Pesan Rahbar

Home » » Kesedihan memberi dampak negatif? Berikut Penjelasannya

Kesedihan memberi dampak negatif? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Monday, 28 September 2015 | 07:18:00


Apakah anjuran untuk menangisi Imam Husain as. bukan merupakan anjuran untuk mewujudkan keadaan sedih yang memberikan efek negatif bagi jiwa? Mengapa Islam menganjurkan kita untuk bersedih hati? Mengapa agama yang sempurna ini menganjurkan kita untuk melakukan hal negatif?

Dalam agama kita, banyak sekali riwayat-riwayat maksumin yang menganjurkan kita untuk sering menangis dan di balik tangisan tersebut banyak pahala dan ganjarannya.[1] Di sini ada dua masalah yang patut kita perhatikan:
Pertama, tangisan tidak selamanya bermula dari kesedihan. Tangisan bermacam-macam dan kita perlu menghukuminya sesuai dengan jenisnya sendiri.

Tangisan, tangisan yang disebabkan kesedihan bukan hal negatif dan tidak memberikan dampak buruk.
Tangisan bukan kesedihan itu sendiri[2], dan juga bukan kesedihan yang berupa penyakit[3] yang mana anda sebut dengan hal negatif. Perlu diketahui, istilah ma’tam, yaitu apa yang kita lakukan saat memperingati tragedi Karbala, memiliki definisi yang kurang jelas. Ma’tam, kesedihan, histeris, berkabung, semua itu memiliki artian tersendiri yang tidak bisa kita campur dalam satu pembahasan.

Ma’tam berbeda dengan kekacauan jiwa yang dirasakan oleh orang-orang beriman lemah ketika ditinggal kecintaannya. Berkabung adalah ungkapan kesedihan, yang mana tidak dapat dipisahkan dari keterikatan sosial manusia. Semua itu adalah bentuk dari bentuk-bentuk kesedihan, dan kesedihan itu adalah suatu keadaan emosional yang dirasakan ketika kita kehilangan seseuatu yang penting bagi kita. Kesedihan adalah reaksi jiwa akan peristiwa yang menyakitkan dan ini bukan persamaan stres. Meskipun tak diragukan stres juga mengandung keadan-keadaan yang disebut dengan kesedihan.

Mari kita buktikan apakah semua kesedihan memberikan dampak negatif dalam jiwa sebagaimana yang telah anda katakan; agar kita mendapatkan jawaban apakah memperingati kejadian Asyura dan bersedih karenanya baik atau tidak.

Dalam pandangan ilmu psikologi, tidak semua kesedihan adalah penyakit. Kesedihan yang merupakan penyakit dapat dilihat tanda-tandanya seperti ketika kesedihan itu terus menerus nampak dalam diri seseorang dan terkadang tanpa ada sebab yang jelas kesedihan itu memuncak. Kesedihan yang dirasakan orang-orang yang melakukan ma’tam bisa menjadi penyakit kesedihan ketika mereka terlalu berlebihan dan membuat jiwa mereka tertekan sehingga tidak ada habisnya.

Dengan penjelasan lain, jika kita melihat tanda-tanda di bawah ini pada diri orang-orang yang giat berkabung untuk Imam Husain as., maka perlu kita ketahui bahwa kesedihan itu memang penyakit. Tanda-tanda tersebut adalah:
  1. Kehilangan kesehatan,
  2. Mengucilkan diri,
  3. Perasaan tidak menghargai diri,
  4. Merasa berdosa,
  5. Munculnya ide bunh diri,
  6. Kesedihan terus menerus tanpa henti,
  7. Munculnya kesedihan yang memnucak tanpa sebab.
Kini mari kita lihat apakah orang-orang Syiah yang selalu mengadakan acara peringatan Asyura memiliki tanda-tanda penyakit mental ini?

Jika kita menelitinya secara ilmiah, berkabung untuk Imam Husain as. bukanlah sebuah ungkapan kesedihan yang tidak normal; dan perbuatan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan yang pasti.

Oleh karena itu peringatan-peringatan Asyura diadakan tanpa terikat dengan bentuk lahiriah tertentu dan juga bukan sebagai simbol tanpa arti. Peringatan-peringatan tersebut dilakukan oleh Muslimin berdasarkan pengetahuan akan Asyura, Imam Husain as., tujuan-tujuan mulianya dan lain sebagainya. Kita melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas tujuan dan maknanya ketika kita memperingati Asyura; bukannya tanpa tujuan yang berguna. Memperingati Asyura jelas memberikan makna kepada hayat kita dan juga meluruskan apa-apa yang selama ini melenceng dan kita tidak menyadarinya. Semua yang kita lakukan hanya berujung kepada kemuliaan dan makrifat.

Dengan demikian menangis untuk Imam Husain as. bukan tanda kesedihan yang berupa penyakit. Bahkan tangisan kita untuk Imam Husain as. justru merupakan pertanda kesehatan jiwa kita. Karena jika kita menangis untuknya itu artinya jiwa kita menyertai jiwa beliau dan kita terbang bersamanya.

Jika ada seorang yang beriman tidak meneteskan air mata dengan mengenang peristiwa bersejarah ini, dari segi psikologi mungkin orang itu yang justru memiliki penyakit jiwa. Orang seperti itu disebut dengan orang yang kehilangan perasaan sedih meskipun ia melihat hal-hal yang menyedihkan. Pada dasarnya keaadaan seperti ini adalah suatu penyakit. Memang jika dilihat secara sekilas ketika ada orang yang kehilangan kecintaannya tapi ia tidak bersedih dan menangis, mungkin kita akan memujinya karena betapa kuat hatinya; padahal di balik itu hakikatnya ia adalah orang yang sakit; ia kehilangan perasaan dan kesedihan.

Sebagaimana orang-orang yang melakukan ma’tam Husaini jika memiliki tanda-tanda yang kita jelaskan tadi adalah orang yang terkena penyakit jiwa, maka orang yang tidak nampak kesedihan dalam dirinya ketika kita gambarkan fenomena Karbala di hadapannya adalah orang yang sakit pula.

Mungkin anda akan sedikit bertanya-tanya, apakah orang yang tidak berkabung di hari Asyura adalah orang yang sakit jiwa? Tidak. Kita sama sekali tidak berkata sedemikian. Karena bisa saja orang tersebut tidak memiliki keterikatan dan rasa cinta dengan Imam Husain as. sehingga ia tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada beliau. Karena tidak ada jalinan antara dia dengan Imam Husain as., dia tidak mrasakan apa yang dirasakan beliau. Sebagaimana yang kita jelaskan tentang kesedihan tadi, bahwa kesedihan biasanya muncul ketika seseorang kehilangan sesuatu yang dicintainya, maka orang yang tidak mengenal dan mencintai Imam Husain as. tidak akan bersedih ketika beliau ditimpa musibah. Tidak menutup kemungkinan, ada sebagian orang yang meskipun ia mencintai Imam Husain as. tapi ia tidak bisa bersedih melihat musibah yang menimpa Imam itu; maka orang yang sedemikian rupa memiliki penyakit jiwa, yaitu tidak bisa bersedih.

Tapi jika orang itu sehat secara ruhani, ia juga mengaku pecinta Imam Husain as., akan tetapi ia kesusahan untuk bersedih saat mengenang Asyura, maka orang tersebut harus merenungi kembali akidah dan keimanannya dalam beragama. Ia harus bertanya kepada dirinya bahwa Muslim seperti apa dirinya yang sama sekali tidak bisa bersedih mengingat Imam Husain as. ditimpa musibah besar seperti itu?

Dia tidak ternasuk pengikut Ahlul Bait as. sebagaimana yang disebutkan kriterianya oleh Imam Shadiq as., “Syiah kami adalah orang-orang yang sama seperti kami, tercipta dari satu bahan yang sama, jika kami merasakan kesedihan mereka juga merasakannya; dan jika kami merasakan kebahagiaan mereka pun bahagia. Mereka tidak akan berpisah dari kami dan kami tidak akan berpisah dari mereka.”[4]

Jadi menangis untuk Imam Husain as. bukanlah hal yang negatif. Justru malah sebaliknya, orang yang tidak bisa menangis untuk Imam Husain as. sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sakit jiwanya. Perlu diketahui juga, bahwa tangisan ternyata memiliki banyak khasiat yang memberikan berbagai manfaat kepada orang yang menangis itu sendiri.

Tangisan yang muncul dari luapan kesedihan yang teratur, dapat memberikan ketenangan bagi orang yang bersedih. Akan tetapi kesedihan yang tak teratur, tangisan histeris yang luar biasa, justru akan mengacaukan keseimbangan zat kimia dalam tubuh. Sebagian mengatakan, “Menangis akan mengeluarkan zat-zat beracun dari tubuh dan mengembalikan keseimbangan jiwa.”

Peristiwa Asyura adalah peristiwa Ilahi yang mulia. Kita membahas peringatan Asyura dari segi ilmu psikologi bukan berarti mengurangi nilai ke-Ilahian peristiwa itu, tapi kita hanya ingin membuktikan bahwa berseding mengingat Asyura dan Imam Husain as. tidak bertentangan dengan kesehatan jiwa sehingga tidak muncul pertanyaa-pertanyaa seperti ini lagi.

Dari segi ilmu psikologi, kalau kita melihat acara-acara peringatan Asyura yang diadakan di sekitar kita, kita tidak melihat dilakukannya perbuatan-perbuatan yang berefek negatif pada jiwa. Kita melihat mereka mengadakan acara peringatan itu dengan cara yang benar.

Salah satunya, jika kita melihat dalam acara-acara peringatan Asyura ada seseorang yang membacakan kronologi tragedi Karbala, dari segi ilmu psikologi, itu karena dengan bercerita apa yang ada di hati dapat kita keluarkan dan beban yang terasa menjadi lebih ringan. Seperti seseorang yang sedang mencintai kekasihnya, selama ia tidak mencurahkan isi hatinya kepada orang yang ia percaya rasanya ada sesuatu yang besar sekali di hati dan berat untuk ditanam terus menerus. Dengan bercerita atau curhat ia merasakan kenikmatan tersendiri dan juga kebahagiaan.

Yang jelas diadakannya acara-acara peringatan Asyura di ajaran mazhab kita tujuan utamanya bukan masalah yang kita bahas saat ini, ini hanya efek positifnya bagi kejiwaan saja; tujuan utamanya dihidupkannya budaya Asyura tak lain adalah untuk terus dijunjungnya nila-nilai kebenaran yang diperjuangkan Imam Husain as. Dengan terus dihidupkannya Asyura, pelajaran-pelajaran yang kita ambil darinya akan tetap hidup, pelajaran-pelajaran seperti ketaatan beragama, kebebasan, keberanian, dan lain sebagainya. Sekali lagi, tujuan utama diadakannya acara-acara peringatan hari Asyura bukan sekedar mengeluarkan uneg-uneg dari dada saja.

Peringatan Asyura yang dilakukan pada umumnya memiliki dua landasan utama. Pertama adalah sunah dan adab mazhabi, kemudian yang kedua adalah adat dan kebiasaan kaum yang mengadakan acara-acara tersebut. Jadi acara peringatan Asyura kita tidak hanya sesuai dengan selera kebangsaan kita, tapi juga sesuai dengan aturan-aturan mazhab ini; ini adalah cara yang baik untuk berkabung dan meratapi Asyura; dan jelas jika kita melakukan segala sesuatu dengan baik kita tidak akan menerima efek buruk darinya.

Pembacaan-pembacaan kronologi tragedi Karbala berdasarkan apa yang diajarkan oleh para Imam kepada kita. Cara yang diajarkan para Imam tentunya merupakan cara yang baik, dan tentunya inilah cara terbaik bagi para pengikut mereka untuk mencurahkan kesedihan di hati mereka ketika mengingat kepedihan yang menimpa para pemimpin mereka. Mendengar pembacaan kronologi Asyura dan tangisan-tangisan para pendengarnya sangat nikmat bagi pecinta Imam Husain as. yang sesungguhnya; dan begitu pula sebaliknya, orang yang sama sekali tidak memiliki kecintaan terhadap beliau hanya menganggap mereka yang sedang menangis sebagai orang gila.

Orang-orang yang merasakan kesedihan di hari Asyura akibat mengingat musibah yang menimpa Imam Husain as. akan merasakan ketenangan jika ia berkumpul bersama dan mengadakan acara ma’tam. Bagi mereka ini lebih baik dan lebih meringankan penderitaan di hati mereka daripada harus berkumpul dengan orang-orang lainnya yang berbahagia dan memiliki perasaan berbeda dengan mereka.

Metode penenangan jiwa ketika sedang tertekan kesedihan terkadang berupa konsultasi psikologi, dan terkadang mengungkapkan kesedihan itu sendiri. Pada hakikatnya mengadakan acara-acara peringatan Asyura adalah metode kedua penenangan jiwa. Dengan demikian, menangis dalam acara-acara peringatan Asyura bukan hanya tidak baik, bahkan banyak kebaikan yang dihasilkan olehnya.


Referensi:
[1] Biharul Anwar, jilid 44, halaman 291; Al Khasaisul Husainiyah, halaman 142.
[2] Grief
[3] Dysphoria

(Hauzah-Maya/ABNS)
[4] Biharul Anwar, jilid 51, halaman 151.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: