Pesan Rahbar

Home » » Kyai Al-Bantani: Umat Islam Dipecah Belah, Sumber Daya Alamnya Dikeruk

Kyai Al-Bantani: Umat Islam Dipecah Belah, Sumber Daya Alamnya Dikeruk

Written By Unknown on Tuesday 12 May 2015 | 04:01:00


Kyai Alawi Nurul Alam al-Bantani, ulama muda Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa isu ikhtilaf Sunni-Syiah yang saat ini kencang dihembuskan oleh kelompok takfiri, merupakan upaya untuk memecah belah persatuan Islam. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri Konferensi Internasional Gerakan Ekstimisme dan Takfiri dalam Pandangan Ulama Islam, di kota Qom, Republik Islam Iran, pada 23-24 November 2014. Konferensi ini, dihadiri oleh 350 ulama dari 80 negara.

Selaku Ketua Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama (LTM) PBNU, ia aktif terlibat dalam mensosialisasikan bahaya gerakan takfiri, baik di mimbar ataupun seminar, ataupun melalui buku. Hingga saat ini, tidak kurang dari 40 judul buku karyanya telah diterbitkan, salah satunya; Kyai NU Meluruskan Fatwa Merah MUI dan LDII.
*****

Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI dan DDII


Judul :Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI dan DDII
Penerbit : Pustaka Albantani bekerja sama dengan Pustaka Aura Semesta dan LTM PBNU
Tahun terbit : 2014
Tebal : 139 halaman

KH Alawi Nurul Alam Al Bantani dikenal sebagai Kyai NU yang gencar menyuarakan ukhuwah Islamiyah. Salah satu isu besar yang berpotensi memecah-belah kerukunan kaum muslim Indonesia adalah isu Sunni-Syiah. Melalui bukunya ini, KH Al Bantani membahas tuntas, meskipun ringkas, isu-isu yang sering dihembuskan oleh pihak-pihak yang gemar memecah-belah umat, terutama yang dilakukan melalui wadah MUI dan DDII.

Antara lain, beliau menulis bahwa perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan Syiah adalah dalam masalah cabang (furu’iyyah), bukan pokok (ushuliyyah).

Secara furu’iyyah, Imam mazhab yang empat (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafii) mengambil kurang-lebih 80 fatwa dari Imam Jafar Shadiq (imam mazhab Syiah pertama yang berpangkat mujtahid mutlak). Kalaulah dalam bab fiqih Imam Shadiq dianggap menyalahi syariat, sudah barang tentu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa’id al Amshari, Ayyub as-Sakhtiani, Aban bin Taghluba, Abu Ammar bin Ala, dari kalangan tabi’in dan ulama Ahlussunnah lainnya tidak akan berguru dan mengambil ilmu darinya. Bahkan sangat banyak kesamaan yang tidak diketahui penganut Ahlussunah wal jamaah baik dalam hal fardhu, wajib, sunnah, maupun mustahab. (hal 18)

Kemudian beliau menuliskan contoh-contoh kesamaan fatwa dalam fiqih berbagai mazhab. Beliau juga menuliskan berbagai kesamaan tradisi antara Ahlussunnah dan Syiah, antara lain peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’taj, Nifsu Sya’ban, Asyura, sama-sama suka ziarah kubur, betrawasul, istighasah, dan zikir secara berjamaah.

Lalu, dari mana sumber sikap-sikap suka mengafirkan yang mengatasnamakan ahlussunnah itu?

Menurut KH Al Bantani:
Yang mana hal ini [tradisi-tradisi tersebut di atas] diharamkan secara mutlak oleh sekte Salafi wahabi dan partai-partai pendukungnya. Kalaupun ada partai-partai pendukungnya mengadakan peringatan-peringatan seperti itu, hal tersebut hanyalah tipu daya dan pengelabuan terhadap warga Nahdiyin agar mereka bisa meraup suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Dan setelah mereka berhasil duduk sebagai wakil rakyat baik di DPRD, DPR, maupun MPR, mereka kembali membiayai dakwah sesat Salafi Wahabinya dan kembali menghujat kebiasaan warga Nahdliyin dan Syiah sebagaimana awalnya. (hal 19)

KH Al Bantani juga mengakui bahwa memang ada sekte-sekte menyimpang dalam Syiah. Beliau mendaftar ada sekitar 32 sekte Syiah yang sesat sebagaimana tercatat dalam kitab al Ghunyah lil Thalibi Thariqah al Haq karya Syekh Abdul Qadir Jailani. Dan di antara daftar itu, tidak tercantum mazhab Syiah Ja’fari.

Dalam Risalah Amman, ada fatwa dengan 3 pasal yang mengangkat masalah, yaitu kriteria Muslim; takfir (pengafiran) dalam Islam, dan dasar-dasar yang berkaitan dengan pengeluaran fatwa. Risalah Amman juga berisi pengakuan atas 8 (delapan) mazhab dan ajaran Islam yaitu: Sunni Hanafi, Sunni Hambali, Sunni Maliki, Sunni Syafi’i, Syiah Ja`fari, Syiah Zaydi, Ibadiyah, Zahiri.

Dalam sebuah pengajiannya, KH. Albantani menyoroti bahwa justru berdasarkan Risalah Amman ini, kelompok wahabi malah tidak disebut sebagai mazhab yang benar.

Artinya, menyamaratakan semua penganut Syiah sesat atau menyebut ‘Syiah bukan Islam’ adalah kesalahan.

Mengenai isu-isu yang disebarluaskan kaum Wahabi-Salafi (yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah) terkait kesesatan Syiah, KH Al Bantani juga membahasnya secara singkat satu persatu.

Misalnya, isu bahwa Syiah gemar mencaci-maki sahabat dan istri Nabi. KH Al Bantani mengutip beberapa hadis dan fatwa dari kalangan Syiah, termasuk fatwa Imam Ali Khamenei (ulama tertinggi Iran) yang justru menunjukkan bahwa perilaku tersebut tidak dibenarkan. Bila ada oknum-oknum yang membangkang terhadap fatwa ulama, tentu tidak bisa dikatakan ajarannya yang salah. Di akhir bukunya, pada halaman 131, KH Al Bantani kembali mengingatkan bahwa sesungguhnya mayoritas umat Islam dan para ulamanya di seluruh dunia menganggap Syiah sebagai saudara Ahlussunah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tubuh Islam. Justru yang menjadi musuh terbesar bagi seluruh negara adalah sekte Salafi Wahabi karena dakwahnya yang menciptakan kerusakan dan terorisme di seluruh negara berpenduduk muslim.
*****
Berikut ini adalah wawancara dengan Kyai al-Bantani, seperti yang dikutip dari Kantor Berita Abna:

Bagaimana pendapat Bapak Kyai tentang Republik Islam Iran, yang mayoritas penduduknya bermazhab Syiah?

Iran adalah sebuah negara yang didirikan oleh pendirinya untuk membangkitkan citra Islam. Terlepas bahwa penduduk mayoritas Iran adalah bermazhab Syiah, tapi yang diperjuangkan oleh Iran adalah bukan untuk mengembangkan mazhab Syiah, tapi untuk membangkitkan semangat perjuangan kaum muslimin.

Bahwa sesungguhnya musuh-musuh Islam tidak pernah berhenti untuk menghancurkan dan melemahkan kaum muslimin dan kejayaan Islam. Dan ini yang tidak dimengerti oleh banyak orang. Itu disebabkan sibghah [celupan] Allah itu sudah hilang, sehingga ghirah atau semangat keislaman itu tidak ada. Dan jika ghirah sudah tidak ada jadi untuk berpikir Islamiah itu sudah tidak ada. Sehingga orang-orang kemudian sekedar disibukkan untuk menghidupi keluarga, yang dipikirkan hanya untuk kepentingan perut. Padahal sesungguhnya jika kita bertanya, apa yang telah dipersembahkan untuk Islam, maka jawabannya ada di Iran, sejak tahun 1979 sampai sekarang. Itu jawaban untuk pertanyaan yang pertama.

Yang kedua, tidak ada masalah terhadap mazhab Syiah sebetulnya. Selama kita bisa memahami kurikulum Syiah dari orang-orang yang memang terbaik dari kalangan Syiah. Sebab di Syiah sendiri ada takfirinya, sebagaimana di Sunni juga ada takfirinya. Perlakukan beberapa gelintir orang tidak bisa mewakili semuanya, bahkan pendapat ulama itu sendiri tidak serta mewakili semuanya. Bedanya di Iran atau di mazhab Syiah itu lembaga ulama lebih terstruktur sehingga dikenal ada istilah ulama marja dan sebagainya, beda dengan di Sunni yang lebih banyak corak pada pola berpikirnya.

Banyaknya kaum muslimin yang belum mengenal dan mengerti mazhab Syiah, terutama tentang pemikiran ulama-ulamanya itu disebabkan karena kurangnya interaksi mereka dengan buku-buku dan pemikiran-pemikiran Syiah. Karenanya alangkah baiknya, saran saya, lembaga-lembaga keagamaan Syiah mengirimkan buku-buku mereka ke organisasi-organisasi Sunni dan menyatakan, ini lho karya-karya kami, bahkan kalau perlu membuat perpustakaan-perpustakaan yang berisi kitab-kitab Syiah yang mudah diakses masyarakat Sunni. Sehingga antara kedua mazhab ini bisa saling berinteraksi, tukar wawasan dan saling bersinergi, sehingga kemungkinan bersitegang itu bisa diminimalisir.

Pandangan Pak Kyai terhadap pihak yang berbeda perspektif dalam memandang Iran dan Syiah? Misalnya pandangan yang menyebut Iran itu hanya hendak menghancurkan Islam dan Syiah itu bukan bagian dari barisan kaum muslimin.

Itu hanyalah omongan-omongan orang yang tidak mengerti. Jika kita dihadapkan dengan suatu masalah, harusnya yang bicara hanyalah para ahlinya. Lha ini, yang banyak bicara justru orang yang tidak mengerti sama sekali, mereka bukanlah peneliti, bukan pula ulama. Dan ini kita harus pahami, bahwa gerakan seperti ini sudah ada sejak dulu. Mereka justru menjadi benalu dalam Islam.

Tujuan dari pihak yang sering mengadu domba dan menghembuskan fitnah Sunni-Syiah itu berbeda dan satu sama lain harus saling bermusuhan, itu sebenarnya apa Pak Kyai?

Sumber daya alam. Tidak ada lagi. Sewaktu guru ngaji saya menjelaskan makna surah al Israa ayat 1, yang berbunyi, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya,” ayat ini digali oleh AS dan Yahudi. “Kami berkahi sekelilingnya” itu, maksudnya apa? Dan dengan kemampuan teknologi mereka yang canggih dan penelitian yang serius, akhirnya mereka temukan, bahwa keberkahan yang dimaksud adalah kekayaan alam. Yang kemudian itu membuat mereka berambisi untuk menguasainya.

Untuk mengambil SDA itu, maka cara yang paling mudah dan klasik adalah dengan mengadu domba negara-negara tersebut. Menurut penelitian, 50 tahun lagi minyak di Arab Saudi itu habis. Tahun 1954 Arab Saudi pernah dibantu Inggris untuk menginvasi Suriah. Namun tidak berhasil. Sekarang mereka mencoba lagi, dengan menggunakan boneka-bonekanya. Yang mendanai persenjataan oposisi di Suriah kan Arab Saudi? Dan Negara-negara Barat berada dibalik itu. Sebab kita tahu, AS dan negara-negara Barat tidak memiliki kekayaan bumi yang memadai. Krisis minyak di Arab Saudi yang diperkirakan 50 tahun lagi, jelas sangat mengkhawatirkan mereka. Makanya mereka mencari lahan baru lagi. Nah, inilah salah satu tujuan dibentuknya ISIS itu. Tapi banyak yang tidak sadar.

Kesalahan kaum muslimin lainnya, adalah menyerahkan pemimpin umat pada orang-orang yang zalim yang hanya menjadi boneka musuh-musuh Islam. Umat dicecoki dengan hadits-hadits yang menyebutkan meskipun pemimpin itu zalim, buruk akhlaknya, selama masih shalat, maka kita tidak boleh menentangnya dan sebagainya.

Tapi bukannya mereka yang melakukan itu, menganggap dirinya adalah pejuang-pejuang Islam. Bahwa apa yang mereka sampaikan itu dalam rangka menjaga kemurnian aqidah umat?

Mereka harus tahu sejarah. Kalau memang mereka mengaku-ngaku pengikut salaf dan generasi awal. Mereka harus tahu apa yang terjadi pada generasi awal ummat ini. Konflik antar sahabat pernah terjadi, sampai saling bunuh-bunuhan dan yang memicu itu adalah kaum Khawarij. Dan perlu mereka tahu, orang-orang Khawarij juga mengklaim diri mereka sebagai pejuang Islam, membunuh orang-orang Islam itu disebutnya jihad. Tapi Rasulullah lewat hadits-haditsnya menyebut mereka sebagai anjing-anjing neraka, mereka adalah penjelmaan Dajjal, seburuk-buruknya makhluk dan sebagainya. Padahal mereka itu adalah penghafal Qur’an, menghafal ribuan hadits, shalat malamnya Masya Allah, siangnya mereka puasa, tapi justru malah memusuhi umat Islam sendiri.


Solusinya?

Solusinya selain mengerahkan serdadu untuk menghentikan mereka, kita juga harus bertempur dalam dunia pemikiran, dengan menghadang syubhat-syubhat mereka. Yang bisa menulis, menulislah. Untuk memberikan penyadaran dan pencerahan pada masyarakat luas akan kondisi yang sebenarnya. Dan ulama-ulama harus menyadari tanggungjawabnya dalam menyadarkan ummat.

Tapi bukannya MUI [Majelis Ulama Indonesia] Pusat telah mencetak dan menyebarkan buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah?

Itu oknum MUI. Malah bahkan buku itu sudah saya bantah. Kalau buku saya salah, saya pasti sudah dipanggil MUI. MUI itu -kalau mau jujur- dibentuk oleh Soeharto justru untuk memecah belah ulama, khususnya para Kyai NU. Ayo kita hitung-hitungan, ada tidak jama’ah MUI? Kalau NU jamaahnya hampir 100 juta, bukan hanya terbanyak di Indonesia tapi juga ormas Islam terbesar di dunia. Intinya, betapa pentingnya menyadari, siapa yang jadi tuan rumah, siapa yang jadi tamu.

Bagaimana tanggapan Kyai mengenai oknum yang mengatasnamakan NU kemudian hadir pada pertemuan-pertemuan yang menyerukan permusuhan kepada sesama muslim bahkan sampai mendeklarasikan gerakan anti-Syiah?

Kalaupun ada, itu hanya Kyai yang secara amaliah NU, tapi bukan orang struktur dalam organisasi NU. Kalau mewakili NU harus punya surat tugas. Itu sudah menjadi ketentuan organisasi. Misalnya, saya. Saya ini memiliki mandat dan bahkan surat tugas dari PB NU untuk mendata dan melindungi dan memberikan pencerahan kepada warga Ahlus Sunnah wal Jamaah dan masyarakat Nahdiyin dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Menyebut Syiah kafir, itu menyimpang. Mereka muslim juga. Ilmu Allah itu sangat luas, bahkan tidak terbatas. Sehingga tidak mungkin hanya dikuasai oleh satu dua kiyai saja. Para kyai harus membuka mata. Orang lain juga punya ilmu. Kalau itu berbeda bukan berarti itu salah.

*****

Deklarasi Anti Syiah dan Komunis di Malang


Seburuk-buruk permusuhan dan kebencian, menurut Alwi Shihab, cendekiawan Muslim Indonesia, adalah permusuhan yang mengatasnamakan Tuhan. Dan pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, kelompok yang menamakan dirinya Markaz Dakwah Malang, menyelenggarakan acara “Deklarasi Nasional Gabungan Masyarakat Penyelamat NKRI dari Konspirasi Syiah, Zionis, Salibis, dan Komunis Gaya Baru (KGB)”, yang bermuatan kebencian terhadap kelompok lain yang tidak sepaham. Acara ini, bertempat di Ma’had Tahfizul Qur’an Al-Firqoh An Najiyah Karangploso Malang dan dihadiri sekitar 600 orang.

Prof. DR. Mohammad Baharun, dari MUI Pusat selaku narasumber, menyatakan bahwa saat ini perpecahan NKRI di depan mata. Dan menurutnya, umat Islam harus bersatu menyelamatkan NKRI dari pengaruh aliran sesat, agar tidak terjadi seperti di Timur Tengah.

Baharun mengklaim, “Perbedaan akan membuat subur aliran sesat, seperti Syiah. Penyimpangan memang harus diamputasi untuk menyelamatkan generasi dari propaganda Syiah.”

Ia juga menghimbau untuk membesarkan komponen ormas Islam dan memberi nama anak-anak dengan nama seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Aisyah agar penganut Syiah kaget. Pasalnya, Baharun menuduh bahwa kaum Syiah gemar melaknat para Sahabat.


KH. Bukhori Ma’sum: Tumpas Syiah Sampai ke Akar-akarnya.

KH. Bukhori Ma’sum, Ketua MUI Sampang menyatakan bahwa MUI Kabupaten Madura telah menetapkan bahwa ajaran Syiah itu sesat dan menyesatkan.

“Kita harus tumpas Syiah sampai ke akar-akarnya dan sikat semua kelompok/ individu yang anti NKRI,” tegasnya.

Menurut dia, masyarakat Sampang menjunjung tinggi toleransi. Para pengungsi Syiah boleh kembali ke Madura asalkan mereka kembali ke ajaran Ahlussunah.


Habib Ahmad Zein Al-Kaff: NU dan Muhammadiyah Harus Bersatu Melawan Syiah

Habib Zein Al-Kaff, perwakilan NU Jawa Timur menyatakan bahwa Indonesia adalah bumi Ahlusunnah, namun di Indonesia saat ini masih terjadi permutadan besar-besaran. Zein memberikan tuduhan bahwa dari sekian banyak aliran sesat, yang paling berbahaya adalah Syiah.

Zein mengklaim tanpa mengajukan data bahwa kaum Ahlusunnah Iran telah dizalimi oleh pemerintah Iran.

“Kita ini sama (NU dan Muhammadiyah) dan kewajiban kita adalah bersatu. Musuh (Syiah) di hadapan kita yang berbeda segalanya masih mengadakan kegiatan. Ini pengkhianatan, yang membuktikan kalau Iman kita sangat rendah,” tambahnya.


Alfian Tanjung: PKI – Syiah

Sementara itu, Alfian Tanjung, Ketua Taruna Muslim & Pengamat Komunisme, berusaha mengaitkan Syiah dengan PKI. Menurut klaimnya, saat ini PKI tumbuh berkembang dan pada saat yang sama, Syiah semakin kurang ajar. Menurutnya, PKI dan Syiah merupakan ancaman yang nyata bagi seluruh bangsa, negara & rakyat Indonesia.

Agaknya Alfian Tanjung termasuk ‘barisan sakit hati’ karena mengungkit pilpres sebagai landasan argumennya.

“Perhatikanlah siapa saja pendukung Jokowi, yang paling utama dan menjadi inti timses Jokowi adalah kader-kader PKI atau penganut komunisme. Banyak yang tidak tahu, kini komunisme bangkit terutama di Jawa Tengah, menjalar ke seluruh Indonesia dengan munculnya fenomena Jokowi. Giliran PKI tidak diselidiki, tetapi kalau teroris langsung ditangkap,” serunya.


Kol. Purn. Herman Ibrahim: Lawan Dengan Senjata!

Sementara itu, Kol. Purn. Herman Ibrahim yang disebut oleh moderator sebagai ‘pakar intelejen’, membahas kaitan Syiah dan Ahmadiah yang dituduhnya sebagai produk Zionis. Dia menyerukan ‘pembasmian’ Syiah dan Ahmadiyah dengan ‘menggunakan senjata kita sendiri’.

“Kita harus bergabung dalam menghadapi musuh-musuh Islam!” demikian Herman memprovokasi hadirin.


Jihad Melawan Kafir?

Ustad Ir. Andri Kurniawan, M.A, dari Markaz Dakwah Malang, menyatakan bahwa berdasarkan data statistik terjadi penurunan jumlah umat Islam sebesar 21% pada tahun 2000. Menurutnya, Indonesia menjadi sasaran utama Kristenisasi dunia dalam segala lini, dan pada tahun 2020 akan terjadi pemurtadan besar-besaran.

“Ayo kita bangkitkan aqidah! Ayo kita kobarkan semangat jihad fi sabilillah sesuai yang diajarkan Rasulullah dan para sahabat! Mari kita membentuk generasi Islam yang tegas pada orang kafir dan pada aspek aqidah! Masa depan dunia ada di tangan Islam,” serunya.

Dalam acara ini, peserta diajak untuk berperang melawan aliran-aliran sesat, dan menurutnya, hal ini adalah sebuah kewajiban.


Koordinator Jaringan Gusdurian Jawa Timur: Pengobaran Kebencian Pada Kelompok Lain Adalah Hal Memalukan

Deklarasi

Terkait pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para narasumber acara Deklarasi tersebut, Liputan Islam menghubungi Bapak Aan Anshori, Koordinator Jaringan Gusdurian Jawa Timur, yang saat ini juga aktif sebagai sekretaris LPBHNU dan Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU Jombang, untuk melakukan klarifikasi.

Liputan Islam (LI): Bagaimana pandangan Bapak terkait pernyataan tokoh MUI dan NU di atas, terkait kesesatan Syiah?

Aan Anshori (AA) : Ini merupakan hal yang memalukan jika kebencian terhadap kelompok lain (seperti Syiah) terus dikobarkan. Apalagi oleh orang yang masuk dalam kategori Nahdliyyin. Tradisi takfiri itu tidak ada dalam kamus NU. Prinsip tasammuh, tawassuth, tawazzun dan i’tidal merupakan pilar utama yg harus jadi pegangan NU. Siapapun yang tidak memegang prinsip tersebut patut diragukan ke-NU-annya.

LI: Apa langkah yang harus diambil dalam kasus Syiah Sampang?

AA: Dalam konflik Syiah, NU setempat perlu mencari cara yang bermartabat untuk mencapai rekonsiliasi penuh. Inkuisisi keyakinan (mihnah) merupakan hal yang tidak perlu dilakukan. Itu bukan tradisi NU. Hal lain, sesungguhnya para tokoh yang kerap menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain bisa dijerat dengan tindak pidana. Saya berharap aparat keamanan cukup sigap untuk tidak membiarkan orang-orang seperti itu meracuni ruang publik dengan praktek intoleransi.

LI: Jadi, apa yang dilakukan Habib Zein al-Kaff ini bukan representasi NU secara umum?


AA: Tidak (hal ini bukan sikap resmi NU). Saya juga pengurus NU. Saya akan melaporkan hal ini kepada pimpinan.

Lalu, Siapa Sesungguhnya yang Anti Pancasila dan NKRI?

Telah lazim diketahui, bahwa organisasi yang paling lantang menolak demokrasi, Pancasila dan NKRI, adalah Hizbut Tahrir Indonesia, dan kelompok pendukung teroris transnasional Negara Islam Irak dan Suriah. Keberadaan HTI sampai hari ini masih tetap eksis. Sedangkan untuk ISIS, pemerintah telah mengeluarkan larangan resmi penyebaran kelompok ini di Indonesia.

Apakah Habib Zein Al-Kaff dkk, akan bergerak dan turut memerangi dan menumpas HTI dan pendukung ISIS?

Benarkah Muslim Ahlussunah Dizalimi di Iran?

Tuduhan seperti ini selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh kelompok Takfiri. Namun kesaksian berbeda justru diungkapkan oleh Prof Dr H. Imam Suprayogo, Guru Besar UIN Malang, yang telah menyaksikan sendiri kehidupan masyarakat Iran. Menurut dia, hubungan di antara umat Islam yang berbeda mazhab terjalin dengan baik.


“Sekalipun berbeda mazhab, di antara mereka berhasil menjalin kerukunan dan saling menghormati. Pimpinan pesantren ini memberikan contoh kerukunan itu, ialah misalnya di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Menurut keyakinan mazhab Sunni, Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sementara mazhab Syiah meyakini bahwa, kelahiran itu jatuh pada tanggal 17 pada bulan yang sama.

Ketika umat Islam bermazhab Sunni memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, maka pengikut mazhab Syiah diundang dan juga datang. Demikian pula sebaliknya, ketika pengikut Madzhab Syiah memperingati hari kelahiran Rasulullah itu pada tanggal 17 pada bulan yang sama, maka pengikut Mazhab Sunni juga diundang dan hadir. Masing-masing mengetahui atas perbedaan itu, namun tidak menjadikan di antara mereka saling membenci dan apalagi memusuhi.”

*****

Catatan Perjalanan Guru Besar UIN Malang di Iran


Selama berkunjung ke Iran, saya diagendakan bertemu dengan Menteri Riset dan Teknologi di kantornya. Namun oleh karena menterinya tidak ada di tempat, maka ditemui oleh Wakil Menteri dan para stafnya. Ada yang menarik dalam pertemuan di kantor itu. Diantaranya adalah nuansa ke-Islamannya. Pada saat itu terasa benar bahwa nilai-nilai Islam ingin ditunjukkan secara lebih nyata di kantor itu.

Nilai-nilai Islam yang saya maksudkan bukan saja misalnya tampak dari kebersihan yang selalu terjaga mulai bagian depan hingga kamar kecil, atau cara menerima tamu yang baik, tetapi juga sampai pada ada sesuatu yang dinyatakan secara jelas. Sebelum acara penyambutan tamu itu dimulai, setelah Wakil Menteri Riset dan Teknologi datang di tempat, maka ada salah seorang yang membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Selain itu, sebagaimana tradisi di Iran pada umumnya, dilanjutkan dengan membaca shalawat atas nabi secara bersama-sama.

Bersama para mahasiswa di Iran

Sekedar membandingkan, di Indonesia, kegiatan di kantor pemerintah yang biasa dilengkapi dengan bacaan Al-Qur’an hanyalah dalam kegiatan serimonial, misalnya peringatan hari besar Islam, seperti isra’ mi’raj, nuzulul Qur’an, dan sejenisnya. Acara-acara resmi lainnya, termasuk menerima tamu tidak akan dilakukan seperti itu. Di Iran, dalam setiap pertemuan, termasuk juga di kampus, sebelum acara resmi dimulai selalu dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan shalawat atas nabi.

Wakil Menteri Riset dan Teknologi sebelum memulai untuk memberikan penjelasan tentang kebijakan yang terkait dengan pengembangan riset dan teknologi di Iran, juga menjelaskan tentang arti penting Al-Qur’an dibaca di berbagai tempat, termasuk di kantor-kantor pemerintah. Pembacaan Al-Qur’an bukan sebatas didengarkan oleh karena keindahan lagu dan sastranya, melainkan agar apa saja yang dipikirkan, dirasakan, dan dikerjakan di tempat itu untuk kepentingan bangsa Iran selalu diwarnai oleh petunjuk kitab suci.

Di Pusat pembuatan software Islam

Dengan maksud tersebut, maka ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan ketika itu disesuaikan dengan pembicaraan yang akan dilakukan. Oleh karena di kantor itu berbicara tentang riset dan teknologi, maka beberapa ayat yang dibacakan dipilih yang ada relevansinya dengan pembicaraan itu. Selanjutnya, Wakil Menteri Riset dan Teknologi juga menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah bersifat universal. Atas dasar angggapan itu, maka kegiatan apa saja yang menyangkut kebaikan, diyakini pasti ada petunjuk dari ayat Al-Qur’an dimaksud.

Dalam kesempatan itu juga disampaikan bahwa, beberapa staf dan bahkan pejabat di kementerian riset dan teknologi Iran tidak sedikit yang hafal Al-Qur’an hingga sempurna. Mereka meyakini bahwa, dengan Al-Qur’an maka kebijakan dan arah yang dikembangkan di negerinya itu tidak akan mengalami kekeliruan. Keyakinan yang demikian itu rupanya sudah menjadi milik bersama bagi semua kalangan di Negara Republik Islam Iran ini. Itulah sebabnya, nuansa ke-Islaman menjadi terasa di mana-mana dan bukan sekedar dirasakan pada saat kegiatan ritual semata.

Shalat bersama dengan ulama-ulama di Iran

Pesantren Sunni di Tengah Masyarakat Syiah

Selama di Iran, selain mengunjungi Hauzah Ilmiah, madrasah, dan juga perguruan tinggi yang bermazhab Syiah, saya juga diundang untuk bersilaturrahmi ke pesantren pengikut mazhab Sunni. Memang dilihat dari mazhabnya, masyarakat Iran bertolak belakang dari masyarakat Islam di Indonesia. Mayoritas umat Islam di Iran adalah pengikut Syiah, namun ada juga sedikit yang mengikut mazhab Sunni. Sebaliknya di Indonesia, mayoritas mengikuti madzhab Sunni, tetapi juga ada, sekalipun jumlahnya tidak banyak, yang mengikuti mazhab Syiah.

Lembaga pendidikan Islam berupa pesantren pengikut Sunni yang saya kunjungi dimaksud adalah Darul Ulum lita’limil Qur’an wa Sunnah, berada di Khurasan, yaitu arah timur dari kota Teheran, berjarak kira-kira 900 km, sehingga dapat ditempuh selama satu jam dengan pesawat terbang dan masih harus ditambah perjalanan dengan mobil sekitar satu setengah jam lagi. Tempat di mana pesantren ini berada, lebih mengesankan sebagai wilayah pedesaan. Kesan saya, keadaan lembaga pendidikan Islam di Khurasan ini terasa mirip dengan kebanyakan pesantren di Indonesia.

Dialog bersama ulama Iran

Di di wilayah Khurasan, nama Imam Al Ghazali sangat dikenal. Untuk menuju daerah Thus, dimana ulama besar pengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin itu dilahirkan dan sekaligus juga tempat wafatnya, dari pesantren dimaksud tidak terlalu jauh. Menurut informasi yang disampaikan oleh pimpinan pesantren yang saya kunjungi, bahwa untuk sampai di makam Imam al Ghazali hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Namun oleh karena keterbatasan waktu, saya dan rombongan tidak mungkin berziarah di makam ulama besar yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia.

Di daerah Khurasan tidak semua umat Islam menjadi penganut Sunni. Sebagaimana umat Islam di Iran pada umumnya, adalah mengikuti mazhab Syiah. Namun demikian, hubungan di antara umat Islam yang berbeda mazhab tersebut terjalin dengan baik. Tatkala mendengar kabar bahwa pondok pesantren Darul Ulum li Ta’limin Qur’an wa Sunnah kedatangan tamu dari Indonesia, maka ulama Syiah juga diundang dan hadir ke tempat itu untuk bersama-sama menyambut dan memberi penghormatan.

Dialog

Pengasuh pesantren pengikut mazhab Sunni, sebagai tuan rumah juga menjelaskan bahwa, perbedaan mazhab di wilayah Khurazan tidak menjadikan umat Islam berpecah belah. Sekalipun berbeda mazhab, di antara mereka berhasil menjalin kerukunan dan saling menghormati. Pimpinan pesantren ini memberikan contoh kerukunan itu, ialah misalnya di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Menurut keyakinan mazhab Sunni, Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sementara mazhab Syiah meyakini bahwa, kelahiran itu jatuh pada tanggal 17 pada bulan yang sama.

Perbedaan keyakinan tersebut tidak melahirkan masalah. Keduanya berhasil memahami dan juga menghormati. Ketika umat Islam bermazhab Sunni memperingati hari kelahiran Nabi Muhammam pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, maka pengikut mazhab Syiah diundang dan juga datang. Demikian pula sebaliknya, ketika pengikut Madzhab Syiah memperingati hari kelahiran Rasulullah itu pada tanggal 17 pada bulan yang sama, maka pengikut Madzhab Sunni juga diundang dan hadir. Masing-masing mengetahui atas perbedaan itu, namun tidak menjadikan di antara mereka saling membenci dan apalagi memusuhi.

Menerima cinderamata dari ulama Iran

Pesantren Darul Ulum li Taklimil Qur’an wa Sunnah yang ada di Khurasan tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang tampak kharismatik dan dibantu oleh beberapa asatidz. Sama dengan di Indonesia, pesantren yang berjarak sekitar 900 km arah timur dari kota Teheran itu juga terdiri atas masjid, ruang belajar, dan tempat menginap para santri. Dari pesantren ini juga tampak gambaran kesederhaannya, kemandirian para santri, dan juga kitab kuning yang dipelajari setiap hari.

Hal yang agaknya mungkin saja berbeda dari pesantren di Indonesia, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh pengasuh pesantren Darul Ulum li Ta’limil Qur’an wa Sunnah ini, adalah bahwa sehari-hari jenis dan kualitas makanan bagi semua warga pesantren, baik pengasuh, asatidz, dan santrinya adalah sama. Tidak terkecuali, jamuan makan yang diberikan kepada tamu, termasuk kepada saya dan rombongan, menurut penuturan pengasuhnya, tidak berbeda dari makanan para santri. Nilai kebersamaan selalu diwujudkan di pesantren ini.

Di perpustakaan Ayatullah Najafi

Pesantren bermazhab Sunni yang berada di tengah-tengah mayoritas bermazhab Syiah ternyata tidak merasa terganggu. Di antara mereka terbangun saling berkomunikasi dan bahkan juga saling membantu. Informasi tentang kedatangan tamu dari Indonesia juga diperoleh dari ulama Syiah yang mengundang. Kedatangan saya dan rombongan ke pesantren pengikut mazhab Sunni di Khurasan, dijemput oleh pengasuhnya sendiri ke Kota Masyhad, tempat saya menginap, dan juga mengajak serta Pimpinan Lembaga Takrib Bainal Madzahib yang bermazhab Syiah. Melalui contoh ini, adanya perbedaan mazhab, ternyata tidak menghalangi pelaksanaan ajaran Islam yang mengharuskan agar di antara sesama selalu bersatu dan saling mengasihi.


Shalat Jum’at di Mashad Bersama Ratusan Ribu Jama’ah

Setelah mengunjungi kota Qom yang dikenal sebagai kota ilmu, saya berlanjut berziarah ke kota Mashad. Kota itu berjarak kira-kira 800 km sebelah timur kota Teheran. Naik pesawat dari ibu kota Iran itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Kota itu kiranya lebih tepat disebut sebagai kota wisata spiritual.

Silahturahim dengan Ayatullah Misbah Yazdi

Di kota Mashad terdapat masjid yang bisa menampung ratusan ribu jama’ah. Pada setiap hari, tempat ibadah itu dikunjungi oleh puluhan ribu orang. Mereka berziarah ke makam Imam Ali Ridha yang berada di tengah-tengah masjid itu. Menurut keterangan para ulama setempat, Imam Ali Ridha dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad yang ke delapan. Makamnya sangat dihormati dan dimuliakan. Orang dari berbagai negara datang ke tempat itu untuk berziarah.

Kebetulan saja, saya berkunjung ke kota itu pada hari Jum’at. Oleh karena itu, memanfaatkan waktu untuk mengikuti shalat berjamaah yang dilaksanakan seminggu sekali itu. Ratusan ribu orang ikut shalat Jum’at di masjid itu, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur Mashad. Sesuai tradisi di Iran dalam satu kota hanya diselenggarakan satu tempat shalat Jum’at.

Rupanya, kedatangan saya dan rombongan dilaporkan ke pihak pengelola masjid yang sangat dimuliakan itu. Oleh karena itu, saya dipersilahkan untuk mengambil posisi tidak jauh dari tempat imam shalat. Pada saat itu, yang menjadi imam shalat adalah Ayatullah Allamal Huda. Beliau adalah ulama besar yang ada di provinsi Mashad.

Holy shrine Imam Ridha (foto: taghribnews)

Pelaksanaan shalat Jum’at sangat protokoler, oleh karena masjid itu dianggap tidak sebagaimana masjid pada umumnya. Masyarakat Iran menganggap tempat ibadah ini sebagai tempat suci. Sehari-hari dijaga oleh pegawai pemerintah. Siapapun yang masuk masjid ini, demi keamanan, digeledah oleh security yang bertugas. Demikian pula, pada saat pelaksanaan shalat Jum’at, keamanannya dijaga sedemikian ketat.

Saya merasakan, ulama Mashad sangat menghormati tamu. Mendapatkan laporan bahwa ada rombongan tamu dari Indonesia, khotib dalam khotbahnya juga mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas keikut sertaannya di dalam shalat Jum’at di masjid yang dimuliakan itu. Bahkan, usai shalat Jum’at, saya dan rombongan diterima oleh Imam masjid, Ayatullah Allamal Huda bersama-sama gubernur dan wakil gubernur provinsi itu.

Bertempat di kantor masjid yang berukuran sangat besar itu, Ayatullah Allamal Huda kepada saya dan rombongan, yang semuanya berjumlah tujuh orang, menjelaskan tentang tiga hal yang dianggap penting bagi umat Islam pada saat ini. Pertama, bahwa umat Islam dari mazhab manapun seharusnya berusaha bersatu. Umat Islam akan unggul dan dihormati umat lainnya dengan syarat berhasil membangun persatuan itu. Dikatakan bahwa tugas itu berat, tetapi harus diusahakan.

Holy Shrine Imam Ridha. (Foto: taghribnews)

Kedua, bangsa Iran menjadi semakin maju oleh karena memiliki satu pemimpin yang diikuti oleh para pemimpin lainnya. Diakui bahwa, ada saja sementara pemimpin di lapisan bawah yang melakukan kesalahan, tetapi tidak mampu mempengaruhi kepemimpinan puncak yang selalu menjadi panutan bersama. Ketiga, bahwa di Iran ada kecintaan rakyat terhadap tokoh sentral pemimpin puncak itu. Keberhasilan itu terjadi sejak berlangsungnya revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dan kemudian diteruskan oleh para pemimpin setelahnya.

Selain itu dijelaskan pula oleh Imam Masjid kota Mashad bahwa, bangsa Iran memiliki kekuatan untuk bersatu atas dasar nilai sejarah dan penghormatan terhadap ulamanya. Salah satu ulama atau disebut imam yang sangat dihormati, dicintai, dan dimuliakan itu adalah Imam Ali Ridha yang makamnya ada di tengah-tengah masjid ini. Pada setiap harinya, baik siang dan malam, makam dimaksud diziarahi oleh puluhan ribu orang, tidak saja rakyat Iran sendiri, melainkan juga orang-orang dari berbagai negara.

Beberapa kekuatan yang disebutkan itulah, menurut penjelasan Imam Sholat Jum’at di masjid dan juga disaksikan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Mashad, hingga menjadikan bangsa Iran pada akhir-akhir ini mengalami kemajuan di berbagai bidang, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, militer, dan lain-lain. Di akhir penjelasannya, Ayatullah Allamal Huda, seorang yang amat dihormati dan berwibawa itu, menyebutkan lagi tentang betapa pentingnya umat Islam di seluruh dunia bersatu. Tanpa persatuan, umat Islam akan diganggu dan dianggap rendah oleh umat lainnya. Wallahua’lam. (Prof. Dr. H. Imam Suprayogo/LiputanIslam.com)

*Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, adalah mantan Rektor Universitas Islam Negeri Malang (2 periode), Guru Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Catatan perjalanannya ini disalin dari Official Website Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

*****


Dan sesuai data dari Majma’ al-Taqrib Bayna al-Mazhahib al-Islamiyah, masjid di Iran baik Sunni maupun Syiah bergerak menyerukan persaudaraan, persatuan, cinta pada tanah air dan Islam di antara kaum muslimin. Jadi di samping ibadah ritual, masjid juga menjadi tempat ibadah sosial, politik, dan kebudayaan. Shalat Jumat dan berjamaah juga dilakukan di masjid Sunni yang bermazhab Syafi’i atau Hanafi yang tersebar di berbagai tempat di Iran. Setidaknya, ada 12.222 masjid Sunni di Iran.

*****

Info untuk Voa-Islam : Di Iran, Sunni Memiliki 12.000 lebih Masjid


Beberapa waktu yang lalu, liputanislam.com (selanjutnya ditulis LI) memberikan kritikan kepada situs voa-islam.com (selanjutnya ditulis VOA saja) karena memberikan informasi yang keliru tentang perkembangan masyarakat ahlussunnah di Iran. Ternyata, informasi yang valid dari LI ditanggapi dengan reaksional oleh VOA dengan menurunkan artikel  berjudul  ”Liputan Islam yang Mengelak“ dengan menunjukkan data-data yang jauh dari memadai, dan hanya sekedar komentar miring oleh segelintir orang. Termasuk tentang tidak adanya masjid di Iran. Namun, sebagaimana visi LI, maka pada kesempatan ini kami akan menurunkan kembali informasi dengan data-data yang tajam, berimbang, dan terpercaya dengan sumber yang valid dari hasil penelitian oleh lembaga dunia. Data-data di liputan ini berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh Majma’ al-Taqrib Bayna al-Mazhahib al-Islamiyah (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab dalam Islam).


VOA menyatakan :
“Namun, apakah ulama Ahlussunnah yang pernah mengunjungi Iran, lebih khusus Teheran dan mengatakan tidak ada masjid khusus buat Ahlussunnah di Teheran adalah dusta. Di antara Ulama Ahlussunnah yang mengatakan demikian adalah Syaikh Musa Jarullah. Ulama Sunni asal Rusia yang mencoba melakukan taqrib antara Sunni dan Syiah. Dalam upaya taqrid ini, ia mengunjungi wilayah-wilayah terdapat populasi mayoritas Syiah dan juga menjalin komunikasi dengan Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi.

Namun subhanallah, Allah pun menyingkap tabir syiah. dalam proses taqrib itu, al-Mousawi menulis buku berjudul “Abu Hurairah” yang di dalamnya melecehkan sahabat Nabi yang agung tersebut. Dan setelah mengkaji secara observasi dan studi pustaka, maka Syaikh Musa pun menulis buku tentang syiah yang berjudul “al-Wasyi’ah fi Naqdi ‘Aqaidisy Syiah”. Maka dari itu, Dr Raghib As-Sirjany yang kami wawancarai mengatakan bahwa tidak ada satu masjid di Teheran. Apakah Dr Raghib As-Sirjany berdusta?

“Jika belum puas, maka kami sarankan agar Liputan Islam mengunjungi situs resmi Ahlussunnah Iran yang diampu oleh Syaikh Abdul Hamid (http://arabic.sunnionline.us/). Dalam jumpa pers beliau dengan jelas mengatakan bahwa Ahlussunnah sangat membutuhkan masjid untuk melaksanakan shalat fardhu. Kalau memang ada masjid, mengapa ulama Ahlussunnah yang moderat dan menjadi rujukan di Iran ini mengatakan kalau Ahlussunnah membutuhklan masjid.” (lihat : ”Liputan Islam yang Mengelak“)

Tanggapan LI :

Walaupun syiah dan Iran punya pengalaman dicurangi, yang mana banyak penulis buku tentang syiah melakukan manipulasi dan kedustaan seperti halnya Husain al-Musawi al-Kadzab yang menulis buku Lillahi Tsumma Li at-Tarikh (edisi Indonesia berjudul “Mengapa Saya Keluar dari Syiah”), tetapi, untuk menyatakan dusta atau tidak sebuah informasi maka harus dilakukan validasi dan kofirmasi data. Misalnya, yang sedang kita dibahas ini, yakni kasus tentang Masjid Sunni di Teheran. Ada dua informasi yang muncul (1). Voa menyatakan “Tidak ada masjid sunni di Teheran”; (2) LI menyatakan “Ada 9 Masjid Sunni di Teheran”. Sekarang mari kita badingkan kedua informasi tersebut.

VOA yang menyatakan “Tidak ada masjid sunni di Teheran” berpegang pada pernyataan ulama yang katanya datang ke Iran yakni Musa Jarullah dan Raghib as-Sirjani, dan juga situs Syaikh Abdul Hamid.

Sedangkan LI menyatakan “Terdapat 9 buah Masjid di Teheran” berpegang situs syiah yang memberikan data nama-nama kesembilan masjid tersebut disertai dengan alamatnya. Dari sisi ini LI memberikan data yang lebih tajam, berimbang, dan terpercaya, karena informasi itu disertai detail lokasi masjidnya. Artinya, informasi itu didasari atas penelusuran langsung di lapangan untuk mengetahui masjid-masjid tersebut. Dan informasi yang dilakukan dengan penelusuran lapangan secara detil (investigasi) jelas lebih valid dari informasi yang tidak berdasarkan penelusuran yang memadai. Dari sisi ini informasi LI jauh lebih valid dari informasi VOA. Dan jika VOA ingin menolak informasi LI, semestinya VOA menelusuri informasi tersebut, dan membuktikan di lapangan apakah informasi itu benar atau tidak. Tanpa penelusuran yang memadai, VOA tidak layak menolak informasi tersebut.

Adapun menggunakan Musa Jarullah sebagai informasi juga tidak memadai, karena Musa Jarullah mengemukakannya hal itu puluhan tahun silam. Jadi, dari sisi ini, VOA menggunakan informasi yang ketinggalan zaman, alias “sudah basi”. Anggap saja Musa Jarullah benar datang ke Iran dan menyatakan tidak menemukan masjid sunni di Iran, tetapi apakah informasinya itu masih berlaku sampai sekarang setelah puluhan tahun kemudian? Bahkan Musa Jarullah, dalam menulis buku tentang syiah juga banyak melakukan kekeliruan dan manipulasi sebagaimana dibuktikan oleh Sayid Syarafuddin al-Musawi dalam bukunya yang berjudul Ujubah Masail Jarullah.

Begitu pula informasi Raghib as-Sirjani juga tidak bisa dijadikan pegangan, karena apakah beliau telah mengelilingi seluruh Iran dan melakukan penelitian tentang masjid-masjid sunni di sana? Kalau hanya sekedar kunjungan singkat dan hanya melihat-lihat sekedarnya saja, maka tentu informasi yang diberikan oleh LI dengan menyebutkan lokasi tempat tersebut lebih valid. Selain itu, data yang dikeluarkan oleh Majma al-Taqrib berdasarkan penelitian data pada tahun 1997 terdapat lebih dari 12.000 masjid sunni di Iran yang tersebar di seluruh Iran (dalam kesempatan ini, LI nantinya akan membawakan keseluruhan data tersebut dan wilayah-wilayah dimana saja masjid itu berada, dan sekarang ini tahun 2014 diperkirakan ada lebih dari 15.000 masjid sunni. Bandingkan dengan Indonesia, ada berapa masjid komunitas syiah di Indonesia ini?, dan apakah VOA akan mendukung jika komunitas syiah Indoensia mendirikan masjid untuk mereka?). Dari sini tentu kita bisa menyimpulkan data yang dilakukan dengan penelitian oleh lembaga dunia tentang kondisi masjid sunni di Iran, sembari menyebutkan wilayah-wilayahnya dan jumlahnya secara detil lebih dapat dipercaya dari sekedar kunjungan singkat saja. Jadi, mungkin saja Raghib Sirjani tidak berdusta, hanya saja beliau kurang informasi saja, seperti VOA yang kurang informasi, sehingga cenderung memprovokasi. Adapun VOA yang membawakan situs Syaikh Abdul Hamid yang membutuhkan Masjid di Teheran, bukan berarti menafikan adanya masjid di Teheran. Mungkin saja kaum sunni merasa memang membutuhkan masjid lebih banyak di Teheran dari yang sudah ada yakni 9 masjid, tetapi sampai kini belum dibangun. Beda antara tidak ada masjid dengan membutuhkan lebih banyak masjid. Agar lebih jelas, LI akan menurunkan data-data tentang kondisi masyarakat, pelajar agama, sekolah agama dan masjid sunni di Iran

Beberapa waktu yang lalu, liputanislam.com (selanjutnya ditulis LI) memberikan kritikan kepada situs voa-islam.com (selanjutnya ditulis VOA saja) karena memberikan informasi yang keliru tentang perkembangan masyarakat ahlussunnah di Iran. Ternyata, informasi yang valid dari LI ditanggapi dengan reaksional oleh VOA dengan menurunkan artikel berjudul ”Liputan Islam yang Mengelak“ dengan menunjukkan data-data yang jauh dari memadai, dan hanya sekedar komentar miring oleh segelintir orang. Termasuk tentang tidak adanya masjid di Iran. Namun, sebagaimana visi LI, maka pada kesempatan ini kami akan menurunkan kembali informasi dengan data-data yang tajam, berimbang, dan terpercaya dengan sumber yang valid dari hasil penelitian oleh lembaga dunia. Data-data di liputan ini berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh Majma’ al-Taqrib Bayna al-Mazhahib al-Islamiyah (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab dalam Islam).

Masjid Sunni Syafi’i di Kermansyah, Iran (Foto : islamtimes)

Gambaran Umum
Istilah ahlussunnah wal jamaah (sunni) adalah mazhab mayoritas yang dianut oleh umat Islam di dunia yang mengacu kepada empat mazhab yakni : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Adapun di Iran, umumnya pengikut sunni terfokus pada dua mazhab besar yakni mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi. Mayoritas menganut mazhab Syafi’i tinggal di Pesisir Barat dan Selatan Iran. Sedangkan para pengikut mazhab Hanafi bertempat di Timur dan Utara (Baluchistan dan Khurasan), wilayah Turkmen Sahara, Propinsi Golestan. Jumlah penganut ahlussunnah di Iran berjumlah sekitar 10 persen dari seluruh jumlah penduduk Iran.


Pelajar dan Guru Agama

Pembagian Pelajar dan Guru Agama sunni terbagi ke dalam empat bagian :
- Penganut mazhab Syafi’i di wilayah Barat Iran
- Penganut mazhab Syafi’i di wilayah Selatan Iran
- Penganut mazhab Hanafi di wilayah Timur Iran
- Penganut mazhab Hanafi di wilayah Utara Iran

Jumlah pelajar dan guru agama ahlussunnah adalah sebanding dengan jumlah pelajar dan guru agama kelompok sunni (Syafi’i dan Hanafi) di Iran, yang diperkirakan mencapai 33.317 orang. Ini menjelaskan pertumbuhan jumlah pelajar dan guru agama dari mazhab Hanafi dan Syafi’i setelah kemenangan Revolusi Islam, juga menunjukkan perkembangan positif bagi kondisi masyarakat sunni di Iran.

Tabel Perbandingan Jumlah Pelajar, Guru Agama dan Sekolah Agama/Madrasah Sunni di Iran
Provinsi
Jumlah pelajar dan Guru Agama
Prosentase (Perbandingan dengan Jumlah Penduduk)
Sekolah Agama
Sistan dan Baluchistan
15.150
45,50
94
Kalistan
4.500
13,50
93
Azarbaijan Barat
2.776
8,40
90
Khurasan
3.000
9,00
41
Hormozgan
4.012
12,00
29
Kurdistan
2.228
6,60
113
Kermanshah
700
2,10
15
Fars
537
1,60
5
Busher
159
0,47
2
Gilan
255
0,76
2
Jumlah Total
33.317
100
484

Jumlah Masjid Sunni di Iran
Masjid merupakan tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melakukan ibadah, khususnya yang dilakukan oleh kaum ahlussunnah dalam melaksanakan salat jum’at dan salat berjamaah. Selain itu masjid difungsikan sebagai tempat berkumpulnya umat dari berbagai golongan melaksanakan kinerja agama dan politik. Menghidupkan masjid dilakukan oleh kaum muslimin Iran tanpa membedakan golongan ahlussunnah maupun syiah khususnya terjadi setelah kemenangan Revolusi Islam Iran.

Mesjid Sunni Syafi’i di Kermanshah, Iran (Foto : islamtimes)

Kemenangan Revolusi Islam Iran ini menciptakan iklim yang tepat bagi kaum sunni Iran untuk mencari kesejahteraan di berbagai bidang, di antaranya di bidang agama; yang menunjukkan peningkatan atas jumlah guru, pelajar, sekolah-sekolah agama dan masjid-masjid. Dari sisi lain, meningkatkan kesadaran beragama secara luas tidak terkecuali dari kelompok sunni dari sisi pertambahan jumlah pembangunan masjid-masjid sunni. Dalam hal ini, pemerintah Republik Islam Iran pun menyokong dan memberikan fasilitas bagi pembangunan masjid-masjid sunni di wilayah-wilayah pusat komunitas mereka.


Masjid di Iran baik sunni maupun syiah bergerak menyerukan persaudaraan, persatuan, cinta pada tanah air dan Islam di antara kaum muslimin. Jadi di samping ibadah ritual, masjid juga menjadi tempat ibadah sosial, politik, dan kebudayaan. Salat jumat dan berjamaah juga dilakukan di masjid sunni yang bermazhab Syafi’i atau Hanafi yang tersebar di berbagai tempat di Iran. Sesuai dengan pendataan, kelompok sunni ini memiliki 12.222 masjid di Iran.

Pembangunan masjid sunni di Iran setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979, semakin pesat dibandingkan dengan pertumbuhannya sebelum revolusi. Misalnya, di Kota Zahidan, sebelum revolusi hanya terdapat 16 masjid sunni, tetapi setelah revolusi, kini terdapat sekitar 516 masjid sunni. Begitu pula yang terdapat di kota Kermanshah sebelumnya hanya berjumlah 123 masjid, tetapi kini berjumlah 420 masjid.

Tabel : Jumlah Mesjid Ahlussunnah di Iran
Provinsi
Jumlah Masjid
Fars
232
Bushehr
115
Kurdistan
2000
Khurasan
1025
Hormozgan
1193
Azarbaijan Barat
1800
Sistan dan Baluchistan
4029
Kalistan
1233
Gilan
175
Kermanshah
420
Jumlah Total
12.222

Perlu disebutkan bahwa kaum Syafi’iyyah berkisar 58,2 % memiliki 5.935 masjid atau 48,5 % dari seluruh jumlah masjid sunni yang ada di Iran. Adapun kaum Hanafiyah memiliki 6.287 masjid yang tersebar di wilayah Utara dan Timur Iran atau 51,5 % dari seluruh jumlah masjid yang ada di Iran.

Tabel : Perbandingan Jumlah Masjid Syafi’iyyah dan Hanafiyah
Mazhab
Jumlah Masjid
Prosentase (%)
Syafi’i
5.935
48,50
Hanafi
6287
51,50
Jumlah
12.222
100

Mesjid Sunni Hanafi di Gurgon, Iran (koleksi foto Burhan el Anshari)

Dengan data-data di atas, maka tuduhan dari VOA bahwa di Iran tidak ada masjid sunni adalah kebohongan dan propaganda belaka. Karenanya kewaspadaan kepada umat Islam untuk berhati-hati dalam menerima dan menganalisis informasi. (cr/liputanislam.com)


*Sumber : Majma’ al-Taqrib Bayna al-Mazhahib al-Islamiyah (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab dalam Islam), Khidmat Republik Islam Iran Terhadap Minoritas Ahlussunnah, 2012, ICC Jakarta.

*****

NU dan Muhammadiyah Tolak Fatwa Sesat Terhadap Syiah

Sebelumnya, Muhammadiyah telah secara resmi telah menolak memfatwakan sesat terhadap mazhab Syiah. “Fatwa dari manapun harus tidak untuk mengkafirkan dan menyesatkan,” ujar Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muthi seperti dilansir Tempo, Kamis, 19 Desember 2013.

Hal senada juga diungkapkan oleh NU. Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta, KH. Asyhari Abta, menyatakan bahwa fatwa sesat malah bisa memicu konflik antar kelompok berbeda paham agama. Menurutnya, sekalipun menemukan ada indikasi penyimpangan, maka upaya maksimal hanya perlu dilakukan dengan dialog dan nasihat. Penyesatan pada ajaran malah bisa mendorong tudingan sesat ke kelompok-kelompok lain. “Sesat atau tidak sesat itu keputusannya di Allah Subhanahu Wataala,” ujar dia.
*****


Harapan Pak Kyai sendiri untuk masyarakat Indonesia?

Harapan saya, dimulai dari ulama dulu. Jika ulamanya lurus, insya Allah masyarakatnya juga. Sekali lagi saya ulang, ilmu Allah itu sangat luas, ilmu yang sedikit tentu tidak bisa menggapainya. Kepada Nabi Saw sendiri dikatakan, tidak mengetahui, kecuali sedikit. Karenanya, orang lain juga punya ilmu, yang kalau berbeda tidak apa-apa. Minimal telusuri dulu sebelum memvonis itu salah. Kalau tidak mengetahui apa yang diketahui orang lain, bilang saja, tidak punya cukup uang untuk beli buku. Kan mudah? He..he..

(Liputan-Islam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: