan semudah itu menvonis secara serampangan bahwa hadis ini atau itu palsu!

Pertama yang ingin saya ingatkan di sini, dalam kasus kita ini adalah tidak adanya keseimbangan antara dua riwayat yang diasumsikan saling bertentangan sehingga salah satunya harus dibuang oleh Ibnu Katsir. Sebab hadis Bukhari & Muslim yang ia maksud adalah memuat ucapan/pendapat Umar ibn al Khaththâb, sementara hadis yang menerangkan turunnya ayat tersebut di Ghadir Khum adalah sabda Nabi saw.

Melakukan uji kualitas itu akan benar jika dilakukan terhadap dua atau lebih hadis yang sama-sama dari Nabi saw. atau sama-sama memuat ucapan para sahabat!

Adapaun dalam kondisi ada sebuah atau beberapa hadis dari Nabi saw. maka terlebih dahulu hadis-hadis itu diuji kualitasnya untuk diketahui mana yang shahih mana yang dha’if atau mana yang lebih shahih. Jika ternyata tidak ada sebuah hadis shahih-pun dalam masalah tersebut baruah kita dibenarkan mencari tau tentang masalah tersebut dari ucapan para sahabat atau tabi’in!


Inilah etika yang seharusnya diindahkan ketika kita meneliti riwayat!

Kedua, andai kita menerima cara berfikir Ibnu Katsir yang mencampur-adukkan antara sabda Nabi suci saw. dan ucapan Umar ibn al Khaththâb, maka di sini tidak bebararti tertutup jalan kompromi di hadapan kita sehingga harus mengambil jalan pintas tanpa dasar dengan mengatakan hadis Abu Hurairah itu munkarun jiddan bahkan kidzbun, seperti yang ia lakukan!

Sebab masih banyak teori yang harus kita libatkan dalam menghadapi kasus semacam itu. Di antaranya, -dan jalan ini saya tempuh dengan sedikit mengalah kepada Ibnu Katsir dkk. bahwa hadis Bukhari & Muslim itu untuk sementara waktu saya terima keshahihannya!- adalah demikian:

Para ulama dan Ahli Tafsir dalam menyikapi kasus-kasus semacam ini menawarkan sebuah teori pengharmonisan dengan mengatakaan bahwa ayat tersebut turun dua kali. Langkah pengharmonisan antara dua riwayat atau lebih dalam satu kasus/tema dengan cara seperti itu adalah banyak disampaikan ulama dan mereka terima keabsahannya serta mereka lakukan.

Jalaluddin as Suyuthi membahas panjang lebar teori ini dalam kitab al Itqân Fi ‘Ulumil Qur’an-nya, ia mengatakan, “(Jenis kesebelas): Ayat-ayat yang turun berulang kali. Sekelompok ulama’ klasik dan kontemporer menegaskan bahwa di antara ayat-ayat Al qur’an ada yang turun berulang kali. Ibnu Hashshâr berkata, ‘Terkadang sebuah ayat turun berulang kali sebagai peringatan dan nasihat…. ‘

Kemudian ia menyebutkan beberapa contoh tentangnya.[11]

Az Zarkasyi menulis sebuah pasal, ia berkata, “Terkadang sebuah ayat diturunkan dua kali sebagai pengagungan atasnya dan sebagai pengingat ketika terjadi sebab serupa karena khawatir dilupakan… .” Setelahnya ia menyebutkan beberapa contoh kasus tersebut.[12]

Dan terkait khusus kasus kita ini, Sibth Ibn Jauzi menolak klaim dha’ifnya hadis turunnya ayat tersebut di Ghadir Khum, ia menyebutkan asumsi bahwa ayat itu turun dua kali.[13]

Jadi sepertinya, Ibnu Katsir belum perlu mengambil sikap ekstrim dengan menvonis palsu hadis Abu Hurairah!

Referensi:
[1] Al Bidayah wa an Nihayah,5/213-214.
[2] Mîzân al I’tidâl,4/125.
[3] Lisân al Mîzân,4/227.
[4] Redaksi pujian seperti:shalehul Hadits/shaleh hadisnya adalah redaksi pujian tingkat empat dalam urutan yang diterangkan an Nawawi dalam at Taqrîb-nya. (baca Tadrîb ar Râwi,1/445).
[5] Tahdzîb al Kamâl,13/319, dan juga perhatikan keterangan pada catatan pinggir kitab tersebut.
[6] Al Kâsyif, 2/38 dan Duwal al Islam, tentang peristiwa tahun 202 H.
[7] Al Kâsyif,1/356.
[8] Taqrîb at Tahdzîb,1/423.
[9] Tahdzîb at Tahdzîb,5/255-261.
[10] Tahdzîb al Kamâl,28/551 dan Tahdzîb at Tahdzîb,2/252.
[11] Al Itqân Fi ‘Uluml Qur’an,1/47-48. Al Halabi-Mesir.
[12] Al Burhân Fi ‘Uluml Qur’an,1/54. Dar al Fikr-Bairut.
[13] Lebih lanjut baca Tadzkirah al Khawâsh: 29-30.

____________________________________

Menyoal Sikap Ibnu Katsir (II)


Pahala Puasa Hari Raya Ghadir

Adapun penolakannya terhadap janji Allah atas orang yang berpuasa di hari Ghadir Khum adalah sama sekali tidak berdasar dan terasa sangat aneh serta terkesan “pelit” dan membatasi keluasan rahmat dan pahala Allah atas amalan-amalan yang Ia syari’atkan. Terlebih lagi ternyata telah datang banyak hadis yang menjanjikan pahala-pahala serupa untuk puasa-puasa sunnah lainnya dan kebenaran hadis-hadis tersebut diterima para ulama, seperti:


o Pahala Puasa Hari Pengangkatan Karasulan.

Al Halabi menukil dari al Hafidz ad Dimyâthi[1] dalam Sirah-nya hadis Abu Hurairah, “Barang siapa berpuasa pada hari ke 27 bulan Rajab maka Allah menulis baginya puasa enam puluh bulan. Ia adalah hari Jibril turun atas Nabi saw. dengan karasulan dan hari pertama Jibril turun.”[2]

Syeikh Abdul Qadir al Jîlâni menyebutkan dalam kitab Ghunyah ath Thâlibîn-nya sebuah hadis dari Abu Hurairah dan Salman bahwa Nabi saw. bersabda, “Di bulan Rajab ada sebuah hari dan malam, barang siapa berpuasa di siang dan berdiri (ibadah/shalat) di malamnya maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa dan beribadah selama seratus tahun. Hari itu adalah hari kedua puluh tujuh.”[3]


o Pahala Puasa Beberapa Hari di bulan Rajab.

Syeikh Abdul Qâdir al Jîlâni juga meriwayatkan beberapa hadis, di ataranya dengan sanad bersambung kepada Ali ibn Abi Thalib ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barang siapa berpuasa satu hari darinya maka Allah menulis baginya puasa seribu tahun, barang siapa berpuasa dua darinya maka Allah menulis baginya puasa dua ribu tahun, dan barang siapa beerpuasa tiga harinya maka Allah menulis baginya puasa tiga ribu tahun.’”[4]

Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Barang siapa berpuasa tiga hari dalam bulan Rajab dan beribadah di malam harinya, maka baginya pahala orang yang berpuasa dan beribadah tiga ribu tahun, Allah mengampuni untuk setiap harinya tujuh puluh dosa besar, memenuhi tujuh puluh hajatnya di saat naza’ (pencabutan nyawa), tujuh puluh hajat di alam kuburnya, tujuh puluh hajat ketika buku catatan amal dibagikan, dan tujuh puluh hajat di mizan (penimbangan amal) serta tujuh puluh hajat di shirâth (jembatan penyembarangan menuju surga).”[5]

Serta banyak hadis-hadis lain.


o Puasa Hari ‘Arafah.

Dalam kitab Rawudhah al ‘Ulamâ[6] tentang keutamaan puasa hari Arafah disebutkan sebuah riwayat dengan sanad bersambung kepada Abu Qatâdah dari Nabi saw., “Barang siapa berpuasa hari Arafah maka baginya pahala puasa dua tauhn.”


o Puasa Tiga Hari Setiap Bulan.

Syeikh al Jîlâni meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad bersambung kepada Ali ibn Abi Thalib ra. ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘… Hai Ali ini dia Malaikat Jibril, ia mengucapkan salam atasmu.’

Ali berkata, ‘Atasmu dan atasnya salam.

Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘Mendekatlah kepadaku!’

Ali pun mendekat, setelahnya Nabi saw. bersabda, “Berpuasalah pada setiap bulan tiga hari, Allah akan menulis bagimu untuk hari pertama pahala sepuluh ribu tahun, untuk hari kedua tiga puluh ribu tahun dan untuk hari ketiga seratus ribu hatun.”

Ali berkata, “Wahai Rasulullah saw., pahala itu apakah khusus bagiku seorang atau untuk semua orang (yang mengerjakannya)?

Nabi saw. berssbda, “Hai Ali Allah akan memberimu pahala tersebut dan juga siapa yang mengerjakan amalan itu setelahmu.”[7]


o Puasa Hari Asyurâ’

Terkait dengan pahala berpuasa pada hari Asyûra (hari kesepuluh bulan Muharram) dan pada setiap hari dalam bulan tersebut, Syeikh Abdul Qadir al Jîlâni menuliskan sebuah pasal tentang keutamaannya. Di antaranya ia meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa berpuasa pada hari Asyûra maka Allah akan memberinya pahala sepuluh ribu orang yang haji dan umrah serta pahala seribu orang yang mati syahid.’”

Dalam redaksi lain, diriwayatkan, “Barang siapa hari Asyûra maka Allah menulis baginya pahala ibadah enam puluh ribu tahun dengan melaksakan puasa dan shalat.”[8]


o Puasa Enam hari Setelah lebaran Syawwal

Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan dari beberapa jalur, demikian juga dengan Abu Daud dalam Sunan-nya bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa berpuasa bulan Ramadhan kemudian ia ikuti dengan enam hari dari bulan Syawwal maka seakan ia berpuasa sepanjang masa.”[9]

Dengan memerhatikan hadis-hadis di atas, apakah Ibnu Katsir akan berani menolaknya dengan alasan seperti yang ia kemukakan ketika menolak hadis Abu Hurairah tentang keutamaan berpuasa di hari Ghadir?!

Selain itu, tidak ada dasar pasti dalam menentukan bertambahnya nilai pahala atas perbuatan kebajikan wajib atas yang sunnah. Bahkan hadis-hadis yang telah saya sebutkan di atas membimbing kita untuk menyimpulkan sebaliknya. Ditambah lagi hadis-hadis tentang pahala amalan-amalan sunnah selain puasa.

Lagi pula perlu diketahui bahwa pahala diberikan berdasarkan hakikat amalan bukan sifat aridhi/yang menempel belakangan, seperti status wajib atau sunnah, karenanya tidaklah mustahil apabila ada amalan sunnah yang pahalanya melebihi amalan wajib, hal itu disebabkan alasan-alasan tertentu yang menyebabkannya.

Di samping itu, diberikannya pahala atas sebuah amal kebajikan itu ditentukan berdasarkan kadar keimanan yang terungkap darinya serta kedalaman keyakinannya dalam jiwa sang hamba. Atas dasar itu, melaksanakan amalan di luar yang diwajibkan (yaitu amalan sunnah) dan atau meninggalkan yang dimakruhkan (kendati tidak diharamkan) pasti lebih menunjukkan keteguhan hamba dalam maqam ‘ubûdiah, penghambaan dan kepatuhan serta ketundukannya terhadap Sang Khaliq.

Dan seperti telah ditetapkan oleh para ulama Ahlusunnah bahwa pemberian pahala oleh Allah adalah murni sebagai tafadhdhlun, anugrah dan kemurahan serta ihsân, kebaikan Allah SWT, bukan karena amal kebajikan hamba. Lebih lanjut baca keterangan ar Râzi dalam tafsir ayat 51-57 surah ad Dukhân dan juga tafsir Ibnu Katsir.[10]

Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقينَ في‏ مَقامٍ أَمينٍ* في‏ جَنَّاتٍ وَ عُيُونٍ * يَلْبَسُونَ مِنْ سُندُسٍ وَ إِسْتَبْرَقٍ مُتَقابِلينَ* كَذلِكَ وَ زَوَّجْناهُمْ بِحُورٍ عينٍ * يَدْعُونَ فيها بِكُلِّ فاكِهَةٍ آمِنينَ لا يَذُوقُونَ فيهَا الْمَوْتَ إِلاَّ الْمَوْتَةَ الْأُولى‏ وَ وَقاهُمْ عَذابَ الْجَحيمِ * فَضْلاً مِنْ رَبِّكَ ذلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظيمُ .

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman. Yaitu (di dalam taman-taman dan mata-air- mata-air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap- hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.Di dalamnya mereka meminta segala macam buah- buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran), mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka, sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.“

Setelah menerangkan berbagai kenikmatan surga seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan ayat 57 sebagai berikut, “Sesungguhnya semua kenikmatan itu diberikan murni sebagai anugreh (Allah) dan kebaikan untuk mereka, seperti telah tetap dalam hadis shahih dari Rasulullah saw., ‘Berbuatlah, bersikap luruslah, saling mendekatlah dan beramallah, sesungguhnya tidaklah amal kebajikan yang memaksukkan seorang hamba ke dalam surga.’ Lalu ada yang bertanya, ‘Termasuk Anda juga wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ya, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat dan anugrah-Nya.’”[11]


Referensi:
[1] Al Dimyâthi adalah seorang Hafidz agung, Imam, Hujjah, Pakar Fikih, Ahli Nasab, Guru besar para ahli hadis, penulis banyak karya ilmiah berharga. Ia lahir di kota Dimyâth tahun 613 H dan wafat tahun 705 H. Ia berguru kepada lebih dari 1300 (seribu tiga tarus) guru/syeikh. Demikian disebutkan adz Dzahabi.
[2] Insânul ‘Uyûn (as Sirah al Halabiyah), 1/384. Dan yang aneh dari al Halabi ialah menyebutkan hadis di atas sementara itu ia berusaha menolak hadis Abu Hurairah tentang pahala puasa hari Ghadir dengan menyebut keberatan Ibnu Katsir, kendati di akhir keterangannya ia meminta kita merenungkan kembali keterangan Ibnu Katsir.
[3] Ghunyah ath Thâlibîn:502-503 darinya dinukil dalam Nuzhatul Majâlis,1/154.
[4] Ibid.483.
[5] Nuzhah al Majâlis,1/152.
[6] Rawdhah al ‘Ulamâ’ wa Nuzhah al Fudhalâ’; Ali ibn Yahya az Zanduwisti (w.382 H)
[7] Ghunyah ath Thâlibîn:738.
[8] Ibid.675 dan 675.
[9] Shahih Muslim,1/323 hadis 204 pada Kitabush Shiyâm dan Sunan Abu Daud,1/381 hadis2433.
[10] Tafsir al Kabir,7/457 dan tafsir Ibnu Katsir,4/147.
[11] Tafsir al Kabir,7/457 dan tafsir Ibnu Katsir,4/147.
________________________________

Sejenak Bersama As Suyuthi

Seperti Ibnu Katsir, Jalaluddin as Suyuthi juga bersikap serupa ketika ia menvonis tidak shahih hadis turunnya ayat al Ikmâl dalam peristiwa Ghadir Khum. Dalam kitab al Itqân-nya, as Suyuthi menulis sebab pasal tentang ayat-ayat yang turun ketika Nabi saw. di dalam kota, hadhari atau dalam pepergian, safari. Dalam pasal tersebut ia menyebutkan beberapa contoh, salah satunya adalah ayat al Ikmâl, ia berkata, “Di antaranya adalah ayat:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ

Dalam Shahih dari Umar bahwa ia turun pada sore hari Arafah pada tahun haji Wadâ’. Hadis itu memiliki banyak jalur. Akan tetapi Ibnu Mardawaih dari Abu Sa’id al Khudri bahwa ia turun pada hari Ghadir Khum. Dan hadis serupa juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, di dalamnya, ‘Ia adalah hari ke delapan belas bulan Dzul Hijjah sepulang Nabi saw. dari haji Wadâ’. Dan keduanya tidak shahih!.”[1]


Ibnu Jakfari berkata:

Sangat disayangkan sikap yang diambil as Suyuthi ketika ia menvonis dengan semena-mena hadis Abu Sa’id dan Abu Hurairah dengan kata-kata “Dan keduanya tidak shahih”!

Apabila yang beliau maksud dengan adalah “kedua hadis itu tidak shahih” dari sisi sanad dan jalur periwayatannya melalui para perawi yang cacat kualitas, maka seperti Anda telah perhatikan bersama bahwa kedua riwayat tersebut telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan melalui para perawi jujur terpercaya! Hadis Abu Sa’id al Khudri ini memiliki banyak jalur, seperti dibeber oleh Syaikul Islam al Himwaini dalam Farâid as Simthain. Selain itu hadis ini tidak terbatas hanya pada riwayat Abu Sa’id dan Abu Hurairah, ia telah diriwayatkan juga dari sahabat Jabir ibn Abdillah dan seorang pembesar mufassir tabi’în dan juga dari Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far ash Shadiq as., dan para ulama Ahlusunnah pun telah menerima tafsir keduanya dengan pengakuan.

Sebagaimana juga periwayatan hadis Abu Sa’id tidak terbatas hanya oleh Ibnu Mardawaih saja, akan tetapi para ulama lainnya juga telah meriwayatkannya dengan jalur-jalur mereka. As Suyuthi sendiri telah merangkum berbagai riwayat al Khathîb dan Ibnu ‘Asâkir dalam tafsir ad Durr al Mantsur-nya. Dan selain mereka juga banyak tokoh ulama dan ahli hadis lainnya yang meriwayatkannya seperti al Hakim an Nîsâburi, al Hafidz al Baihaqi, al Hafidz Ibnu Abi Syaibah, al Hafidz ad Dâruquthni, al Hafidz ad Dailami dll.

Dan apabila yang beliau maksud itu adalah ketidak-shahihan dari sisi matan/kandungannya yang ia anggap bertentangan dengan hadis Umar dalam Shahih Bukhari, maka tidak sepatutunya ia menvonis dengan pasti ketidak-shahihan hadis tersebut. Anggap dalam hemat as Suyuthi bahwa hadis Umar adalah yang shahih dan lebih râjih/unggul, akan tetapi seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hal itu belum cukup alasan untuk menvonis ketidak-shahihannya, sebab antara keduanya dapat diharmoniskan dengan cara mengatagorikan ayat tersebut sebagai ayat yang turun dua kali, seperti telah diasumsikan juga oleh Sibth Ibn al Jauzi! Dan teori seperti itu diterima oleh as Suyuthi sendiri.

Sepertinya As Suyuthi terprovokasi oleh sikap Ibnu Katsir yang pertama kali mendemonstrasikan penolakan semena-mena terhadap hadis Abu Hurairah!
________________________________


Pembutaan Berencana Oleh al Alusi!

Dan yang sangat disesalkan adalah sikap al Alusi dalam tafsirnya Rûh al Ma’âni ketika ia menuding kaum Syi’ah sebagai yang memalsu hadis atas nama Abu Sa’id al Khudri bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum.

Al Alusi berkata, “Syi’ah meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri bahwa ayat tersebut turun setelah Nabi saw. bersabda kepada Ali (Karramallahu Wajhahu/semoga Allah memuliakan wajahnya) di Ghadir Khum, ‘Barang siapa yang aku mawlanya maka Ali juga mawlanya’. Dan ketika turun Nabi saw. bersabda, ‘Allahu Akbar atas kesempurnaan agama, kelengkapan nikmat dan kerelaan Tuhan atas kerasulanku dan kewalian Ali sepeninggalku.’ Dan tidak samar bahwa ini adalah kepalsuan buatan mereka (Syi’ah), dan kerendahan redaksinya adalah bukti kepalsuannya sejak pertama mula… “[1]

Ibnu Jakfari berkata:
Sungguh menyedihkan sikap dan mentalitas sebagian ulama Islam yang berusaha menari-nari di atas kebodohan kaum awam dan selalu berusaha dan terus berusaha secara rapi dan teratur dalam membutakan umat dengan, misalnya mengelabui mereka bahwa hadis ini atau itu adalah palsu bualan mulut-mulut kotor dan berbisa kaum Syi’ah! Bahwa hadis ini atau itu munkar atau maudhû’! Bahwa para muhaddis Ahlusunnah tidak meriwayatkannya! Dan lain sebagainya.

Akan tetapi perlu disadari, bahwa kepalsuan dan pembutaan itu tidak akan terus-menerus berlangsung tanpa koreksi… Banyak mata “melek” yang akan memelohoti setiap kata dan stitemen yang dilontarkan para ulama seperti itu!

Apa maksud dan tujuan al Alusi dengan kata-katanya, “Syi’ah meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri”? apakah ia hendak mengatakan bahwa hadis itu hanya sebuah kelapsuan yang direkayasa kaum Syi’ah?! Dan para ulama Ahlusunnah tidak meriwayatkan dan apalagi menshahihkannya?!

Apakah ia hendak menutup-nutupi bahwa ternyata hadis tersebut telah diriwayatkan oleh para ulama dan ahli hadis Ahlusunnah?! Dan bahkan dengan banyak jalur dan dari banyak sahabat Nabi mulia ra., bukan hanya Abu Sa’id al Khudri seorang!

Mungkinkah al Alusi –sebagai seorang alim dan mufassir besar- tidak pernah membaca dan tidak mengetahui bahwa ternyata dalam riwayat Ahlusunnah banyak diriwayatkan hadis tentang turunnya ayat tersebut pada peristiwa Ghadir Khum?!

Saya tidak yakin al Alusi jahil akan hal itu! Ia pasti mengehatuinya! Dan menyadari bahwa hadis-hadis itu sangat menyulitkan kaum Nawâshib dan kaum Munafik yang sangat sakit hati terhadap keutamaan Imam Ali as. dan Ahlulbait as. Tentu ia mengetahui dan membaca hadis-hadis itu, akan tetapi saya khawatir bahwa fanatisme buta telah membelenggu pikirannya dan kemudian mendorongnya untuk bersikap subyektif!

Andai hadis tersebut tidak secara tegas menujukkan kepempinan Ali as., mungkinkah al Alusi bersikap curang seperti itu?!

Mengapakah kecurangan tersebut terpaksa ia lakukan? Tiada lain dikarenakan hadis tersebut tegas-tegas menujukkan kepemimpinan Ali as.

Adapun tuduhan bahwa kerendahan redaksi pada hadis tersebut sudah cukup sebagai bukti kepalsuannya! Maka tuduhan itu sangat ganjil dan sangat tendensius serta tidak berdasar! Sebab seperti dapat dirasakan oleh siapapun yang sedikit mau belajar bahasa Arab, pastilah ia tidak akan pernah menemukan tanda-tanda kerendahan, rakâkah pada redaksi hadis tersebut!

Rakâkah apa yang ia maksud? Kecuali jika ia membangun sebuah kaidah baru dalam Sastra Bahasa Arab, bahwa setiap sabda yang memuji Ali dan Ahlulbait as. adalah redaksi rendahan dan murahan! Tidak layak disabdakan Nabi mulia saw.!

Jika itu yang ia maksud, maka yang paling berbahagia dengannya adalah kaum Nawâshib dan musuh-musuh Ahlulbait as.! Dan sekaligus sebagai bukti kenashibiannya!

Ringkas kata, saya berharap bahwa berbagai aksi pembutaan berencana seperti itu agar segera dihentikan! Demi kemuliaan kebenaran dan tanggung jawab kita di hadapan umat dan di hadapan Allah SWT kelak di hari pembalasan!

Referensi
[1] Tafsir Rûh al Ma’âni,2/249.
___________________________________


Di antara bukti lain yang memperkuat pemaknaan hadis sabda Nabi saw. di Ghadir Khum untuk makna kepemimpinan Ali as. adalah bait-bait syair yang digubah langsung seusai peristiwa tersebut dan dengan izin, restu serta dukungan Nabi saw. terhadapnya.

Bait-bait syair tersebut telah diabadikan oleh para pembesar ulama Ahlusunnah seperti:
1. Abu Bakar Ahmad ibn Musa ibnu Mardawaih.
2. Abu Nu’aim al Isfahani.
3. Al Muwafaq ibn Ahmad al Khawarizmi.
4. Abul Fath Muhammad ibn Ali an Nathanzi.
5. Sibthu Ibn al Jauzi.
6. Abu Abdillah Muhammad ibn al Muayyad Al Kinji.
7. Al Mawaini.
8. Jalaluddin as Suyuthi


Bait-bait Syair Hassân ibn Tsâbit

Dalam kitab Mâ Nazalâ Fi Ali Min al Qur’ân,[1] Abu Nu’aim al Isfahâni meriwayatkan hadis sebagai berikut:

حدّثنا محمّـد بن أحمد بن عليّ بن مخلّد، قال: حدّثنا محمّـد بن عثمان بن أبي شيبة، قال: حدّثني يحيى الحماني، قال: حدّثنا قيس بن الربيع، عن أبي هارون العبدي، عن أبي سعيد الخدري ـ رضي الله عنه ـ: أنّ النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم دعا الناس إلى عليٍّ عليه السلام في غدير خمّ، وأمر بما تحت الشجر من الشوك فقمّ، وذلك يوم الخميس، فدعا عليّـاً، فأخذ بضبعيه فرفعهما حتّى نظر الناس إلى بياض إبطَي رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم، ثمّ لم يتفرّقوا حتّى نزلت هذه الآية: (اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاِسلام ديناً)، فقال رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: الله أكبر على إكمال الدين وإتمام النعمة، ورضا الربّ برسالتي وبالولاية لعليٍّ من بعدي.
ثمّ قال: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه، اللّهمّ والِ من والاه، وعادِ من عاداه، وانصر من نصره، واخذل من خذله.
فقال حسّان بن ثابت: ائذن لي يا رسول الله أن أقول في عليٍّ أبياتاً تسمعهنّ.
فقال: قل على بركة الله.
فقام حسّان فقال: يا معشر مشيخة قريش! أتبعها قولي بشهادة من رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم في الولاية ماضية. ثمّ قال:
يناديهم يـوم الغــدير نبـيـّهم * بــخـمّ وأسمع بالنبي مناديا
يقول: فمن مولاكــم ووليّـكم * فقـــالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
إلهك مولانـا وأنـت ولـيّـنـا * ولـن تجـدنْ منّا لك اليوم عاصيا
فقال له: قم يا علــيّ فـإنّنـي * رضيتـك من بعـدي إماماً وهاديا
هنـاك دعـا اللّـهـمّ والِ ولـيّه * وكن للذي عادى عليّـاً معاديا.

Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Mukhallad menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Yahya al Himmani menyampaikan hadis kepadaku, ia berkata, Qais ibn Rabî’ menyampaikan hadis kepada kami dari Abu Harun al ‘Abdi dari Abu Sa’id al Khudri ra., bahwa Nabi saw. mengajak manusia kepada Ali as. di Ghadir Khum. Beliau memerintah agar duri-duri di bawah beberapa pohon disapu, ketika hari kamis, lalu Nabi memanggil Ali, dan memegang kedua lengannya dan mengankatnya sehingga putih ketiak beliau terlihat oleh orang-orang, kemudain sebelum mereka berpisah turun ayat ini:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”

Maka Rasulullah saw. bersabda, “Maka besar Allah atas penyempurnaan agama dan pelengkapan niktat, atas kerelaan Tuhan dengan kerasulanku dan dengan kepemimpinan, wilayah Ali sepeninggalku.”

Kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang Ali maulâ-nya maka Ali juga maulâ-nya. Ya Allah bimbinglah orang yaang menjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan musuhi yang memusuhinya. Belalah yang membelanya dan hinakan yang menghinakannya.”

Lalu Hassân ibn Tsâbit berkata memohon, “Wahai Rasulullah izinkan aku menggubah beberapa bait syair tentang Ali yang akan engkau dengar.”

Maka beliau bersabda, “Ucapkan atas keberkahan dari Allah!”

Maka Hassân bengun dan berkata:
Di Ghadir Khum Nabi memanggil mereka *** duhai alangkan lantangnya seruannya.

Beliau bersabda ”Siapa maulâ dan wali kalian kalian *** maka mereka menjawab dengan tegas…

Tuhanmu adalah maulâ kami dan engkau adalah wali kami *** dan engkau tidak akan mendapatkan kami pada hari yang menentangmu

Maka beliau bersabda: “Hai Ali! Bangunlah, Sesungguhnya aku tela rela engkau menjadi pemimpin/imam dan pemberi petunjuk sepeninggalku”.

Ketika itu Nabi berdoa, “Ya Allah bimbinglah yang menjadikan Ali pemimpinnya *** dan jadilah Engkau musuh atas yang memusuhi Ali.”


o Nilai dan Petunjuk Dalam Syair Hassân ibn Tsâbit

Bait-bait syair Hassân ibn Tsâbit pada hari Ghadir Khum adalah bait-bait syair pertama yang mengabadikan peristiwa pengangkatan Imam Ali as. sebagai “Pemimpin Umat” pasca kerasulan. Bait-bait syair itu sangat jelas petunjuknya akan makna kepemimpinan Ali as. dan bahwa Nabi saw. bersabda kepada Ali as. ketika itu, “Bangunlah hai Ali, sesungguhnya aku telah rela menjadikanmu Imam/pemimpin dan Hâdi/pemberi petunjuk setelahku”!

Inilah makna hadis Ghadir yang beliau saw. sabdakan di hadapan sekirat setarus ribu sahabat yang menghadiri pertemuan akbar tersebut, bukan memelesetan makna seperti yang dimaukan para penakwil itu!

Jadi berdalil dengan bait-bait syair Hassân ibn Tsâbit adalaah tepat dan telah memenui standar ilmah yang dibutuhkan, sebab alasan-alasan di bawah ini:


Pertama: Hassân ibn Tsâbit adalah Seorang Sahabat.

Penggubah bait-bait syair agung itu adalah seorang sabahat Nabi mulia saw. yang menyandang berbagai sifat dan manâqib mulia. Ia seorang panyair andalan Rasulullah saw. dalam membantah serangan dan ejekan kaum kafir terhadap Nabi saw… beliau pernah mendoakan Hassân agar Allah senatiasa menguatkan Hassân dengan Ruhul Qudus dikarenakan kegigihannya dalam membela kemuliaan Nabi saw.

Aisyah ra. pernah berkata bahwa Nabi saw. berpah bersabda, “Sesungguhnya Allah menguatkan Hassân dengan Ruhul Qudus selama ia membela Rasulullah saw.”[2]

Al Barâ’ ibn Âzib berkata bahwa Nabi saw. bersabda kepada Hassân, “Seranglah (kaum-kaum kafir dengan bait-bait syairmu) dan Jibril bersamamu!”[3]


Kedua: Ia Menggubahnya Atas Izin Nabi saw.

Hassân ibn Tsâbit menggubah bait-bait syair tersebut setelah meminta izin kepada Nabi saw. dan beliau mengizinkan dengan sabdanya, “Ucapkan atas keberkahan dari Allah.” Dan hal ini adalah bukti kuat atas kehujjahan bait-bait yang ia gubah!


Ketiga: Nabi saw. Mentaqrîr

Dari riwayat para ulama dan ahli hadis Ahlusunnah terlihat jelas bahwa Nabi saw. mendengar dengan penuh perhatian dan kemudian mentaqrîr (membenarkan). Dan seperti disepakati ulama Islam bahwa taqrîr Nabi saw. adalah hujjah!


Keempat: Nabi saw. Memuji Bait-bait Hassân

Tidak cukup dengan mentaqrîr bait-bait syair yang digubah Hassân yang mengekspresikan makna dan maksud oleh sabda yang beliau khuthbahkan untuk Ali as…., tidak cukup itu, Nabi Muhammad saw. membenarkan pemahaman dan pemaknaan Hassân tersebut dengan sabda beliau, “Hai Hassân engkau senantiasa dikuatkan oleh Ruhul Qudus, semala engkau membela kami dengan lisanmu.” Seperti disebutkan dalam riwayat al Kinji dan Sibthu Ibn al Jauzi.[4]


Kelima: Bait-bait Itu Ia ucapkan Di hadapanPara Sahabat

Selain itu semua, Hassân mengubahnya di hadapan para sahabat tepat seusai Nabi saw. menyampaikan pidato bersejarah di Ghadir Khum tersebut. Dan tidak seorang pun dari para sahabat tersebut yang memprotes pemahaman Hassân atau menyalahkannya!

Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan adanya ijmâ’ dari para sahabat bahwa maksud kata Mawla adalah Imam dan Hâdi. Dan adakah redaksi yang lebih jelas menunjukkan arti kepemiminan darinya?!

Referensi:
[1] Sebagaimana dikutip dalam kitab Khashâish al Wahyi al Mubîn:61-62.
[2] Usdul Ghâbah,2/4.
[3] Al Ishâbah,1/325.
[4] Kifâyah ath Thâkib; al Kinji:64 dan Tadzkirah al Khawâsh:33.

Jadi syiah membantah atas kutipan Bukti : Fatwa Para Imam dan Ulama Tentang Kesesatan Syi’ah Abu salafy yang artikel demikian.

(Syiah-Ali/Jakfari/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: