Pesan Rahbar

Home » » Syahidnya Husein bin Ali dalam Tradisi Tabuik Pariaman

Syahidnya Husein bin Ali dalam Tradisi Tabuik Pariaman

Written By Unknown on Monday 2 November 2015 | 12:47:00

Suasana upacara Tabuik di Pariaman Sumatera Barat (Foto: Dok: pariamanpjw.blogspot.com)

Peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein bin Ali saat pecah perang Karbala yang jatuh pada tanggal 10 Muharram telah menjadi tradisi secara turun temurun bagi Masyarakat Pariaman, Sumatera Barat.

Bagi masyarakat Pariaman, kisah tragedi Karbala telah menjadi tradisi unik yang rutin diperingati sebagai hari asyura, yakni Festival  tahunan Tabuik. Festival ini diperkirakan telah berumur hampir seratus tahun, dan telah ada sejak abad ke-19 Masehi.

Tahun ini, puncak pesta budaya Tabuik jatuh pada hari Minggu 25 Oktober 2015 dan dihadiri ribuan orang. Berbagai daerah berdatangan untuk menghadiri Tabuik. Untuk menampung animo pengunjung PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre II Sumbar harus menambah jadwal ekstra Kereta Api Wisata rute Padang-Pariaman dan sebaliknya dari empat kali sehari menjadi lima kali sehari.

Dikutip dari Suara.com, Tabuik sendiri diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq. Legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya cucu Nabi, kotak kayu berisi potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh buraq.

Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.

Menurut kisah yang berkembang  di tengah masyarakat, ritual ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari Timur Tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah.

Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.

Tabuik ada dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari dua wilayah berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah asal muasal tradisi tabuik. Adapun tabuik subarang berasal dari daerah subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut sebagai Kampung Jawa.

Awalnya, tabuik memang hanya ada satu, yaitu tabuik pasa. Sekitar tahun 1915, atas permintaan segolongan masyarakat, dibuat sebuah tabuik yang lain. Atas kesepakatan para tetua nagari, tabuik ini harus dibuat di daerah seberang Sungai Pariaman.

Karenanya, tabuik yang kedua ini diberi nama tabuik subarang. Salah satu riwayat sesepuh masyarakat mencatat kejadian tersebut diperkirakan terjadi tahun 1916, tetapi ada pula riwayat yang menyebutkan tahun 1930. Pembuatan tabuik subarang tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa.

Mulai tahun 1982, perayaan tabuik dijadikan bagian dari kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu dilakukan berbagai penyesuaian salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual tabuik ini. Jadi, meskipun prosesi ritual awal tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus pada tanggal 10 Muharram.

Rangkaian tradisi tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual tabuik, yaitu mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.

Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan pada hari ke-5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban.

Pada hari puncak, dilakukan ritual tabuik naik pangkek, kemudian dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Hari puncak ini dahulu jatuh pada tanggal 10 Muharram, tetapi saat ini setiap tahunnya berubah-ubah antara 10-15 Muharram, biasanya disesuaikan dengan akhir pekan. Sebagai ritual penutup, menjelang maghrib tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut.

(Pariamanpjw/Satu-Islam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: