Pesan Rahbar

Home » » Kisah Sayyidah Nafisah

Kisah Sayyidah Nafisah

Written By Unknown on Saturday 20 February 2016 | 13:37:00


Beliau adalah Nafisah putri Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali karramallahu wajhah. Ibunda beliau adalah seorang ummu walad (budak yang dinikahi tuannya) seperti halnya Hajar ibunda Nabi Ismail.

Beliau tumbuh dalam keluarga yang mendidiknya menjadi seorang yang alim, wara', dan ahli ibadah.Hari-harinya di isi dengan puasa pada siang hari dan bangun malam untuk beribadah, sehingga Allah memulyakannya dengan beberapa karamah.


KELAHIRANNYA

Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi ayah sayyidah Nafisah untuk duduk di Masjidil Haram guna memberi pelajaran agama dan ilmu al quran kepada manusia.

Kemudian suatu hari datng kepada beliau salah seorang budak membawa berita kelahiran putrinya, seraya berkata: Berbahagialah engkau tuan!malam ini telah lahir putrimu yang cantik jelita yang tiada duanya.Ketika mendengar hal itu, beliau sangat senang dan bersujud kepada Allah sebagai rasa syukur atas terkabulkannya doa beliau serta memberikan hadiah yang banyak kepada budak tersebut seraya berkata: katakan kepada keluarga agar menamainya NAFISAH semoga ia menjadi pribadi yang baik dan suci.

Beliau radhiyallahu anha dilahirkan di kota Makkah Al Mukarromah pada hari rabu 11 rabiul awal tahun 145H . dan yang lebih menyenangkan ayahnya adalah bahwa putrinya ini mirip sekali dengan saudarinya yang bernama Nafisah binti Zaid istri khalifah Al Walid ibn Abdil Malik.

Setelah tersebarnya kabar gembira kelahiran sayyidah Nafisah ini, banyak orang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat kepada keluarga yang mulia ini, serta bertepatan dengan hal tersebut datanglah kepada al hasan al anwar utusan Kalifah Abbasiyah Abu Ja’far Al Mansur dengan membawa sebuah kitab yang mengeluarkan bau misik dan hadiah dari khalifah berupa sekantong uang sebesar 20.000 dinar.Kemudian beliau membuka kitab tersebut dan membacanya dengan seksama, sementara orang-orang disekitar beliau dengan tegang menunggu apa yang telah dititahkan khalifah kepada beliau, mereka takut hal tersebut akan membahayakan keturunan Rasulullah. Kekhawatiran mereka bertambah ketika beliau menangis dan mengatakan: “Sang Khalifah telah memilihku menjadi gubernur Madinah AL Munawwarah”.Sontak wajah mereka menjadi berbinar-binar karena sangat bergembira seraya berkata: “ Sungguh suatu kabar gembira bagi kota Madinah, karena akan dipimpin orang sepertimu, yang selalu menegakkan keadilan dan sunnah rasul serta memegang teguh hukum islam”.Mendengar perkataan mereka , beliau berkata: “Kalaupun titah kepemempinan ini adalah suatu nikmat dari Allah, maka dia (putriku Nafisah) lah yang membawa kabar gembira tersebut (dengan kelahirannya).Dan kalaupun hal ini adalah suatu karamah (kemulyaan dari Allah), maka dia (putriku Nafisah) lah yang menjadi tandanya”.

Beliau radhiyallahu ‘anha tumbuh dalam lingkungan yang mulia, baik ketika masih tinggal di Makkah ataupun setelah pindah ke Madinah ketika beliau berumur 5 tahun. Beliau mulai di ajari al quran dan hadist nabawy secara intensif baik dari segi hafalan ataupun meriwayatkan hadist. Beliau jaga sering juga ikut ke masjid Nabawy sehingga sering menyaksikan orang-orang shaleh berlalu lalang disana.

Sungguh Allah telah memberi berkah pada umur beliau, pada usia 8 tahun saja beliau sudang hafal Al Quran dan hadist nabawy yang cukup banyak. Beliau selalu menyertai ayahnya baik ketika bepergian atau di rumah, sehingga beliau menjadikan ayahnya sebagai panutan dan contoh yang baik.

Beliau radhiyallahu ‘anhu sering berdao seraya mengatakan: Ya Allah jauhhkan hatiku dari hal yang bisa menyibukkannya (melalaikanMu), senangkan diriku kepada setiap hal yang menjadikan aku sekaku bertaqarrub kepadaMu, mudahkanlah jalanku untuk taat kepadaMu,jadikanlah aku termasuk wali (kekasih)Mu, karena hanya Engkaulah Dzat yang diharapkan dalam kedaan sulit . Hanya kepada engkaulah manusia memohon pertolongan

Termasuk ulama’ terkenal yang pernah bertemu dengan beliau adalah Imam Malik ibn Anas pengarang kitab Al Muwattha’ , imam Daar al Hijrah,seorang yang sangat wara’, dan periwayat hadist-hadist sahih.

Beliau juga meriwayatkan hadist-hadist dan mendapat hikmah-hikmah dari para ahli hadist, ahli fiqh, ahli syair, dan pembesar ahli bahasa yang berkumpul di ruman ayahnya.


SAYYIDAH NAFISAH MENIKAH

Kini sayyidah Nafisah telah dewasa, telah siap untuk menempuh jenjang pernikahan dan telah mumpuni dari segi ilmu maupun ketaqwaannya. Karena hal itu banyak sekali pemuda yang datang kepada Ayahnya untuk melamar beliau, baik dari keturunan Rasulullah, pembesar-pembesar ulama’ ataupun suku Quraisy. Termasuk yang sangat ingin menikahi beliau adalah Ishaq ibn Ja’far as Shadiq, yaitu pemuda yang tekenal diantara teman-temannya dengan julukan Al Mu’tamin karena sifat amanah dan keteguhan imannya.

Ishaq bukanlah orang yang asing lagi bagi sayyidah Nafisah, karena ia adalah putra imam Ja’far al Shadiq ibn Muhammad al Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain cucu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia telah melihat benyak sekali pemuda-pemuda yang datang kepada Ayah sayyidah Nafisah guna melamarnya, tetapi beliau selalu mengatakan: “Aku ingin menyampaikan amnah kepada pemiliknya, aku ingin mengembalikan tetesan ke dalam lautan dan aku ingin menanam mawar di dalam kebunnya”. Maka ketika setiap pemuda yang mendengarnya akan mengurungkan niatnya untuk meminang, mereka berkata: mungkin ada suatu rahasia dari balik perkataan tersebut yang kita tidak ketahui.

Meskipun demikian Ishaq menganggap ia harus tetap mencoba kesempatannya. akhirnya ia beristikharah kepada Allah kemudian pergi bersama pembesar-pembesar Ahli Bait untuk meminang sayyidah Nafisah, akan tetapi penolakanlah yang ia dapatkan sehingga ia pulang dengan hati yang hancur karena lamarannya ditolak.

Kemudian ia pergi ke Masjid Nabawy dan melakukan shalat. Setelah itu ia masuk ke dalam ruang makam Rasulullah dan berdiri di samping makam seraya berkata:Semoga rahmat dan keselamatan selalu tercurah kepadamu wahai Rasulullah, wahai Penghulu para rasul, Penutup para nabi, dan kekasih Tuhan semesta alam.aku datang untuk membritahukan engkau keadaanku, aku limpahkan hajatku kepadamu supaya engkau membantuku , kepadamulah manusia mengadukan hajat merek dan meminta bantuan pertolongan, aku telah melamar Nafisah kepada ayahnya tetapi ia menolakku".kemudian Ia mengucapkan salam dan pergi dari makam Rasulullah.

Keesokan harinya Ishaq dikagetkan dengan berita bahwa ia di panggil oleh al Hasan al anwar, dan ketika ia menemuinya al hasan berkata: “Tadi malam aku mimpi bertemu dengan kakekku Rasulullah dengan rupa yang sangat menawan, beliau mengucapkan salam kepadaku seraya berkata: “Wahai Hasan nikahkanlah putrimu Nafisah dengan Ishaq al Mu’tamin!”. Kemudian dilangsungkanlah pernikahan mereka pada hari Jumat tanggal 1 Rajab 161 H, sehingga lengkaplah cahaya berkah hasan dan husein di rumah itu karena sayyidah Nafisah adalah keturunan Hasan, sedang suaminya keturunan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Sayyid Ishaq juga terkenal keagungannya, sifat wara’, banyak orang yang meriwayatkan hadist dan atsar darinya karena beliau juga terkenal sebagai Muhaddist yang berkompeten.

Sayyidah Nafisah terkenal zuhud, berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk bertahajud dan beribadah kepada Allah SWT. Sayyidah Nafisah mulai umur enam tahun selalu menunaikan salat fardu dengan teratur bersama kedua orang tuanya di Masjid Nabawi. Sayyidah Nafisah menikah dengan putra pamannya, Ishaq al-Mu’tamin. Pernikahan itu berlangsung pada tanggal 5 Rajab 161 H. Umur Sayyidah Nafisah ketika itu 16 tahun. Ia dikaruniai seorang putra bernama al-Qasim dan seorang putri bernama Ummu Kultsum.

Sayyidah Nafisah menunaikan ibadah haji sebanyak tiga puluh kali, sebagian besar ia lakukan dengan berjalan kaki. Hal tersebut dilakukan karena meneladani datuknya, Imam Husain yang pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku malu kepada Tuhanku jika aku menjumpai-Nya di rumah-Nya dengan tidak berjalan kaki.” Riwayat-riwayat tentang Sayyidah Nafisah kebanyakan dinisbahkan kepada putri saudaranya, Zainab binti Yahya al-Mutawwaj, yang selalu menyertai dan menemaninya sepanjang hidupnya, serta tidak mau menikah karena ingin selalu melayani dan menyenangkannya. Zainab binti Yahya, saat berbicara tentang Sayyidah Nafisah, mengatakan, “Bibiku hafal Al Qur’an dan menafsirkannya, ia membaca Al Qur’an dengan menangis sambil berdo’a, ‘Tuhanku, Mudahkanlah untukku berziarah ke tempat Nabi lbrahim as.” Sayyidah Nafisah tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah datuk para nabi, jadi datuk dari ayahnya juga, Muhammad Saw. Dan Rasulullah Saw mengatakan, “Akulah yang dimaksud dalam do’a Ibrahim as ketika berdo’a, “Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat Mu kepada mereka dan akan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka serta akan membersihkan mereka; sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 129).

Ketika Sayyidah Nafisah menziarahi makam Nabi Ibrahim as, ia ingin menangis. Lalu ia duduk dengan khusyuk membaca Al-Qur’an surat Ibrahim: 35-37. Hari Penyambutan di Kota al-Arisy Ketika Sayyidah Nafisah datang ke Mesir, usianya 48 tahun. Ia tiba pada hari Sabtu, 26 Ramadan 193 H. Sewaktu orang-orang Mesir mengetahui kabar kedatangannya, mereka pun berangkat untuk menyambutnya di kota al-Arisy, lalu bersama-sama dengannya memasuki Mesir.

Sayyidah Nafisah ditampung oleh seorang pedagang besar Mesir yang bernama Jamaluddin ‘Abdullah al Jashshash, di rumah ini Sayyidah Nafisah tinggal selama beberapa bulan. Penduduk Mesir dari berbagai pelosok negeri berdatangan ke tempatnya untuk mengunjungi dan mengambil berkah darinya. Nafisah khawatir, hal itu akan menyulitkan pemilik rumah. la pun meminta izin untuk pindah ke rumah yang lain. la kemudian memilih sebuah rumah yang khusus untuknya di sebuah kampung di belakang Mesjid Syajarah ad-Durr di jalan al-Khalifah. Kampung itu sekarang dikenal dengan nama al-Hasaniyyah.

Penduduk Mesir yang telah mengetahui rumah baru yang ditempati oleh Sayyidah Nafisah, segera mendatanginya. Nafisah merasa dengan banyaknya orang yang mengunjunginya, benar-benar menyulitkannya untuk beribadah. Ia berpikir untuk meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Orang-orang mengetahui rencana Nafisah untuk meninggalkan Mesir. Mereka segera kepenguasa Mesir, as-Sirri bin al-Hakam, dan memintanya agar meminta Sayyidah Nafisah untuk tetap tinggal di Mesir. As-Sirri bin al-Hakam kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah. Kepada as-Sirri, Sayyidah Nafisah berkata, Dulu, saya memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang wanita yang lemah. Orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid dan mengumpulkan bekal untuk akhiratku. Lagi pula, rumah ini sempit untuk orang sebanyak itu. Selain itu, aku sangat rindu untuk pergi ke raudhah datukku, Rasulullah Saw.” Maka as-Sirri menanggapinya, “Wahai putri Rasulullah, aku jamin bahwa apa yang engkau keluhkan ini akan dihilangkan. Sedangkan mengenai masalah sempitnya rumah ini, maka aku memiliki sebuah rumah yang luas di Darb as-Siba’ Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku memberikan itu kepadamu. Aku harap engkau mau menerimanya dan tidak membuatku malu dengan menolaknya.” Setelah lama terdiam, Sayyidah Nafisah berkata, ‘Ya, saya menerimanya.” Kemudian ia Mengatakan, Wahai Sirri, apa yang dapat aku perbuat terhadap jumlah orang yang banyak dan rombongan yang terus berdatangan? “Engkau dapat membuat kesepakatan dengan mereka bahwa waktu untuk pengunjung adalah dua hari dalam seminggu. Sedangkan hari-hari lain dapat engkau pergunakan untuk ibadahmu, jadikanlah hari Rabu dan Sabtu untuk mereka,” kata as-Sirri lagi. Sayyidah Nafisah menerima tawaran itu. Ia pun pindah ke rumah yang telah diberikan untuknya dan mengkhususkan waktu untuk kunjungan pada hari Rabu dan Sabtu setiap minggu.

Perjumpaan Imam Syafi’i Ra dengan Sayyidah Nafisah Di rumah ini, Sayyidah Nafisah dikunjungi oleh banyak fuqaha, tokoh-tokoh tasawuf, dan orang-orang saleh. Di antara mereka adalah Imam Syafi’i, Imam ‘Utsman bin Sa’id al-Mishri, Dzun Nun al-Mishri, Al Mishri as-Samarqandi, Imam Abubakar al-Adfawi dan banyak ulama lain. Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 198 H, lima tahun setelah kedatangan Sayyidah Nafisah. Imam syafi’i tinggal di Mesir lebih dari empat tahun.
Di sana ia mengarang kitab-kitabnya. Namanya menjadi terkenal karena orang-orang menerima dan mencintainya, dan tersebarlah mazhabnya di tengah-tengah mereka. Di Mesir ia menyusun pendapat mazhabnya yang baru (qaul jadid), yang disusunnya karena adanya perubahan kondisi dan kebiasaan. Hal itu dimuat dalam kitabnya al-Umm. Ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, ia telah menjalin hubungan dengan Sayyidah Nafisah. Hubungan keduanya diikat oleh keinginan untuk berkhidmat kepada akidah Islam. Imam Syafi’i biasa mengunjungi Sayyidah Nafisah bersama beberapa orang muridnya ketika berangkat menuju halaqah-halaqah pelajarannya di sebuah masjid di Fusthath, yaitu Mesjid ‘Amr bin al-’Ash. Imam Syafi’i biasa melakukan salat Tarawih dengan Sayyidah Nafisah di mesjid Sayyidah Nafisah. Walaupun Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang agung, tetapi jika ia pergi ke tempat Sayyidah Nafisah, ia meminta do’a kepada Nafisah dan mengharap berkahnya. Imam Syafi’i juga mendengarkan hadist darinya. Bila sakit, Imam Syafi’i mengutus muridnya sebagai penggantinya. Utusan itu menyampaikan salam Imam Syafi’i dan berkata kepada Sayyidah Nafisah, “Sesungguhnya putra pamanmu, Syafi’i, sedang sakit dan meminta doa kepadamu.” Sayyidah Nafisah lalu mengangkat tangannya ke langit dan mendoakan kesembuhan untuknya. Maka ketika utusan itu kembali, Imam Syafi’i telah sembuh.

Suatu hari, Imam Syafi’i menderita sakit. Seperti biasanya, ia mengirim utusan untuk memintakan doa dari Sayyidah Nafisah baginya. Tetapi kali ini Sayidah Nafisah berkata kepada utusan itu, “Allah membaguskan perjumpaan-Nya dengannya dan memberinya nikmat dapat memandang wajah-Nya yang mulia.” Ketika utusan itu kembali dan mengabarkan apa yang dikatakan Sayyidah Nafisah, Imam Syafi’i tahu bahwa saat perjumpaan dengan Tuhannya telah dekat. Imam Syafi’i berwasiat agar Sayyidah Nafisah mau menyalatkan jenazahnya bila ia wafat.

Ketika Imam Syafi’i wafat pada akhir Rajab tahun 204 H, Sayyidah Nafisah melaksanakan wasiatnya. Jenazah Imam Syafi’i dibawa dari rumahnya di kota Fusthath ke rumah Sayyidah Nafisah, dan di situ ia menyalatkannya. Yang menjadi Imam adalah Abu Ya’qub al Buwaithi, salah seorang sahabat Imam Syafi’i.

Sayyidah Nafisah terkenal sebagai seorang yang zuhud, dan suka beribadah sepanjang hayatnya. Zainab, kemenakan Sayyidah Nafisah, pernah ditanya, “Bagaimana kekuatan bibimu?” Ia menjawab, Ia makan sekali dalam tiga hari. Ia memiliki keranjang yang digantungkan di depan musalanya. Setiap kali ia meminta sesuatu untuk dimakannya, ia dapatkan di keranjang itu. Ia tidak mau mengambil sesuatu selain milik suaminya dan apa yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.” Salah seorang penguasa pernah memberikan seratus ribu dirham kepadanya dengan mengatakan, “Ambillah harta ini sebagai tanda syukur saya kepada Allah karena saya telah bertobat”. Nafisah mengambil uang itu kemudian membagi-bagikannya kepada fakir miskin, orang jompo dan orang yang membutuhkannya sampai habis.

Menggali Kuburnya dengan tangannya sendiri Ketika Sayyidah Nafisah merasa ajalnya telah dekat, ia mulai menggali kuburnya sendiri. Kubur itu berada di dalam rumahnya. Ia turun ke dalamnya untuk memperbanyak ibadah dan mengingat akhirat. Al-Allamah al-Ajhuri mengatakan, Nafisah mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam kubur yang telah digalinya sebanyak enam ribu kali dan menghadiahkan pahalanya untuk kaum Muslimin yang telah wafat. Ketika sakit, ia menulis surat kepada suaminya, Ishaq al Mu’tamin, yang sedang berada di Madinah dan memintanya datang. Suaminya pun datang bersama kedua anak mereka, al-Qasim dan Ummu Kultsum.

Pada pertengahan pertama bulan Ramadan 208 H, sakitnya bertambah parah, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Orang-orang menyarankannya untuk berbuka demi menjaga kekuatan dan mengatasi sakit yang dideritanya. Ia pun menjawab, “Sungguh aneh! Selama tiga puluh tahun aku meminta kepada Allah agar Ia mewafatkan aku dalam keadaan berpuasa. Maka bagaimana mungkin aku berbuka sekarang? Aku berlindung kepada Allah. Hal itu tidak boleh terjadi selamanya”. Kemudian ia membaca surah al-An’am. Ketika sampai pada ayat, “Untuk mereka itu kampung keselamatan (surga) di sisi Tuhan mereka. Dia penolong mereka berkat amalan yang mereka perbuat,” (QS. al-An’am: 127) Nafisah lalu mengucapkan kalimat syahadat, dan naiklah rohnya keharibaan Tuhannya Yang Maha Tinggi, berjumpa dengan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sebelumnya Nafisah berwasiat kepada suaminya untuk memindahkan jasadnya yang suci dalam peti ke Madinah untuk dimakamkan di sana bersama keluarganya di Baqi’. Namun, penduduk Mesir menentangnya dan menginginkan agar ia dimakamkan di kubur yang telah digalinya dengan tangannya sendiri.

Penduduk Mesir mengumpulkan harta yang banyak, lalu menyerahkannya kepada suami Sayyidah Nafisah seraya meminta agar jenazahnya tetap berada di Mesir. Namun suaminya enggan menerima permintaan itu. Malam itu pun mereka lewati dalam keadaan menderita, padahal mereka orang-orang terkemuka. Mereka tinggalkan harta mereka di tempat Sayyidah Nafisah. Ketika pagi, mereka mendatanginya lagi. Akhirnya suami Sayyidah Nafisah memenuhi pemintaan mereka untuk memakamkan istrinya di tempat mereka, namun ia mengembalikan harta mereka. Mereka bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab, “Aku melihat Rasulullah Saw dalam mimpi. Beliau berkata kepadaku, Wahai Ishaq, kembalikan kepada mereka harta mereka dan makamkanlah ia di tempat mereka.” Keramat Sayyidah Nafisah Keramat-keramat yang dinisbahkan kepada Sayyidah Nafisah baik waktu hidup atau sesudah wafatnya sangat banyak.


PERJALANAN KE MESIR

Kini Sayyidah Nafisah telah menjadi idola di hati masyarakat, khususnya penduduk Mesir. Setiap musim haji mereka menyempatkan diri untuk menziarahi beliau dan selalu mempersilahkannya mengunjungi Mesir. Menanggapi hal itu beliau berkata: “Insya Allah aku akan menziarahi kalian, karena Allah telah memujinya dan menyebutkannya dalam al quran. Begitu juga kakekku telah bersabda agar berwasiat kebaikan kepada penduduknya”.

Kemudian beliau radhiyallahu ‘anha bersama suami dan kedua anaknya al Qasimdan Umi Kultsum serta ahli bait lainnya berhijrah ke Mesir dikarenakan ayah beliau sudah tidak berkuasa lagi di Madinah serta banyaknya fitnah yang menyebabkan keturunan Rasulullah pindah ke tempat lain .

Sambutan yang sangat meriah dan hangat beliau dapatkan ketika sampai di Mesir, masyarakat saling berebut menjamu beliau serta para rombongan hijrah. Dan Sayyid Jamal ibn Jashash lah yang memberikan tempat tinggal bagi beliau di Mesir .

Meskipun beliau terbiasa hidup berkecukupan ketika tinggal bersama ayah beliau di Madinah, tapi sifat wara’nya lah yang menjadikan beliau tetap kerasan di tempat barunya ini. Dikatakan dalam salah satu riwayat bahwa beliau hanya makan sekali dalam waktu tiga hari. Berkata salah satu keponakannya yang bernama Zainab : “Aku melayani beliau selama 40 tahun dan tidaklah aku dapati beliau kecuali tidak pernah tidur pada malam hari, puasa pada siangnya kecuali pada hari raya dan 3 hari tasyriq. Aku berkata: Tidaklah anda kasihan dengn diri anda? Beliau menjawab: bagaimana aku bisa kasihan kepada diriku ketika banyak siksaan dihadapan mata dan tidak bisa menghalaunya kecuali orang-orang yang beruntung”. Ia juga berkata: “ Bibiku adalah orang yang hafal alquran dan tafsirnya, stiap kali membacanya beliau selalu meneteskan air mata”.


KAROMAH-KAROMAH BELIAU

Di antara keramatnya yang terjadi ketika masih hidup, adalah yang berhubungan dengan kesembuhan seorang gadis Yahudi dari penyakit lumpuh. Diceritakan bahwa ketika Sayyidah Nafisah datang ke Mesir, ia tinggal bertetangga, dengan satu keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak gadis yang lumpuh. Pada suatu hari, ibu si gadis ingin pergi untuk suatu keperluan. Maka ia tinggalkan anaknya di tempat Sayyidah Nafisah. Ia meletakkan anaknya pada salah satu tiang dari rumah Sayyidah Nafisah. Ketika Sayyidah Nafisah berwudlu, air wudlunya jatuh ke tempat gadis Yahudi yang lumpuh itu. Tiba-tiba Allah memberikan ilham kepada gadis Yahudi itu agar mengambil air wudlu tersebut sedikit dengan tangannya dan membasuh kedua kakinya dengan air itu. Maka dengan izin Allah, anak itu dapat berdiri dan lumpuhnya hilang. Saat itu terjadi, Sayyidah Nafisah sudah sibuk dengan salatnya. Ketika anak itu tahu ibunya telah kembali dari pasar, ia pun mendatanginya dengan berlari dan mengisahkan apa yang telah terjadi. Maka menangislah si ibu karena sangat gembiranya, lalu berkata, “Tidak ragu lagi, agama Sayyidah Nafisah yang mulia itu sungguh-sungguh agama yang benar!” Kemudian ia masuk ke tempat Sayyidah Nafisah untuk menciumnya. Lalu ia mengucapkan kalimat syahadat dengan ikhlas karena Allah.

Kemudian datang ayah si gadis yang bernama Ayub Abu as-Saraya, yang merupakan seorang tokoh Yahudi. Ketika ia melihat anak gadisnya telah sembuh, dan mengetahui sebab sembuhnya maka ia mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Maha Suci Engkau yang memberikan petunjuk kepada orang yang Engkau kehendaki dan menyesatkan orang yang Engkau kehendaki. Demi Allah, inilah agama yang benar”. Kemudian ia menuju rumah Sayyidah Nafisah dan meminta izin untuk masuk. Sayyidah Nafisah mengizinkanya. Ayah si gadis itu berbicara, kepadanya dari balik tirai. Ia berterima kasih kepada Sayyidah Nafisah dan menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan kalimat syahadat. Kisah itu kemudian menjadi sebab masuk Islamnya sekelompok Yahudi yang lain yang tinggal bertetangga dengannya.

Diriwayatkan oleh al-Azhari dalam kitab al-Kawakib as-Sayyarah: Ada seorang wanita tua yang memiliki empat anak gadis. Mereka dari minggu ke minggu makan dari hasil tenunan wanita itu. Sepanjang waktu ia membawa tenunan yang dihasilkannya ke pasar untuk dijualnya; setengah hasilnya digunakannya membeli bahan untuk ditenun sedangkan setengah sisanya digunakan untuk biaya makan minum mereka. Suatu ketika, wanita itu membawa tenunannya yang ditutupi kain yang sudah lusuh berwarna merah ke pasar sebagaimana biasanya. Tiba-tiba seekor burung merusaknya dan menyambar kain itu beserta isinya yang merupakan hasil usahanya selama seminggu. Menyadari musibah yang menimpanya, wanita itu pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia duduk sambil menangis. Ia berpikir bagaimana akan memberi makan anak-anak yatimnya. Orang-orang kemudian memberikan petunjuk kepadanya agar menemui Sayyidah Nafisah. Ia pun pergi ke tempat Sayyidah Nafisah dan menceritakan kejadian yang menimpa dirinya seraya meminta doa kepadanya. Sayyidah Nafisah lalu berdoa, “Wahai Allah, wahai Yang Maha Tinggi dan Maha Memiliki, gantikanlah untuk hamba-Mu ini apa yang telah rusak. Karena, mereka adalah makhluk-Mu dan tanggungan-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” Kemudian ia berkata kepada wanita tua itu, “Duduklah, sesungguhnva Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” Maka duduklah wanita itu menantikan kelapangan atas musibahnya, sementara hatinya terus menangisi anak-anaknya yang masih kecil.

Tidak berapa lama kemudian, datanglah sekelompok orang menemui Sayyidah Nafisah. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Kami mengalami kejadian yang aneh.” Berceritalah mereka kepadanya tentang apa yang mereka alami. Mereka sedang mengadakan perjalanan di laut ketika tiba-tiba terjadi kebocoran dan perahu itu nyaris tenggelam. Tiba-tiba datang seekor burung yang menempelkan kain merah berisi tenunan di lobang itu sehingga lobang tersebut tersumbat dengan izin Allah. Sebagai tanda syukur kepada Allah, mereka memberikan lima ratus dinar kepada Sayyidah Nafisah. Maka menangislah Sayyidah Nafisah, seraya mengatakan, Tuhanku, Penolongku, alangkah kasih dan sayangnya Engkau kepada hamba-hamba-Mu!” Sayyidah Nafisah segera mendatangi wanita tua tadi dan bertanya kepadanya berapa ia menjual tenunannya. “Dua puluh dirham,” jawabnya. Sayyidah Nafisah memberinya lima ratus dinar. Wanita itu mengambil uang tersebut, lalu pulang ke rumahnya. Kepada putri-putrinya, ia menceritakan kejadian yang ia alami. Mereka semua datang menemui Sayyidah Nafisah serta mengambil berkah darinya seraya menawarkan diri untuk menjadi pelayannya.

Keramat-keramatnya Setelah Wafat Kerarnat-keramat Sayyidah Nafisah setelah wafat juga banyak. Di antaranya, pada tahun 638 H, beberapa pencuri menyelinap ke mesjidnya dan mencuri enam belas lampu dari perak. Salah seorang pencuri itu dapat diketahui, lalu dihukum dengan diikat pada pohon. Hukuman itu dilaksanakan di depan mesjid agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Pada tahun 1940, seseorang yang tinggal di daerah itu bersembunyi di mesjid itu pada malam hari. Ia mencuri syal dari Kasymir yang ada di makam itu. Namun, ia tidak menemukan jalan keluar dari mesjid itu dan tetap terkurung di sana sampai pelayan mesjid datang di waktu subuh dan menangkapnya. Allahu Akbar. Allahu Akbar. (BQ)

· Keranjang makanan
Al Qona’I berkata : aku bertanya kepada zainab keponakan beliau: “Apakah makanan bibimu sehari-hari? “Ia menjawab: “beliau hanya makan sekali selama tiga hari, keranjang makanan beliau tergantung di depan tempat sholat. Dan setiap kali beliau mengiginkan makanan , aku selalu mendapatkannya di dalam keranjang tersebut. Maka Alhamdulillah kami bisa menyaksikan (karomah) yang telah diberikan Allah kepada Sayyidah Maryam”.

· Mengalirnya kembali sungai Nil
Sa’ad ibn hasan berkata: pada zaman beliau sungai Nil pernah kering, kemudian orang-orang mendatangi beliau dan meminta doa darinya. Beliau memberikan cadarnya kepada mereka, kemudian mereka membawanya dan melemparkannya ke dalam sungai. Setelah itu mengalirlah air sungai tersebut sebelum orang-orang meninggalkannya.


Seekor ular besar 

Al Imam Auza’i – imam dan pakar fiqih daratan Syam- (wft. 159H) berkata: Aku bertanya kepada Jauharah – salah satu budak Hasan al Anwar- :Apakah engkau melihat sebuah karomah pada saat sayyidah Nafisah masih kecil? Ia menjawab : “Ya, ketika itu udara sangat panas sekali dan di sampingku ada secawan air untuk beliau. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan seekor ular besar yang mendekat kepadaku, kemudian ular tersebut menempelkan pipinya ke dalam cawat tersebut layaknya ia sedang mengambil berkah dari air tesebut. Setelah itu ular tersebut pergi.


Doa untuk Imam Syafi’i

Setiap kali Imam Syafi’I sakit , ia selalu mengutus seseorang –seperti Rabi’ al Jizi atau Rabi’ al Muradi- kepada beliau untuk menyampaikan salam dan mengatakan bahwa imam Syafi’i sedang sakit, kemudian beliau mendoakannya dan Imam Syafi’i pun sembuh sebelum utusannya tsb tadi datang. Ketika Imam Syafi’i sakit (akan wafat), ia juga mengutus seorang seperti biasanya kepada beliau radhiyallahu ‘anha, kemudian beliau berdoa: Semoga Allah menyengangkan beliau dengan melihat DzatNya (di akherat).


Mimpi Rasulullah

Suatu hari suami beliau Sayyid Ishaq berkata: “Ikutlah bersama kami ke Hijaz!” beliau menjawab: “Aku tidak bisa melakukan itu karena tadi aku mimpi \Rasulullah bersabda kepadaku: “Jangan tinggalkan Mesir karena Allah akan mewafatkanmu di Mesir!”


WAFAT

Sayyidah Nafisah terserang penyakit pada bulan Rajab 208 H dan penyakit tersebut tambah parah hingga bulan Ramadhan. Karena sangat parahnya penyakit sehingga beliau tidak kuat bergerak, kemudian didatangkan dokter kepada beliau dan ia menganjurkan beliau untuk tidak berpuasa. Tetapi beliau berkata: “ Sungguh mengherankan (saranmu), padahal selama 30 tahun aku selalu meminta kepada Allah agar aku meninggal dalam keadaan berpuasa. Terus apakah aku akan berbuka? Padahal aku sudah menggali kuburan dibalik serambi - sambil menunjukkan letak kuburan tersebut -. Disanalah insya Allah aku di akan dimakamkan. Jika aku meninggal kuburkanlah aku di sana! ”.

Diriwayatkan bahwa beliau telah menghatamkan alquran di dalam kuburan tersebut sebanyak 1000 kali.

Beliau meninggal selang 4 tahun setelah meninggalnya Imam Syafi’I . Jasad beliau di makamkan di makam yang beliau gali sendiri dangan tangan mulianya.

Semoga Allah meridhoi Sayyidah Nafisah dan mengumpulkan kita bersama beliau di syurga bersama para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shaleh. Karena mereka adalah sebaik-baik teman.


Wallahu a’lam wa ahkam.

(Eka-mauluddin/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: