Indonesia dibangun atas spirit
keberagaman. UUD 1945 menjamin seluruh rakyat Indonesia tanpa
terkecuali untuk meyakini dan melaksanakan ajaran agama mereka.
“Ini hak dasar warga negara yang tidak boleh diotak-atik. Negara justeru mesti hadir melindungi hak warga negara ini,” tegas Raja Juli Antoni, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam siaran persnya Minggu, 25 Oktober 2015.
Karena itu dia menegaskan tindakan Walikota Bogor, Bima Arya, menerbitkan Surat Edaran No 300/321-Kesbangpol yang melarang peringatan Asyura bagi penganut Syiah di Kota Bogor inkonstitusional.
“Bima Arya sedang mempertontokan ketidakmengertiannya mengenai konstitusi, ketidakpahamannya mengenai prevensi konflik sosial, dan kemalasannya memfasilitasi dialog,” tegas Toni.
Dia tidak bisa menerima alasan Bima Arya mengeluarkan Surat Edaran tersebut, untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta mencegah konflik sosial.
Menurutnya, pendekatan “keamanan” yang diambil Bima Arya menjadi preseden buruk dimana sekelompok orang dapat merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui legitimasi negara.
Mengelola masyarakat majemuk tentu saja tidak mudah. Tapi negara tidak boleh kalah oleh kelompok apapun dalam menegakan konstitusi.
“Mencegah konflik sosial memerlukan skil resolusi konflik. Perlu digelar dialog dalam kerangka kebhinekaan. Perlu waktu dan kesabaran. Paling mudah memang dengan menerbitkan semacam surat edaran itu, tapi tidak mendidik dan berdampak negatif untuk masa depan,” pungkasnya.
(Republika/Satu-Islam/ABNS)
“Ini hak dasar warga negara yang tidak boleh diotak-atik. Negara justeru mesti hadir melindungi hak warga negara ini,” tegas Raja Juli Antoni, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam siaran persnya Minggu, 25 Oktober 2015.
Karena itu dia menegaskan tindakan Walikota Bogor, Bima Arya, menerbitkan Surat Edaran No 300/321-Kesbangpol yang melarang peringatan Asyura bagi penganut Syiah di Kota Bogor inkonstitusional.
“Bima Arya sedang mempertontokan ketidakmengertiannya mengenai konstitusi, ketidakpahamannya mengenai prevensi konflik sosial, dan kemalasannya memfasilitasi dialog,” tegas Toni.
Dia tidak bisa menerima alasan Bima Arya mengeluarkan Surat Edaran tersebut, untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta mencegah konflik sosial.
Menurutnya, pendekatan “keamanan” yang diambil Bima Arya menjadi preseden buruk dimana sekelompok orang dapat merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui legitimasi negara.
Mengelola masyarakat majemuk tentu saja tidak mudah. Tapi negara tidak boleh kalah oleh kelompok apapun dalam menegakan konstitusi.
“Mencegah konflik sosial memerlukan skil resolusi konflik. Perlu digelar dialog dalam kerangka kebhinekaan. Perlu waktu dan kesabaran. Paling mudah memang dengan menerbitkan semacam surat edaran itu, tapi tidak mendidik dan berdampak negatif untuk masa depan,” pungkasnya.
(Republika/Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email