Pesan Rahbar

Home » » Wahabi: Wajib merobohkan bangunan kuburan!

Wahabi: Wajib merobohkan bangunan kuburan!

Written By Unknown on Monday, 28 September 2015 | 07:08:00


Penulis bercerita…

Waktu itu aku berada di Madinah, aku sagat sedih melihat makam Imam Hasan Mujtaba as, Imam Sajjad as, Imam Baqir as dan Imam Shadiq as rata dengan tanah. Padahal makam-makam itu pernah dibangun hingga peziarahnya dapat berteduh. Namun karena Wahabi menyebutnya syirik, akhirnya (pada sekitar tahun 1344 H.) bangunan-bangunan itu pun dirobohkan.

Ada sebuah dialog antara seorang alim Syiah dengan Wahabi tentang masalah ini:
Alim: “Mengapa kalian menghancurkan bangunan-bangunan itu? Mengapa kalian menghinanya?”

Wahabi: “Apakah kamu mengakui Ali bin Abi Thalib?”

Alim: “Ya, pasti. Ia adalah Imam pertama kami dan pengganti langsung Rasulullah saw.”

Wahabi: “Dalam kitab-kitab kami disebutkan bahwa ada tiga orang yang masing-masing bernama Yahya, Abu Bakar dan Zuhair menukil dari Waqi’, dari Sufyan, dari Habib bin Tsabit, dari Abi Wa’il, dari Abil Hayaj bahwa Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abil Hayaj: “Apakah kamu ingin kuperintah dengan perintah yang pernah diperintahkan Allah dan nabi-Nya? Tinggalkanlah gambar-gambar dan ratakan kuburan dengan tanah.” [1]

Alim: “Hadits itu tidak dapat diterima karena kandungan dan sanadnya dapat dipermasalahkan.
Dari segi sanad, orang-orang seperti Waqi’, Sufyan Tsauri, Habib bin Abi Tsabit, dan Abi Wa’il sama sekali tidak diakui oleh para ahli hadits.

Misalnya, Ahmad bin Hambal menukil tentang Waqi’: “Ia telah melakukan kesalahan dalam lima ratus hadits.”[2] Tentang Sufyan Tsauri, ditukil dari Ibnu Mubarak bahwa Sufyan sering menyampaikan hadits dan mencampur adukkan antara yang benar dan batil, lalu menampilkan yang batil sebagai yang benar.[3]

Ditukil pula dari Abu Hayyan bahwa Habib bin Tsabit juga seperti itu.[4]

Tentang Abi Wa’il disebutkan bahwa ia adalah orang yang menyeleweng dari Ali bin Abi Thalib as.[5]

Dan yang lebih lucu lagi, dari semua hadits yang ada dalam Shihah Sittah (enam kitab shahih Ahlu Sunah), hadits yang diriwayatkan oleh Abil Hayaj cuma hadits ini saja. Hal itu dikarenakan ia tidak dapat dipercaya.
Adapun dari segi kandungan dan maknanya, kata musyrif dalam hadits itu, dalam kitab-kitab bahasa, artinya adalah sesuatu tempat yang tinggi yang ketinggiannya menguasai tempat lainnya. Jadi bukan segala tempat yang tinggi yang dimaksud.

Lalu yang dimaksud sawwaitahu dalam hadits di atas bukan berarti “ratakan dengan tanah”, namun artinya adalah luruskanlah, sebagaimana sesuatu yang bengkok atau miring kita luruskan menjadi tegak.

Jadi artinya bukanlah kita diperintahkan untuk meratakan kuburan dengan tanah. Justru hal itu bertentangan dengan Sunah Islam. Sebagaimana para fakih berfatwa kita dimustahabkan untuk meninggikan kuburan paling tidak satu jengkal dari tanah.[6]

Kemungkinan arti yang lain dari sawwaitahu adalah meluruskan atapnya, yakni jangan dibiarkan atap bangunan seperti punggung ikan atau onta yang berliku, namun diluruskan menjadi datar. Makna inilah yang diakui oleh ulama besar Ahlu Sunah, seperti Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i.

Oleh karena itu anda tidak bisa menjadikan hadits tersebut sebagai alasan menghancurkan bangunan-bangunan kuburan.

Lagi pula jika memang benar Ali bin Abi Thalib berkata seperti itu, lalu mengapa saat ia menjadi khalifah sejarah tidak mencatat ia pernah memerintahkan agar makam para nabi wali-wali Allah seperti yang di Baitul Maqdis agar dirobohkan?

Aneh. Jika memang Wahabi mengharuskan dihancurkannya kuburan, lalu mengapa mereka tidak berani menghancurkan makam Rasulullah saw di Masjid Nabawi? ”

Wahabi: “Karena makam Rasulullah saw dan Umar dikelilingi dinding yang menjadi batas agar para jama’ah tidak shalat menghadap makam mereka.”

Alim: “Kalau alasannya cuma itu, cukup dibangun dinding saja bagi makam mereka, tidak perlu dibangun kubah hijau yang megah sedemikian rupa.”

Wahabi: “Biar saya bertanya pada anda, apakah ada anjuran dari Al Qur’an kepada kita agar membangun kuburan dengan bangunan yang megah dan indah?”

Alim: “Pertama, tidak segala yang mustahab dan sunah harus disebut dalam Al Qur’an. Karena kalau tidak, tebal Al Qur’an pasti bisa berkali-kali lipat.

Kedua, sebenarnya juga banyak ayat-ayat yang menyinggung masalah ini, misalnya ayat 32 surah Al Hajj, yang berbunyi: “Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka itu termasuk ketaqwaan hati.”
Kata syi’ar adalah bentuk plural dari sya’irah yang berarti tanda. Yang artinya bukanlah sembarang tanda kebesaran Ilahi (karena semua yang ada di alam ini adalah tanda kebesaran-Nya), namun tanda-tanda agama-Nya.[7]

Segala yang termasuk tanda-tanda agama Allah dapat mendekatkan kita kepada-Nya. Para nabi dan wali-wali Allah mengajak umat manusia kepada-Nya. Jadi mereka adalah tanda-tanda agama Allah. Oleh karenanya selayaknya kita menghormati makam-makam mereka dengan membangunnya dan menjaganya. Tak diragukan hal itu pasti termasuk apa yang dianjurkan Al Qur’an dan sunah.

Dalam ayat 23 surah As Syura disebutkan bahwa kecintaan terhadap keluarga nabi adalah apa yang diinginkan Rasulullah saw sebagai imbalan dakwahnya. Lalu apa salahnya jika kita menunjukkan kecintaan kepada anak cucu beliau dengan cara merapikan dan membangun makam mereka?

Contoh lain, misalnya jika kita melihat Al Qur’an tergeletak di atas tanah terkena debu dan sampah, apakah tidak seharusnya kita mengambil dan membersihkannya lalu meletakkannya di tempat yang patut?”

Wahabi: “Tapi tidak ada kah ayat Al Qur’an yang secara jelas menyinggung pembangunan kuburan?”

Alim: “Dalam Al Qur’an tentang Ashabul Kahfi disebutkan bahwa ketika mereka masuk ke dalam goa dan tidur lama di dalamnya, masyarakat akhirnya menemukan mereka dan berdatangan ke mulut goa. Di antara mereka ada yang berselisih, sebagian berpendapat agar dibangun bangunan untuk goa itu, dan sebagian lagi berpendapat agar dibangun masjid (tempat ibadah) saja di sebelah goa.[8]

Ayat tersebut jelas disebutkan Al Qur’an tanpa komentar apapun dari pihak Tuhan. Yakni Allah swt tidak melarang atau mendukung siapapun di antara mereka dan pendapat-pendapat itu. Artinya membangun bangunan tersebut mubah (boleh dilakukan atau tidak) hukumnya.[9]


Referensi:
[1] Shahih Muslim, jilid 3, halaman 61; Sunan Tirmidzi, jilid 2, halaman 256; Sunan Nasa’i, jilid 4, halaman 88.
[2] Tahdzibut Tahdzib, jilid 11, halaman 125.
[3] Ibid, jilid 4, halaman 115.
[4] Ibid, jilid 3, halaman 179.
[5] Syarah Nahjul Balaghah Hadidi, jilid 9, halaman 99.
[6] Al Fiqh Alal Madzahib Arba’ah, jilid 1, halaman 420.
[7] Majma’ul Bayan, jilid 4, halaman 83.
[8] Al Kahfi, ayat 21.
[9] Diambil dari buku Ajaran Wahabiah.

(Hauzah-Maya/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: