Imigran Rohingya di perairan Thailand. (Foto: AFP/Christophe Archambault)
"Kami haus, tolong kami, kami hanya ingin air..."
Teriakan itu dilaporkan petugasBadan Pengungsi PBB (UNHCR) yang menyambangi kapal-kapal imigran etnis Rohingya di Teluk Bengal dan Selat Malaka dua hari lalu.
Rribuan pengungsi muslim Rohingya dari Myanmar itu terkatung-katung di lautan sepekan terakhir. Mereka kehabisan air bersih, bahan makanan, serta obat-obatan.
Dari temuan UNHCR, Minggu (17/5), kondisi etnis minoritas yang kabur karena dibantai warga mayoritas Buddha itu ternyata jauh lebih menyedihkan.
Belasan wanita dan anak-anak Rohingya ternyata tewas sepekan lalu lantaran berebut makanan. Dilaporkan AsiaOne, cerita ini dituturkan salah satu pengungsi selamat yang kini mendarat di Aceh Utara.
Saydul Islam (17 tahun) menyatakan melihat dengan mata kepala sendiri seorang perempuan Rohingya dan dua anaknya dibantai pengungsi lain, lantaran berebut makanan. "Sekelompok pria menggorok leher wanita itu, lalu membuang dua anaknya ke laut begitu saja," ujarnya sambil menangis.
Situasi di kapal - yang disesaki ratusan manusia - memburuk setelah calo imigran memasukkan pula warga Bangladesh di Teluk Bengal, dekat Thailand, awal bulan ini. Bahan makanan dan air segera habis.
"Saat itulah antara pengungsi saling curiga, mereka yang datang belakangan dari Bangladesh merebut makanan dari pengungsi yang paling lemah yaitu perempuan dan anak-anak," kata Saydul.
Kesaksian tak jauh beda disampaikan Sobika Begom, pemuda Rohingya. Dia kehilangan pamannya, istrinya, dan tiga putra-putrinya akibat berebut makanan dengan pengungsi lain asal Bangladesh. Begom merasa dikhianati para calo yang tiga bulan lalu berjanji mengirim mereka ke Malaysia untuk bekerja.
"Jika tahu hidup di perahu sangat kejam, lebih baik saya mati di Myanmar," tuturnya.
Thailand, salah satu negara yang kebanjiran pengungsi Rohingya, menggelar forum mengundang 15 negara lainnya, pada 29 Mei mendatang. Topik yang dibahas adalah mencari solusi atas pelarian ribuan etnis Rohingya dan Bangladesh ke Asia Tenggara. Presiden Myanmar, Thein Sein, turut diundang.
Sebagian besar pengungsi lari dari Myanmar, untuk menghindari pembantaian etnis mayoritas Rakhine yang terjadi pada 2012. Kala itu, muncul isu beberapa warga Rohingya memperkosa perempuan Buddhis, sehingga pecah konflik berlatar sentimen agama.
Malaysia mengaku sudah tidak sanggup menampung lebih banyak warga Rohingya. Ada 45 ribu pelarian dari Myanmar yang ditampung Negeri Jiran selama tiga tahun terakhir. Demikian pula pernyataan militer Thailand maupun Indonesia.
Pemerintah Myanmar menolak desakan internasional, maupun tekanan dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, agar ikut memikirkan solusi atas pelarian ribuan warga muslim Etnis Rohingya sepekan terakhir.
Negara mayoritas Buddha itu malah menyatakan tidak akan pernah mengakui sebagai penyebab krisis kemanusiaan terbesar di Asia Tenggara ini. Kepala Kantor Kepresidenan Myanmar, Zaw Htay menyatakan negaranya bersimpati pada negara-negara yang mengalami masalah penyelundupan imigran Rohingya.
Tapi mereka berkukuh sejak awal etnis muslim yang tinggal di Provinsi Arakan itu bukan warga negara Myanmar. Htay menuding negara seperti Bangladesh, sebetulnya yang menyelundupkan mereka ke lautan menjadi manusia perahu.
"Intinya Presiden kami tidak akan menghadiri forum internasional yang menggunakan istilah pengungsi maupun Rohingya," kata Htay.
Komisioner HAM PBB Zeid Raad Al Hussein mengaku terkejut saat mendengar pemerintah Thailand, Malaysia, dan Indonesia tidak akan menampung para pengungsi dalam waktu lama. Dia menyatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan kemanusiaan.
"Fokus setiap negara seharusnya dicurahkan buat menyelamatkan jiwa para pengungsi, bukan lebih lanjut membahayakan keselamatan mereka," ujarnya seperti dilansir Channel News Asia, Minggu (17/5).
PBB pun mengecam pemerintah Myanmar yang jadi pemicu persoalan ini. Sepekan terakhir, diperkirakan lebih dari 8 ribu warga Rohingya berusaha menuju Malaysia. Sekitar 600 orang terdampar di Aceh Utara, sementara 1.080 mendarat di kawasan Langkawi, Malaysia.
Sebagian besar, bersama imigran gelap Bangladesh, dijanjikan pekerjaan oleh calo. Nyatanya setelah dua bulan di lautan, mereka ditinggal begit saja.
Amerika Serikat turut mendesak negara-negara besar di Asia Tenggara untuk bersatu mengatasi arus imigran Rohingya. Bila dibiarkan terombang-ambing, para pengungsi akan tewas pelan-pelan di lautan,
"Kami mendesak pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak lagi mendorong kapal-kapal migran ke laut lepas," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Jeff Rathke.
(AFP/Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email