Pesan Rahbar

Home » » Mengenai Nikah Mut'ah

Mengenai Nikah Mut'ah

Written By Unknown on Thursday, 18 February 2016 | 01:32:00


Tidak Ada Satupun Ayat yang Menghapuskan Ayat Mut’ah

Seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapatdijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut'ah[Q.S. An-Nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.

Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :

1. Rasul SAWW menggunakan lafadz "pernikahan" saat berbicara tentang nikahmut'ah ini, seperti :
"Barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya"

Muslim dalam Shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah"pernikahan" pada nikah mut'ah, berdasarkan riwayat Abi Nadhrah.Lafadz "pernikahan" tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah berstatus sebagai isteri

Ref. :
a. Abdurrozaq, dalam "Mushannaf", juz 7, hal. 504
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".

2. Kalimat sebelum ayat mut'ah itu sendiri adalah :
"Dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"

Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut'ah (famastamta'tum bihinna...) tersebut.Sehingga jelas sekali bahwa mut'ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.Bila "mut'ah" diartikan sebagai "dinikmati/dicampuri", maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut "dicampuri", berdasarkan ayat mut'ah tersebut.

Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum "dicampuri".

Sebagaimana firman Allah SWT dalam [Q.S 4:25]
"Nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka"

Atau dalam [Q.S. 60:10] :
"Dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan mahar mereka"
Dari sini jelas sekali bahwa mut'ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut'ah, bukan pengertian yang lain.
Ref. ahlusunnah :Tafsir Ar-Razi, tentang [Q.S. An-Nisaa' 24].

3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :
"Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut'ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab 'Tidak'. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut'ah dapat disebut sebagai isterinya"
Ref. ahlusunnah : Zamakhsyari, dalam tafsir "Al-Kasysyaf", juz 3, hal.177.

4. Ubay bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu "Ilaa Ajalin Musamma" yang artinya "sampai waktu yang ditentukan".
Ref. ahlusunnah :
a. Thabari, dalam Tafsir "Al-Kabir"
b. Zamakhsyari, dalam kitab "Al-Fa'iq"
c. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya
d. Nawawi, dalam "Syarh Shohih Muslim".
e. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz. 2, hal. 43-44.dll.

5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut'ah ini, seperti Asma' bintiAbubakar, Zubair bin Awwam, Salamah, Jabir bin Abdullah, Amr bin Harits,Ibnu Abbas, Ibn Mas'ud, dll.
Ref. ahlusunnah :
a. Ibn Hajar Al-Asqolani, dalam "Al-Ishobah", jilid II, hal. 63.
b. Ibnu Hazm, dalam "Al-Mahalli" (sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar).

6. Justru nikah mut'ah ini dilarang pada masa Umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.
Ref. :
a. Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404.
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".
c. Al-Baihaqi, dalam "Sunan Al-Kubro", jilid 7, hal. 206.
d. Shohih Muslim, jilid 1, bab "Nikah Mut'ah".
e. Dr. Ruway'l Ar-Ruhaily, dalam "Fikih Umar 1", penerbit Pustaka Al-Kautsar.
f. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam "Fatwa dan Ijtihad Umar binKhattab", penerbit Risalah Gusti.
g. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.dll.

7. Ayat Mut'ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.

8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang Muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah

Tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.Tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.Isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.Sehingga apakah semua itu tidak disebut "perkawinan sah" hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.

9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.

10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut'ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.

11. Imran bin Hushain berkata: Sesungguhnya Allah SWT menurunkan satu ayat tentang nikah mut'ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut'ah oleh Rasul SAWW. Dan beliau tidakmelarangnya.

Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra'yu-nya tentangapa yang dia kehendaki". Yaitu Umar yang melarangnya.
Ref. :Tafsir Ar-Rozi, juz 10, hal. 51/52.

12. Dari Hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut'ah [Q.S. An-Nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab "Tidak".
Ref. :
a. Thabari, dalam Tafsir-nya, juz 5, hal 9.
b. Suyuthi, dalam "Dur Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Abi Hayyan, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
d. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.

13. Qurthubi dan As-Syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] dengan nikah mut'ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan Islam.
Ref :
a. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.
b. Tafsir Syaukani, juz 1, hal. 144.

14. Atha' berkata :"Yang terdapat pada surat An-Nisaa' yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut'ah".
Ref. :Abdurrozaq, dalam "Al-Mukatabat".

15. Hubaib bin Abi Tsabit dan Mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut'ah.
Ref.:
a. Tafsir Ibn Katsir, juz 1, hal. 474.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.

16. Ibnu Abbas berkata :"Mut'ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidak melarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka".
Ref. :
a. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll. Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut'ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut'ah ini tidak dilarang oleh Umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut'ah.Apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikah mut'ah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang melarangnya adalah Umar.


Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.

Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.

Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.

Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.

Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.

Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.

Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang

yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)

Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut:


Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen

1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu

Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)

Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)

Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)

Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 ).

Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6) Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.

Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.

Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.

Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.

2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.

Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.

Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.

Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
1. Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
2. Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
3. Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
4. Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf.
5. Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
6. Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.

Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.

Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.

Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.

Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.

Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.

Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.

Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.

Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.

Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?

Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."

Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.

Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)

Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.

Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.

Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:

Bola dilempar dengan tongkat perak 

laki-laki demi laki-laki menangkapnya.

Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
1. Pernikahan permanen.
2. Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
3. Menahan dorong seksual.

Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.

Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.

Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut:

Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."

Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.

Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.

Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.

Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."

Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"

Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"

Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.


Orang-orang yang Menolak Larangan Itu

Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87).
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."

Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.

Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.

Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?

Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.

Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."

Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."

Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:

1. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.

Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.

Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.

Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.


Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini

Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.

Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu : I. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.

2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.

Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.

Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68).

Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6).

Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.

Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.

Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.

Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.

Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.

Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.


I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan

Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."

Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah (ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.

Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.

1. Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)

Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.

Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.

2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.

Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.

3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.

Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)

Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.

Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.

II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga

Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.

Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.

Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.

Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.

Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)

Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut. I. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.

Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.

Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut:
1. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.


Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?

Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.

Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.

Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.

Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.

Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.

Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak. Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."

(Al-Shia/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: