Sejarah Kelahiran
IMAM Mahdi afs dilahirkan di kediaman ayah beliau, Imam Hasan Askari, di Samara pada akhir malam Jumat tanggal 15 Sya`ban. Malam tersebut termasuk dari malam-malam yang penuh keberkahan yang dianjurkan untuk menghidupkannya dengan beribadah dan dianjurkan pula untuk berpuasa pada siang harinya. Anjuran tersebut berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti Sunan Ibn Majah, Sunan Turmudzi, dan lainnya dari kitab-kitab Ahlusunnah.1
Terlebih-lebih hadis-hadis yang diriwayatkan dari jalur para imam Ahlulbait as.2
Beliau lahir pada tahun 255 Hijriah menurut riwayat yang masyhur. Sebagian riwayat lainnya menyebutkan bahwa tahun kelahiran beliau adalah 256 Hijriah atau 254 Hijriah. Namun, mereka sepakat tentang hari kelahiran beliau. Di antara riwayat-riwaya tersebut, riwayat yang menyebutkan tahun kelahiran yang pertama (255 H) lebih kuat berdasarkan beberapa bukti, di antaranya berita mengenai hal tersebut dimuat dalam sumber-sumber yang lebih lama seperti kitab Al-Ghaybah karya seorang ulama terpercaya dan terkemuka, Syekh Ibnu Syadzan, yang hidup pada masa kelahiran Imam Mahdi as dan wafat tidak berapa lama sebelum wafatnya Imam Hasan al Askari.3 Bukti lain yang menguatkan pendapat pertama bahwa sebagian besar riwayat yang menyebutkan hari kelahiran beliau adalah hari Jumat pada pertengahan bulan Sya`ban meskipun berbeda tahun kelahirannya. Setelah kami merujuk pada penyesuaian penanggalan4 kami mendapatkan bahwa pertengahan bulan Sya`ban yang jatuh pada hari Jumat terjadi pada tahun 255 Hijriah bukan pada tahun-tahun lainnya yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut.
Perbedaan seperti ini adalah hal yang biasa dan sering terjadi pada tanggal-tanggal kelahiran dan wafat ayah-ayah beliau. Bahkan, hal ini juga terjadi pada kakek beliau, Rasulullah saw. Namun, hal itu tidak berpengaruh pada ketetapan kelahiran mereka. Sebagaimana pula hal ini adalah hal yang alami untuk mencapai satu tujuan, yaitu menyembunyikan kelahiran beliau untuk menjaga bayi yang baru lahir yang insya Allah hal ini akan kami jelaskan pada pembahasan mendatang.
Kemutawatiran Kabar Kelahiran Al-Mahdi
Kisah kelahiran atau kabar mengenai hal itu cukup banyak diriwayatkan ulama-ulama dengan sanad yang sahih seperti Abu Ja’far Thabari, Fadhl bin Syadzan, dan lain-lain. Mereka menukilnya seluruhnya atau ringkasannya.
Sebagian ulama Ahlusunnah dari berbagai mazhab Islam juga menukil riwayat tersebut, seperti Nuruddin Abdurrahman Jami al-Hanafi dalam kitab Syawâhid an-Nubuwwah, Allamah Muhammad Mubin Maulawi al-Hindi dalam Wasilat an-Najah, Allamah Muhammad Khajeh Barisa al-Bukhari dalam kitab Fash al-Khithab, al-Hafizh Qanduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah.
Kabar mengenai kelahiran Imam Mahdi dinukil lebih dari seratus tiga puluh ulama dari berbagai mazhab. Diantara mereka, terdapat puluhan ahli sejarah, enam orang di antaranya hidup pada masa kegaiban singkat (ghaybat ash-shughra) atau masa kelahiran Imam Mahdi. Adapun selebihnya hidup di berbagai masa hingga saat ini dalam sebuah rangkaian yang bersambung. Penghitungan ini mencakup sebagian dari sumber-sumber Islam dan tidak seluruhnya. Di antara mereka terdapat sejumlah besar ulama dan ahli sejarah yang terkenal, seperti Ibnu Khalkan, Ibnu Atsir, Abil Fida, Dzahabi, Ibnu Thulun ad-Damisyqi, Ibnu Jauzi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Khawarizmi, Baihaqi, Shafadi, Ya’fi, Qirmani, Ibnu Hajar, Haitsami, dan lain-lain.
Penetapan dan penukilan semacam ini tidak pernah terjadi pada kelahiran sebagian besar dari tokoh-tokoh sejarah Islam.5
Situasi dan Kondisi Kelahiran
Dari berbagai riwayat yang mengisahkan kondisi kelahiran Imam Mahdi as, dapat disimpulkan bahwa ayah beliau, Imam Hasan Askari, berusaha menyembunyikan dan menutup-nutupi kabar tersebut. Hal ini disebutkan bahwa Imam Hasan Askari meminta bibi beliau, Sayidah Hakimah binti Imam Jawad, untuk tetap tinggal di rumah beliau pada malam ke-15 dari bulan Sya`ban. Beliau memberitahukan bibinya bahwa akan lahir putra beliau di rumah tersebut yang akan menjadi hujjah Allah di muka bumi ini. Bibi beliau bertanya pada Imam mengenai ibu dari bayi tersebut. Imam memberitahukan bahwa ibu bayi tersebut adalah Nargis.
Seketika bibi beliau menjumpai istri Imam dan memeriksanya. Namun, ia tidak menemukan tanda-tanda kehamilan. Ia kembali pada Imam dan memberitahukan hal tersebut. Imam tersenyum dan menjelaskan pada bibinya bahwa kehamilan istrinya bagaikan kehamilan yang dialami ibu Nabi Musa as yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Tidak seorang pun tahu hal itu sampai tiba waktu melahirkan. Karena Firaun selalu mengintai putra-putra yang baru lahir di kalangan Bani Israil dan merasa takut akan kemunculan Musa as yang dijadikan sebagai berita gembira. Firaun membunuh anak-anak Bani Israil dan mempermalukan wanita-wanita mereka. Hal ini juga terjadi pada Imam Mahdi as. Karena penguasa zalim
Dinasti Abbasiyah merasa terancam dengan kelahiran Imam Mahdi. Hal ini disebabkan mereka mengetahui sejumlah riwayat yang mulia yang memberitahukan kelahiran dan kemunculan sang juru penyelamat yang insya Allah kami sampaikan pada pembahasan mendatang.
Beberapa nas riwayat menerangkan bahwa kelahiran Imam Mahdi as terjadi pada saat menjelang fajar.
Jelaslah, pada waktu seperti ini sangat mendukung upaya penyembunyian kelahiran beliau karena biasanya pada waktu tersebut mata-mata penguasa zalim terlelap tidur.
Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah riwayat bahwa kelahiran beliau tidak disaksikan oleh siapa pun kecuali bibi Imam Hasan Askari, Hakimah. Beliau pun tidak mengetahui persis kapan kelahiran tersebut terjadi.6
Terdapat sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Syekh Thusi dalam kitab beliau Al-Ghaybah yang menjelaskan bahwa ada seorang wanita tua tetangga Imam Hasan yang membantu Hakimah dalam persalinan tersebut. Tetangga itu dipesankan dengan sangat untuk merahasiakan kejadian ini dan diperingatkan untuk tidak menyebarkannya.7
Kabar-Kabar Sebelumnya Mengenai Kelahiran yang Dirahasiakan
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa kelahiran al-Mahdi putra Imam Hasan Askari as akan terjadi dengan tersembunyi dan penuh kerahasiaan. Kerahasiaan tersebut dinisbatkan pada Allah Swt dan sebagian riwayat menggambarkan kerahasiaan tersebut dengan kerahasiaan yang terjadi pada kelahiran Nabi Musa as, sebagian lainnya menyerupakan dengan kelahiran Nabi Ibrahim as. Riwayat-riwayat tersebut juga menjelaskan alasan kerahasiaan itu adalah untuk menjaga al-Mahdi sehingga beliau mampu melaksanakan misinya. Kami akan membawakan sebagian contoh kecil dari riwayat-riwayat tersebut.
Seperti riwayat yang disampaikan oleh Syekh Shaduq dalam kitab Kamaluddin dan dalam kitab Kifâyat al-Atsar karya Khazaz yang disandarkan pada Imam Hasan bin Ali as dalam sebuah hadisnya beliau berkata,
“Tidakkah kalian mengetahui bahwa tidak seorang pun dari kami hidup kecuali leher kami diancam untuk berbaiat pada penguasa zamannya kecuali al-Qaim (al-Mahdi) yang Isa putra Maryam shalat di belakangnya? Sesungguhnya Allah Swt menyembunyikan kelahirannya dan menggaibkan dirinya agar tidak ada ancaman berbaiat pada lehernya saat muncul. Dia adalah keturunan yang ke-9 dari saudaraku Husain putra pemimpin para wanita. Allah memanjangkan umurnya pada masa kegaibannya. Kemudian Allah memunculkannya dengan kekuasaannya...”8
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Syekh Shaduq dari dua jalur dari Imam Ali as beliau berkata,
“…Sesungguhnya al-Qaim dari keluarga kami. Jika dia muncul tidak ada ancaman pada lehernya untuk berbaiat pada seorang pun. Oleh karena itu, kelahirannya dirahasiakan dan dirinya digaibkan.”9
Diriwayatkan dari Imam Husain as, beliau berkata,
“Terjadi pada putra (generasi) kesembilan dari keturunanku, peristiwa Nabi Yusuf, peristiwa Nabi Musa bin Imran, ia adalah al-Qaim dari Ahlulbait. Allah mengatur urusannya dalam satu malam saja.”10
Dalam kitab Al-Kâfî, Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Muhammad Baqir as dalam sebuah hadisnya, beliau berkata, “Perhatikanlah, seseorang yang kelahirannya disembunyikan dari pandangan mata manusia!
Dialah pemimpin kalian. Sesungguhnya tidak seorang pun dari kami yang ditunjuk dengan jari dan disebut dengan lidah kecuali meninggal dengan kondisi diracun atau dibunuh.”11
Riwayat seperti di atas sangatlah banyak dan sebagian besar diriwayatkan dengan sanad yang sahih yang memberitakan dengan jelas—sebelum kelahiran Imam Mahdi as—kelahiran beliau yang tersembunyi. Seluruhnya menunjukkan kebenarannya dengan jelas kendati pada sebagian sanad dari sebagian riwayat terdapat sanad yang dhaif atau majhul (tidak dikenal) karena hal itu menyangkut sesuatu yang belum terjadi kemudian muncul kenyataan yang membenarkan berita yang disampaikan.
Berita seperti ini tidak mungkin bersumber kecuali dari Zat Yang Mahagaib, perkara yang dibenarkan sumbernya dari sumber-sumber wahyu dan pemberitahuan dari Rasulullah saw.
Kelahiran yang Dirahasiakan Merupakan Tanda Imam Mahdi yang Dijanjikan
Dapat diperhatikan bahwa hadis-hadis yang mulia menjelaskan sesungguhnya kelahiran yang dirahasiakan merupakan salah satu tanda yang tampak jelas membedakan sosok al-Mahdi yang dijanjikan yang merupakan putra dari Fathimah yang diberitakan dalam hadis-hadis nabawiyah. Hal ini merupakan salah satu tujuan penting untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu mengenalkan pada umat Islam salah satu tanda yang akan menyingkap ketidakbenaran para pengklaim kemahdian sebagaimana banyak kita saksikan dalam sejarah Islam. Sementara tidak satu pun dari hadis-hadis tersebut yang dapat diterapkan pada para pengklaim tersebut karena tidak adanya tanda ini pada mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka para pengklaim kemahdian yang kelahirannya dirahasiakan sebagaimana yang ditetapkan dalam sejarah.12
Hadis-hadis sebelumnya mengisyaratkan alasan dirahasiakannya kelahiran al- Mahdi. Alasan itu pula yang mengharuskan dirahasiakannya kelahiran Nabi Musa as, yaitu menjaga bayi yang baru lahir dari penguasa yang zalim dan para pembantunya yang berusaha membunuh sang bayi. Pada gilirannya, upaya itu merupakan usaha menjaga kesempurnaan hujjah Allah Swt pada hamba-hamba-Nya agar dapat memainkan perannya sebagai utusan Tuhan guna mengangkat Bani Israil, memeluk agama ketauhidan dan menghadapi pemerintahan Firaun yang zalim. Hal ini dilakukan terhadap Nabi Musa as. Begitu pula terhadap al-Mahdi al-Muntazhar—semoga Allah mempercepat kemunculan beliau—untuk mengangkat manusia secara keseluruhan, menghentikan segala bentuk kezaliman dan kejahatan, menegakkan keadilan, dan meninggikan Islam di atas agama-agama yang lain. Hal yang demikian juga diketahui oleh para pemimpin zalim melalui nas-nas yang menyebutkan hal tersebut. Firaun sebagai raja Mesir mengetahui adanya berita gembira mengenai kemunculan seseorang sebagai penyelamat Bani Israil dan dia adalah Musa as yang termasuk golongan Bani Israil.
Karena itu, Firaun berusaha membunuh putra-putra Bani Israil dengan tujuan mencegah kemunculannya. Kondisi yang demikian juga dialami oleh Bani Abbas dan mereka mengetahui bahwa al-Mahdi yang dijanjikan adalah putra dari Fathimah—salam sejahtera untuknya—dan ia adalah Imam Keduabelas dari rangkaian para imam Ahlulbait as.
Hadis-hadis yang menerangkan perihal tersebut sudah tersebar di kalangan Muslimin dan dimuat oleh ulama-ulama hadis sebelum kelahiran al-Mahdi dalam berbagai catatan. Sebagaimana mereka (Bani Abbas) mengetahui bahwa Imam Hasan Askari adalah imam ke-11 dari para imam keluarga suci Nabi saw, secara alamiah mereka berusaha mencegah kelahiran al-Mahdi yang dijanjikan dengan memutus garis keturunan dari ayahnya, Imam Hasan Askari.
Adalah hal yang jelas dengan hanya memungkinkan kebenaran hadis-hadis ini cukup mendorong mereka untuk mencegahnya. Lalu bagaimana dalam kondisi yang mereka mengetahui dengan pasti hal tersebut, khususnya bahwa tidak ada di antara Muslimin yang dapat diterapkan pada mereka sifat-sifat yang disebutkan dalam hadis seperti yang diterapkan pada mereka, dua belas imam, sebagaimana telah kami paparkan secara terperinci sebelumnya?
Berdasarkan kenyataan ini, kita dapat memahami rahasia di balik pendeknya usia yang dimiliki oleh ketiga imam sebelum Imam Mahdi as yang dijelaskan dalam sejarah. Ayahanda beliau, Imam Hasan Askari syahid dalam usia 28 tahun,13 kakek beliau, Imam Ali Hadi syahid pada usia 40 tahun14, dan Imam Muhammad Jawad syahid pada usia 25 tahun.15 Inilah kenyataan yang patut dipelajari. Salah satu dari kenyataan tersebut cukup untuk menyingkap upaya keji yang dilakukan Bani Abbas denganmemutus garis keturunan ini untuk mencegah kemunculan al-Mahdi yang dijanjikan.16 Meskipun sejarah tidak mencatat upaya-upaya keji Bani Abbas dengan menekan dan membunuh para imam, lalu bagaimana jika sejumlah besar upaya-uapaya keji terhadap para imam tercatat?
Sebagai contoh, para ahli sejarah menyebutkan bahwa mereka (Bani Abbas) memenjarakan Imam Hasan Askari dan berusaha menghabisinya beberapa kali sebagaimana yang mereka lakukan pada ayah-ayah beliau.17
Imam Hasan Askari menyebutkan sebab-sebab peperangan yang ditujukan pada para imam as sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau oleh orang yang sezaman dengan beliau yaitu Syekh Fadhl bin Syadzan. Beliau berkata,
“Abdullah bin Husain bin Sa’ad al-Katib meriwayatkan pada kami, dia berkata, ‘Abu Muhammad al Imam Hasan Askari berkata,
‘Bani Umayah dan Bani Abbas meletakkan pedang-pedang mereka pada kami karena dua sebab. Pertama, mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki hak atas khilafah, maka mereka takut atas pengakuan kami atas khilafah dan kekhilafahan tetap berada pada pusatnya.
Kedua, mereka mengetahui dari sumber-sumber yang mutawatir mengenai kehancuran yang zalim dan sewenang-wenang melalui tangan al- Qaim (al-Mahdi) dari keluarga kami. Mereka tidak ragu bahwa sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang zalim dan berbuat sewenangwenang.
Mereka berupaya membunuh Ahlulbait Rasululah saw dan memutus garis keturunannya agar mereka dapat mencegah kelahiran al- Qaim as atau membunuhnya. Maka Allah Swt enggan untuk menyingkap urusan pada salah seorang di antara mereka, kecuali Allah menyempurnakannya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.”18
Fase-fase Kehidupan Imam Mahdi
Kehidupan seluruh imam maksum dapat dibagi secara umum dalam dua bagian penting. Bagian pertama, kehidupan imam sebelum menerima tanggung jawab imamah dan kekuasaan. Bagian kedua, kehidupan imam setelah menerima tanggung jawab imamah dan kekuasaan.
Masing-masing bagian tersebut dapat dibagi dalam beberapa fase. Berdasarkan hal ini pula, kehidupan Imam Mahdi as dapat dibagi menjadi empat fase.
Fase pertama, kehidupan beliau dalam naungan ayah beliau, yaitu sejak kelahiran para tahun 255 Hijriah hingga kesyahidan ayah beliau, Imam Hasan Askari pada tahun 260 Hijriah. Imam Mahdi as pada saat itu berusia kira-kira lima tahun.
Fase kedua, kehidupan beliau sejak wafatnya ayah beliau tahun 260 Hijriah hingga berakhirnya masa kegaiban pendek pada tahun 329 Hijriah. Fase ini berjalan kurang lebih 70 tahun.
Fase ketiga, kehidupan beliau pada masa kegaiban panjang yang dimulai sejak wafatnya wakil beliau yang keempat pada tahun 329 Hijriah. Fase ini berlangsung hingga hari kemunculan beliau yang akan membangun kondisi politik dan sosial yang baru.
Fase keempat, kehidupan beliau pada masa kemunculan yang dimulai sejak berakhirnya masa kegaiban panjang dan ini adalah janji pemerintahan mahdawiah yang mendunia yang dikabarkan dalam nas-nas al-Quran dan sunah.
Setiap fase dari fase-fase tersebut memiliki keistimewaan yang akan kami sebutkan ketika mambahas fase-fase tersebut. Insya Allah.
Imam Mahdi dalam Naungan Ayahnya
Peran Imam Hasan Askari dalam Pemberitaan Kelahiran
Di bawah tekanan kondisi yang sulit yang dihadapi Imam Hasan Askari, ada tugas penting yang sangat menentukan yang harus dipikulnya, yaitu menyembunyikan kelahiran dari mata-mata para penguasa dinasti Abbasiyah. Beliau harus merahasiakan hal ini dengan rapi agar Bani Abbas tidak mendapat petunjuk tentang keberadaan, kelahiran, dan tempatnya. Meskipun mereka mengetahui secara umum hal tersebut. Semua ini dilakukan untuk menjaga bayi yang lahir dari upaya-upaya keji Bani Abbas. Karena itu, kita dapat memperhatikan bagaimana Imam as berusaha keras merahasiakannya. Berkali-kali Imam as mengingatkan dan menekankan untuk merahasiakan hal tersebut saat ia memberi tahu orang-orang tertentu dari kalangan keluarga dan pengikut setianya. Seperti contoh saat beliau memberitahukan Ahmad bin Ishaq, beliau berkata,
“Seorang bayi telah lahir dari keluarga kami, hal ini hendaknya menjadi rahasia bagi dirimu dan tersembunyi bagi seluruh manusis.”19
Akan tetapi, di sisi lain di bawah tekanan dan kondisi yang mencekam serta upaya-upaya mematamatai yang begitu gencar, Imam Hasan Askari juga harus memberitahukan dan mengabarkan kelahiran putranya, al-Mahdi, agar tidak terjadi keraguan akan kelahiran dan keberadaannya serta imamah al-Mahdi kelak di masa mendatang. Dengan demikian, dibutuhkan saksi-saksi untuk hal ini sehingga mereka mengetahui dan dapat menukil kesaksian mereka di masa mendatang, tercatat dalam sejarah untuk generasi-generasi berikutnya.
Mulailah Imam as memberitahukan sejumlah orang dari sahabat-sahabat setianya mengenai masalah tersebut.20 Imam as memberitahukan kelahiran ini setelah tiga hari berlalu dari saat kelahiran.21 Imam as menyampaikan pada empat puluh orang sahabat khususnya dan membiarkan mereka mengabarkannya setelah berlalu beberapa tahun dan Imam Mahdi saat itu masih kecil.
Imam Hasan as memberitahukan mereka bahwa anak kecil itu adalah imam setelah beliau.22 Begitu pula ketika beliau menyampaikannya secara pribadi pada sebagian sahabatnya dan sewaktu-waktu beliau memperlihatkan pada mereka karamah dari Imam Mahdi sehingga membuat mereka yakin akan keberadaan beliau.23
Imam as juga melakukan tindakan-tindakan lainnya untuk tujuan dan tugasnya dengan tetap menjaga agar bayi yang lahir ini tetap hidup dan selamat dari tangan-tangan keji Bani Abbas. Tidak tercatat dalam sejarah ihwal kelahiran seseorang lebih kuat dari catatan kelahiran Imam Mahdi asa seperti yang diungkapkan oleh Syekh Mufid.24
Sisi lainnya yang dihadapi Imam Hasan Askari as adalah mempersiapkan kegaiban putranya al-Mahdi dan membiasakan orang-orang Mukmin untuk berinteraksi secara tidak langsung dengan imam yang gaib. Untuk tujuan ini, Imam Hasan Askari melakukan beberapa tindakan seperti memberitahukan mereka mengenai kegaiban al-Mahdi dan memerintahkan mereka untuk merujuk pada wakil-wakil beliau untuk umum, yaitu Utsman bin Said.
Beliau menyampaikan pada sekelompok sahabatnya setelah memaparkan tentang Imam Mahdi yang masih kecil. Beliau berkata,
”Inilah imam kalian setelahku dan dia adalah khalifahku atas kalian. Taatilah dia dan jangan kalian bercerai berai sepeninggalku, maka kalian celaka dalam agama kalian. Ketahuilah bahwa kalian kelak tidak akan melihatnya setelah hari ini hingga sempurna umurnya. Terimalah dari Utsman apa yang disampaikannya, turuti perintahnya, terimalah ucapannya, karena dia adalah wakil imam kalian dan seluruh urusan kembali kepadanya.”25
Di antara tindakannya dalam hal ini—menguatkan untuk menggunakan metode di balik tirai dan berinteraksi dengan orang-orang Mukmin secara tidak langsung agar mereka terbiasa guna memasuki masa kegaiban—Imam Hasan berbicara dengan Syi’ahnya yang khusus atau umum di balik tirai, kecuali pada kondisi di saat imam dibawa ke kerajaan. Hal seperti ini tidak hanya Imam yang melakukan, bahkan ayah-ayah beliau pun melakukan hal yang sama sebagai mukadimah untuk kegaiban Shahib az-Zaman dan pembiasaan pada para pengikut mereka menghadapi kondisi tersebut sehingga mereka tidak mengingkari kegaiban dan terbiasa dengan kondisi di balik tirai.26
Dari tindakan-tindakan tersebut, terbentuklah satu sistem perwakilan dari imam dan penguatan terhadap kitab-kitab hadis yang dikumpulkan para sahabat imam dan periwayatan-periwayatan mereka dari para imam dan dari Rasulullah saw27 dan agar orang-orang Mukmin merujuk pada kitab-kitab hadis tersebut dan periwayatanperiwayatan itu di masa kegaiban. 28
Kehadiran Imam Mahdi Saat Ayahnya Wafat
Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq dalam Ikmaluddin dan Syekh Thusi dalam kitab Al-Ghaybah bahwa Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—hadir pada saat ayahnya wafat. Riwayat yang disampaikan oleh Syekh Thusi lebih terperinci dibanding dengan riwayat yang disampaikan oleh Syekh Shaduq yang hanya menjelaskan kehadirannya saat ayahnya wafat tanpa keterangan lebih lanjut. Syekh Shaduq menukil riwayat ini dari Muhammad bin Husain bin ‘Ibad, dia berkata, “Abu Muhammad Hasan bin Ali meninggal pada hari Jumat saat shalat subuh. Pada malam harinya, ia banyak menulis surat yang ditujukan ke Madinah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rabiul Awwal pada tanggal 8 tahun 260 Hijriah. Ketika itu, ia tidak dihadiri kecuali oleh Shaqail Jariah dan Uqaid Khadim serta seorang yang mengenal Allah Swt selain kedua orang tersebut….”29
Syekh Thusi menukil sebuah riwayat yang lebih terperinci. Beliau berkata, “Ismail bin Ali berkata, ‘Aku menjumpai Abu Muhammad Hasan bin Ali as saat sakit yang menyebabkan kematiannya. Aku berada di sisinya saat ia berkata pada pembantunya Uqaid—dia adalah seorang pembantu berkulit hitam—yang telah membantu ayahnya, Ali bin Muhammad (al-Hadi) dan dia adalah orang yang merawat Hasan.
Imam berkata, ‘Wahai ‘Uqaid, tuangkan untukku air.’ Maka, diambilkan baginya air. Kemudian, Shaqail Jariah berada di belakangnya dengan membawa tempat air di tangannya. Tempat air itu diminumkan pada Imam sementara tangannya gemetar sampai-sampai tempat air itu menyentuh gigi Hasan. Kemudian dia letakkan.
Imam berkata kepada ‘Uqaid, ‘Masuklah ke dalam rumah kau akan melihat seorang anak kecil yang sedang bersujud dan bawalah dia kepadaku.’
Abu Sahl berkata, ‘’Uqaid berujar, ‘Aku masuk mencari dan aku lihat anak kecil yang sedang bersujud mengangkat jemarinya ke langit dan aku mengucapkan salam kepadanya. Ketika selesai shalat, aku berkata, ‘Sesungguhnya tuanku menyuruhmu untuk keluar menjumpainya. Kemudian, ibu Shaqail datang dan membawanya pada ayahnya Hasan as.’”
Abu Sahl berkata, “Ketika anak kecil tersebut berada di hadapannya mengucapkan salam. Kulit anak tersebut berwarna cerah dan rambutnya agak keriting dan giginya agak renggang.”
Ketika Imam Hasan melihatnya, ia menangis dan berkata, ‘Wahai pemimpin Ahlulbaitnya, tuangkan kepadaku air sesungguhnya aku hendak pergi menuju Tuhanku.’
Kemudian anak kecil tersebut mengambil tempat air yang tertutup dengan kedua tangannya. Lalu menggerakkan bibirnya dan menuangkannya. Ketika Imam meminumnya, Imam berkata, ‘Persiapkanlah aku untuk shalat.’
Kemudian, anak kecil itu mengambil sebuah handuk di kamarnya lalu mewudukannya satu demi satu, mengusap kepalanya, dan kedua kakinya. Abu Muhammad as berkata padanya,
‘Berilah kabar gembira wahai anakku, engkau adalah Shahib az-Zaman, engkau adalah al-Mahdi, engkau adalah hujjah Allah di atas muka bumi ini, engkau adalah anakku dan washiku, engkau terlahir dariku dan kau adalah Muhammad bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Rasulullah menjadikanmu sebagai putranya dan kau adalah imam terakhir dari para imam yang suci dan Rasulullah saw telah membawa berita gembira mengenaimu, beliau yang memberi namamu dan menjulukimu seperti itu. Ayahku telah berjanji kepadaku dari ayahayahnya yang suci—salawat dan salam Allah tertuju pada Ahlulbait—sesungguhnya Tuhanku Maha Terpuji dan Mahamulia.’ Kemudian Hasan bin Ali pun meninggal—salam sejahtera bagi mereka seluruhnya.’”30
Catatan Kaki:
1. Rujuk pula Musnad Ahmad ibn Hanbal, jil.2, hal.176; Sunan Ibn Majah, jil.1, hal. 444-445; Faizh al- Qadir, jil.4, hal.459; Sunan Turmudzi, jil.3, hal.116; Kanz al-‘Ummal, jil.3, hal.466 dan kitab-kitab lainnya.
2. Tsawâb al-A’mal karya Syekh Shaduq, hal.101; Mishbâh al-Mutahajjid karya Syekh Thusi, hal.762; Iqbal al-A’mal karya Sayid Ibnu Thawus, hal.718.
3. Rujuk riwayat-riwayat ini dalam kitab An-Najm ats-Tsaqib karya Mirza Nuri, halaman 146 dan setelahnya dari terjemahan bahasa Arab. Rujuk pula Al-Kâfî, jil.1, hal.329; kitab Kamaluddin, hal.340.
4. Yang dimaksud dengan penyesuaian penanggalan adalah penanggalan yang disesuaikan antara hari-hari pada tahun Masehi yang disesuaikan dengan hari-hari pada tahun Hijriah. Penanggalan seperti ini telah banyak dibuat baik dalam bentuk buku atau program komputer yang dapat menetapkan penyesuaian setiap hari pada hari-hari di tahun Hijriah dengan Hijriah Syamsiyah atau tahun Masehi. Dalam penelitian, kami merujuk pada penanggalan yang disesuaikan yang dikeluarkan Universitas Teheran yang penyesuaiannya dimulai pada hari pertana dari tahun pertama hijrah Nabi Muhammad saw sampai akhir abad ke-15 Hijriah.
5. Untuk penjelasan lebih terperinci dari pendapat-pendapat mereka, dalam penyebutan tersebut, dapat merujuk pada kitab Difa’ ‘an al-Kâfî karya Sayid Tsamir Umaidi, jil.1, hal.535-593.
6. Lihat riwayat-riwayat yang dikumpulkan oleh Sayid Bahrani mengenai kisah kelahiran Imam Mahdi as yang dikutip dari sumber-sumber terpercaya. Kitab beliau berjudul Tabshirat al-Wali, halaman 6 dan seterusnya. Begitu pula ringkasan yang ditulis oleh Mirza Nuri dalam kitab Najm ats-Tsaqib, jilid 2, halaman 153 dan setelahnya. Rujuk pula kitab Al-Ghaybah karya Syekh Thusi dan subbab khusus mengenai penetapan kelahiran Shahib az-Zaman, halaman 72 dan setelahnya.
7. Al-Ghaybah karya Syekh Thusi, hal.144.
8. Kamaluddin, hal.315; Kifâyat al-Atsar, hal.317.
9. Kamaluddin, hal.303.
10. ibid., hal.321-322.
11. ibid., hal.316.
12. Dr. Muhammad Mahdi Khan menyebutkan para pengklaim tersebut dalam kitabnya Bâb al-Abwâb yang mengkhususkan satu bagian di dalamnya yang mengkaji gerakan-gerakan para pengklaim kemahdian. Beliau adalah seorang pendiri Shahifat al-Hikmah di Mesir.
13. Al-Fushûl al-Muhimmah karya Ibnu Shabagh al-Maliki, hal.288.
14. Muruj adz-Dzahab karya Mas’udi, jil.4, hal.169.
15. Al-Fushûl al-Muhimmah karya Ibnu Shabagh al-Maliki, hal.276.
16. Upaya ini dilakukan dengan gencar hingga masuk ke dalam rumah Imam as dengan mengutus mata-mata dari kalangan wanita guna mengawasi apa yang terjadi di rumah Imam as jika Imam Mahdi dilahirkan. Bahkan, upaya ini dilakukan guna mencegah kelahiran Imam Mahdi. Karena itu, Imam Hasan Askari as tidak menikah secara resmi sebagaimana budaya yang berlaku pada masa itu.
17. Rujuk subbab tertentu mengenai hal tersebut dalam kitab Hayât al-Imâm al-Askari as karya Syekh Thabarsi, hal.421-424.
18. Itsbat al-Hudat karya Hurrul Amini, jil.3, hal.570; Muntakhâb al-Atsar, Syekh Luthfullah Shafi, Bab 359, hadis ke-34 dari Kasyf al-Haqq karya Khatun Abadi, dan banyak hadis yang menunjukkan pada hal serupa itu.
19. Kamaluddin, hal.434.
20. Kamaluddin, hal.431. Rujuk pula kitab Ma’adin al-Hikmah fî Makatib al-Aimmah karya Muhammad bin Faidh Kasyani, jil.2, hal.375.
21. Kamaluddin, hal.431.
22. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.21;. Itsbat al-Hudat, Hurr Amili, hal.415; Yanabi’ al-Mawaddah, Hafizh Sulaiman al-Hanafi, hal.460.
23. Rujuk kisah-kisah mereka dalam kitab Tabshirat al-Wali karya Sayid Bahrani, dan bagian-bagian tertentu mengenai hadis-hadis:
“Siapa saja yang menyaksikan beliau di masa ayah beliau” dari kitab Al-Ghaybah.
24. Fushûl al-‘Asyrah fî al-Ghaybah yang dicetak di dalam kitab ‘Iddatu Rasâil karya Syekh Mufid, hal.353.
25. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.217.
26. Itsbat al-Wasyi’ah karya Mas’udi, hal.262.
27. Rujuk Rijal al-Kasyi, hal.481 dan 451; Rijal Abu Dawud, hal.272-273; Wasâil asy-Syî’ah, jil.17, hal. 72; Falah as-Sail karya Sayid Ibnu Thawus, hal.183 dan lain-lain.
28. Untuk penjelasan yang lebih terperinci mengenai peran Imam Hasan Askari mengenai hal ini, silakan merujuk pada kitab Tarikh Ghaybat ash-Shughra karya Sayid Syahid Muhammad Shadr, hal.269 dan setelahnya, dan juga kitab Hayât al-Imam Hasan al-Askari as karya Syekh Thabarsi, hal.313-326.
29. Ikmaluddin, hal.474.
30. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.165.
(Teladan-Abadi/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email