Penerimaan Tanggung Jawab Imamah Saat Masih Kecil
IMAM MAHDI as menerima tanggung jawab imamah pada usia 5 atau 6 tahun. Ia adalah imam yang paling belia dari sisi usia di antara para imam ketika menerima tanggung jawab imamah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis-hadis sebelumnya.1
Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh dalam sejarah para nabi, rasul, dan para imam Ahlulbait as. Bahkan, hal seperti itu pernah terjadi pada sebagian nabi Allah. Seperti yang dinaskan dalam al-Quran mengenai Isa dan Yahya, begitu pula yang terjadi pada dua orang imam sebelum Imam Mahdi, yaitu Imam Ali Hadi yang menerima tanggung jawab imamah pada usia 8 tahun dan Imam Muhammad Jawad yang memegang tampuk imamah pada usia 7 atau 9 tahun.
Imam Muhammad Jawad dihadapkan pada dua ujian umum. Yang pertama, setelah menerima tanggung jawab imamah secara langsung, ia berhadapan dengan para pembesar mazhab Ahlulbait dan para ulama di kalangan sahabat ayahnya. Yang kedua, dalam sebuah majelis yang diadakan oleh Makmun yang dihadiri para ulama besar di kalangan umat Islam pada masa tersebut, para pembesar kerajaan Bani Abbas yang berupaya dengan segala cara untuk menjatuhkan kedudukan para imam Ahlulbait as.
Imam as berhasil melampaui kedua ujian tersebut dengan gemilang yang menyebabkan para pembesar di kalangan sahabat ayahnya dan para ulama umat Islam mengakui imamahnya yang mendunia dan kemampuannya mengenai ilmu-ilmu syariat Islam dari kakeknya, pemimpin terakhir para rasul, Muhammad saw.2
Hasil penting yang diperoleh dari pengalaman ini tercermin pada pembenaran imamah dua belas imam sebagai kedudukan dari Allah yang diberikan pada hambahamba-Nya yang Dia kehendaki. Dengan demikian, usia belia tidak berpengaruh untuk menerima pancaran karunia Allah pada seseorang. Karena itu, kita dapat perhatikan bahwa orang-orang yang menulis mengenai Imam Mahdi as dari kalangan ulama-ulama mazhab Islam, mengungkapkan pengakuan mereka mengenai imamah beliau sementara ia berusia lima tahun adalah suatu hal yang alamiah dalam sejarah para imam Ahlulbait as.
Bahkan seorang ulama besar seperti Ibnu Hajar Haitsami al-Makki asy-Syafi’i mengatakan dalam tulisannya mengenai Imam Hasan Askari as, “Imam Hasan Askari tidak meninggalkan selain putranya, Abu Qasim Muhammad al-Hujjah. Umurnya ketika ayahnya wafat adalah lima tahun, tetapi Allah Swt memberinya hikmah…”3
Penulis kitab Mir’ât al-Asrâr Syekh Abdurrahman Jami al-Hanafi, mengatakan dalam tulisannya, “Usianya ketika ayahnya wafat adalah lima tahun dan ia menduduki posisi imamah. Peristiwa ia sama halnya dengan peristiwa yang terjadi pada Nabi Yahya bin Zakaria as saat Allah Swt memberinya hikmah dan karamah dan juga sama seperti peristiwa Nabi Isa as yang menerima tanggung jawab kenabian pada usia balita. Demikian pula halnya dengan Imam Mahdi, Allah Swt menjadikannya sebagai imam pada usia yang masih kecil.
Banyak sekali hal-hal yang di luar kebiasaan manusia yang tidak mungkin dimuat dalam buku yang ringkas ini.”4
Kita dapat perhatikan pula penyandaran yang dilakukan oleh Syekh Jami al-Hanafi pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada para nabi sebelum Nabi Muhammad saw yang menafikan ketidakmungkinan penerimaan tanggung jawab imamah pada usia belia. Selama itu Imam selalu bersandar pada Allah Swt baik dalam usia muda atau dewasa. Telah ditetapkan bahwa Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—memiliki sandaran Ilahi seperti ini. Kita dapat menyaksikannya melalui peristiwa-peristiwa yang dinukil dalam kitab-kitab hadis dan kitab sejarah yang menyebutkan munculnya berbagai karamah dari Imam yang tidak mungkin muncul dari selain imam.
Sebagian karamah tersebut ia tampakkan pada masa ayahnya masih hidup dan sebagiannya ia tampakkan pada masa imamahnya.5
Imam Mahdi Menyalati Ayahnya dan Pemberitahuan Mengenai Keberadaannya
Kewajiban pertama yang harus diemban oleh Imam Mahdi as jauh sebelum ia menerima tanggung jawab imamah adalah menyalati ayahnya, Imam Hasan Askari, dirumahnya sebelum membawa jasad ayahnya yang mulia keluar untuk dishalati secara “resmi” yang ditetapkan oleh penguasa pada saat itu, yaitu Dinasti Abbasiyah.6
Pelaksanaan shalat yang dilakukan Imam as ini, merupakan ungkapan penting tentang imamah beliau selain bahaya yang mengancamnya ketika kabar mengenai shalat ini tersebar.
Syekh Thusi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ahmad bin Abdullah al- Hasyimi (salah seorang keturunan Abbas), berkata, “Aku hadir di rumah Abu Muhammad Hasan bin Ali as secara sembunyi-sembunyi dari orang-orang yang ingin melihat pada hari wafat beliau. Ketika jasadnya dikeluarkan dan diletakkan, kami berjumlah 39 orang sedang duduk menanti sampai akhirnya muncul seorang anak kecil yang tidak mengenakan alas kaki, memakai ridha. Ketika anak kecil tersebut hendak keluar, kami berdiri karena kewibawaannya tanpa kami sadari.
Anak kecil itu terus maju ke depan dan orang-orang pun berdiri di belakangnya, kemudian mendirikan shalat. Usai shalat, dia berjalan memasuki rumah tidak melalui pintu saat dia keluar.”7
Syekh Shaduq juga meriwayatkan peristiwa tersebut dengan perincian yang lebih lengkap dari Abul Adyan Bashri salah seorang kepercayaan Imam Hasan Askari as. Dia berkata, “Aku adalah pembantu Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib—salam sejahtera bagi mereka. Aku membawa tulisan-tulisan beliau ke berbagai kota. Aku menjumpainya di rumahnya pada saat beliau sakit yang menyebabkannya meninggal dunia. Imam as menulis sebuah tulisan kepadaku dan berkata,
“Berangkatlah ke berbagai kota, kau akan menghilang selama 14 hari. Kemudian kau akan memasuki (satu rahasia yang banyak dilihat) hari ke-15. Kau akan mendengar tangisan di rumahku dan kau akan dapati aku terbaring di tempat pemandian.”
Abul Adyan berkata, “Aku berkata, ‘Jika demikian, lalu siapa?’ beliau menjawab,
“Siapa yang memintamu atas jawaban tulisantulisanku, dia adalah al-Qaim penggantiku.”
“Jelaskan lebih lanjut” pintaku.
Imam menjawab, “Siapa yang memberitakan tentang yang terjadi di Himyan dialah al-Qaim setelahku.”
“Kewibawaan beliau mencegahku untuk bertanya lebih lanjut tentang apa yang terjadi di Himyan. Aku berangkat membawa tulisan-tulisan Imam ke berbagai kota dan mengambil jawabannya. Aku tiba (satu rahasia yang banyak dilihat) pada hari ke-15 seperti yang ia ucapkan padaku.
Kemudian aku tersadar di rumah beliau. Beliau sudah berada di tempat pemandian. Aku bertemu dengan Ja’far al-Kadzdzab bin Ali, saudara Imam, di depan pintu rumah dan sejumlah orang-orang Syi’ah berada di sekitarnya bertakziah padanya. Mereka mengucapkan selamat padanya.
Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Andaikan dia imam, maka hancurlah imamah karena aku mengetahuinya. Dia adalah peminum arak, penjudi, dan pemain tambur.” Kemudian aku maju ke depan bertakziah dan ikut mengucapkan selamat.
Namun ia tidak menanyakan apa pun padaku. Kemudian Uqaid keluar dan berkata, “Wahai tuanku saudaramu telah dikafani, berdirilah dan shalatkan ia.”
Ja’far bin Ali masuk ke dalam bersama sejumlah umat Syi’ah yang ada di sekitarnya. Yang paling depan adalah Siman, Hasan bin Ali, sebelum Mu’tasim yang terkenal dengan Salmah. Ketika berada di dalam rumah dan Imam Hasan bin Ali berada di atas pembaringannya dengan tubuh terbalut kain kafan. Saat Ja’far bin Ali hendak menyalati saudaranya, pada saat takbir, seorang anak kecil keluar dengan wajah kecoklatan, rambut agak keriting, dan giginya renggang. Anak itu menarik pakaian Ja’far bin Ali dan berkata,
“Engkau terlambat wahai paman, aku yang lebih berhak menyalati ayahku.”
Kemudian Ja’far menghentikan shalat, wajahnya kesal dan pucat. Kemudian anak kecil itu menyalati imam danmenguburkan beliau di samping kuburan ayahnya. Kemudian, anak kecil itu berkata,
“Wahai penglihatanku, bawa kemari jawaban-jawaban tulisan-tulisan yang bersamamu.” Kemudian aku menyerahkan tulisan-tulisan tersebut kepadanya. Aku berkata pada diriku, “Inilah salah satu bukti di Himyan.” Kemudian aku keluar menuju Ja’far bin Ali yang sedang duduk. Hajiz Wasya berkata padanya, “Wahai tuanku, siapakah anak kecil ini sehingga kita dapat membuktikannya?” Ja’far berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihatnya dan tidak mengenalnya. Saat kita sedang duduk, seseorang dari Qum datang dan bertanya mengenai Hasan bin Ali. Mereka mengetahui kematiannya dan berkata, “Kepada siapa kami bertakziah?” Mereka memberi isyarat kepada Ja’far bin Ali. Orang-orang itu memberi salam kepadanya dan bertakziah serta mengucapkan selamat kepadanya. Mereka berkata, “Kami membawa tulisan-tulisan dan harta dikatakan dari siapa kitab ini dan berapa jumlah hartanya?” Ja’far berdiri dengan mengibaskan pakaiannya, “Apakah kalian ingin kami mengajarkan ilmu gaib?” Perawi berkata, “Pembantu Imam keluar dan berkata, ‘Kalian membawa kitab fulan dan fulan dan dua kantung berisi seribu sepuluh dinar dan didalamnya juga terdapat perhiasan.’ Mereka menyerahkan kitab-kitab dan harta kepadanya. Mereka berkata, ‘Demi kemuliaan semua itu akan diambil oleh Imam.’
Ja’far bin Ali masuk menjumpai Mu’tamid dan mengungkapkan hal itu. Mu’tamid menjumpai pembantu tersebut kemudian mencegahnya bersama Shaqail al-Jariyah agar meminta semuanya dari anak kecil. Akan tetapi, ia menolaknya. Aku memberitahukan padanya bahwa di dalam ada tali yang dapat mengikat anak kecil.
Aku diserahkan pada Ibnu Abi Syaurab al-Qadhi. Kematian Ubaidilah bin Khaqan secara tiba-tiba membuat mereka geram. Shaibul Zanj keluar menuju Basrah dan mencari-cari al-Jariyah. Aku terbebas dari tangan mereka. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam….” 8
Tujuan-tujuan Imam Mahdi Menyalati Ayahnya Melakukan shalat pada ayahnya bertujuan untuk merealisasikan dua permasalahan penting. Dua masalah tersebut harus dilaksanakan setelah wafatnya imam ke-11 mengingat seluruh mata memperhatikan dan memandang untuk mengetahui sosok imam ke-12.
Setelah itu kita mengetahui bahwa kelahiran Imam Mahdi as diliputi dengan kerahasiaan disebabkan kekejaman Bani Abbas dan upaya pencegahan atas kelahiran sang juru penyelamat. Karena itu, dengan kondisi khusus seperti ini di mana seluruh mata memperhatikan dan memandang siapa yang menyalati Imam yang telah meninggal agar dapat menjadikan hal itu sebagai petunjuk mengenai siapa imam setelahnya.
Demikian pula kondisi khusus tersebut merupakan sebuah kesempatan yang baik dengan tujuan memperkenalkan pada mereka yang hadir—sebagian besar di antara mereka adalah pembesar-pembesar di kalangan sahabat Imam Hasan Askari dan para wakil beliau—keberadaan Imam Mahdi dan sesungguhnya dialah washi yang sebenarnya bagi ayahnya.
Sesungguhnya dengan pertolongan Ilahi, Allah menjaganya dari upaya-upaya mencelakakan dirinya dari Bani Abbas, khususnya khalifah Bani Abbas saat itu, yaitu Mu’tamid, yang segera mengutus mata-mata ke rumah Imam Hasan Askari saat dia mendengar kabar kematiannya.
Tentara-tentara Mu’tamid mengobrak-abrik seluruh kamar guna mencari putra beliau. Mereka juga mengirim para wanita untuk mengetahui siapa wanita yang hamil di antara pembantu-pembantu Imam. Semua itu terjadi sebelum jasad suci beliau dimandikan dan dikafani.9
Maka dari itu, shalatnya beliau (Imam Mahdi) pada ayahnya adalah sebagai pengumuman pada para hadirin—jumlah mereka saat itu lebih dari empat puluh orang seperti dalam riwayat Hasyimi sebelumnya—mengenai keselamatan Imam Mahdi dari serangan tentara Bani Abbas yang keji yang telah berbuat nista dengan mengobrak-abrik rumah duka al-Askari yang sedang berduka karena musibah ditinggalkan Imam Hasan Askari as. Penyerangan tersebut membuat sebagian berpikir tidak akan terkena penyerangan tersebut.
Untuk memperkuat permasalahan ini, kita dapat perhatikan kemunculan Imam Mahdi as untuk menyalati ayahnya berdekatan dengan pengumuman keberadaan beliau dan sekaligus menjelaskan bahwa dirinya adalah putra Imam Hasan Askari as. Beliau lebih berhak untuk menyalatinya sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Abil Adyan saat Imam Mahdi berbicara dengan paman beliau, Ja’far dengan ucapan:
“Engkau terlambat wahai paman, aku lebih berhak untuk menyalati ayahku.”
Adapun masalah kedua yang harus dilakukan oleh Imam Mahdi as adalah mencegah pamannya, Ja’far—yang dijuluki dengan al-Kadzdzab (pembohong)—dari penguasan kedudukan penting ini agar tidak berpengaruh terhadap persepsi masyarakat umum yang berusaha mengajak mereka pada kesesatan dengan menyatakan dirinya sebagai imam setelah wafatnya saudaranya Hasan bin Ali al- Askari as. Pentingnya masalah ini akan lebih tampak ketika memperhatikan upaya penonjolan diri yang dilakukan Ja’far dengan memberanikan diri di hadapan penguasa Bani Abbas agar masyarakat percaya bahwa dirinya adalah khalifah pengganti saudaranya Hasan Askari dan menduduki posisi imamah.10
Upaya penonjolan diri tersebut telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan bagi anak saudaranya yaitu al-Mahdi as. Begitu pula sikapnya dengan cepat-cepat memberitakan kepada Mu’tamid al-Abbasi mengenai kehadirannya dalam shalat dengan tujuan agar dia dapat memegang imamah sebagaimana hal ini dapat kita saksikan dalam riwayat sebelumnya. Termasuk juga kerja sama yang ia lakukan dengan penguasa Abbasi untuk menolongnya agar bisa mencapai tujuan.
Jelas, upaya-upaya keji seperti ini akan memberikan pengaruh negatif yang sangat besar dalam penyesatan manusia dan menjauhkan mereka dari imam yang sesungguhnya. Terlebih-lebih dengan kerahasiaan yang terjadi pada kelahiran Imam Mahdi as serta penyembunyian hal tersebut kecuali terhadap sahabat-sahabat khusus.
Dengan demikian, Imam harus menghadapi kondisi tersebut dan tidak menolerir pamannya untuk menguasai kedudukan penting itu mengingat upaya-upayanya untuk menyesatkan dan sekaligus upaya Imam Mahdi untuk menyempurnakan hujjah kendatipun harus berhadapan dengan bahaya dan ancaman yang dapat menghentikan upaya penegakan agama dan tanggung jawab imam.
Dua Kegaiban Imam Mahdi as
Imam Mahdi as—semoga Allah mempercepat kemunculannya—mengalami dua masa kegaiban yaitu kubra (panjang) dan sughra (pendek). Banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw yang memberitakan tentang kedua kegaiban tersebut bersamaan. Begitu pula hadis-hadis para imam maksum dari keluarga Nabi Muhammad saw seperti yang akan kita jelaskan mendatang.
Bahkan, sebagian dari nas-nas kitab-kitab langit terdahulu juga mengisyaratkan hal tersebut. Sebagaimana yang akan kami tunjukkan kelak.
Kegaiban pendek dimulai sejak wafatnya ayahandanya, Imam Hasan Askari pada tahun 260 Hijriah. Imam Mahdi memegang tanggung jawab imamah hingga wakil keempat beliau wafat, Syekh Ali bin Muhammad Samari, pada pertengahan Sya’ban tahun 329 Hijriah selaras dengan peringatan kelahiran Imam Mahdi as. Dengan demikian, ia memegang tanggung jawab tersebut kurang lebih selama 70 tahun. Pada masa ini, penutupan tirai pada Imam tidak terjadi sepenuhnya karena ia masih dapat dihubungi melalui sejumlah orang-orang Mukmin yang menjadi wakilnya.
Tahap ini juga memiliki kelebihan dengan banyaknya risalah-risalah (tulisan-tulisan) yang dikeluarkan oleh Imam mengenai berbagai topik. Tahap ini bagaikan tahap peralihan antara kehidupan secara langsung yang biasa terjadi di masa hidup ayahnya dan tahap kegaiban secara menyeluruh pada masa kegaiban panjang.
Adapun masa kegaiban panjang, dimulai sejak wafatnya Syekh Ali bin Muhammad Samari ketika Imam memerintahkannya untuk tidak menunjuk pengganti dirinya setelah tujuan-tujuan penting yang harus dicapai pada masa kegaiban pendek terlaksana. Adapun masa kegaiban panjang berlangsung hingga saat ini dan akan tetap berlanjut hingga Allah Swt mengiznkan Imam untuk muncul dan menegakkan tanggung jawabnya menciptakan kemaslahatan yang mendunia.
Tahap kegaiban panjang adalah tahap berakhirnya sistem perwakilan khusus dari Imam, dan berkurangnya risalah-risalah dari Imam dan juga tertutupnya tirai sepenuhnya kecuali pada kondisi-kondisi yang insya Allah akan kita bicarakan rincian hal tersebut pada pembahasan mendatang.
Sebab-sebab Kegaiban Pendek dan Persiapannya
Sebab-Sebab Kegaiban Pendek Kegaiban Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—merupakan pelaksanaan persiapan untuk kemunculannya. Kegaiban pendek merupakan hikmah Allah dalam mengatur urusan hamba-hamba-Nya dengan tujuan agar masyarakat layak untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar yang Allah akan wujudkan melalui tangannya, merealisasikan keunggulan Islam atas agama-agama lain, mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang adil di muka bumi ini, membentuk sebuah masyarakat bertauhid yang murni yang hanya menyembah Allah Swt tidak menyekutukan-Nya, tidak takut akan tipu daya orang-orang munafik dan orang-orang musyrik seperti yang dijelaskan dalam nas-nas syariat Islam yang insya Allah kita akan bahas pada bagian tertentu dalam buku ini mengenai kehidupan beliau pasca kemunculannya.
Peyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh Islam telah menjauhkannya dari peran penting yang diinginkan oleh Allah Swt yaitu menjadi umat terbaik yang pernah dimunculkan oleh Allah. Penyimpangan-penyimpangan tersebut begitu mengakar dalam kehidupan sosial, moral, dan perekonomian masyarakat sehingga tidak memungkinkan baginya untuk memberi petunjuk pada masyarakat menuju keadilan Islam yang tidak dimiliki oleh umat Islam sendiri. Begitu pula sejumlah besar pelindung ajaran-ajaran Tuhan kehilangan hal tersebut sehingga realita-realita tersebut tersembunyi dalam kehidupan mereka.
Penyimpangan-penyimpangan politik—merupakan salah satu bentuk penyimpangan lainnya—telah meliputi kalangan umat Islam dan menebarkan kerusakan dan pemerintahan mereka yang tidak memiliki tujuan selain materi dan kesenangan yang diharamkan, kemegahan-kemegahan di dalam istana dan merasa sombong di atas muka bumi sampai bentuk kekhalifahan yang sesungguhnya, yaitu sebagai pembantu masyarakat dan penjaga serta pendukung kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan dunia dan akhirat. Akan tetapi, sebaliknya mereka menduduki posisi sebagai seorang diktator yang tidak memiliki tujuan selain kerusakan dan perusakan, kesombongan di atas muka bumi, mempertahankan kekuasaan dengan segala cara meskipun dengan cara memperhitungkan kejatuhan pelindung yang mencoba mengangkat syiar khilafah, yaitu Nabi Muhammad saw.
Karena itu, mereka berusaha memerangi para imam dari keluarga Nabi sebagaimana yang kita perhatikan ketika Imam Hasan Askari menyebutkan sebab penentangan Bani Umayah dan Bani Abbas pada mereka khususnya kepada al-Mahdi yang dijanjikan.
Dengan demikian, kondisi Islam—terlebih-lebih masyarakat—belum memiliki kelayakan menuju perbaikan penting dan besar yang diemban oleh al-Mahdi al- Muntazhar. Mungkin yang dapat memberikan kejelasan tentang kondisi saat itu adalah sikap beliau terhadap pergerakan-pergerakan yang cukup marak dari kalangan Alawiyin yang muncul di berbagai tempat dalam dunia Islam. Namun semua itu berhadapan dengan kekejaman atau pemusnahan atau penyimpangan secara cepat dari tujuan awal yang didengung-dengungkan dan pada akhirnya berpaling pada pembentukan pemerintahan kerajaan seperti pemerintah-pemerintah yang sesat yang mereka hadapi saat itu. Pergerakan-pergerakan tersebut sangat jauh dari tujuan-tujuan perbaikan Islam yang lebih besar.11
Di bawah kondisi seperti ini, di bawah upaya-upaya pemusnahan yang dilakukan oleh penguasa Bani Abbas untuk menghentikan al-Mahdi sebagaimana yang telah dijelaskan, Imam diliputi oleh tirai yang memungkinkan beliau untuk tetap berperan—sebagai hujjah Allah terhadap hamba-Nya—dalam mempersiapkan prasarana-prasarana yang dibutuhkan untuk kemunculannya tanpa harus menghadapi bahaya kekejian dan pemusnahan manusia pada hujjah Allah sebagai wakil Tuhan dalam menjaga syariat Muhammadiyah. Tirai ini disebut dengan kegaiban.
Sejumlah hadis menyebutkan sebab ini dan menerangkan bahwa salah satu rahasia kegaiban adalah kekhawatiran atas pembunuhan. Alasan ini sesuai dengan kegaiban pendek. Adapun sebab-sebab lainnya terkait pada kelayakan masyarakat untuk menerima kemunculannya. Mengenai hal ini akan kami jelaskan pada bagian tertentu dalam mukadimah tentang kegaiban pendek.
Persiapan Nabi dan Para Imam untuk Kegaiban Imam Mahdi as
Banyak sumber Islam yang mencatat sejumlah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw dan para imam Ahlulbait as yang mengabarkan tentang kepastian terjadinya kegaiban pada Imam Mahdi as. Kami akan menukil beberapa contoh di antaranya selain hadis yang menyebutkan tentang kerahasiaan kelahiran beliau dan kami akan menukil contoh-contoh hadis lainnya.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang diriwayatkan al-Hafizh Shadruddin Ibrahim bin Muhammad Himwayini asy-Syafii (644-722 H.) dalam kitabnya Faraidh as-Simthain dan lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa seorang Yahudi bernama Na’tsal Waikani Aba Imarah menjumpai Rasulullah saw dan bertanya kepadanya mengenai beberapa hal menyangkut ketauhidan, kenabian, dan imamah. Rasul menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan ia pun puas dengan jawaban Rasul dan berkata, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah dan aku bersaksi bahwa mereka adalah washi-washi setelahmu. Sungguh hal ini telah aku temukan dalam kitab-kitab terdahulu dan merupakan sesuatu yang dijanjikan Musa kepada kami:
Jika tiba akhir zaman, muncul seorang nabi dengan nama Ahmad sebagai nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahnya dan akan muncul dari keturunannya para imam yang mulia sejumlah al-asbath (keturunan Bani Israil).”
Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda padanya,
“Wahai Aba Imarah, apakah engkau mengetahui al-asbath?”
Ia menjawab, “Ya wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka berjumlah dua belas orang.”
Nabi berkata, “Sesungguhnya di antara mereka bernama Lawi bin Arhiyah.”
Dia berkata, “Aku mengenalnya wahai Rasulullah, dia adalah orang yang gaib dari Bani Israil beberapa tahun kemudian kembali dan menegakkan syariat setelah mempelajarinya. Dia berperang melawan Raja Farithia sehingga dia terbunuh.”
Nabi bersabda, “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi pada Bani Israil tidak kurang tidak lebih. Sesungguhnya putraku ke-12 akan mengalami kegaiban hingga tidak dapat dilihat. Akan tiba pada umatku suatu masa yang tidak tersisi dari Islam kecuali namanya dan al-Quran hanya tinggal tulisan.
Pada saat itu, Allah mengizinkannya untuk muncul dan menampakkan kembali Islam serta memperbaharui agama.” Kemudian Nabi saw berkata, “Berbahagialah orang-orang yang mencintai mereka, berbahagialah orang-orang yang berpegang teguuh pada mereka, dan celakalah orang-orang yang membenci mereka.”12
Diriwayatkan dari Rasulullah saw beliau bersabda, “Siapa yang mengingkari al-Qaim dalam kegaibannya maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.” 13
Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi Zat Yang mengutusku dengan kebenaran dan sebagai pembawa berita gembira, al-Qaim dari keturunanku akan mengalami kegaiban sesuai dengan janji yang dijanjikan dariku padanya sehingga manusia berkata, ‘Allah tidak butuh pada keluarga Muhammad,’ dan sebagian lain meragukan kelahirannya. Siapa yang menjumpai masanya berpegang teguh pada agamanya dan jangan memberikan jalan untuk setan masuk padanya dengan meragukannya maka ia akan tergelincir dari agamaku dan keluar dari agamaku….” 14
Nabi Muhammad saw bersabda, “… Dan dijadikan dari keturunan Husain para imam yang diwasiatkan atas perintahku dan menjaga wasiatku. Yang kesembilan dari mereka adalah penegak Ahlulbaitku, al- Mahdi bagi umatku. Dia adalah manusia yang paling mirip denganku, dari posturnya, ucapan-ucapannya, dan perbuatan-perbuatannya. Dia akan muncul setelah mengalami kegaiban yang panjang dan kebingungan yang menyesatkan. Dia akan menyebarkan perintah Allah dan menampakkan agama yang hak...”15
Rasulullah saw bersabda, “Bagi ‘anak kecil ini’ (al-Mahdi) akan mengalami kegaiban.”
Beliau ditanya, “Mengapa wahai Rasul?”
Beliau menjawab, “Khawatir dibunuh.”16
Rasulullah saw bersabda, “Al-Mahdi adalah keturunanku, ia akan mengalami kegaiban, terjadi kebingungan, banyak umat yang tersesat pada saat itu. Kemudian dia muncul dengan harta-harta tersimpan para nabi memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”17
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin dalam sebuah sabdanya, ia berkata,
“Akan tetapi aku berpikir pada bayi yang lahir dari keturunanku ke-11, yaitu al-Mahdi, yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman dan kejahatan. Ia akan mengalami kegaiban, tidak kebingungan banyak kaum yang tersesat pada masa itu sementara yang lain mendapat petunjuk….”18
Imam Ali berkata, “Sesungguhnya, bagi yang gaib dari kalangan kami mengalami dua kegaiban salah satunya lebih panjang dari yang lain. Tidak akan terbukti imamahnya kecuali bagi orang-orang yang kuat keyakinannya dan benar pengenalannya.” 19
Hadis tersebut juga diriwayatkan dari Imam Hasan bin Ali as seperti yang telah kami jelaskan dalam pembahasan mengenai kelahiran beliau.
Diriwayatkan dari Imam Husain as, beliau berkata, “Bagi shahibul amr (al-Mahdi) terjadi dua kegaiban, salah satunya sangat panjang sehingga orang mengatakan bahwa dia telah meninggal. Sebagian lain mengatakan dia telah pergi. Tidak ada seorang pun yang mengetahui tempatnya baik seorang wali atau bukan, kecuali pengikut setia yang menyerahkan urusannya kepadanya.”20
Diriwayatkan dari Imam Sajjad as, beliau berkata, “Al-Qaim mempunyai masa dari masa Nabi Nuh. Beliau memiliki umur yang panjang.”21
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya al-Qaim dari kami mengalamidua kegaiban, salah satunya lebih lama dari yang lain.”22
Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as, beliau berkata, “Bagi al-Qaim keluarga Muhammad mengalami dua kegaiban, salah satunya lebih lama dari yang lain.”23
Dari Imam Shadiq as, beliau berkata, “Jika di antara kalian dari sahabat kalian menjumpai kegaiban maka jangan diingkari.”24
Imam Shadiq as berkata, “Bagi al-Qaim dari keluarga kami akan mengalami kegaiban yang sangat lama…karena Allah Swt enggan kecuali berlaku pada saat itu sunnah-sunnah para nabi dan hendaknya dia wahai Sudair adalah orang yang meminta fatwa dan adanya kegaiban yang panjang pada mereka.” 25
Diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim as, beliau berkata, “Aku adalah orang yang menegakkan kebenaran. Akan tetapi, al-Qaim yang menyucikan bumi dari musuh-musuh Allah dan memenuhinya dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman.
Dia adalah imam ke-5 dari keturunanku. Dia akan mengalami kegaiban yang lama masanya….”26
Imam Ridha as dalam sebuah hadisnya mengenai al-Qaim berkata, “…Dialah keturunanku yang ke-4 yang Allah menggaibkannya dalam tirai-Nya sampai waktu yang Dia kehendaki. Kemudian Allah akan memunculkannya dan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”27
Diriwayatkan dari Imam Jawad dalam sebuah hadisnya, beliau berkata, “…Kami Ahlulbait adalah al-Qaim penegak agama atas perintah Allah, petunjuk menuju agama Allah. Akan tetapi, al-Qaim yang akan menyucikan bumi dari orang-orang kafir dan para penentang serta memenuhi dengan keadilan adalah seseorang yang dirahasiakan kelahirannya dari manusia, dirinya akan mengalami kegaiban (tertutupi tidak terlihat) dari manusia….”28
Diriwayatkan dari Imam Hadi as, beliau berkata, “…Kalian tidak akan melihat dirinya….”29
Beliau juga berkata, “Jika pemimpin kalian gaib dari kediaman orang-orang zalim, maka berharaplah kemunculannya.”30
Diriwayatkan dari Imam Hasan Askari, beliau berkata, “Demi Allah, sesungguhnya shahibul amr hadir pada saat musim haji setiap tahun dan dia melihat seluruh manusia dan mengenali mereka dan manusia melihatnya akan tetapi tidak mengenalinya….”31
Beliau juga berkata, “Putraku Muhammad adalah imam dan hujjah setelahku. Siapa yang meninggal dan tidak mengenalnya maka meninggal dalam keadaan jahiliah. Sesungguhnya ia mengalami masa kegaiban yang akan membingungkan orang-orang yang bodoh….”32
Beliau juga berkata, “… Putraku ini diberi nama oleh Rasulullah saw dan diberi julukan oleh beliau. Dialah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah diliputi dengan kejahatan dan kezaliman…
Perumpamaan dirinya pada umat ini bagaikan Nabi Khidhir Dzulqarnain. Demi Allah, Allah akan menggaibkannya….”33
Hadis-hadis yang memiliki makna seperti di atas sangatlah banyak dan termasuk hadis mutawatir dikalangan Ahlulbait as. Sejumlah besar para periwayat hadis di kalangan Ahlusunnah dari berbagai mazhab pun banyak yang menukilnya sebagaimana yang kita saksikan.
Kebanyakan dari hadis-hadis tersebut diriwayatkan dengan sanad yang sahih. Hadis-hadis itu dengan jelas menunjukkan kebenaran akan kegaiban Imam Mahdi dan hal itu terjadi atas perintah Allah Swt mengingat bahwa hadis-hadis tersebut diyakini kebenarannya dan dicatat sebelum terjadinya kegaiban dengan rentang waktu yang cukup panjang. Ketika masa kegaiban tiba, hal ini menguatkan kebenaran dan kesahihan kandungan hadis tersebut. Begitu pula kebenaran munculnya hadis-hadis tersebut bersumber dari sumber-sumber wahyu dari Zat Yang Mahagaib. Meskipun sebagian dari hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis yang mursal dan terjadi perdebatan di sebagian sanad-sanadnya. Syekh Shaduq—semoga Allah merahmati beliau—
berkata: “Sesungguhnya para imam telah memberitakan tentang kegaibannya dan menyifatinya pada Syi’ah mereka melalui hadis-hadis yang dinukil dari mereka dan dijaga dalam catatan-catatan serta disatukan dalam kitab-kitab kurang lebih 200 tahun sebelum terjadinya kegaiban. Dan tidak ada seorang pun dari pengikut para imam kecuali menyebutkannya di berbagai kitab mereka, meriwayatkannya atau mencantum kannya dalam tulisan-tulisan mereka. Kitab-kitab tersebut dikenal dengan Al-Ushûl yang ditulis dan terjaga pada Syi’ah keluarga Muhammad jauh sebelum terjadi kegaiban.
“Andaikan kondisi mereka para pengikut yang menulis kitab-kitab tersebut mengetahui akan terjadi kegaiban lalu mereka menulis hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka, dan dicantumkan dalam tulisan-tulisan mereka sebelum terjadinya kegaiban tersebut, hal ini sesuatu yang mustahil bagi orang yang mau berpikir. Atau mereka yang meletakkan kebohongan dalam kitab-kitab mereka namun sesuai dengan kenyataan yang mereka sebutkan, atau terealisisasi sesuai kebohongan yang mereka ciptakan sementara mereka saling berjauhan dan berbeda pendapat. Inilah satu bentuk kemustahilan. Oleh karena itu, kita hanya dapat mengatakan bahwa mereka menghapal hadis-hadis tersebut dari para imam mereka yang menjaga wasiat dari Rasulullah saw yang menyebutkan tentang kegaiban, sifat kegaiban di setip masa hingga akhir masa dengan cara mereka mencatatnya dalam kitab-kitab mereka dan menuliskannya dalam tulisan-tulisan mereka.
Dengan demikian sanggahan- sanggahan yang dilontarkan hanya akan menegakkan kebenaran dan menyirnakan kebatilan. Sesungguhnya kebatilan akan lenyap.”34
Hal yang dapat menambah kejelasan dari bukti-bukti ini adalah bahwa sesungguhnya hadis-hadis yang memberitakan mengenai penjelasan secara lengkap dan terperinci mengenai bentuk kegaiban, sosok imam yang gaib, dan beliau adalah imam ke-12 dari para imam serta keturunan ke-9 dari Imam Husain as dan lain-lainnya, merupakan bagian dari penjelasan-penjelasan dan perincian-perincian yang tidak dapat diterapkan dalam sejarah kecuali pada kegaiban Imam Mahdi as. Semua ini merupakan bukti-bukti kuat dan jelas mengenai kebenaran imamah dan kegaiban Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya.
Syekh Mufid mengatakan, “Adapun hadis-hadis yang disampaikan dari para imam keluarga Nabi Muhammad saw, saling menguatkan bahwa harus terjadi pada al- Qaim yang dinanti-nantikan dua kegaiban. Salah satunya lebih lama dari yang lainnnya. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui tentang dirinya. Sementara masyarakat umum, tidak mengetahui dimana keberadaan beliau kecuali orang-orang yang berkhidmat pada beliau dari kalangan orang-orang yang terpercaya.… Pemberitahuan yang demikian, sudah ada dalam kitab-kitab yang di tulis di kalangan umat Syi’ah imamiyah sebelum kelahiran Abu Muhammad Imam Hasan Askari, ayah beliau, dan kakek beliau—salam sejahtera bagi mereka. Kebenaran itu semua tampak jelas dengan berlalunya para wakil imam yang telah kami sebutkan. Begitu pula kebenaran para perawi hadis-hadis tersebut yang memberitakan mengenai kegaiban yang panjang. Seluruhnya merupakan bukti-bukti nyata mengenai kebenaran ajaran dan pendapat Imamiyah...”35
Pembuktian-pembuktian tersebut menetapkan kebenaran kedua kegaiban: pendek dan panjang. Semua itu berdasarkan pada pembuktian hadis-hadis yang menjelaskan mengenai kedua hal tersebut dan perincian dari kedua peristiwa tersebut.
Falsafah Tahapan dalam Kegaiban
Sebagaimana yang telah kami isyaratkan, kegaiban secara umum merupakan pelaksanaan upaya persiapan yang harus dilakukan dalam kerangka persiapan kemunculan Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—untuk melaksanakan tanggung jawab besarnya, yaitu melakukan reformasi dunia menuju pada kebaikan.
Merupakan hikmah Ilahi bahwa kegaiban ini terjadi dalam dua tahap. Sebab dari hal ini sangat jelas. Jika kegaiban secara menyeluruh terjadi secara langsung, maka hal ini menyebabkan lenyapnya beberapa faktor yang sangat dibutuhkan unutk mencapai kelayakan masyarakat Islam menerima kehadirannya dalam pembentukan pemerintahan Islam yang mendunia.
Mengingat poros utama untuk merealisasikan kelayakan ini adalah pembenahan persiapan—sebagaimana yang dijelaskan beberapa hadis yang insya Allah kelak kami paparkan ketika kita membahas hadis-hadis tentang kegaiban panjang—maka upaya pembenahan seperti ini membutuhkan sejumlah besar faktor-faktor pendukung dan keyakinan yang mendalam yang mampu dijadikan sandaran yang kokoh bagi seorang Muslim dalam upaya pembenahan.
Selain itu, dibutuhkan informasi yang cukup dan kelayakan diri serta pengetahuan pada generasi masyarakat Islam sebagai persiapan kemunculan Imam Mahdi as.
Sesungguhnya Nabi Muhammad saw dan para imam dari keluarga suci Nabi telah mempersiapkan kegaiban ini dengan melakukan beberapa langkah yang menambah kedalaman dan cakupan yang lebih luas jika semakin dekat.
Ataupun semua itu hanya sekedar pemberitahuan mengenai kepastian terjadinya kegaiban, kelahiran yang dirahasiakan, perluasan aktivitas dengan membentuk satu sistem perwakilan, atau mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan umat dari pengetahuan agama dan kaidah-kaidah syariat yang menyempurnakan penarikan kesimpulan hukum agama atau lain-lainnya.
Akan tetapi, persiapan untuk mencapai kegaiban seluruhnya hanya dibutuhkan beberapa langkah penyempurnaan dan contoh-contoh praktis yang memberikan penjelasan dan penguatan. Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Mahdi as pada masa kegaiban pendek. Inilah kerangka umum sejarah kehidupan beliau dan pergerakan-pergerakan yang dilakukan pada tahap tersebut. Pada dasarnya, tahapan ini merupakan tahap peralihan dari masa kehadiran secara menyeluruh pada masa-masa imam sebelumnya dan masa kegaiban total di masa beliau juga sekaligus sebagai persiapan terakhir untuk memasuki masa kegaiban panjang.
Kenyataan-kenyataan tersebut dapat kita temukan dan tercermin dengan jelas dalam sejarah kehidupan beliau selama masa kegaiban pendek. Hal ini juga bisa kita dapati melalui penelitian mengenai tujuan-tujuan dari pergerakan-pergerakan beliau dan keterkaitan tujuan-tujuan tersebut dengan kekhususan-kekhususan yang berbeda pada masa kegaiban panjang. Oleh karena itu, kita memasuki pembicaraan mengenai kehidupan beliau dengan mempelajari tujuan-tujuannya melalui pembatasan agar jelas hubungan antara tujuan-tujuan tersebut dengan sejarah kehidupan beliau di masa kegaiban panjang.
Pengintaian Penguasa Abbasi Mengenai Kabar Imam
Dari riwayat-riwayat pada masa kegaiban pendek, nampak jelas bahwa penguasa Bani Abbas terus mengintai berita mengenai Imam Mahdi as. Seakan-akan mereka yakin dengan keberadaan beliau bersandarkan pada kemutawatiran penukilan mengenai hal tersebut dari Nabi dan melalui pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh para imam dari keluarga Nabi. Penguasa Bani Abbas juga mengetahui bahwa Imam Hasan Askari as adalah imam ke-11 dari para imam. Dengan demikian putra beliau adalah imam ke-12 dan merupakan imam terakhir yang dijanjikan yang akan menumpas segala bentuk kezaliman dan kejahatan. Sebagaimana hal ini dikabarkan dalam riwayat-riwayat Nabi yang mutawatir.
Kita perhatikan riwayat yang disampaikan oleh Kulaini—dalam pembahasan kita mengenai penjagaan imam terhadap para wakilnya—bahwa tujuan penguasa melakukan pengintaian terhadap para wakil imam adalah agar mereka bisa menemukan imam. Oleh karena itu, para imam sebelumnya dan juga dari Imam Mahdi sendiri memberikan penekanan-penekanan kepada para pengikutnya untuk tidak menyebut nama Imam Mahdi pada masa kegaiban pendek. Karena jika mereka mengetahui nama Imam, penguasa Abbasi lebih gencar untuk mencari tahu.36
Dari riwayat yang disampaikan oleh Syekh Thusi dapat disimpulkan bahwa penguasa Abbasiyah telah mendapatkan informasi mengenai keberadaan Imam dan berusaha untuk membunuhnya. Imam membatasinya guna menjelaskan dan menetapkan bahwa keterjagaan tersebut merupakan penjagaan Ilahi atas dirinya.
Riwayat menyebutkan, “Diceritakan dari Rasyiq Shahibul Madari, ia berkata, ‘Mu’tadidh diutus pada kami, dan kami berjumlah tiga orang. Ia memerintahkan kami bertiga untuk menunggang kuda, berjalan beriringan dan keluar dengan sembunyi-sembunyi. Kami tidak pernah bersama baik sedikit maupun banyak kecuali ketika berada di tempat shalat. Dia berkata pada kami, ‘Berangkatlah kalian ke Samirah’ kemudian dia menceritakan tentang sebuah tempat dan sebuah rumah. Lantas dia berkata, ‘Jika kalian menjumpai tempat dan rumah tersebut, dan bertemu dengan seorang pembantu berkulit hitam, maka dobraklah pintu itu. Siapa pun yang kalian jumpai di dalamnya, bunuh dan bawalah kepalanya kemari.’ Kami tiba di Samirah dan kami jumpai apa yang dia ceritakan pada kami. Di sebuah rumah, kami menjumpai seorang pembantu berkulit hitam dan dia membawa seutas tali yang dililitkan. Kami bertanya tentang rumah dan penghuninya. Pembantu itu berkata,
‘Pemiliknya, demi Allah dia tidak pernah memperhatikan kami dan jarang sekali bersama kami.’ Kemudian kami dorong pintu tersebut, sebagaimana yang diperintahkan dan kami dapati rumah yang sepi, di balik pintu terdapat sebuah tirai yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Seakan-akan kedua tanganku terangkat pada waktu itu.
“Tidak ada seorang pun di dalam rumah. Kami menyingkap tirai. Kami dapati sebuah rumah besar bagaikan lautan yang dipenuhi air. Di ujung rumah terdapat sebuah alas (tikar) yang kami lihat berada di atas air. Seorang laki-laki yang berparas elok sedang melaksanakan shalat di atasnya. Dia tidak menoleh sedikit pun kepada kami dan juga tidak pada bawaan-bawaan kami. Kemudian Ahmad bin Abdullah bergegas menyerbu rumah, namun dia tenggelam ke dalam air, dia gemetar sehingga aku datang mengulurkan kedua tanganku dan aku berhasil menyelamatkannya dan mengeluarkannya dari dalam air dia pun pingsan untuk beberapa lama. Sahabat keduaku melakukan hal yang serupa dan dia pun merasakan akibat yang serupa. Tinggallah aku termangu dan aku berkata pada pemilik rumah, ‘Aku minta maaf padamu dan memohon ampun pada Allah. Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang terjadi, dan aku tidak tahu berhadapan dengan siapa saat ini, aku bertobat pada Allah.’ Aku tidak lagi memperhatikan ucapanku dan tidak menunggu lama kami bergegas dan pergi meninggalkan orang tersebut.
«Mu’tadhid menanti kami. Dia berjanji membawa kami ke al-Hajjab jika kami berhasil menemuinya kapan pun saja. Kami menjumpainya pada malam hari dan dia bertanya pada kami mengenai hasil upaya kami. Kemudian kami ceritakan kepadanya apa yang kami saksikan. Lalu dia berkata, ‘Celaka kalian!!’ seseorang telah menjumpai kalian sebelum aku? Dan kalian termakan ucapan atau sebab tertentu? Kami menjawab, ‘Tidak’ Dia berkata, ‘Sungguh aku tidak percaya.’ Dia pun bersumpah dengan penuh keyakinan. Sesungguhnya dia adalah seseorang yang jika berita ini samapai kepadanya, maka dia akan memenggal leher kita. Kami pun tidak berani membicarkan hal ini, kecuali setelah kematiannya.”37
Persiapan-persiapan Imam Mahdi pada Masa Kegaiban Pendek
Penetapan Keberadaan dan Imamahnya Membuktikan keberadaan dan imamah beliau merupakan tujuan yang diinginkan ketika beliau hadir dan menyalati jasad suci ayahnya Imam Hasan Askari as sebagaimana hal ini sudah kami jelaskan sebelumnya.
Langkah ini merupakan gerakan dan langkah penting yang Imam ambil pada masa kegaiban pendek. Pentingnya tujuan ini sebagai pondasi dasar yang menjadi sandaran dalam pergerakan Imam Mahdi as tampak lebih jelas mengingat bahwa berdasarkan nas-nas syariat Islam mengenai keselamatan dari kesesatan, selamat dari mati dalam kondisi mati jahiliah, terkandung dalam pengenalan dan pengetahuan terhadap Imam Zaman dan bepegang teguh kepadanya, sementara Imam tersembunyi dan tidak tampak pada masa kegaiban panjang.
Karena itu, keimanan kepadanya—sebagai mukadimah ketaatan dan berpegang teguh pada wilayah yang beliau miliki—mengharuskan adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap keberadaannya. Sampai pada taraf seorang Mukmin dapat mengatasi keraguan yang ada pada dirinya yang muncul karena tidak menyaksikan secara nyata.
Keyakinan dan kepercayaan seperti inilah yang dapat meyempurnakan sebab-sebab pergerakan Imam Mahdi as pada masa kegaiban pendek sebagai jalan penyempurnaan hujjah ketika harus menjumpai beberapa orang terpercaya imam. Begitu pula ketika menampakkan karamah-karamah yang tidak mungkin muncul dari selain Imam sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa riwayat yang membicarakan mengenai tahap ini dan juga dicantumkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.38
Penyempurnaan Kebutuhan Umat Mengenai Pengetahuan Islam
Selama lebih dari dua abad, para imam Ahlulbait—shalawat Allah bagi mereka—telah menyampaikan sebagian besar kebutuhan umat sepanjang masa kegaiban panjang ihwal pengetahuan tentang al-Quran dan Sunnah kakek mereka Rasulullah saw. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan yang dapat mewakili Islam secara keseluruhan sebagai agama yang suci, agama yang kokoh yang Allah perintahkan agar kita mengikutinya dan beramal sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan di dalamnya. Islam sebagai tali pegangan yang kuat yang sekaligus aplikasi tehadap berpegang kepada dua peninggalan Nabi yang menjamin keselamatan dari kesesatan dan mati jahiliah.
Peninggalan-peninggalan tersebut membatasi dan menjelaskan kaidah-kaidah serta landasan dasar interpretasi hukum Islam dan pengetahuan-pengetahuan Islam secara umum yang diambil dari riwayat untuk mengetahui sunnah-sunnah Rasulullah saw dan para imam as. Nabi dan para imam memerintahkan sahabat-sahabat mereka untuk menjaga dan mencatatnya agar dapat dijadikan sumber—selain al-Quran—untuk mengetahui seluruh hukum Islam yang dibutuhkan oleh umat, sampai masa kemunculan Imam Mahdi as.
Salah satu hasil penting yang diperoleh dari perintah ini adalah tercatatnya riwayat-riwayat mereka dari sahabat-sahabat para imam yang dikenal dengan ushûl arba’ miah.
Kitab ini telah dikumpulkan pada masa-masa sebelum masa Imam Mahdi as. Di dalam kitab tersebut termuat sejumlah besar riwayat dan nas-nas dari Nabi Muhammad saw.39
Selama masa kegaiban pendek, Imam Mahdi as yang dinanti-nantikan kemunculannya, menyempurnakan segala sesuatu yang dibutuhkan umat nantinya di masa kegaiban panjang, baik berupa pengetahuan-pengetahuan, ataupun segala sesuatu yang dapat membantu pergerakan dan konsistensi umat di jalan yang lurus serta mempersiapkan sesuatu yang dapat menjaga umat untuk tetap melanjutkan perjalanannya menuju kesempurnaan. Inilah tujuan umum kedua dalam kehidupan beliau pada masa kegaiban panjang sebagaimana yang tercermin dalam risalah-risalah yang beliau keluarkan pada masa tersebut.
Penetapan Metode Perwakilan
Imam Mahdi as pada masa ini, menetapkan sejumlah orang dari para sahabat beliau yang setia dan dapat dipercaya, yang memiliki keikhlasan dalam keyakinan sebagai wakil beliau yang bergerak sesuai dengan izin dan perintah beliau. Para wakil tersebut merupakan satu bentuk sarana yang menghubungkan Imam dengan orang-orang mukmin. Kakek beliau, Imam Ali al Hadi as, juga telah mempersiapkan bagi beliau dalam masalah ini. Begitu pula yang dilakukan imam sebelumnya, Imam Muhammad Jawad as dan diikuti oleh Imam Hasan Askari as, yang telah membentuk sistem perwakilan sebagai persiapan untuk kegaiban keturunan mereka. Mereka mengumumkan kepercayaan mereka pada sebagian sahabat mereka atau menyatakan langsung para wakil mereka. Satu contoh, seperti yang dilakukan oleh Imam Hasan Askari as ketika beliau berbicara mengenai Utsman bin Sa’id Amri wakil beliau, Imam menyatakan bahwa dia (Utsman) juga adalah seorang wakil setelahnya bagi putra beliau, Imam Mahdi as. Utsman bin Sa’id Amri juga merupakan wakil Imam dimasa Imam Ali al Hadi as.
Imam Hasan Askari berkata, “Abu Amr ini adalah orang yang dapat dipercaya, jujur, dan kepercayaan imam terdahulu, dan orang kepercayaanku semasa aku hidup dan setelah aku meninggal. Apa yang dia sampaikan pada kalian adalah ucapan dariku dan segala yang dia perintahkan pada kalian, sesungguhnya itu adalah perintah dariku.”40
Syekh Shaduq menyebutkan dua belas orang para wakil Imam Mahdi as selama masa kegaiban pendek. Sayid Muhammad Shadr menambahkan enam orang lainnya, berdasarkan bukti yang disebutkan dari sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab ar-Rijal.41 Imam bertanggung jawab langsung dalam penetapan mereka dan mengeluarkan penjelasan dan tanda tangan mengenai hal ini serta menafikan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai wakil imam yang bukan dari mereka.42
Perubahan penting yang terjadi dengan adanya sistem perwakilan pada masa ini yang berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu masa Imam Hasan Askari as, adalah pembicaraan Imam Mahdi dalam penentuan wakil atau utusan umum antara beliau dan orang-orang Mukmin. Penentuan-penentuan ini adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan sebelumnya, mengingat para wakil atau masyarakat umum dapat berhubungan langsung dengan Imam dan Imam pada saat itu hadir. Karena itu, tidak dibutuhkan seorang wakil atau utusan tertentu yang mewakili beliau. Adapun pada masa kegaiban pendek, ketidakhadiran Imam menuntut adanya penentuan wakil agar dapat menjadi sentral rujukan orang-orang Mukmin pada khususnya dan mereka sebelumnya telah terbiasa bahwa Imam di setiap masa hanyalah satu orang.
Penentuan seorang wakil khusus atau utusan tertentu dari Imam ditentukan langsung dan biasanya dengan sesuatu yang dapat mewakili penentuan tersebut seperti persetujuan yang dikeluarkan Imam atau disampaikan secara langsung oleh Imam sebagaimana kondisi wakil pertama atau melalui wakil sebelumnya untuk menetapkan wakil mendatang.
Para pembesar Syi’ah dan empat sahabat utama yang berurutan mendapatkan posisi tersebut adalah Utsman bin Said Amri. Ia, sebagaimana yang kita ketahui, adalah seorang wakil dari dua imam sebelumnya, yaitu Imam Ali Hadi dan Imam Hasan Askari. Kemudian putra beliau, Amr bin Utsman, menggantikan beliau. Setelah Amr adalah Husain bin Ruh dan wakil terakhir Imam adalah Ali bin Muhammad Samari.
Pengawasan Imam terhadap perilaku mereka para wakil dilakukan secara langsung dan berkesinambungan disetiap kondisi yang mereka mewakili Imam dalam tanggung jawabnya. Bahkan, mereka berwenang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan yang berkaitan dengan masalah keyakinan pada orang-orang mukmin yang mungkin saja mereka menjawab pertanyyaan tersebut berdasarkan yang mereka ketahui. Akan tetapi mereka tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali mereka mendapatkan pengetahuan secara langsung dari Imam Mahdi as.
Hal yang juga menambah nilai hujjah syariah atas sesuatu yang mereka lakukan ialah adanya sejumlah riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Satu contoh sebuah riwayat yang dinukil oleh Syekh Thusi dalam kitab Al-Ghaybah dalam sebuah hadis yang panjang mengenai jawaban wakil imam ketiga, Husain bin Ruh, atas pertanyaan salah seorang mukmin ketika bertanya mengenai masalah akidah yaitu berkenaan dengan kesyahidan Imam Husain as.
Riwayat tersebut dinukil oleh perawi dari Muhammad bin Ibrahim yang hadir pada sebuah majelis dan saat itu Husain bin Ruh menjawab pertanyaan. Muhammad bin Ibrahim bin Ishaq berkata, “Aku kembali menjumpai Syekh Abu Qasim Husain bin Ruh keesokan harinya dan aku berkata pada diriku sendiri, ‘Apakah dia menyebutkan sesuatu pada kami kemarin dari dirinya sendiri?’ Dia menegurku dan berkata,
‘Wahai Muhammad bin Ibrahim, jika diakhirkan dari langit dan burung-burung mematukiku atau angin yang kencang menerpaku, hal itu lebih aku sukai dibandingkan dengan aku berbicara agama berdasarkan pendapatku dan dari diriku sendiri. Sesungguhnya sesuatu yang kusampaikan bersumber dari sumber yang asli dan aku mendengarnya dari al-Hujjah (al-Mahdi)—semoga shalawat dan salam Allah tercurah padanya.’”43
Jelas, kondisi politik yang terjadi mengharuskan kegaiban Imam tidak memungkinkan bagi para wakil untuk berbuat secara terang-terangan. Dengan demikian, syarat pertama untuk menjadi seorang utusan tertentu haruslah seseorang yang memiliki tingkatan puncak dalam berpegang teguh dan mampu menyembunyikan dan merahasiakan tempat bahkan keberadaan Imam sekalipun. Hal inilah yang menyebabkan terpilihnya Husain bin Ruh sebagai wakil kendati ada orang yang lebih pintar darinya di antara para sahabat. 44
Imam Mahdi as menetapkan sistem perwakilan atau utusan khusus pada masa kegaiban pendek sebagai pembukaan agar orang-orang mukmin merujuk pada wakil umum Imam di masa kegaiban panjang. Hal itu telah ditetapkan dalam nas-nas syariat Islam yang menentukan sifat-sifat secara umum bagi wakil umum Imam. Imam juga memerintahkan umat untuk merujuk pada wakil umum beliau di masa kegaiban panjang. Imam mempersiapkan hal itu pada masa kegaiban pendek dengan cara menentukan pribadi-pribadi tertentu yang memiliki sifat-sifat tersebut untuk mengenalkan umat pada sosok-sosok yang memiliki kelayakan sebagai pengganti umum dari seorang Imam.
Riwayat-riwayat tersebut sangat membantu untuk mengenali seseorang yang memiliki sifat-sifat tersebut dan yang menyerupainya pada masa kegaiban panjang.
Dengan kata lain, pengalaman empat wakil Imam yang khusus yang ditentukan langsung oleh Imam, di satu sisi memberi penjelasan pada umat tentang legalitas merujuk pada wakil imam pada masa kegaiban beliau. Di sisi lainnya, menunjukkan pada umat contoh penguat bagi orang yang mengklaim sebagai pengganti Imam pada masa kegaiban panjang berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan dalam nas-nas syariat Islam sebagai sebuah persyaratan untuk mengganti Imam.
Menjaga Pondasi Keimanan
Mengingat pentingnya penetapan keberadaan Imam dan pengenalan terhadap wakil-wakilnya, hal ini terkadang menyeret pemberitaan kepada penguasa. Untuk itu Imam berperan aktif menjaga sistem perwakilan sehingga terlaksana peran beliau pada masa kegaiban pendek.
Satu contoh, Tsiqat al-Islam Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kâfî dari Husain bin Hasan Alawi berkata, “Seorang laki-laki dari Nadama Ruz Hasani dan orang terakhir yang bersamanya berkata kepadanya, ‘Dia adalah orang yang mengumpulkan harta-harta dan dia memiliki para wakil dan mereka menyebutkan seluruh nama wakil ke seluruh penjuru.’ Sampailah hal ini pada Ubaidilah bin Sulaiman sang mentri. Ia berusaha menangkap mereka semua. Raja berkata, ‘Carilah di mana laki-laki ini!’ ‘Ini adalah masalah yang berat,’ ujar Ubaidilah bin Sulaiman, ‘Kita akan menangkap para wakilnya.’ Raja berkata, ‘Tidak.
Akan tetapi, ada di antara mereka sekelompok orang yang tidak mengenal harta sama sekali. Siapa yang di antara mereka memegang sesuatu maka diberikan kepadanya.
Perawi berkata, ‘Kemudian Imam memerintahkan seluruh wakil untuk tidak mengambil sesuatu apa pun dari setiap orang, menolaknya, dan berpura-pura bodoh. Seorang laki-laki yang tidak dikenal berusaha menipu Muhammad bin Ahmad dan berkata, ‘Aku memiliki sejumlah harta dan aku ingin memberikannya pada Imam.’ Muhammad berkata kepadanya, ‘Anda salah. Saya tidak mengetahui apa pun tentang hal ini.’ Lelaki itu terus mendesak secara halus. Namun Muhammad tetap pura-pura tidak tahu.
Pemerintah terus mengirim mata-mata namun para wakil Imam menolak apa pun yang disodorkan pada mereka.”45
Dari riwayat tersebut dapat diketahui mengenai sejarah Imam pada masa kegaiban pendek bahwa beliau tidak hanya berusaha mencegah gangguan para penguasa Bani Abbas pada para wakilnya sebagaimana yang kita lihat pada riwayat di atas tetapi juga terhadap orang-orang mukmin dari tekanan Bani Abbas. Hal ini merupakan sebuah sunnah dari sejarah ayah-ayah beliau. Mereka berusaha melindungi orang-orang mukmin dan mencegah setiap gangguan sebatas yang mereka mampu lakukan.
Salah satu contoh perlindungan para imam terhadap orang-orang mukmin adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Kulaini dalam kitab al-Kâfî. Diriwayatkan dari Ali bin Muhammad, dia berkata, “Dikeluarkan pelarangan untuk berziarah ke makam orang-orang Quraisy dan gua Hira. Setelah beberapa bulan Menteri Baqithai memanggil dan berkata,
‘Temui Bani Furat dan Barsiyin, katakan pada mereka, ‘Jangan menziarahi makam-makam orang-orang Quraisy. Khalifah telah memerintahkan untuk melenyapkan setiap orang yang berziarah atau memenjarakannya.’”46
Tujuan-tujuan lainnya yang diupayakan Imam untuk direalisasikan pada masa kegaiban pendek adalah menyingkap segala bentuk penyimpangan yang terjadi di kalangan umat Syi’ah di antaranya tulisan paman beliau, Ja’far, dan adanya wakil-wakil gadungan. Sejarah membuktikan keberhasilan Imam menyelesaikan masalah tersebut ditandai dengan berpalingnya para pengikut beliau dari hal tersebut dengan cepat sebelum berakhir masa kegaiban pendek.
Pada pembahasan selanjutnya, kita akan jumpai dua contoh dari pergerakan Imam pada masa ini untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, di antaranya keluarnya pernyataan dari Imam dan pertemuan dengan orang-orang mukmin.
Dikeluarkannya Risalah (Pernyataan)
Sumber-sumber sejarah kehidupan Imam Mahdi as dipenuhi dengan sejumlah nas-nas dari pernyataanpernyataan dan penjelasan-penjelasan yang bersumber dari beliau pada masa kegaiban pendek. Pernyataan-pernyataan tersebut biasa disebut tauqi’at. Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan salah satu bentuk pembuktian yang nyata mengenai keberadaan beliau dan upaya penegakan tanggung jawab imamah di masa kegaiban beliau.47
Tauqi’at (pernyataan-pernyataan) Imam merupakan salah satu sarana hubungan Imam dengan orang-orang mukmin sekaligus sebagai media penghubung penjelasan/ penjelasan beliau pada orang-orang mukmin. Hal ini terjadi mengingat kondisi pada masa kegaiban yang tidak memungkinkan terjadinya pertemuan secara langsung.
Hal yang juga membantu umat mengenai sarana ini dan menguatkan pengaruhnya pada orang-orang mukmin adalah persiapan-persiapan yang dilakukan ayah-ayah beliau untuk hal tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan metode ini jauh hari sebelumnya, khususnya pada masa Imam Musa Kazhim as. Beliau mengalami masa pengasingan yang cukup panjang sejak masa imamah beliau hingga berlangsung selama 35 tahun. Selama waktu tersebut, Imam Musa berada dalam penjara penguasa Bani Abbas atau berada dalam pengawasan ketat dan juga tekanan-tekanan yang ditujukan pada para pengikutnya. Padahal beliau harus berhubungan dengan orang-orang mukmin pengikut beliau dan harus menjawab pertanyaan mereka seputar agama. Imam Musa as memberikan penjelasan-penjelasan tersebut melalui surat-surat yang tidak terputus meskipun beliau berada dalam penjara dan juga melalui sarana-sarana lainnya seperti orang-orang yang diupayakan oleh penguasa Bani Abbas untuk tidak mengetahui dan tidak mengenal pemimpin mereka yang sesungguhnya. Penggunaan metode ini semakin gencar dilakukan pada masa dua imam yaitu Imam Ali Hadi dan Imam Hasan Askari as. Hal ini disebabkan bertambah ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh penguasa Abbasi terhadap kedua imam tersebut manakala ibukota pemerintahan Bani Abbas saat itu menetapkan keduanya sebagai “rahasia bagi orang yang melihat.” Kondisi seperti ini bagaikan berada di benteng tentara. Oleh karena itu, dijuluki dengan al-‘Askari yang bermakna ‘barak tentara’. Pemerintah pada saat itu berusaha menciptakan kondisi bagi keduanya bagaikan dalam penjara di benteng tersebut.
Selain hal itu, penekanan kedua imam untuk menggunakan metode ini ibarat sebuah persiapan secara langsung untuk menghadapi kegaiban bagi putra mereka dengan jalan membiasakan orang-orang mukmin para metode ini dan juga sebagai bentuk penolakan terhadap sanggahan yang dilontarkan dan sekaligus sebagai penyempurna hujjah, sehingga mereka menerimanya dan berbuat sebagaimana yang tertera dalam risalah tersebut dan meyakininya dengan sepenuh hati. Dalam hal ini Imam menggunakan tulisan tangan pribadi beliau yang juga hal seperti itu dilakukan oleh ayah beliau dalam menulis surat-suratnya.
Semua ini menjadi penguat keyakinan di hati orang-orang mukmin dan memotong orang-orang yang mengingkari.48
Sebagian tauqi’at (pernyataan-pernyataan) Imam merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan orang-orang mukmin melalui empat wakil khusus imam. Sebagian lainnya merupakan penjelasan dari Imam berhubungan dengan berbagai masalah penting seperti perlindungan beliau terhadap orang-orang mukmin dan para wakil beliau sebagaimana yang telah kita saksikan. Ada pula yang berkaitan dengan penyingkapan atas penyelewenganpenyelewengan para wakil gadungan atau menyangkut penunjukan utusan-utusan atau lain-lain. Tauqi’at (pernyataan-pernyataan) juga mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan orang-orang mukmin dari pengetahuan-pengetahuan Islam yang benar dan hukumhukumnya di berbagai sisi kehidupan masyarakat baik dalam masalah keyakinan, fikih, pendidikan, akhlak, doa-doa, dan lain-lainnya. Begitu pula penjelasan mengenai kebutuhan umat pada masa kegaiban seperti perujukan pada para fakih yang adil, penegasan atas keberlangsungan penjagaan beliau pada masa kegaibannya, penjelasan mengenai tanda-tanda kemunculan beliau, dan lain-lain.
Insya Allah hal ini akan kita kenali sebagiannya pada pembahasan mendatang. Di dalam tauqi’at, juga terdapat contoh-contoh penerapan pengambilan kesimpulan hukum syariat dari hadis-hadis. Hal ini juga sebagai pembiasaan umat untuk beramal disesuaikan dengan hasil ijtihad pada masa kegaiban panjang.49
Secara umum dapat disimpulkan bahwa tauqi’at ini pada satu sisi merupakan salah satu sarana memimpin kaum mukmin dan merupakan upaya penjagaan terhadap mereka. Di sisi lain, sebagai sarana untuk menyempurnakan segala hal yang dibutuhkan pada masa kegaiban panjang mengenai hakikat Islam dan hukum-hukumnya.
Pertemuan Imam Mahdi dengan Orang-orang Mukmin Pengikutnya Sumber-sumber riwayat yang tepercaya meriwayatkan beberapa hadis yang mengisahkan pertemuan Imam Mahdi as dengan orang-orang mukmin para sahabatnya di masa kegaiban pendek. Hampir-hampir tidak ada satu buku pun yang ditulis mengenai sejarah para imam khususnya Imam Mahdi as yang tidak memuat hal itu. Syekh Shaduq meriwayatkan dari Muhammad bin Abi Abdillah mengenai jumlah pertemuan yang terjadi antara Imam Mahdi dengan para pengikut beliau dari berbagai penjuru dunia Islam. Beliau menyebutkan enam puluh delapan orang.50
Sementara Mirza Nuri menyebutkan angka 204 orang sahabat bersandarkan pada beberapa riwayat yang dapat dipercaya.51
Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang disampaikan dengan sanad yang sahih. Sebagian besar riwayat menceritakan tentang pertemuan yang terjadi pada masa kegaiban pendek, sebagian lainnya mengenai perjumpaan pada masa ayah beliau. Riwayat-riwayat ini, mengkhususkan bagi orang-orang yang menyaksikan dan mengenal beliau bukan bagi mereka yang tidak mengetahui dan mengenal Imam Mahdi as.
Dari riwayat-riwayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Imam Mahdi melakukan pertemuan dengan orang-orang mukmin di berbagai kondisi. Kemudian beliau menampakkan beberapa mukjizat beliau dan menunjukkan bukti-bukti sehingga orang-orang mukmin tersebut benar-benar meyakini bahwa dirinya adalah seorang imam dan terbukti pada mereka keberadaan beliau dan imamahnya.
Inilah yang dijelaskan oleh Isa Jauhari, yang berjumpa dengan Imam pada tahun 267 H di Shabir dekat dengan Madinah al-Munawwarah. “Beliau mengatakan sesuatu diakhir pertemuan tersebut setelah aku menyaksikan bukti-bukti yang memberikan keyakinan kepadaku mengenai dirinya. Imam berkata,
“Wahai Isa, kau tidak akan melihatku jika tidak karena orang-orang yang mendustakanku berkata, ‘Di mana dia? Kapan dia lahir? Di mana dia lahir? Siapa yang menyaksikannya? Apa yang telah dia sampaikan pada kalian? Dengan apa dia memberitahukan kalian? Mukjizat apakah yang dia telah tampakkan pada kalian? Sungguh demi Allah, Amirul Mukminin telah menolak mereka dengan sesuatu yang mereka saksikan dan beliau tampilkan pada mereka. Mereka hampir saja membunuh beliau. Begitu pula ayah-ayahku—salam sejahtera bagi mereka. Namun mereka tidak mempercayai ayah-ayahku, menuduhkan pada mereka bahwa hal itu adalah sihir, diperbantukan jin dan segala penjelasan mereka.”
“Wahai Isa, sampaikanlah kepada para kekasih kami sesuatu yang kau saksikan. Dan jangan sekali-kali kau memberitahukan hal ini pada musuh-musuh kami, maka kau akan disalib.” Aku berkata, “Wahai tuanku, doakan aku agar dapat tetap bertahan.” Imam menjawab, “Andaikan Allah tidak menguatkanmu, kau tidak pernah melihatku. Berangkatlah dengan kemenanganmu yang dipenuhi petunjuk.” Aku pun berangkat dengan memuji Allah dan banyak bersyukur pada-Nya.”52
Dari riwayat di atas, dijelaskan bahwa kemuliaan yang diperoleh untuk berjumpa dengan beliau, terjadi pada masa kegaiban pendek. Beliau pada masa tersebut juga memenuhi kebutuhan orang-orang mukmin dengan mencukupkannya melalui sunnah-sunnah ayah-ayah beliau—shalawat Allah pada mereka sebagaimana beliau juga memberikan penjelasan-penjelasan mengenai permasalahan akidah yang berkaitan dengan kegaiban panjang beliau. Imam juga memaparkan pada para sahabat beliau petunjukpetunjuk pendidikan dan doa-doa yang dianjurkan dan berhubungan dengan kegaiban serta mengukuhkan jalinan hubungan dengan beliau. Dalam pertemuan-pertemuan itu pula, Imam memberikan penjelasan mengenai sesuatu yang kelak diwujudkan melalui tangan mulia beliau pada masa kemunculan.
Dari riwayat-riwayat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa banyak orang mukmin yang berusaha untuk dapat berjumpa dengan beliau, berupaya maksimal untuk hal itu terutama pada musim haji. Hal ini dikarenakan riwayat yang menjelaskan bahwa beliau selalu hadir pada musim haji.53
Sebagian riwayat juga menyebutkan tentang terjadinya perjumpaan pada musim haji tersebut. Sebagian lainnya dari orang-orang mukmin berharap untuk dapat berjumpa melalui empat wakil khusus beliau. Imam mengizinkan hal itu bagi orang-orang yang ikhlas di antara mereka.
Satu contoh, riwayat yang disampaikan oleh Syekh Thusi dalam kitab al- Ghaybah beliau berkata, “Muhammad bin Ya’qub—dimarfukan dari Zuhri—berkata, ‘Aku menginginkan hal ini (perjumpaan) ingin sekali. Bila perlu aku keluarkan seluruh hartaku. Aku menjumpai al-Amri (wakil pertama Imam Mahdi), aku berkhidmat padanya, mengikutinya, dan memohon padanya untuk dapat berjumpa dengan Shahib az-Zaman. Dia berkata kepadaku ‘Aku tidak memiliki wewenang untuk itu.’ Aku pun merendah, dia berkata, ‘Besok, pagi-pagi sekali.’ Aku memenuhinya, dan dia menyambutku. Ada seorang pemuda bersamanya yang memiliki wajah paling elok di antara manusia, paling harum bagaikan seorang saudagar. Di lengannya terdapat sesuatu seperti seorang pedagang.
’’Ketika aku melihatnya, aku mendekat pada al-Amri, dia pun mempersilahkanku. Aku menuju padanya dan bertanya padanya. Pemuda itu menjawab segala yang aku inginkan. Kemudian dia pun berlalu dan hendak memasuki rumah dari dur yang kami tidak memperhatikannya.
Al-Amri berkata, ‘Jika kamu ingin bertanya, bertanyalah karena kamu tidak akan melihatnya lagi. Aku bergegas dan bertanya, namun dia tidak mendengar dan memasuki rumah. Pemuda itu tidak berbicara banyak kepadaku kecuali dia mengatakan,
“Celaka, celaka, orang yang mengakhirkan shalat isya sehingga bintang-bintang bertaburan. Celaka, celaka orang yang mengakhirkan shalat subuh sehingga bintang-bintang lenyap dan memasuki rumah.”54
Pernyataan Berakhirnya Masa Kegaiban Pendek Enam hari sebelum wafatnya wakil khusus keempat dari Imam Mahdi, ia keluar menjumpai orang-orang mukmin menyampaikan pernyataan dari Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—yang menjelaskan tentang berakhirnya masa kegaiban pendek dan masa wakil-wakil khusus yang ditentukan Imam as secara langsung. Sekaligus menyatakan dimulainya masa kegaiban panjang. Adapun nas tauqi’ beliau adalah sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha penyayang. Wahai Ali bin Muhammad Samari, semoga Allah membesarkan pahala saudara-saudaramu mengenai dirimu. Kau akan menjumpai kematian. Tidak ada waktu antara dirimu dan Allah kecuali enam hari. Kumpulkan tugas-tugasmu dan jangan kau wasiatkan tugasmu pada seorang pun yang menggantikan posisimu setelah kau wafat. Sungguh kegaiban yang utuh telah terjadi. Kemunculan tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah yang menyebutkannya. Hal itu terjadi setelah masa berlalu lama, hati-hati mulai mengeras, dan bumi telah dipenuhi dengan kejahatan. Akan muncul di antara syi’ah-ku yang mengaku berjumpa denganku. Ketahuilah, siapa yang mengaku berjumpa denganku sebelum muncul Sufyani dan seruan, dia adalah pembohong. Tidak ada daya dan upaya kecuali Allah Zat Yang Mahatinggi dan Mahaagung.”55
Pernyataan ini adalah pernyataan terakhir yang dikeluarkan Imam Mahdi as pada masa kegaiban pendek.
Hal ini merupakan pernyataan bahwa pergerakan beliau telah terealisasi untuk masa tersebut guna mewujudkan tujuan-tujuan yang diharapkan dari masa itu sebagai tahap persiapan untuk kegaiban panjang. Imam as telah menampakkan dirinya secara langsung pada manusia itu, dalam kondisi-kondisi tertentu ataupun melalui para wakil khusus beliau. Melalui penjelasan-penjelasan yang menetapkan keberadaan beliau, imamah dan kebenaran tentang kegaiban panjang yang harus beliau lalui. Penetapan hal itu telah sempurna pada masa kegaiban pendek, melalui sejumlah besar para ulama.56 Jelas bagi umat, manfaat keberadaan beliau bagi manusia selama masa tersebut, penjagaan beliau dari balik tirai terhadap umat dalam perjalanan mereka, perintah-perintah beliau untuk merujuk pada para fukaha mengenai kondisi yang terjadi, dan beliaupun menjelaskan bahwa keberadaan beliau merupakan pengaman bagi penghuni bumi.57
Mengingat generasi yang hidup sezaman dengan para imam telah berakhir dan muncul generasi-generasi pada masa kegaiban dan terbentuk pemikiran mengenai kepemimpinan perwakilan, maka umat telah siap dan layak untuk memasuki tahap kegaiban panjang.58[]
Catatan Kaki:
1. Rujuk hadis dari Imam Baqir as beliau berkata,
‘Ia adalah shahibul amr yang paling belia umurnya namun yang paling tinggi kepribadiannya.” Al-Ghaybah karya Nu’mani, halaman 184 dan rujuk pula mengenai hal ini penjelasan dari Syekh Mufid dalam kitabnya Al-Fushûl al-Mukhtarah Minal ‘Uyûn wa al-Mahâsin, hal.256. Begitu pula kitab Bahtsun Haula Al-Mahdi, Sayid Syahid Muhammad Baqir Shadr yang membicarakan secara terperinci mengenai fenomena ini dalam kehidupan para imam.
2. Penjelasan lebih luas mengenai ujian-ujian ini terdapat pada Bihâr al-Anwâr, jil.50, hal.99 dan lain-lainnya.
3. Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal.124.
4. Mir’at al-Asrâr, hal.31.
5. Seperti berbicaranya beliau pada saat kelahirannya ketika berada dalam buaian Kamaluddin hal. 433, 441 dan lain-lainnya; seperti pembicaraan beliau mengenai berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu hikmah sementara usianya masih sangat belia (rujuk Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.148 dan lain-lainnya.
6. Jelaslah, shalat pertama ini dihadiri oleh sejumlah sahabat imam dan keluarganya. Sementara shalat “resmi” dihadiri oleh para pembesar Bani Abbas, pemuka-pemuka kota, dan masyarakat umum.
Untuk penjelasan yang lebih lengakap mengenai peristiwa ini, silahkan merujuk pada Bihâr al-Anwâr, jil.50, hal.328.
7. Al Ghaybah, Syekh Thusi, hal.155.
8. Kamaluddin, hal. 475-476.
9. Perincian peristiwa itu dapat dilihat pada kitab Kamaluddin, hal. 43 dan 473.
10. Irsyad, Syekh Mufid, jilid 2 hal. 236 dan 337, diriwayatkan darinya Bihâr al-Anwâr, jilid 50, hal. 334 dan 231; Manaqib Ali Abi Thalib, jil.4, hal. 422; Al-Ihtijaj, jil.2, hal.279.
11. Sayid Syahid Muhammad Shadr melakukan kajian dan penelitian yang mendalam yang sangat berharga dan bersandar pada sumber-sumber sejarah Islam khusus mengenai kerendahan seperti ini yang terjadi dalam sejarah Islam. Sangat bermanfaat sekali untuk mengetahui kajian tersebut yang ia tulis dalam kitab Tarikh Ghaybat ash-Shughra.
12. Faraid as-Simthain, jil.2, hal.132.
13. Kamaluddin, hal. 413; Kifâyat al-Atsar, hal.66. Hadis-hadis Nabi seperti ini sangatlah banyak, silakan merujuk pada Mu’jam al-Ahâdits al-Imam al-Mahdi pada bagian khusus dari hadis-hadis Nabi Muhammad saw, jil.1,hal.256-67.
14. Kamaluddin, hal.51; Itsbat al-Hudat, jil.3, hal.459.
15. Kifayat al-Atsar, hal.10.
16. ‘Ilal asy-Syarai, jil.1, hal.243; Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.90.
17. Faraid as-Simthain, jil.2, hal.335; Yanabi’ al-Mawaddah, al-Hafizh Sulaiman Hanafi, hal.488.
18. Al-Kâfî, Kulaini, jil.1, hal.273.
19. Yanabi’ al-Mawaddah, al-Hafizh Sulaiman Hanafi, hal. 427.
20. Al-Isya’a fi Asyrath as-Sa’ah, hal.13.
21. Kamaluddin, hal.321.
22. Kamaluddin, hal.323.
23. Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.172.
24. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.102.
25. Kamaluddin, hal.480.
26. Kifayat al-Atsar, hal.265.
27. Kamaluddin, hal.376. ‘Ilam al-Wara, jil.2, hal. 241; Kasyf al-Ghummah, jil.3, hal.314.
28. Kifayat al-Atsar, hal.277; Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.283; Al-Ihtijaj, Thabarsi, jil.2, hal.449.
29. Al-Kâfî, jil.1, hal.268.
30. Kamaluddin, hal.380.
31. Kamaluddin, hal.440.
32. Kifayat al-Atsar, hal.292 dan dinukil dari Kamaluddin dalam I’lam al-Wara, jil.2, hal.253; Wasa’il asy-Syî’ah, jil.16, hal.26, bab 33, hadis ke-23.
33. Kamaluddin, hal.384; Al Kharaij, Quthub Rawandi, jil.3, hal. 174 dan dinukil dari Kamaluddin yang disebutkan dalam I’lam al-Wara, jil.2, hal.249.
34. Kamaluddin, halaman 19 dari mukadimah penulis.
35. ‘Iddat ar-Rasâil Syekh Mufid, hal. 362 subbab ke-5 dari Fushûl al-‘Asyrah fî al-Ghaybah.
36. Kamaluddin, hal.441.
37. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.164.
38. Rujuk riwayat-riwayat yang menjelaskan perjumpaan dengan Imam pada masa kegaiban pendek yang disebutkan dalam kitab Ghaybah dan sejumlah riwayat yang dikumpulkan oleh Sayid Bahrani dalam kitab Tabshirat al-Wali.
39. Dalam hal ini silahkan merujuk pada kitab Man’u Tadwin al-Hadits, Asbâbuhu wa Wanataiju karya Sayid Ali Syahrestani, hal.465-467 subbab khusus mengenai sejarah pencatatan hadis nabawi menurut pandangan Ahlulbait as.
40. Ghaybah, Syekh Thusi, hal.215.
41. Tarikh Ghaybat ash-Shughra, hal.609-628.
42. Ghaybah , Syekh Thusi, hal.172-257.
43. ibid., hal.198-199.
44. ibid., hal. 240.
45. Al-Kâfî, jil.1, hal.525.
46. ibid.
47. Contoh-contoh hal tersebut dapat dirujuk pada jilid kedua kitab Ma’adin al-Hikmah karya Muhammad bin Faidh Kasyani dan kitab ash-Shahifah al-Mahdiyah karya ayah beliau dan kitab-kitab lain yang membahas kegaiban.
48. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.220.
49. Rujuk contoh tauqi’at beliau yang ditulis oleh Muhammad bin Abdullah Himyari yang diriwayatkan dalam kitab Al-Ihtijaj, jilid 2, hal. 483 dan setelahnya.
50. Kamaluddin hal. 242.
51. An-Najm ats-Tsaqib, jil.2, hal. 44-48 dari terjemahan bahasa Arab.
52. Tabshirat al-Wali, hal.197.
53. Al-Kâfî, jil.1, hal.337-339; Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.175.
54. Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.164; Al-Ihtijaj; Thabarsi, jil.2, hal. 298; Wasâ’il asy-Syî’ah, jil.3, hal. 147.
55. Kamaluddin, hal.516, Al-Ghaibah, Syekh Thusi, hal.242.
56. Dapat diperhatikan dalam hal ini bahwa kitab al-Kâfî karya Kulaini, yang termasuk sumber-sumber terpenting peninggalan keluarga Nabi saw, mengenai akidah dan fikih. Kitab ini selesai dirangkum, selama masa kegaiban pendek. Syekh Kulaini meninggal pada tahun 329 H, yaitu tahun yang sama dengan meninggalnya Syekh Ali bin Muhammad Samari, wakil khusus terakhir Imam as. Tahun itu juga adalah tahun berakhirnya masa kegaiban pendek..
57. Sebagaimana penjelasan beliau dalam pernyataannya yang menjawab pertanyaan Ishaq bin Ya’qub. Rujuk Kamaluddin, hal.483, al-Ghaybah, hal.176.
58. Tarikh Ghaybah ash-Sughra, hal.630-654, di dalamnya dijelaskan mengenai penjelasan penting berkaitan dengan nas pernyataan Imam Mahdi kepada Samari.
(Teladan-Abadi/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email