Pesan Rahbar

Home » » Kronologis Pembakaran Rumah Syidah Zahra ra

Kronologis Pembakaran Rumah Syidah Zahra ra

Written By Unknown on Saturday, 20 February 2016 | 13:22:00


Oleh Ustad Sinar Agama

Saya tidak bersetuju dengan siapapun yang menjadikan sejarah ini alat bagi memecah umat muslim. Sejarah yang dikutip ini, hanyalah untuk menjadi alat petunjuk bagi yang menginginkannya dan menghormati bagi yang tidak menginginkannya. Karena Allah memerintahkan kita untuk saling menyayangi dan tidak mensyarati saling sayang itu dengan seide, semadzhab dan sepemikiran. Syarat satu-satunya hanyalah sesama muslim (QS: 48: 29 = رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ). Semua nukilan yang ada di tulisan ini adalah dari riwayat-riwayat dan kitab-kitab sunni (sudah tentu tidak semua kitabnya dinukil, karena akan terlalu banyak) dan sedikit sekali dari syi’ah yang mana juga nanti akan disebkepadan supaya tidak bercampur antara kedua periwayatan.


Tahapan-Tahapan Pembakaran Rumah hdh Faathimah as.

(1). Rasulullah saww Mengutus Pasukan Untuk Menyerang Romawi.
Ketika Rasulullah saww sakit di hari-hari akhir beliau saww (kira-kira dua minggu sebelum wafat), beliau saww mengutus pasukan untuk menyerang Romawi yang dipimpin oleh Usaamah bin Zaid bin Haaritsah dimana memerintahkan semua pemuka muhajirin dan anshar termasuk abu bakar dan umar untuk ikut di dalamnya dan taat pada kepemimpinan Utsamah (Thabaqaatu al-Qubraa, 2/190; Taariikh Ya'quubii, 2/93 atau 2/74; Taariikh al-Kaamil, Ibnu Atsiir, 2/17; Syarah Nahju al-Balaaghah, Ibnu Abi al-Hadiid, 1/53 dan 2/21; Sinthu al-Nujuum al-'Awaalii, 'Abdulmalik al-'Aashimii al-Makki, 2/224; al-Siiratu al-Halabiy al-Syaafi'ii, 3/207; al-Siiratu al-Nabawiyyati, Zainu Dahlaan bihaamisyi al-Siirati al-Halabiyyati, 2/339; Kanzu al-'Ummaal, 5/312; .....dan lain-lain yang semuanya ini adalah kitab-kitab sunni).

‎(2). Pembangkangan Shahabat Terhadap Perintah Penyerangan ke Romawi.
Walaupun Rasulullah saww sudah memerintahkan shahabat (kecuali beberapa orang seperti imam Ali as), akan tetapi mereka (muhajirin dan anshar) banyak yang keberatan pergi dan bahkan tidak taat kepada Nabi saww dengan dua alasan: Pertama, karena Nabi saww dalam keadaan sakit. Alasan ini sebenarnya untuk golongan yang keberatan pergi. Utsamah sendiri semacam memohon kepada Nabi saww untuk tidak meninggalkan beliau saww dalam keadaan sakit. Ke dua, karena Nabi saww memilih Utsamah sebagai panglima dan pemimpin. Alasan ini dijadikan alasan oleh orang-orang yang tidak taat kepada Nabi saww, seperti Abu Bakar dan Umar.

- Untuk alasan pertama ini, maka Nabi saww tetap menekankan kepada Utsaamah untuk pergi memimpin pasaukan, beliau saww bersabda:
“Pergilah ke tempat terbunuhanyaa ayahmu dan kuasailah dengan pasukan kudamu. Aku telah mengangkatmu menjadi pemimpin pasukan ini.......dst.” (Syarhu Nahji al-Balaaghah, karya Ibnu Abi al-Hadiid, 1/53; al-Maghaazii, karya al-Waaqidii, 3/1117; al-Siiratu al-Halabiyyah, 3/207; al-Siiratu al-Nabawiyyah, karya Zaini Dahlaan, bihaamisyi al-Siirati al-Halabiyyati, 2/339; Thabaqaatu al-Kubraa, 2/190; ...dll yang banyak sekali di kitab-kitab Sunni).

- Untuk alasan ke dua, yaitu tidak perginya para shahabat bersama Utsaamah, maka Rasulullah saww dengan badan yang gemetaran karena sakit, keluar rumah dan memasuki masjid lalu menaiki mimbar dan bersabda:
“Wahai hadirin, apa yang telah sampai kepadaku dari perkataan sebagian kalian tentang penunjukanku kepada Utsamah? Kalau kalian mencela penunjukanku kepada Utsaamah hari ini, sesungguhanyaa kalian sebelum itu telah mencela penunjukanku kepada ayahanyaa .....” (ibid).


Catatan:
Paling kerasnya penentang keputusan Nabi saww adalah Umar dan Abu Bakar. Karena mereka tidak mau pergi, dan setelah Nabi saww marah dan naik mimbar itu, baru mereka pergi, akan tetapi sesampai di daerah Jurf (di luar Madinah) mereka kembali ke Madinah dan membuat pertemuan Saqifah setelah wafatnya Nabi saww yang kemudian dengan baiatnya Umar, Abu Bakar menjadi khalifah (lihat semua kitab-kitab sejarah Sunni berkenaan dengan pembaiatan Abu Bakar ini).

Dalam beberapa riwayat juga dikatakan bahwa Nabi saww bersabda:
“Ikutlah tentara Utsamah, laknat Allah bagi yang memboikotnya.” (al-Milal wa al-Nihal, karya Syahristaani al-Syafi’ii, 1/23).

Dalam riwayat lain juga dikatakan bahwa Umar mengecam keras Utsamah ketika itu dengan berkata:
“Kalau Rasulullah mati, kamu akan menjadi pemimpinku?!” (al-siiratu al-Halabiyyah, 3/209; Kanzu al-‘Ummaal, 15/241, hadits ke: 710; al-Siiratu al-Nabawiyyah, karya Zaini Dahlaan, bihaamisy al-Siiartu al-Halabiyyah, 2/341).

Dan ketika Abu Bakar menjadi khalifah, dan ingin mengirim pasukan ke Romawi, Umar tetap ngotot meminta Abu Bakar untuk mencabut kepemimpinan Utsaamah (Taariikhu al-Thabari, 3/226; al-Kaamil, 2/335; al-Siiratu al-Halabiyyati, 3/209; al-Siiratu al-Nabawaiyyah, 2/340.).

‎(3). Petaka Hari Kamis.
Peristiwa ini, dikenal dalam kitab-kitab hadits dan sejarah sebagai Petaka Hari Kamis atau “Raziyyatu Yaumi al-Khamiis”. Yaitu ketika Rasulullah saww sudah sakit dan menjelang wafat beliau saww, pada hari kamis, beliau saww meminta sekitarannya menyiapkan kertas dan pena untuk menuliskan wasiat beliau saww. Beliau saww besabda:
“Aku akan menuliskan sebuah tulisan –wasiat- buat kalian sehingga kalian tidak akan pernah sesat setelahanyaa.”
Akan tetapi Umar melarang memberikannya dan berkata:
“Sesungguhanyaa Rasulullah saww telah dilampaui sakitnya, sementara kita sudah punya Qur an, cukuplah Qur an bagi kita.” (Shahih Bukhari, 7/156; Shahih Muslim, 5/75; Musnad Ahad bin Hanbal, 4/356; ....dll yang banyak sekali).

Maksud Umar adalah mengigau, meracau, ngaco dan semacamnya, seperti yang diriwayatkan di hadits-hadits lainnya yang mengatakan bahwa beberapa shahabat Nabi saww mengatakan bahwa beliau saww telah “Mengigau/meracau” (Shahih Bukhari, 2/118 atau hadits ke: 3053; Shahih Muslim, hadits ke: 3090; ..dll yang banyak sekali di Sunni).
Akhirnya Rasulullah saww mengusir mereka dari hadapan beliau saww. (Shahih Bukhari, hadits ke: 114, 3053, 4432; Shahih Muslim hadits ke: 3091, 4322; dll yang banyak sekali di kitab-kitab sunni).

‎(4). Kewafatan Nabi saww
Untuk hari kewafatan Nabi saww ini, disepakati oleh Syi’ah dan Sunni jatuh pada hari Senin. Akan tetapi tanggalnya berbeda-beda, bahkan bulannya.

Kalau di sunni, kebanyakan tangal 12 Rabii’u al-Awwal sebagaimana dikatakan dalam kitab Subulu al-Hudaa wa al-Rasyaad, 12/305; Fathu al-Baarii, 8/98. Tapi ada juga yang mengatakan tangal 1 Rabii’u al-Awwal, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Uqbah dan Khurazmi (ibid), atau tangal 2 Rabii’u al-Awwal (Fathu al-Baarii, 8/98) sebagaimana menukil dari Abi Makhnaf dan al-Kalbi yang diyakini oleh Sulaiman bi Tharkhan dalam kitabnya Maghaazii dan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dari Muhammad bin Qais dan juga diriwayatkanoleh Ibnu ‘Asaakir dari Sa’d bin Ibrahmim dari al-Zuhri dan jg dari Abi Na’iim al-Fadhl bin Dakiin (Fathu al-Baarii, 8/98; Imtinaa’u al-Simaa’, 2/126).
Akan tetapi di syi’ah, yang masyhur (umum) jatuh pada hari Senin tgl 28 Shafar. Disini saya tidak akan membawakan dalil-dalil lebih kuatnya yang Syi’ah karena tidak menyangkut pembahasan

‎(5). Nabi saww tidak dikubur selama 3 hari.
Dalam hal penguburan Nabi saww ini, ada perbedaan antara syi’ah dan sunni. Pada umumnya sunni mengatakan bahwa Nabi saww dikubur pada hari Kamis. Seperti yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang berkata:

ما علمنا بدفن رسول الله «صلى الله عليه وآله» حتى سمعنا صوت المساحي في جوف ليلة الأربعاء

"Kami tidak tahu apa-apa tentang penguburan Rasulullah saww hingga kami dengar orang-orang yang mengukur tanah (untuk penguburan, atau orang-orang yang meratakan kuburan setelah penguburan) pada malam Rabo.” (al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, 5/270 dan 291; al-Siiratu al-Nabawiyyatu, karya Ibnu Ktsiir, 4/505 dan 538; Nailu al-Authaat, 4/137; al-Siiratu al-Nabawiyyatu, karya Ibnu Hisyaam, 4/242; Taariikhu al-Umami wa al-Muluuki, 2/455 dan 542; al-Kaamil fi al-Taariikh, 5/270; Usdu al-Ghaabah, 1/34; al-Sunanu al-Kubraa, karya Baihaqii, 3/409; Musnad Ahmad, 6/62 dan 242 dan 274; ..dll dari kitab2 sunni).
Akan tetapi ada juga riwayat2 di sunni yang mengatakan bahwa penguburan Nabi saww di malam Selasa (al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, 5/292; Taariikhu Madiinati Damisyq, 3/68; Kanzu al-‘Ummaal, 12/445; al-Siiratu al-Nabawiyyatu, karya Ibnu Katsiir, 4/540 dan 541).
Ada juga yang mengatakan dikuburkan pada waktu sahar malam Selasa (Thabaqaatu al-Kubraa, 2/305; Taariikhu al-Khamiis, 1/191; Taariikhu al-Islaam, karya Dzahabii, 1/327; ..dll).
Ada juga di sunni yang mengatakan bwh penguburan itu terjadi pada hari Selasa (Kanzu al-‘Ummaal, 7/270 dan 271; al-Mushannaf, Ibnu Syaibah, 8/569; al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, 5/292; al-Muwaththa’, 1/23; Thabaqaatu al-Kubraa, 2/273 dan 274 dan 305; dll).

Akan tetapi kalau di syi’ah penguburan Nabi saww itu langsung pada jam2 pertama kewafatan beliau saww. Sebagaimana dikatakan oleh Allamah al-Majlisii:

ووضع خده على الأرض، موجهاً إلى القبلة على يمينه، ثم وضع عليه اللبن، وأهال عليه التراب، وكان ذلك في يوم الإثنين لليلتين بقيتا من صفر سنة عشرمن هجرته «صلى الله عليه وآله»، وهو ابن ثلاث وستين سنة

“Pipi beliau saww diletakkan di atas tanah –di dalam kubur- menghadap kiblat dg miring kanan, kemudian ditelakkan bata dan kemudian ditimbuni tanah. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin, dua hari sebelum berakhirnya bulan Shafar, pada tahun ke sepuluh dari hijarah beliau saww. Beliau saww pada itu memiliki usia 63 th.”(Bihaaru al-Anwaar, 22/519; ... dll-nya).


Catatan:
Ahli sejarah kontemporer Allamah Sayyid Ja’far Murtadha al-‘Amini mengatakan bahwa periwayatan tentang penundaan pemakaman Nabi saww bisa saja disebabkan keinginan pengkisah/perawi tsb untuk memasukkan orang-orang yang berduel di balairung Saqifah untuk saling berebut kepemimpinan itu, ke dalam orang-orang yang ikut menyolati dan memakamkan Nabi saww. Hal itu karena adanya riwayat di sunni yang mendukung kenyataan ini dan mendukung kebenaran periwayatan Ahlulbait as yang mengatakan bahwa Nabi saww dimakamkan pada hari Senin juga dan setelah pemakaman imam Ali as menanyakan tentang berita orang yang berduel di balairung Saqifah itu. Artinya, orang-orang itu tidak ikut menyolati dan memakamkan Nabi saww.

Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Ibnu Syahaab yang berkata:
“Rasulullah saww wafat pada hari Senin ketika matahari sudah condong. Akan tetapi orang-orang meninggalkan pemakamannya dan sibuk mengurusi pemuda Anshaar (maksudnya yang berkumul di balairung Saqifah), hingga Nabi saww hampir terbengkalai dari pemakaman. Karena itu, keluarga beliau saww yang memakamkan beliau saww. Banu Ghanam (keluarga kabilah Banu Ghanam) sendiri baru mendengar suara orang-orang yang meratakan makam Nabi saww (selesai penguburan), akan tetapi mereka masih di dalam rumah (semacam tidak berani keluar rumah).” (Thabaqaatu al-Kubraa, 2/304; al-Tamhiid, karya ‘Abdulbir, 24/396).

Hal di atas ini, yakni riwayat Ibnu Sa’d ini, sejalan dg yang ada di syi’ah. Yaitu yang meriwayatkan bahwa imam Ali as menanyakan hal ikhwal Saqidah setelah pemakaman Nabi saww di riwayat Syi’ah (al-Amaalii, karya Sayyid Murtadha, 1/198).


Tambahan Catatan:
(-). Setidaknya, dengan adanya peristiwa Saqifah yang sangat terkenal dan tidak ada satu orangpun yang mengingkarinya itu, baik sunni dan apalagi syi’ah, dapat dipahami bahwa mereka2 itu telah mementingkan hal2 lain selain dari mengurusi kanjeng Nabi saww.

Saya tidak perlu berkomentar akan kecintaan dan keterhebatan mereka dari umat2 selain mereka (shahabat), akan tetapi bagi yang membuka hati, mk sudah tentu akan mempertanyakan, apakah urusan2 lain atau bahkan kiamat sekalipun, lebih penting dari kehilangan kanjeng Nabi saww dan mengurusinya sebagai pengabdian dan perpisahan terakhir??!

Terlebih lagi, bahwa mereka meribkepadaan apa2 yang bukan merupakan hak mereka. Karena kepemimpinan itu sudah ditunjuk dan wajib ditaati sejak Nabi saww masih ada, seperti QS: 4: 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin/imam diantara kalian”

Dimana imam ini harus maksum, seperti: QS: 76: 24:

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

“Sabarlah dg hukum Tuhanmu dan janganlah kami taati orang-orang yang memiliki dosa atau orang-orang yang kafir.”

(-). Kalau kita perhatikan, sejak tidak maunya mereka pergi ke Romawi dan pencegahan akan penulisan wasiat terakhir Nabi saww dan mengatakan bahwa Nabi saww telah meracau, ditambah dengan meninggalkan penguburan dan pergi berduel dalam perebutan kepemimpinan di Saqifah hingga saling pukul, mk akan dapat dengan mudah ditangkap, bahwa semua itu sudah direncanakan atau, setidaknya, disengaja.

(-). Mungkin ada yang bertanya, mengapa Nabi saww tidak jadi juga menuliskan wasiatnya? Jawabnya, wasiat itu bisa diucapkan dg lisan. Dan Nabi saww telah mengucapkannya berkali-kali di berbagai tempat dan peristiwa. Dan teakhir di Ghadir Khum saja, di depan sekitar 120.000 shahabat, Nabi saww telah meresmikan pengangkatan imam Ali as dan menyuruh mereka berbaiat satu persatu di tangah padang pasir yang panas itu spy dapat diingat sepanjang masa. Jadi, Nabi saww telah mewasiatkan hal terpenting ini, yakni kepemimpinan orang maksum setelah Nabi saww. Karena tanpa orang maksum, yang ilmu Islam dan amalannya lengkap dan benar 100%, mk Jalan Lurus atau Shiraatulmustaqim, tidak akan pernah terwujud dan, dan sudah tentu Tuhan akan menjadi penipu manusia, karena mewajibakn shalat dan mewajibkan pembacaan alfatihah dimana di dalamnya ada permintaan jalan lurus, sementara jalan lurusnya tidak ada karena ketidak adaan orang maksum (na’udzubillah).

Jadi, kalau Nabi saww menuliskannya juga waktu itu dan menerima usulan penulisan itu setelah Nabi saww mengusir para pengacau2 itu, mk jelas tulisan tsb akan dikatakan sebagai tulisan orang meracau yang tidak akan dihargai. Karena itu, disamping Nabi saww harus menjaga kehormatan kenabian yang diemban beliau saww, jg tidak mau dikatakan bahwa pengangkatan2 sebelumnya itu, sama dg meracau karena sama dg isi tulisan wasiat beliau saww yang ditulis dalam keadaan meracau/mengigau.

Apapun kejadian2 itu, kita serahkan kepada Allah. Yang jelas, kita kalau mengkajinya hanya karena ingin tahu hakikat sebenarnya dan, sudah tentu, ingin mengambil dan mentransfer Islam ini dari yang paling slamet dan paling aman. Karena jangan sampai kita menyesal di akhirat dan berkata seperti di QS: 25: 28:

يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا

“Celakalah aku. Duhai seandainya aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai kepercayaanku/pemimpinku/penasihatku/teman-akrabku.”

‎(6). Perebutan Kepemimpinan di Saqifah:
Ketika Rasulullah saww wafat, sebagian besar shahabat, baik Anshar atau Muhajirin, mininggalkan Nabi saww dan pergi berduel memperebkepadaan kepemimpinan di balairung Saqidah bani Saa’adah.
Untuk masalah perawiannya ttg hal ini, tidak perlu saya nukil disini, karena semua hadits2 sunni dan tafsir2nya menyebkepadaan ttg hal ini. Dari Shahih Bukharinya yang meriwayatkan +/- 5 hadits (hadits ke: 2462, ، 3928 ، 4021 ، 6829 ، 6830 ، 7323) dan shahih Muslim +/- 4 hadits (hadits keL 3747, 3828, 5354, 5479) ...dst sampai ke kitab2 hadits2 yang lainnya dan kitab2 tafsir serta sejarah2 sunni. Semuanya dipenuhi dg peristiwa ini

‎(7). Terpilihanyaa Abu Bakar di Saqifah
Setelah adanya debat dan pertengkaran dan bahkan pemukulan dan ancaman (sesuai dg berbagai fersi) serta tantangan perang, dan setelah adanya yang setuju dan tidak setuju, mk akhirnya Abu Bakar dipilih sebagai khalifah di Saqifah itu.

(8). Penentangan Banyak Tokoh Shahabat Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Banyak tokoh2 shahabat yang menentang perbuatan dan pembaiatan Abu Bakar di Saqifah itu, seperti Ahlulbait as dimana pemukanya adalah imam Ali as (shahih Bukhari, kitab al-Maghaazii, bab Ghazwati Khaibar, 5/82; Shahih Muslim, kibta Jihad wa al-Sair, 5/152; ..dll.).
Begitu pula yang lain2 dari shahabat2 Nabi saww seperti, Abbas bin Abdulmuthallib, ‘Utbah bin Abi Lahab, Salmaan al-Faarisi, Abu Dzar al-Ghifaari, ‘Ammaar bin Yaasir, al-Miqdaad, al-Barraa’ bin ‘Aazib, Ubai bin Ka’ab, Sa’d bin Abi Waqqaash, Thalhah bin ‘Abiidillah, Zubair bin ‘Awaam, Khaziimah bin Tsaabit, Farwah bin ‘Umar al-Anshaari, Khaalid bin Sa’iid bin al-‘Aash, Sa’d bin ‘Ubaadah al-Anshaari, Fadhl bin ‘Abbaas .....dll.(al-‘Aqdu al-Fariib, 4/259-260; Syarhu Nahji al-Balaaghah, Ibnu Abi al-Hadiid, 1/131-134; Muruuju al-Dzahab, 2/301; Usudu al-Ghaabah, 3/222; Taariikh Thabarii, 3/208; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 3/256; ...dll).

‎(9). Mualinya Penyerbuan ke Rumah hdh Faathimah as.
Setelah semua sejarah di atas itu, kini mulailah penyerangan ke rumah hdh Faathimah as itu. Abu Bakar, mengutus Umar untuk memanggil imam Ali as dg berteriak di luar rumah imam Ali as supaya yang ada di dalam, semuanya keluar. Akan tetapi imam Ali as dan yang lainnya tidak keluar. Kemudian Umar meminta orang-orang untuk mengumpulkan kayu dan berkata:
“Demi nyawa Umar yang ada di tanganNya, mereka keluar dari rumah ini, atau kubakar rumah ini dg pasti dg seluruh siapapun yang ada di dalamnya.”

Ada orang yang berkata kepadanya:
“Sesungguhanyaa di dalam rumah itu jg ada Faathimah.”
Umar mejawab: “Sekalipun.”

Disitulah hdh Faathimah as berteriak penuh kemazhluman:
“Tidak ada urusanku dg kalian yang datang kemari dengan seburuk-buruk kedatangan. Kalian telah meninggalkan bahkan jenazah Rasulullah saww di tangan kami (tidak memperdulikan) dan sibuk dg urusan kalian sendiri (di Saqifah), kalian tidak meminta kami (Ahlulbait) menjadi pemimpin (sebagaimana Allah dan NabiNya saww telah mengangkatnya) dan tidak mengembalikan hak2 kami (hak kepemimpinan dan harta seperti Fadaq).”

Lalu Umar kembali menemui Abu Bakar dan berkata:

“Mengapa kamu tidak memaksa mereka para pembangkang itu untuk berbaiat padamu?”

Lalu Abu Bakar mengirim budaknya yang bernama Qunfudz untuk memanggil imam Ali as. Setelah sampai di Imam Ali as, beliau as bertanya:

“Apa keperluanmu?”

Qunfudz menjawab: “Khalifah Rasulullah saww, memanggilmu.”

Imam Ali as menjawab: “Betapa cepatnya kalian berdusta atas nama Rasulullah?”

Qunfudz kembali ke Abu Bakar dan memberitahukan ucapan imam Ali as itu. Lalu Abu Bakar menangis lama sekali. Umar berkata kepadanya:
“Tidakkah kamu paksa pembangkang ini berbaiat kepadamu?”
Lalu Abu Bakar berkata kepada Qunfudz: “Kembalilah kepada Ali dan katakan: ‘Khalifah Rasulullah memanggilmu untuk berbaiat kepadanya.’.”

Kemudian Qunfudz mendatangi imam Ali as dan mengatakan apa2 yang diperintahkan kepadanya oleh Abu Bakar. Ketika imam Ali as mendengar perkataannya, beliau as berkata dg suara keras:
“Subhanallah, ia –Abu Bakar- telah meng-aku2i sesuatu yang bukan haknya.”

Qunfudzpun kembali ke Abu Bakar dan mengabarkan apa yang terjadi. Lalu Abu Bakar menangis lagi lama sekali. Kemudian Umar dg diiringi beberapa orang mendatangi rumah hdh Faathimah as dan menggedor pintunya. Ketika hdh Faathimah as mendengar gedoran dan suara mereka, beliau as menjerit dg suara tinggi:
“Wahai ayah, ya Rasulullah! Apa yang kami jumpai setelah kewafatanmu dari anak Khaththab dan anak Abu Quhaafah ini?”

Setelah mendengar suara itu, orang ikut menangis dan pergi dalam keadaan menangis, seakan jantung2 mereka semburat keluar dan hati mereka tercabik-cabik. Akan tetapi Umar tetap disitu dan orang-orangnya. Kemudian mereka mengeluarkan imam Ali as dan membawanya ke Abu Bakar. Mereka –Umar dan orang-orangnya- berkata kepada imam Ali as dengan paksa:

“Berbaiatlah.”

Imam Ali menjawab: “Aku tidak akan melakukannya.”

Mereka berkata: “Kalau demikian, mk demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, mk akan kami penggal lehermu.”

Imam Ali as menjawab: “Apakah kalian akan membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah?”

Berkata Umar: “Kalau hamba Allah, mk benar katamu. Tp saudara Rasulullah, mk tidak demikian halnya.”

Abu Bakar hanya terdiam tanpa berkata-kata. Umar berkata kepadanya:
“Tidakkah kamu perintahkan kami?” (untuk memukul atau membunuh atau memaksa dg lebih keras spy imam Ali as berbaiat).

Abu Bakar menjawab:
“Aku tidak ingin memaksanya –dg kekerasan- selama Faathimah masih disisinya.”

Kemudian imam Ali as pergi ke makam Nabi saww dan mengadukan mereka sambil menangis dan berkata seperti yang dikatakan nabi Harun as ketika dipegang jenggotnya oleh nabi Musa as karena marah dikira membiarkan umatnya menyembah berhala ketika ditinggal pergi berkhalwat memenuhi panggilan Tuhan:
“Anak ibuku, mereka itu melemahkanku dan ingin membunuhku.” (QS: 7: 150).

Catatan:
1-Kisah di atas diambil pokok masalahanya dari kitab sunni al-Siyaasatu wa al-Imaamatu, karya Ibnu Qutaibah. Dan riwayat seperti di atas itu, ada jg di kitab2 sunni lainnya dg cerai berai.

‎2- Secara lahiriah, di riwayat sunni hanya sampai seperti itu cerita penyerbuan ke rumah hdh Faathimah as tsb.
Yakni tidak diceritakan bahwa Umar dan orang-orangnya telah membakar rumah hdh Faathimah as. Jadi, di riwayat sunni hanya sampai ke tekad Umar saja, seperti yang ada di kitab2 lain seperti di: Kanzu al-‘Ummaal, 3/139 dan jg dikeluarkan oleh Ibnu Syaibah.

3-Akan tetapi dapat kita pastikan bahwa peristiwa pembakaran itu telah terjadi dilihat dari dua sisi yang ada di riwayat tsb:
Pertama, tekad Umar yang ingin membakar rumah hdh Faathimah as dengan seluruh isinya. Ke dua, dikatakan di hadits di atas, bahwa Umar dan orang-orangnya mengeluarkan imam Ali dari rumah. Padahal jelas, bahwa rumah itu tertutup dan jeritan hdh Faathimah as begitu menusuk ke dalam hati orang-orang yang masih ada cinta Rasul saww hingga meniggalkan rumah tsb. Akan tetapi Umar dan orang-orangnya, tetap disana.

Dari dua point di atas itu, dpt dipahami bahwa pembakaran rumah itu terjadi. Seperti yang dilukiskan dalam tekad Umar di hadits Kanzu al-‘Ummaal yang berkata kepada hdh Faathimah as:
“Demi Allah, tidaklah hal itu (adanya hdh Faathimah as) dapat pencegahku melakukannya (pembakaran rumah hdh Faathimah as). Sekalipun mereka semua berkumpul, mk tidak akan dapat mencegahku membakar pintu rumah ini.”

Jadi, dari riwayat sunni ini, dpt diraba bahwa Umar dan orang-orangnya berhasil mengeluarkan imam Ali as, karena sudah membakar pintu rumah tsb hinngga pintu dan kunci palangnya terbakar semua dan kemudian didobrak sampai roboh dan mengenai hdh Faathimah as. Salam bagimu ya ..... hdh Faathimah as yang keluh dan tangisnya ikut terbakar menjadi arang sampai sekarang.

Hal ini sangat jelas kalau dihubungkan lagi dg penyesalan Abu Bakar sebelum matinya yang berkata:

إنِّي لا آسي على شيءٍ ، إلاّ على ثلاث ، وددَّت أنِّي لم أفعلهنَّ ، وددَّت أنَّي لم أكشف بيت فاطمة ، وتركته ، وإنْ أعلن على الحرب .

“Aku tidak menyesali apapun kecuali tiga hal. Betapa inginnya aku tidak pernah melakukan tiga hal tsb. Aku sangat megharap tidak pernah mendobrak rumah Faathimah dan memilih meninggalkannya sekalipun mengumandangkan perang (maksudnya, apalagi hanya karena tidak mau baiat).”
(Mizaanu al-I’tidaal, 2/215; Taariikh Thabari, 4/52; al-Imaamah wa al-Siyaasah, 1/18 –tp di hadits ini, rumah imam Ali as sebagai ganti dari rumah hdh Faathimah as).

Jadi, pendobrakan itu memang jelas terjadi dan, karena kunci pintu itu biasanya memaki palang kayu yang cukup besar seperti di kampung2 kita dulu, mk sudah jelas palang itu perlu dibakar dulu hingga bisa didobrak dari luar.

‎4- Kalau di riwayat syi’ah, kisah pembakaran itu jelas diceritakan
Di hadits sunni di atas itu, terlihat ada jedah antara perintah Umar untuk mengumpulkan kayu untuk membakar rumah hdh Faathimah as dg tekad membakar yang disertai dengan sumpah atas nama Allah, dan antara berhasilnya Umar dan orang-orangnya mengeluarkan imam Ali as dari rumahanyaa. Di riwayat itu hanya diceritakan bahwa orang-orang pergi dg menangis setelah mendengar jeritan hdh Faathimah as yang meneriaki mereka, kecuali Umar dan orang-orangnya. Akan tetapi di riwayat syi’ah jedah itu terisi dg jelas.

Setelah orang-orang pergi kecuali Umar dan pengikutnya, maka Umar memerintahkan untuk membakar pintu rumah hdh Faathimah as. Mereka tidak menghiraukan teriakan hdh Faathimah as yang ada di balik pintu. Lalu Umar menendang pintu itu dari luar dan mengenai siti Faathimah as dan terjungkal dg tulang dada patah dan kandungan beliau as yang berumur 6 bulan, gugur seketika. Dan hdh Faathimah as tidak lama setelah itu, syahid menyusul Nabi saww dg semua luka di badan beliau as itu (Tp sebagian penipu sejarah mengatakan bahwa hdh Faathimah as segera wafat setelah Nabi saww karena tidak tahan ditinggal Nabi saww dan menangis tiap hari, hingga sakit dan wafat. Na’udzubillah, bagaimana mungkin orang maksum, Aali Muhammad yang dishalawati tiap shalat kita, tidak bisa menerima ketentuan kematian dan hukum Tuhan ini?!).

Mereka dg sadis dan garangnya menyerbu ke dalam rumah. Imam Ali as menangkap Umar dan membantingnya ke tanah dan menduduki dadanya hampir membunuhanyaa, lalu teringat wasiat Nabi saww untuk sabar terhadap semua itu kalau tidak cukup 40 orang membantunya (saya sudah pernah menulis ttg ini, bisa dicari di catatan-catatan al-fakir atau di dokumen2 yang ada di group). Karena itu imam Ali as melepaskan Umar.

Setelah imam Ali as melepaskan Umar, lalu Umar dan gerombolannya mengikat imam Ali as dan menyeretnya ke masjid. Hdh Faathimah as yang berusaha mempertahankan imam dan suaminya, dipukul dg cambuk (atau sarung pedang) hingga pegangannya terlepas dan tangannya memar (juga diriwayatkan dipukul dg cambuk yang mengenai punggung, wajah dan matanya, ... ya .... Allah).

Imam Ali as berkata kepada Umar:
“Hai anak Shahhak, kamu tahu bahwa seandainya bukan karena kitabullah dan wasiat Nabi saww, mk kamu tidak akan pernah menyentuh rumahku.”

Imam Ali as juga berkata sesuai dg pesan Nabi saww:

وهو يقول: أما والله لو وقع سيفي في يدي، لعلمتم أنكم لم [لن] تصلوا إلى هذا أبدا، أما والله ما ألوم نفسي في جهادكم ولو كنت أستمسك من أربعين رجلا لفرقت جماعتكم، ولكن لعن الله أقواما بايعوني ثم خذلوني

“Demi Allah kalian mengetahinya, seandainya aku mencabut pedangku, mk kalian tidak akan pernah melakukan hal seperti ini selama-lamanya. Demi Allah aku tidak segan memerangi kalian (walau sendirian). Andaikan aku memiliki empat puluh orang saja (sesuai pesan Nabi saww), maka sudah kuhancurkan gerombolan kalian itu. Akan tetapi laknat Allah atas umat yang membaiatku (di Ghadir Khum) kemudian mengkhianatiku.” (Kitab Sulain bin Qais, 85; Bihaaru al-Anwaar, 28/270).

Yang ajib, bukan hanya di syi’ah, di sunni riwayat berikut ini (semakna) juga ada:

وجاء جماعة من المهاجرين والأنصار، وفي رواية: أربعون رجلا، إلى أمير المؤمنين (عليه السلام) يدعونه إلى البيعة، فقالوا له: أنت والله أمير المؤمنين، وأنت والله أحق الناس وأولاهم بالنبي (صلى الله عليه وآله وسلم) هلم يدك نبايعك: فوالله لنموتن قدامك، لا والله لا نعطي أحدا طاعة بعدك. قال (عليه السلام): ولم؟ قالوا: إنا سمعنا من رسول الله (صلى الله عليه وآله وسلم) فيك يوم غدير. قال (عليه السلام): وتفعلون؟ قالوا: نعم. قال (عليه السلام):إن كنتم صادقين فاغدوا علي غدا محلقين... فما أتاه إلا سلمان وأبو ذر والمقداد، وفي بعض الروايات: الزبير، وفي بعضها: جاء عمار بعد الظهر فضرب يده على صدره، ...

Intinya: Datang kepada imam Ali as sekitar 40 orang dari Muhajirin dan Anshar yang ingin berbaiat kepada imam Ali as. Mereka berkata:
“Demi Allah kamu adalah amirulmukmin (pemimpin/imam mukminin). Demi Allah kamu adalah yang paling layak dan lebih utama terhadap Nabi saww. Ulurkan tanganmu untuk kami baiat. Demi Allah kami siap mati di hadapanmu dan demi Allah tidak akan menaati siapapun selainmu.!”
Imam Ali as bertanya: “Apa sebabnya kalian melaukan ini?”
Mereka menjawab: “Karena kami telah mendengar tentang kamu dari Nabi saww di Ghadir Khum.” (waktu itu Nabi saww melantik kepemimpinan imam Ali as di depan sktr 120.000 shahabat yang mana semuanya diperintah berbaiat kepada imam Ali as satu persatu di padang pasir yang panas itu)
Imam Ali as betanya lagi: “Apakah kalian akan melakukannya?”
Mereka menjawab: “Iya.”
Imam Ali as berkata: “Kalau kalian memang benar2 akan melakukannya, mk datanglah lagi besok dengan kepala gundul!” (supaya diketahui antara kawan dan lawan dalam peperangan dg para pengkudeta, karena sama2 muslim dan mengumandangkan takbir).
Akan tetapi, besok harinya mereka tidak datang kecuali beberapa orang seperti, Salman, Miqdad dan Abu Dzar. Adan jg yang berkata Zubair. Ammar datang setalah zhuhur sambil memukul-mukul dadanya (karena tidak berhasil membujuk orang yang datang kemarin). (Taariikh Ya’quubi, 2/126; Kitab Sulaim bin Qais, 130-131; al-Ikhtishaash, 6; Raudhatu al-Waa’izhain, 282; Irsyaadu al-Quluub, 397; Bihaaru al-Anwaar, 22/341-342; ...dll-nya)..

(5). Beberapa hadits:

(-). Kalaulah tidak ada hadits persaudaraan antara Nabi saww dan imam Ali as di hari mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, mk imam Ali as adalah saudara sepupun Nabi saww dan diambil asuh sejak kecil oleh Nabi saww. Lalu bagaimana Umar menolak persaudaraan itu? Nabi saww bersabda:

أنت أخي في الدنيا والآخرة

“Kamu –imam Ali as- adalah saudaraku di dunia dan akhirat.”
(Shahih Turmudzi, 5/636; Sunan Ibnu Maajah, 1/44; Thabaqaatu al-Kubra, 3/14; al-Mustadrak Hakim, 3/14; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1/159; Kanzu al-‘Ummaal,11/598; Ihyaa-u al-‘Uluum, Ghazali, 2/173; Usudu al-Ghaabah, 2/221; ...dan seambrek yang lainnya)

(-). Imam Ali as bagi Nabi saww, bagai nabi Harun as disisi nabi Musa as:

أنت مِنِّي بمَنزلة هارون مِن موسى

“Kamu –imam Ali as- disisiku seperti Harun di sisi Musa as.”
(shahih Bukhari, 4/208; Shahih Muslim, 4/1870; Sunan Turmudzi, 5/641; Sunan Ibnu Maajah, 1/43; Mustadrak Hakim, 3/133; Usdu al-Ghaabah, 4/27; ... dan seambrek lainnya di sunni yang tidak diketahui Umar).

(-). Nabi saww meninggalkan 2 hal yang berat:

إنِّي تاركٌ فيكم الثقلين كتاب الله وعِترتي

“Kutinggalkan dua hal yang berat untuk kalian, kitabullah dan itrahku (keluargaku yang maksum).” (Shahih Muslim, 4/1873-1874; Sunan Turmudzi, 5/662; Mustadrak Hakim, 3/148; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3/14 dan 4/367; .... dll yang banyak sekali di sunni dan diriwayatkan oleh 35 shahabat dimana mencapai empat kali kelipatan mutawatir, lihat tulisan2 terdahulu alfakir di fb ini.)

(-). Ridha hdh Faathimah as adalah ridha Allah dan bgt pula murkanya:

قال رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) لفاطمة : إنَّ الله يغضب لغضبك ، ويرضى لرِضاك

“Allah murka dg murkamu –hdh Faathimah as- dan ridha dg ridhamu.” (Mustadrak Hakim, 3/154; Usdu al-Ghaabah, 5/522; Kanzu al-‘Ummaal, 7/111; dll).

(-). Ridha hdh Faathimah as adalah ridha Nabi saww dan bgt pula murkanya:

فاطمة بِضعة مِنِّي ؛ فمن أغضبها أغضبني

“Faathimah adalah bagian dariku, siapa yang membuatnya marah, mk telah membuatku marah.” (Shahih Bukhari, 2/308, 4/219; Shahih Muslim, 4/1902; Sunan Turmudzi, 5/698-699; Musnad Ahmad bin Hanbal, 4/323; Kanzu al-‘Ummaal, 6/220; ...dll.).

(-). Hadharat Faathimah as, murka kepada Abu Bakar dan Umar sampai syahidnya. Bisa dilihat di: Shahih Bukhari, 2/186, 3/55; Shahih Muslim, 5/153; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1/6-9; Sunan Baihaqii, 6/300-301; Thabaqaatu al-Kubraa, 8/18; Kanzu al-‘Ummaaal, 3/129; Sunan Turmudzi, 1/bab Maa Jaa-a di Taraki Rasulullah saww.).


Kesimpulan 1:

Semua yang dinukil di atas ini, masih tidak mencakupi semua derita Ahlulbait as. Karena masih ada hal2 lainnya, seperti bahwa setelah kejadian itu, hdh Faathimah as selalu menangis sambil mengadu kepada Allah dan RasulNya saww. Akan tetapi musuh2nya bahkan melarang beliau as menangis. Karena itu imam Ali as membuatnya rumah khusus di pinggiran kota Madinah, akan tetapi rumah itu jg dibakar.

Begitu murkanya hdh Faathimah as –karena agama Islam- kepada mereka dan tealah bertekad untuk mengadukannya kepada Allah dan RasulNya saww sebagaimana jg banyak di hadits2 sunni. Bgt pula tidam mengijinkan mereka ikut dalam penguburan beliau as dalam wasiat beliau as.

Derita Ahlulbait as ini, tidak berhenti disini saja. Dan, Nabipun saww, telah mengabarkannya sebelum beliau saww wafat sebagaimana banyak di riwayat2 sunni jg. Misalnya, bahwa imam Ali akan dikhianati umat beliau saww setelah beliau saww wafat, atau bwh pada akhirnya kepalanya akan dibelah hingga merah darah kepalanya akan mewarnai jenggot putihanyaa, atau bahwa imam Hasan akan diracuni umat beliau saww, atau bahwa imam Husain as akan dicabik-cabik di Karbala, atau bahwa Ahlulbait as akan mengalami penderitaan yang hebat sampai keghaiban imam Mahdi as.

Walau dalam sejuta derita Ahlulait yang maksum as itu, alhamdulllah, masih ada bisyaarah (berita gembira) dari kanjeng Nabi saww yang mengatakan bahwa setelah masa ghaib yang panjang, Muhammd al-Mahdi as, akan keluar untuk memerangi kebatilah di seluruh dunia hingga meratakan keadilan di atas seluruh permukaan bumi seperti yang dijanjikan Tuhan di QS: 9: 34:


هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah –Allah- yang mengutus rasulNya dg petunjuk dan agama yang benar, agar dimenangkan ke atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik itu keberatan.”

Izinkan saya melihat persoalan Mujtahid sebentar, sebelum menfokus kepada judul di atas. Mujtahid di jaman Nabi saww dan para imam maksum itu banyak sekali, jadi bukan hanya di jaman imam Mahdi as. Meraka itu juga dikenal dengan perawi hadits-hadits maksumin. Mujtahid ini diperlukan umat manakala umat tersebut jauh dari maksum seperti di luar kota atau luar negara, sejak di jaman Nabi saww sendiri.

Perawi hadits di jaman dulu yang juga dikatakn mujtahid, bukan sekedar menukil hadits, tapi memhami maksudnya. Karena mereka memiliki kaidah seperti ushulfikih sekalipun ilmu ushulfikih waktu itu belum dibuat Tapi kaidah-kaidahnya, selalu ada, seperti kaidah pengecalian, umum, mutlak ...dst. seperti yang diurai dalam, ushulfiih.

Jadi, kalau di jaman itu, lebih dikenal dengan Syaikhulhadits atau Masyaayikhulhadits. Dan yang mendapat ijin dari mereka, adalah mujtahid-mujtahid berikutnya. Begitu seterusnya sampai ilmu-ilmu untuk memahami ayat dan hadits itu tersusun dalam kitab, maka ustadz sebelumnya menguatkan mujtahid berikutnya. Bgt sampai pada masa terbukan dg sistematika yang ada ttg Hauzah atau pesantren dimana saking hati2nya para ulama, mk setiap mujtahid berikutnya yang ingin menulis fikih, mk harus mendapat surat keijtihadan dari guru sebelumnya.

Jadi, di jaman dulu namanya "ijin periwayatan" yang didapat dari masyaayikh sebelumnya, dan di jaman sekarang "ijin fatwa" atau "surat ijtihad" yang didapat dari mujtahid sebelumnya.

Soalan yang boleh kita fikirkan,
Adakah hadits yang jalur periwayatannya runut dari marja' yang masih hidup sekarang yang bersambung hingga imam mahdi, yang otomatis bersambung sampai ke Nabi Muhammad saww, misalnya; Hadits riwayat Imam Khameini dari Imam Khomeini dari ... dari Abu Hasan Ali bin Muhammad Samari dari Abu Qasim Husain bin Ruh Nubakhti dari Muhammad bin Utsman ‘Amri dari Utsman Bin Sa’id ‘Amri dari Imam Mahdi as dari Imam Hasan al-Asykari dari Imam Ali al-Hadi dari Muhammad al-Jawad dari Ali ar-Ridha dari Musa al-Kadzim dari Imam Ja'far ash-Shadiq dari Imam Muhammad al-Baqir dari Imam Ali Zainal Abidin dari Imam Husain asy-Syahid dari Imam Hasan al-Mujtaba dari Imam Ali Amirul Mukminin dari Nabi Muhammad saww dari Jibril dari Allah swt. ?

Sebenarnya, sejak kitab-kitab bisa ditulis lebih banyak, yakni pada kira2 300 th yang lalu, mk walaupun perijinan perawian masyaayikh kepada murid2 tsiqahanyaa itu tetap berjalan, akan tetapi para perawi2 hadits itu semakain memperbanyak dan memperbanyak penulisan2 kitab2 hadits. Karena itu, terkadang dalam perijinannya itu seperti "Saya sudah membcakan isi kitab fulan di hadapan syaikh fulan dan telah mendapat ijin untuk menukilkannya".

Proses itu berjalan terus sampai pada masa Kulaini ra dan penghulu dari pengumpul dan penulis kitab2 hadits lainnya. Karena itu, perijinan penukilan itu jauh lebih mudah dari bagaimana repotnya Kulaini ra menjelajahi dunia Islam (sampai ke Burma) dan mengumpulkan hadits2 dari para masyaayikh hadits. Sudah tentu dari kitab2 yang sebelumnya pernah ada akan tetapi tidak lengkap atau sudah hilang dalam sejarahanyaa, seperti 400 kitab yang ditulis lngsung oleh murid2 imam Ja'far as yang dikenal dg "Ushul Arba' Mi-ah".

Proses itu berjalan terus hingga sampai pada masa bertebarannya kitab2 hadits. Lalu salah satu penguat dari kita2 itu misalnya ditulis, saya bernama fulan, menulis kitab ini dan telah dishahihkan oleh syaikh fulan dan bisa dinukilkan.

Terakhir, karena sudah banyaknya kitab2 hadits yang sulit dipalsukan, karena disamping banyak penghafal hadits, jg banyak kitab2 lainnya yang sama hingga dpt dg mudah diketahui kalau ada pemalsuan, mk perinjinan seperti itu, sekarang ini, sudah tidak diwajibkan lagi. Karena itu, perijinan itu, bisa dikatakan sudah selesai pada masa ayatullah Mar'asyi al-Najafi ra yang wafat setelah revolusi Iran. Saya jg pernah menyalaminya waktu beliau ra masih hidup yang, perpustakaannya sampai sekarang ada bbrp tingkat dimana sebagiannya anti bom dan banjir serta gempa dan semua kitabnya, kalau tidak salah ada 1,5 juta kitab dimana dulu masih mudahanyaa -untuk membeli kitab- sering kali menyewakan dirinya untuk puasa dan shalat qodho bagi orang mati dan, sering jg sampai makan sayuran2 mentah yang sudah dibuang orang ke sampah kemudian diambil dan dicuci bersih lalu dimakannya (Orang timteng pemakan sayuran mentah. Biasanya, bagian luar atau jelek2nya dibuang dulu, lalu sisanya dicuci dan dimakan mentah sebagai sayuran makan dg roti atau nasi. Nah beliau ra itu mengambil bagian2 yang sudah dianggap rusak yang sudah dibuang di sampah itu, lalu dicucinya sebelum kemudian dimakannya). Beliau melakukan seperti itu, karena kitab2 lama yang ditulis tangan yang sangat berharga itu, banyak yang diberli oleh orang barat sebagai koleksi, terutama orang-orang dari kedutaan ingris pada masa itu. Jadi, beliau ra yang jg miskin, tp penuh perhatian kepada ilmu dan data2 kuno Islam, mk melakukan seperti itu.

Jadi, sekarang, mainnya di kitab2, bukan diperijinan. Akan tetapi di mukaddimah kitabnya itu dijelaskan bahwa kitab2 ini sudah dicek dan dicocokkan dg, misalnya 20 kitab kuno yang ada yang tersebar di perpus kota/negara fulan dan fulan.

Nah, karena kalau dulu tsiqah yang jadi ukuran, mk sekarang penelitian kitabnya sebelum ditulis itulah yang menjadi ukuran. Jadi, sekarang ini jauh lebih mudah dari jaman sebelumnya.

Keterangan ini, tidak menafikan adanya sisa2 ulama yang tetap memakai perijinan syaikh2 sebelumnya, akan tetapi hal itu sudah tidak diwajibkan lagi, karena sudah tidak adanya kekhawatiran akan pemalsuan.

Karena itulah, kalau wahabi merubah kitab, orang syi'ah yang paling tahu, sekalipun yang dirubahanyaa itu kitab2 sunni. Beda dg sunni, terutama orang indinesia, yang baru menyadarinya sekarang2 ini.

Untuk mengetahui kondisi sebenar tentang Tanah Fadak ada baiknya kita meneliti dengan sebaik mungkin,


DIALOG FATHIMAH AS DAN ABU BAKAR; TENTANG TANAH FADAK 

Peristiwa Fadak banyak dianalisa oleh ahli sejarah. Beragam buku ditulis untuk menetapkan bahwa tanah Fadak milik Rasulullah saw dan telah diwariskan kepada anaknya Fathimah al-Zahra as.

Dimulai dari analisa teks, sejarah, sosial, ekonomi sampai politik dapat ditemukan dalam buku-buku itu. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah Fadak bagi Syiah.
Namun, apakah sesungguhnya demikian?

Menilik khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as, ternyata dari keseluruhan khotbahnya tidak banyak menyinggung masalah Fadak. Terutama bila Abu Bakar, khalifah waktu itu, tidak menyela khotbah Sayyidah Fathimah as dan membawakan argumentasi mengapa ia mengambil Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as, maka khotbah tentang tanah FAdak semakin sedikit. Di samping itu, masalah Fadak dibawakan oleh Sayyidah Zahra pada bagian-bagian akhir dari khotbahnya.

Untuk lebih jelasnya apa sebenarnya yang terjadi dalam dialog keduanya, perlu untuk mengkaji kembali khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as. Hal ini akan memperjelas apa sebenarnya yang terjadi antara keduanya.


Sanad khotbah 

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang dikenal oleh ulama Syiah dan Ahli Sunah. Mereka meriwayatkan khotbah Sayyidah Zahra as ini dengan sanad yang dapat dipercaya. Bagi Syiah, khotbah ini diriwayatkan dari berbagai sanad yang sampai kepada para Imam as atau dari Sayyidah Zainab as anak Imam Ali bin AbiThalib as. Sekalipun ini adalah khotbah, namun bagi Syiah menjadi sandaran dan dalil.

Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari dalam bukunya “Saqifah dan Fadak” menukil sanad-sanad khotbah Sayyidah Fathiman as. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menyebutkan empat jalur sanad yang diriwayatkan oleh al-Jauhari:
1. Al-Jauhari dari Muhammad bin Zakaria dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari HAsan bin Saleh bin Hayy dari dua orang Ahlul Bait Bani Hasyim dari Zainab binti ali bin Abi Thalib as dari ibunya Sayyidah Fathimah as.
2. Al-Jauhari dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein as.
3. Al-Jauhari dari Utsman bin Imran al-Faji’i dari Nail bin Najih dari Umar bin Syimr dari Kabir Ja’fi dari Abu Ja;far Muhammad bin Ali (Imam Baqir as).
4. Al-Jauhari dari Ahmad bin Muhammad bin Yazid dari Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan sebutan Abdullah al-Mahdh bin Fathimah binti al-Husein dan ibnu al-Hasan al-Mutsanna.

Ali bin Isa al-Irbil salah seorang ulama Syiah menukil khotbah ini dari buku “Saqifah dan Fadak” milik Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Ia menyebutkan, “Saya menukil khotbah ini dari buku Saqifah dan Fadak karangan Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Sebuah buku dari naskah kuno yang telah dibaca dan di tashih oleh penulis pada tahun 322 hijriah dengan sanad yang berbeda-beda”.[1]
Mas’udi dalam bukunya Muruj al-Dzahab[2] mengisyaratkan mengenai khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir (lahir 204 H) ulama yang hidup pada zaman Ma’mun khalifah Bani Abbas dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ meriwayatkan khotbah ini dari beberapa jalur:
1. Perawi mengatakan, “Aku berada di sisi Abu al-Hasan Zaid bin Ali bin al-Husein as. Pada waktu itu aku sedang berdialog dengan Abu Bakar Mauqi’i tentang masalah Sayyidah Fathimah as dan bagaimana Fadak diambil darinya. Aku berkata, “Kebanyakan masyarakat punya pendapat tentang khotbah ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa khotbah ini milik Abu al-’Anina dan bukan milik Sayyidah Fathimah as. Zaid menjawab, “Saya sendiri melihat tokoh-tokoh dari keluarga Abu Thalib yang menukil khotbah ini dari ayah-ayah mereka. Khotbah ini juga saya dapatkan dari ayah saya Ali bin al-Husein as. Lebih dari itu, tokoh-tokoh Syiah meriwayatkan khotbahini dan mengejarkannya sebelum kakek Abu al-’Aina lahir ke dunia.
2. Khotbah ini dinukil oleh Hasan bin Alawan dari Athiyah al-Aufi dari Abdullah bin al-Hasan dari ayahnya.
3. Ja’far bin Muhammad berada di Mesir. Suatu hari aku melihatnya di Rafiqah dan berkata, “Ayah saya meriwayatkan hadis kepada saya dan berkata, “Musa bin Isa mengabarkan kepada kami dari Ubaidillah bin Yunus dari Ja’far al-Ahmar dari Zaid bin Ali bin al-Husein as dari bibinya Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan khotbah ini.
Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir berkata, “Semua hadis ini saya lihat berada pada Abu Haffan.[3]


Tuntutan dan argumentasi Sayyidah Fathimah as 

Untuk mengetahui secara detil apa sebenarnya yang terjadi dalam khotbah dan dialog antara Sayyidah Fathimah as dengan Abu Bakar sangat perlu untuk melihat langsung teks khotbah itu.[4]

Pada salah satu bagian dari khotbahnya Sayyidah Fathimah as menuntut haknya atas tanah Fadak:
Saat ini kalian menganggap bahwa kami tidak punya warisan!?
Apakah mereka menginginkan hukum jahiliah, padahal hukum mana yang lebih dari hukum Allah bagi mereka yang beriman.
Apakah mereka tidak tahu!?
Ya, kalian mengetahui bahwa aku adalah putri Nabi. Pengetahuan kalian bak sinar mentari, jelas.
Wahai kaum muslimin! Apakah pantas aku menjadi pecundang atas warisan ayahku!?
Wahai anak Abu Quhafah! Apakah ada dalam al-Quran ayat yang menyebutkan bahwa engkau mewarisi harta ayahmu, sementara aku tidak mewarisi harta ayahku!? Engkau telah membawa tuduhan yang aneh!

Apakah kalian secara sengaja meninggalkan al-Quran dan meletakkannya di punggung kalian ketika al-Quran mengatakan: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”[5].
Al-Quran menukil cerita Yahya bin Zakaria ketika berkata: “Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”.[6]
Dan Allah berfirman: “orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam Kitab Allah”.[7]
Dan allah berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.[8]
Dan Allah berfirman: “berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.[9]

Dan kalian menganggap aku tidak mewarisi sesuatu dari harta ayahku?
Apakah ada ayat yang turun kepada kalian yang mengecualikan ayahku?
Ataukah kalian akan mengatakan bahwa keduanya (aku dan ayahku) menganut agama yang berbeda sehingga tidak mewarisi? 
Bukankah aku dan ayahku berasal dari agama yang satu?
Ataukah kalian merasa lebih tahu tentang al-Quran dari ayahku dan anak pamanku (Imam Ali bin Abi Thalib)?

Bila memang kalian mengklaim demikian, maka ambil dan rampaslah warisanku yang terlihat bak kendaraan yang telah siap sedia!? Tapi, ketahuilah! Ia akan menghadapimu di hari kiamat.
Sesunguhnya, sebaik-baik hukum adalah hukum Allah, sebaik-baik pemimpin adalah Muhammad dan sebaik-baik pengingat adalah hari kiamat.

Ketika hari kiamat tiba, orang-orang yang batil akan mengalami kerugian. Pada waktu itu penyesalan tidak lagi bermanfaat.

Setiap berita ada tempatnya dan kalian akan tahu siapa yang diazab sehingga hina dan senantiasa ia mendapat siksaan yang pedih!


Jawaban Abu Bakar 

Setelah Sayyidah Fathimah as mengajukan tuntutan dan mengargumentasikan haknya, beliau kemudian menatap orang-orang Anshar dan mengingatkan siapa mereka dan betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga Islam. Namun, nilai dan kesempurnaan sesuatu akan dinilai pada akhirnya.

Cinta terhadap kedudukan membuat mereka lupa menolong dan membantu putri Rasulullah saw. Dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa kalian punya potensi untuk menghadapi penguasa yang tidak sah dan zalim. Namun, ketika mereka tidak bangkit Sayyidah Zahra as tidak menerima alasan mereka. Upaya Sayyidah Zahra as untuk membangkitkan semangat kaum Anshar membela kebenaran kemudian diputus oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah waktu itu dengan jawabannya.

Abu Bakar menjawab tuntutan dan argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as dengan ucapannya:
Wahai putri Rasulullah saw! Ayahmu seorang yang lembut, pengasih dan dermawan atas orang-orang mukmin, sementara itu bila menghadapi orang-orang kafir ia sangat keras.
Bila dilihat dari sisi hubungan kekeluargaan, ia adalah ayahmu dan saudara ayahmu. Sementara tidak ada orang lain yang sepertimu.

Kami melihat bagaimana Nabi begitu memperhatikan suamimu lebih dari yang lain. Dalam setiap pekerjaan besar, suamimu pasti menjadi penolong Nabi. Hanya orang yang selamat saja yang mencintai kalian dan hanya orang celaka saja yang membenci kalian. Kalian adalah Itrah Rasulullah yang baik.

Kalian adalah penunjuk dan penuntun ke arah kebaikan dan surga.
Dan engkau adalah wanita terbaik dan putri terbaik dari para Nabi.
Engkau benar dalam ucapanmu dan akal dan pemahamanmu lebih cerdas dari yang lain.
Tidak ada yang dapat menghalangi hak Anda dan kebenaranmu tidak bisa ditutup-tutupi.
Demi allah! Aku tidak melanggar pendapat Rasulullah saw dan aku tidak berbuat kecuali dengan seizinnya. Seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.

Dalam masalah ini aku menjadikan Allah sebagai saksi dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Aku mendengar sendiri dari Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam. Kami hanya mewariskan al-Quran, al-Hikmah, al-Ilmu dan al-Nubuwah. Apa saja yang tertinggal dari kami, maka itu menjadi hak milik pemimpin setelah kami. Dan apa yang menjadi maslahat itu yang bakal diputuskan olehnya.

Apa yang engkau tuntut dari tanah Fadak, itu akan kami pakai untuk menyiapkan kuda dan senjata bagi para pejuang Islam untuk menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang jahat.
Masalah ini tidak aku putuskan sendiri, tetapi lewat kesepakatan seluruh kaum muslimin aku melakukan itu.

Ini kondisi dan apa yang saya miliki menjadi milik engkau.

Apa yang bisa saya lakukan akan saya lakukan dan saya tidak menyimpan apapun di hadapan engkau.

Engkau adalah panutan umat ayahmu dan pohon yang memiliki akar yang baik bagi keturunanmu.
Keutamaan yang engkau miliki tidak dapat dipungkiri oleh seorang pun.

Hak-hak engkau tidak akan dicampakkan begitu saja; baik masalah penting atau tidak.
Apa yang engkau perintahkan terkait dengan diri saya akan saya lakukan.

Apakah engkau merasa layak bahwa dalam masalah ini saya menentang aturan ayahmu?
Jawaban balik Sayyidah Fathimah as

Setelah mendengar jawaban dari Abu Bakar mengenai tuntutannya atas tanah Fadak, Sayyidah Fathimah as menjawab:
Subhanallah! Rasulullah saw tidak pernah memalingkan wajahnya dari al-Quran dan tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada di dalamnya.

Nabi senantiasa mengikuti al-Quran dan surat-suratnya.

Apakah engkau mulai mengeluarkan tipu dayamu dengan berbohong atas namanya mencoba mencari alasan atas perbuatanmu?

Tipu daya ini sama persis seperti yang dilakukan terhadapnya ketika Nabi masih hidup.

Ini adalah al-Quran, Kitab Allah yang menjadi juru adil, pemutus perkara dan berbicara atas nama kebenaran. Al-Quran mengatakan: “seorang putra yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” dan “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.

Allah telah membagi bagian para ahli waris sesuai dengan bagiannya secara gamblang sehingga tidak ada orang mencari-cari alasan di kemudian hari. Semestinya engkau mengamalkan yang seperti ini.
Namun engkau melakukan sesuatu yang lain karena hawa nafsu dan bisikan setan.

Dalam kondisi yang demikian, pilihan terbaik adalah bersabar karena kesabaran itu indah dan Allah adalah penolong dari apa yang kalian gambarkan.


Penjelasan terakhir Abu Bakar 

Sanggahan terakhir Sayyidah Fathimah as membuat Abu Bakar tidak lagi menyangkal perbuatannya dengan hadis yang dipakai sebelumnya setelah dengan cerdik Sayyidah Fathimah as menjelaskan premis mayor bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. Setelah dihadapkan dengan ayat-ayat yang disebut itu, Abu Bakar menjawab:
Maha benar Allah, benar apa yang disabdakan Rasulullah dan benar juga apa yang diucapkan oleh putri Rasulullah saw.

Engkau adalah tambang kebijakan, pusat hidayah dan rahmat, tiang agama dan sumber kebenaran.
Aku tidak mengatakan apa yang engkau katakan adalah salah dan tidak mengingkari khotbahmu, namun mereka kaum muslimin sebagai juri yang menilai antara saya dengan engkau. Mereka memilih saya sebagai khalifah dan apa yang saya raih ini berkat kesepakatan mereka tanpa ada paksaan dan kesombongan dari diriku. Dalam hal ini mereka semua menjadi saksi.


Analisa argumentasi Abu Bakar 

Bila dilihat secara teliti, sebenarnya Abu Bakar telah mengetahui bahwa bagaimana sebelumnya Sayyidah Fathimah as telah membawakan ayat-ayat yang menunjukkan bagaimana para Nabi mewariskan hartanya kepada anaknya. Jadi, hal ini sudah dipahami secara baik oleh Abu Bakar. Namun, untuk menjustifikasi perbuatannya ia perlu sebuah landasan berpijak yang kokoh. Tidak cukup hanya dengan alasan sebagai penguasa waktu itu, sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw, ia akan memanfaatkan tanah milik Rasulullah saw yang diwariskan kepada anaknya untuk mendanai angkatan perang. Artinya, menyita tanah Fadak milik putri Rasulullah saw tidak cukup dengan menyampaikan alasan kebijakan politik, tapi harus dengan bersandar pada ayat al-Quran atau sabda Nabi.

Sebagaimana telah disebutkan dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa yang paling mengetahui al-Quran adalah Nabi Muhammad saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Selain itu, Sayyidah Fatahimah as membacakan beberapa ayat al-Quran untuk memenangkan tuntutannya. Di sini Abu Bakar terpaksa memakai hadis yang disebutnya berasal dari Rasulullah saw. Hadis ini dipakainya untuk mematahkan klaim Sayyidah Fathimah as dan setelah itu baru ia menyebutkan alasan sebenarnya mengapa ia menyita tanah itu. Abu Bakar melihat bahwa tanah sebesar itu dapat mendanai angkatan perang untuk menghadapi musuh-musuh Islam.

Sebenarnya, alasan itu juga yang dipakai untuk menyita paksa tanah Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as. Bila tanah itu tidak disita, maka kemungkinan besar pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as dapat melakukan perlawanan fisik bahkan bersenjata melawannya. Bila tanah itu dapat dipakai untuk mendanai angkatan bersenjatanya, maka hal yang sama dapat dipergunakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Itulah mengapa ketika Sayyidah Zahra as tengah berbicara mengenai masalah Fadak, Abu Bakar tidak melakukan protes dengan menjawab argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as. Tapi, ketika pembicaraan telah berpindah mengenai kaum Anshar, di mana Sayyidah Zahra as menjelaskan dengan terperinci posisi dan peran mereka dalam Islam dan setelah itu mengingatkan mereka dengan pesan-pesan Rasulullah saw mengenai Ahlul Baitnya serta apa akibatnya orang yang tahu kebenaran tapi tidak membela kebenaran, Abu Bakar lantas menjawab mengenai masalah Fadak yang telah disebutkan sebelumnya. Jelas, bila hal ini dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar kaum Anshar akan terpengaruh dengan ucapan anak semata wayang Rasulullah saw ini.

Dari sini jelas, jawaban Abu Bakar menjadi terlihat terburu-buru. Karena yang harus dilakukannya adalah membawa argumentasi yang lebih kuat lagi setelah mendengar Sayyidah Zahra as menyebutkan bagaimana para Nabi saling mewarisi. Ketika mendapat jawaban dari Sayyidah Zahra as yang terlebih dahulu menyebutkan bagaimana Rasulullah saw tidak pernah menentang hukum-hukum al-Quran, beliau kemudian mengulangi lagi dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sayyidah Fathimah as tidak saja mengulangi ayat-ayat tersebut, tapi juga menjelaskan bagaimana caranya menggabungkan ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang menjelaskan bagian-bagian yang didapatkan oleh ahli waris. Pada akhirnya, Sayyidah Fathimah as menjelaskan filsafat hukumnya mengapa bagian-bagian ahli waris disebutkan secara terperinci, karena dikemudikan hari tidak ada lagi kerancuan dan kebingungan dalam masalah ini.


Pesan dialog

Melihat porsi pembahasan tanah Fadak dalam khotbah Sayyidah Fathimah as bila dibandingkan dengan keseluruhan khotbah yang cukup panjang itu, dapat diamati bahwa tujuan Sayyidah Fathimah as lebih mulia dari sekedar yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka menganggap Sayyidah Fathimah as menuntut tanah Fadak karena beliau tidak berbeda dengan orang lain yang juga begitu menitikberatkan masalah materi. Bila tujuan Sayyidah Zahra as adalah sekadar memenuhi kebutuhan materi sekalipun dari jalan halal karena itu adalah miliknya, maka masalah Fadak akan menyita sebagian besar dari khotbah itu.

Bila dalam peristiwa Saqifah, Sayyidah Fathimah as datang ke sana dan menegaskan kepada mereka bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah sepeninggalnya. Mereka akan menjawab bahwa ini hanya masalah keluarga. Ia menginginkan agar suaminya menjadi pemimpin dan yang berkuasa.

Bila sejak awal, Sayyidah Zahra as menekankan masalah Fadak dan itu adalah miliknya, ia akan dituduh sebagai mata duitan dan kekuasaan. Karena ia ingin segalanya berada di tangannya dan tangan keluarga Nabi as. Pada akhirnya, mereka akan dituduh sebagai rasialis, karena tidak senang melihat pos-pos yang basah menjadi milik orang lain.

Masalah warisan dalam krisis tanah Fadak waktu itu dipergunakan dengan baik oleh Sayyidah Zahra as untuk menunjukkan bahwa mereka yang memerintah tidak memiliki kelayakan. Contoh yang akan ditampilkan adalah masalah tanah Fadak. Isu tanah Fadak dijadikan sarana oleh Sayyidah Fathimah as. Beliau ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa pengganti Rasulullah saw yang disebut sebagai khalifah Rasulullah saw tidak mengerti masalah peradilan. Khalifah yang tidak mengetahui bagaimana cara mengadili orang lain berdasarkan ajaran Islam tidak layak menjadi khalifah.

Sayyidah Zahra as ingin mengatakan bahwa khalifah yang dipilih ini tidak punya kelayakan karena dalam masalah warisan yang mudah saja ia tidak mampu menyelesaikannya. Permasalahan sebenarnya bisa terhenti di sini, tapi karena Abu Bakar bangkit dan menjawab khotbah Sayyidah Zahra as, masalah menjadi lebih menguntungkan Sayyidah Zahra as dan merugikan Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjawab tuntutan Sayyidah Zahra as dengan hadis yang berbunyi: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam”, Sayyidah Zahra as kemudian mengadu hadis itu dengan al-Quran. Namun, sebelum itu beliau memberikan tolok ukur bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad saw tidak pernah bertentangan dengan hukum-hukum al-Quran.

Pada kondisi yang seperti ini, Abu Bakar tidak dapat berbuat apa-apa, karena hadis yang dibawakannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Semua tentu masih ingat bagaimana Rasulullah saw bersabda bahwa setiap hadis yang bertentangan dengan al-Quran harus dilemparkan ke tembok. Artinya, tidak dipakai. Hadis itu bukan hadis Nabi. Lebih berat lagi, hadis itu adalah hadis palsu. Di sini, kasus tanah Fadak bukan saja menyingkap masalah ketidaklayakan seorang khalifah menyelesaikan sebuah masalah ringan tentang warisan, tapi telah dihadapkan pada penggunaan hadis palsu; sengaja atau tidak. Untuk menjatuhkan argumentasi Sayyidah Zahra as, Abu Bakar terpaksa mempergunakan hadis palsu. Namun, dengan membawakan dua ayat terbongkar juga masalah ini.
Tidak ada jalan lain, Abu Bakar terpaksa mengakui kelihaian Sayyidah Zahra as dan keluasan pengetahuannya. Abu Bakar akhirnya hanya dapat berargumentasi bahwa ia dipilih secara aklamasi oleh seluruh para sahabat tanpa paksaan dan kebijakan yang diambilnya adalah demikian. Lagi-lagi Abu Bakar terjerumus dengan menjadikan orang-orang sebagai tolok ukur dan bukan al-Quran.


Penutup:

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang masyhur. Khotbah yang menunjukkan kefasihan, keberanian dan keluasan pengetahuan putri Rasulullah saw. Salah satu data sejarah paling autentik mengenai kondisi umat Islam generasi awal. Selain kajian sosial, hukum dan politik tidak lupa juga membahas masalah isu-isu keislaman seperti tauhid, keadilan ilahi, kenabian, imamah, hari akhir, filsafat hukum dan lain-lain.

Salah satu kajian yang menarik dari khotbah Sayyidah Zahra as adalah dialognya dengan Abu Bakar yang menjadi khalifah setelah terpilih di Saqifah. Dialog-dialog ini dapat memberikan nuansa baru untuk memahami polemik yang terjadi antara keduanya dalam masalah tanah Fadak.

Qom, 18 Juni 2007

(Haidarrein/Sinar-Agama/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: