Pesan Rahbar

Home » » Hakekat Taqiyah versi Syiah

Hakekat Taqiyah versi Syiah

Written By Unknown on Sunday 13 December 2015 | 01:10:00


Oleh: Al-Marhum Allamah Thabathaba’i - Ansariyan Publication,Qum, 1989,Shi’a, hlm. 223; PU Grafiti, 1989, Indonesia,Islam Syi’ah, hlm. 259.

Beberapa pihak melancarkan kritik terhadap pihak Syi’ah dengan mengatakan bahawa melakukan taqiyah dalam agama adalah bertentangan dengan nilai keberanian. Pemikiran yang paling sederhana sekalipun akan menunjukkan bahawa tuduhan itu salah, sebab taqiyah harus dipraktikkan dalam keadaan orang tersebut menghadapi sesuatu bahaya yang tidak dapat ditolak dan dilawankan. Perlawanan terhadap bahaya semacam itu dan kegagalan untuk mempraktikkan taqiyah dalam keadaan seperti itu menunjukkan tindakan yang semberono dan membabi-buta, dan bukan keberanian.

———————————

Salah satu aspek dalam Syi’ah yang paling di salahfahamkan adalah, praktik taqiyah atau menyembunyikan sesuatu dengan berpura-pura. Di sini kami mengabaikan makna yang lebih luas dari taqiyah:”menghindari atau menjauhkan diri dari setiap jenis bahaya”. Kami lebih cenderung mendiskusikan jenis taqiyah dalam arti seorang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya dalam keadaan-keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktik-praktik keagamaan tertentu.

Di antara pengikut-pengikut berbagai mazhab dalam Islam maka kaum Syi’ah terkenal akan praktik taqiyah mereka. Dalam keadaan bahaya, mereka menyembunyikan agama mereka dan merahasiakan praktik-praktik dan upacara-upacara keagamaan yang khas terhadap lawan-lawan mereka.

Sumber-sumber yang menjadi dasar kaum Syi’ah dalam persoalan ini, termasuk ayat-ayat al-Qur’an seperti di bawah:
“Jangan sampai orang-orang yang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman mereka selain orang-orang yang beriman. Barang siapa yang melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian (agar selalu ingat) kepadaNya. Dan kepada Allahlah kalian kembali.”[al-Qur'an(3): 28]. (Ungkapan menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari tattaqu minhum tuqatan, kata tattaqu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama dengan taqiyah.)

Sebagaimana jelas dari ayat al-Qur’an tersebut, Allah SWT sangat melarang wilayah (yang dalam hal ini bererti persahabatan yang sedikit banyak mempengaruhi hidup seseorang) dengan orang-orang kafir yang memerintahkan agar berhati-hati dan mempunyai rasa khuwatir dalam keadaan semacam itu.

Di tempat lain Ia berfirman:
“Barangs siapa mengingkari Allah sesudah mengimaniNya (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali dia yang terpaksa untuk melakukan itu sedang hatinya masih tenteram dalam keimanan; akan tetapi barang siapa yang membuka dadanya untuk kekafiran, maka laknat Allah menimpa mereka, dan bagi mereka azab yang dahsyat.” [al-Qur'an (16): 106].

Sebagaimana disebutkan dalam kedua sumber, Sunni dan Syi’ah, ayat ini diturunkan mengenai Ammar ibn Yasir. Setelah Nabi saw berhijrah, kaum kafir Mekah memenjarakan beberapa orang Islam Mekah, menyiksa dan memaksa mereka untuk meninggalkan Islam dan kembali pada agama mereka semula, yakni menyembah berhala. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ammar, berserta ayah dan ibunya. Orang tua Ammar menolak untuk mengingkari Islam dan meninggal kerana siksaan. Tetapi Ammar - untuk menghidari siksaan dan kematian - pura-pura meninggalkan Islam dan menerima penyembahan berhala, dan kerana itu ia terhindar dari bahaya. Setelah dibebaskan, dengan diam-diam ia meninggalkan Mekah pergi ke Madinah. Di Madinah ia mengadap Nabi Muhammad saw, dan dalam keadaan menyesal dan sedih dengan apa yang telah dilakukannya ia bertanya kepada Nabi apakah dengan berbuat demikian ia telah keluar dari wilayah kesucian agama. Nabi menjawab bahawa kewajipannya ialah apa yang telah ia lakukan. Kemudian ayat tersebut diwahyukan.

Kedua ayat yang dikutip di atas diturunkan mengenai kes-kes tertentu, akan tetapi pengertiannya begitu rupa, sehingga mencakup seluruh situasi yang menyebabkan pengungkapan kepercayaan dan amal keagamaan yang mungkin dapat membahayakan diri. Selain ayat-ayat ini, terdapat banyak hadith dari Ahlu l-Bait Nabi yang memerintahkan taqiyah jika terdapat kekhawatiran akan bahaya.

Beberapa pihak melancarkan kritik terhadap pihak Syi’ah dengan mengatakan bahawa melakukan taqiyah dalam agama adalah bertentangan dengan nilai keberanian. Pemikiran yang paling sederhana sekalipun akan menunjukkan bahawa tuduhan itu salah, sebab taqiyah harus dipraktikkan dalam keadaan orang tersebut menghadapi sesuatu bahaya yang tidak dapat ditolak dan dilawankan. Perlawanan terhadap bahaya semacam itu dan kegagalan untuk mempraktikkan taqiyah dalam keadaan seperti itu menunjukkan tindakan yang semberono dan membabi-buta, dan bukan keberanian. Sifat-sifat keberanian dapat diamal hanya paling sedikit ada kemungkinan untuk berhasil. Akan tetapi menghadapi suatu bahaya yang pasti atau mungkin terjadi, yang di dalamnya tidak terdapat kemungkinan untuk menang, seperti minum air yang mungkin ada racunnya, atau melemparkan diri ke muka sebuah meriam yang ditembakkan, atau berbaring di atas rel di depan keretapi yang sedang berjalan dengan cepatnya - semuanya perbuatan yang semacam itu - tidak lain daripada kegilaan yang bertentangan dengan logika dan fikiran yang waras.

Dari hal itu, dapat disimpulkan bahawa taqiyah harus dipraktikkan hanya apabila terdapat suatu bahaya yang pasti yang tidak dapat dihindari dan tidak ada harapan menang dalam menghadapinya.

Batas bahaya yang tepat yang memungkinkan dilakukan taqiyah telah diperdebatkan di antara para mujtahid Syi’ah. Dalam pandangan kami, menjalankan taqiyah dapat dibenarkan apabila terdapat bahaya yang pasti, yang mengancam hidup seseorang atau keluarganya, atau kemungkinan hilangnya kehormatan dan kesucian isteri seseorang atau anggota-anggota keluarga wanita lainnya, atau bahaya hilangnya harga benda yang sedemikian banyaknya sehingga mengakibatkan kemiskinan yang total dan tidak memungkinkan seseorang untuk seterusnya memberikan nafkah kepada keluarganya dan dirinya sendiri. Pendek kata, sifat berhati-hati dan menghindari dari bahaya yang pasti atau mungkin datang dan tidak dapat dicegah, merupakan hukum logika yang biasa dan diterima oleh semua orang dan dipraktikkan oleh orang-orang dalam seluruh tahap kesempurnaan mereka yang berbeda-beda.

(ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: