Sukarno di Makassar, 1957. (Foto: geheugenvannederland.nl).
DI MAKASSAR, Sukarno mengalami dua kali upaya pembunuhan. Sebelum peristiwa penggranatan di Jalan Cenderawasih, dia menjadi sasaran mortir pada 1960. Kejadian itu dikenal dengan Peristiwa Mandai. “Masih dua kali lagi upaya pembunuhan terhadapku. Keduanya di Makassar,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Setiba di lapangan terbang Mandai, rombongan melanjutkan perjalanan menuju kota Makassar dengan pengawalan lengkap. “Dalam perjalanan menuju kota Makassar ini,” kata Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, “rombongan Presiden Sukarno ditembaki oleh gerombolan dengan mortir, tetapi tidak mengenai sasaran.”
Rombongan kacau. Apalagi jip CPM (Corps Polisi Militer) pengawal yang ada di depan mobil Bung Karno mogok. Mayor Sudarto Perang, mendorong mobil itu ke pinggir. Setelah jip CPM itu diganti dengan jip polisi, rombongan melanjutkan perjalanan menuju kota Makassar. Sesampainya di perbatasan kota, Sukarno dijemput dengan jip kap terbuka, karena akan disambut rakyat di kanan-kiri jalan. “Waktu Bung Karno mengadakan rapat raksasa,” kata Mangil, “para duta besar mengatakan sungguh Bung Karno itu hebat. Habis ditembaki begitu gencar, tetapi tetap tenang dan malahan berani naik kendaraan terbuka. Bagaimana kalau di antara rakyat itu ada pengacaunya dan menembaki Bung Karno?”
Menurut Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa, pelaku penembakan mortir adalah gerombolan Kahar Mudzakkar, pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan. Sebelumnya, Kahar adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada 1951, Kahar mengajukan tuntutan kepada Kolonel Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium VII/Wirabuana agar KGSS dibentuk menjadi brigade sendiri yaitu Brigade XVI. Kahar marah karena permintaannya itu ditolak.
Menurut Anhar Gonggong dalam Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, mereka beranggapan pemerintah Republik Indonesia pimpinan Presiden Sukarno telah menginjak-injak siri’ –tidak hanya bermakna malu yang dalam, tetapi juga mempertahankan harga diri dengan mempertaruhkan nyawa– mereka, “karena menolak diri mereka untuk menjadi anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan membentuk suatu kesatuan tersendiri dengan nama pahlawan kebanggan mereka, Hasanuddin.”
Pelaku peristiwa Mandai tidak tertangkap. Namun, perlawanan Kahar dan pengikutnya berakhir setelah dia ditembak mati pada 3 Februari 1965.
Dengan dua peristiwa di Makassar, Sukarno telah lima kali menjadi sasaran pembunuhan. “Peristiwa keenam kalinya terjadi ketika suatu hari Bung Karno dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta dalam satu iring-iringan. Bung Karno melihat sendiri seorang laki-laki dengan gerak-gerik aneh seperti maling,” kata Maulwi.
“Saat berada dalam iring-iringan, aku melihat seorang laki-laki dengan gerak gerik aneh, sembunyi-sembunyi,” kata Sukarno. “Ketika kami lewat, kulihat dia berancang-ancang melemparkan granat. Matanya menangkap mataku, dan ada sesuatu kekuatan yang menghentikan maksudnya. Dalam waktu sepersekian detik itu mobilku sudah berada di luar batas pelemparan.”
Menurut Kadjat Adra’i dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno, peristiwa lain yang mengarah ke upaya pembunuhan Sukarno adalah Peristiwa Rajamandala. Kisahnya bermula dari kunjungan balasan Ketua Presidium Tertinggi Uni Soviet, Kliment Yefremovich Voroshilov. Selain ke Surabaya dan Bali, Voroshilov juga berkunjung ke Bandung ditemani Presiden Sukarno. Dari Bandung perjalanan dilanjutkan ke Jakarta dengan mobil. Rute perjalanan ditetapkan melalui kawasan tetirah Puncak yang sejuk, mampir di Kebun Raya Cibodas, Istana Cipanas, dan Istana Bogor.
Sehari sebelum rombongan berangkat, seorang Letnan I CPM dengan jip Willys melalui rute tersebut, sebuah jembatan panjang yang dikenal Jembatan Rajamandala. Di kedua ujung jembatan dilihatnya ada penjagaan satuan Polisi Militer yang membuatnya bertanya-tanya, “Mengapa ada penjagaan?” Sesampai di Jakarta, dia langsung ke markas CPM Jl. Merdeka Timur untuk menanyakan hal itu. Ternyata tidak pernah ada perintah menempatkan satuan CPM di Jembatan Rajamandala. “Jadi satuan itu pasti Dl/TII,” tulis Kadjat Adra’i. “Dia kemudian ingat, tanda kesatuan yang dikenakan gugus tugas gadungan itu tidak sebagaimana mestinya.”
“Karena pembersihan lewat cara konvensional yaitu melalui serangan darat, AURI dikontak. Dua pesawat Mustang P51 dikerahkan, kemudian kawasan sekitar Rajamandala disapu bersih,” Kadjat Adra’i menambahkan. “Sewaktu rombongan Voroshilov lewat, tidak nampak tanda-tanda bahwa beberapa jam sebelumnya terjadi kontak senjata di sana.”
Dalam almanak upaya pembunuhan terhadap tokoh, Terrorism in the 20th Century, Jay Robert Nash menyebutkan Peristiwa Rajamandala itu terjadi pada 25 Mei 1957, “Kliment Yefremovich Voroshilov, ketua presidium Rusia, menjadi target dari upaya pembunuhan yang gagal di Indonesia.”
Setidaknya sudah tujuh kali Sukarno akan dibunuh. Namun, dia selalu selamat. Sukarno pun meyakini, “selama hidupku ada Kekuatan Maha Tinggi yang mengawal, memimpin, dan melindungiku. Mungkin di satu waktu salah satu dari usaha pembunuhan ini akan berhasil dan mereka berhasil membunuh Sukarno. Kalaupun saatnya datang, ini terjadi karena Dia menghendakinya. Aku tidak gentar.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email