Pesan Rahbar

Home » » Sunnah Adalah Wahyu Yang Diwahyukan

Sunnah Adalah Wahyu Yang Diwahyukan

Written By Unknown on Sunday 24 April 2016 | 22:54:00


Oleh: Syeikh Salim bin Ied Al-Hilali

Sesungguhnya Sunnah Muthahharah (Sunnah yang suci) akan senantiasa terpelihara berkat Allah Ta’ala. Sunnah dan Al-Qur’an adalah wahyu yang datang dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

Inilah persoalan yang ingin aku sampaikan peringatan padanya, karena pentingnya hal ini. Karena keadaan Sunnah Nabi yang merupakan wahyu Allah, akan memberikan keyakinan bahwa Sunnah yang suci ini akan tetap terpelihara dari kerusakan ataupun hilang. Tetap aman dari bercampur dengan lainnya. Berikut ini akan kami paparkan dalil-dalil untuk membantah kebatilan yang dilontarkan oleh orang yang menghendaki keburukan terhadap Sunnah ini. Semoga hati anda akan menjadi tenang dan bertambahlah keimanan anda . Sehingga anda akan senantiasa berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.


DALIL PERTAMA DARI AL-QUR’ANUL KARIM

1. Allah Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَآأَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ

Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. [Al-Baqarah: 231]

Dia juga berfirman pada ayat lain:

وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. [An-Nisa’: 113]
Maksud dari kata Al-Hikmah dalam ayat-ayat yang jelas ini adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalil firman Allah Ta’ala:

وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui [Al-Ahzab: 34]

Bukankah tidak disebut-sebut di dalam kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali Al-Qur’an Karim dan Sunnah yang suci?!

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah telah menyebut Al-Kitab yang maksudnya adalah Al-Qur’an dan juga menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar dari seseorang ahlul ‘ilmi yang telah diakui, dia berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Perkataannya ini adalah benar. Wallahu ‘alam.

Demikian itu dikarenakan sebutan Al-Quran disertai dengan sebutan Al-Hikmah. Kemudian Allah juga menyebutkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya dengan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka. Maka Al-Hikmah di sini tidak boleh difahami kecuali Sunnah Rasulullah –wallahu a’lam-.

Hal itu karena Al-Hikmah digandengkan dengan Kitabullah. Sedangkan Allah telah mewajibkan manusia untuk taat kepada Rasul-Nya serta mengikuti perintah-nya. Sehingga tidak boleh dikatakan tentang suatu pendapat, bahwa hal itu merupakan kewajiban kecuali berdasarkan Kitabullah kemudian sunnah Rasul-Nya.” [Ar-Risalah, hal:78].

Imam ahli tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata: ”Al-Hikmah adalah hikmah yang Allah turunkan kepada kalian, yaitu sunnah-sunnah yang telah diajarkan dan ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. [Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, hal: 2/296].

Al-Qurthubi rahimahullah berkata: ”Al-Hikmah adalah Sunnah yang diterangkan lewat lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan kehendak Allah yang tidak dinyatakan di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)”. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, hal:3/157].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ” …. Lebih dari seorang dari generasi salaf berkata tentang al-Hikmah bahwa ia adalah as-Sunnah.

Kelompok yang lain, seperti Malik dan selainnya berkata: ”Al-Hikmah adalah mengenal agama serta mengamalkannya.” Ada juga pendapat selain itu. Semua pendapat itu benar. Intinya al-Hikmah adalah perkara yang membedakan antara perintah dan larangan, al-haq dan al-bathil, serta mengajarkan al-haq tanpa kebathilan. Dan inilah Sunnah (Nabi) yang membedakan antara kebenaran dan kebathilan, menjelaskan perbuatan-perbuatan yang baik daripada yang buruk”. [Ma’arijul Wushul, hal:22].

Berkata Asy-Syaukani rahimahullah : ”Para ahli tafsir berkata tentang al-Hikmah, bahwa ia adalah Sunnah yang disunnahkan oleh Rasulullah kepada umatnya.” [Fathul Qadir 1/242].

Pendapat para imam (ulama’) ini dikuatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada manusia, serta mensucikan mereka. Allah berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Ali-Imran: 164]

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Al-Jumu’ah: 2]
Inilah bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang suci kepada orang-orang yang beriman. Dengan demikian jelaslah dalil-dalil ayat yang menerangkan bahwa al-Hikmah yang diturunkakn oleh Allah bersama dengan Al-Qur’an adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Allah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (Peringatan), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr:9]

Tidak diragukan lagi bahwa yang pertama kali termasuk adz-Dzikr pada ayat di atas adalah al-Qur’an, dengan dalil firman Allah :

وَهَذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ أَفَأَنتُمْ لَهُ مُنكِرُونَ

Dan Dzikr (Peringatan; Al-Qur’an) ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya? [Al-Anbiya’:50]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain:

لاَّيَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَمِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Fushilat : 42]

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَّكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْئَلُونَ

Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab. [Az-Zukhruf: 44].

Dan sesuai penelitian adz-dzikru tersebut -selain al-Qur’an- juga mencakup Sunnah Nabawiyah yang mulia, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikru, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. [An-Nahl: 44]

Adz-dzikru dalam ayat di atas diturunkan dengan fungsi untuk menjelaskan kepada manusia tentang perkara-perkara yang telah diturunkan kepada mereka (yakni Al-Qur’an-red). Menjelaskan sekaligus memperinci perkara-perkara yang diturunkan secara global. Disinila posisi Sunnah. Menjelaskan segala macam kesulitan, dan menjabarkan segala hal yang masih bersifat global berikut memaparkan maksud dari hal tersebut.
Contoh dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut ; sholat dan zakat adalah dua perkara yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara global, lalu datanglah Sunnah yang menerangkan waktu-waktunya, batas-batasnya, cara-caranya serta bilangan raka’atnya. Demikianlah kebanyakan syari’at Islam (yakni disebutkan secara global di dalam Al-Qur’an, kemudian dijelaskan secara rinci di dalan Al-Hikmah/Sunnah-red).

Oleh karena itu kita meyakini bahwa Sunnah masuk ke dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikru, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr:9]

Kami cakupkan pembahasan pada satu baris ayat ini. Insya Allah akan ada pembahasan yang lebih jelas lagi di bawah nanti dalam masalah ini.

3. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. [An-Najm: 3-4].

Ayat di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wahyu. Tidak dibedakan antara al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga tetap bersifat umum, sampai datangnya nash (keterangan) yang mengkhususkan bahwa yang dimaksud ucapan beliau itu hanyalah al-Qur’an, tidak termasuk as-Sunnah. Sedangkan nash yang mengkhususkan sama sekali tidak ada.

Hal ini bertambah jelas, yaitu bahwa Al-Qur’an menjelaskan di beberapa tempatnya bahwa kewajiban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sebagai penyampai yang nyata, seperti dalam firman-Nya:

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. [An-Nur: 54].

Bahkan Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti wahyu:

وَاتَّبِعْ مَايُوحَى إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ

Dan ikutilah apa yang diwahyukan Rabbmu kepadamu. [Al-Ahzab: 2]

Sekaligus memerintahkan beliau untuk menyampaikan kebenaran ini:

قُلْ إِنَّمَآ أَتَّبِعُ مَايُوحَى إِلَيَّ مِن رَّبِّي

Katakanlah sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Rabb-ku. [Al-A’raf: 203]


DALIAL KEDUA: ADALAH AS-SUNNAH

1. Dari Miqdam bin Ma’d Yakrib Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya.
Al-Khatthaby berkata dalam “Ma’aalimus Sunan”, maksud dari hadits di atas mempunyai dua pengertian:
Pertama : Maknanya adalah: bahwa Rasulullah diberi wahyu batin, yang tidak dibaca, sebagaimana beliau diberi wahyu dzahir (yaitu Al-Qur’an) yang dibaca.

Kedua : Bahwa beliau diberi al-Kitab, yang merupakan wahyu yang dibaca, demikian pula beliau diberi keterangannya yang semisal dengannya.Yaitu bahwa beliau diizinkan untuk menjelaskan apa yang ada dalam al-Kitab, baik dengan menjelaskan keumumannya (pengertian Al-Qur’an-red), maupun mengkhususkan, atau bahkan menambah dan menjelaskan apa yang ada di dalamnya. Sehingga penjelasan beliau itu wajib untuk diterima dan diamalkan seperti halnya wahyu yang dibaca yakni al-Qur’an”.

2. Al-Baghawy rahimahullah berkata di dalam “Syarhus Sunnah” (1/202): “Yang beliau maksudkan adalah bahwa beliau diberi wahyu dengan tanpa dibacakan dan berikut sunnah-sunnah yang tidak dinashkan dalam al-Qur’an semisal dengan wahyu yang dibacakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

Dan dia mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (Sunnah). [Al-Jum’ah: 2]
Makna al-Kitab di sini adalah al-Qur’an. Dan al-Hikmah, dikatakan dia adalah Sunnah. Atau bisa juga dengan pengertian bahwa beliau diberi wahyu semisal Al-Qur’an, (yang berupa Sunnah) untuk menjelaskan al-Kitab. Karena penjelasan al-Kitab sendiri telah diserahkan kepada Rasul. Allah berfirman:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.
[An-Nahl: 44].

3. Ibnu Hazm rahimahullah berkata di dalam “Al-Ihkam” (2/22): “Benarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Sunnah itu seperti al-Qur’an. Dan tidak ada perbedaan dalam urusan kewajiban mentaati keduanya. Sedang Allah juga telah membenarkan perkataan ini seperti dalam firman-Nya:

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَآأَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka. [An-Nisa’: 80]
Dan kesamaan yang lain Sunnah dengan al-Qur’an adalah keduanya merupakan wahyu yang turun dari sisi Allah Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[An-Najm: 3-4]

Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu ‘anhu, keduanya berkata: “Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: ”Aku persaksikan engkau kepada Allah, hendaklah engkau memutuskan perkara kami dengan Kitabullah.” Maka berdirilah lawannya dan dia lebih paham darinya (laki-laki pertama) kemudian berkata: “Putuskanlah perkara di antara kami dengan Kitabullah dan ijinkanlah aku (untuk berbicara).” Bersabda Nabi: “Bicaralah!”. Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya anakku ini pegawai upahan laki-laki ini. Lalu anakku berzina dengan isterinya. Dan aku menebus kesalahan ini dengan 100 unta dan seorang pelayan. Kemudian aku tanyakan hal ini kepada beberapa orang dari ahlul ilmi dan mereka mengatakan bahwa anakku harus di dera 100 pukulan dan diasingkan selama setahun, sedangkan isteri (tuan)nya harus dirajam.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi (Allah) Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh akan aku putuskan di antara kamu berdua dengan Kitabbullah, 100 unta dan pelayan dikembalikan, sedangkan anakmu harus didera 100 pukulan dan diasingkan setahun. Wahai Unais, pergilah kepada istri orang ini. Jika dia mengakui telah berbuat zina, maka rajamlah dia.” [HSR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud Tirmidzi, dan lai-lain –kami ringkas takhrijnya-red]

Ibnu Hajar berkata di dalam “Fathul Baari” (13/243): “Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam bab tersebut dengan bertujuan menunjukkan bahwa Sunnah juga bisa dikatakan sebagai Kitabullah. Karena Sunnah itu merupakan wahyu Allah dan ketetapan-Nya, seperti firman Allah:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[An-Najm: 3-4]

Aku (Syaih Saliem bin ‘Ied Al-Hilaly) berkata: “Rasulullah telah memutuskan dengan hukuman dera dan pengasingan. Sedang di dalam al-Qur’an tidak disebutkan hukuman pengasingan. Maka dengan ini jelaslah bahwa Sunnah Rasulullah juga dapat dikatakan sebagai Kitabullah. Fahamilah.”


DALIL KETIGA: PENDAPAT PARA ULAMA

1. Hassan bin ‘Athiyyah rahimahullah, seorang tabi’in yang mulia berkata: “Jibril turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm dengan membawa Sunnah, sebagaimana dia turun dengan membawa al-Qur’an. Jibril mengajarkan As-Sunnah kepada beliau, sebagaimana dia mengajarkan al-Qur’an kepada beliau”. [HR. Darimi (1/145), Al-Khathib di dalam Al-Kifayah (hal:12), dan di dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih (1/91) dengan sanad yang shahih, dan lainya. –Kami ringkas takhrijnya-red]

2. Al-Khathib al-Baghdady rahimahullah berkata di dalam “Al-Faqih wal Mutafaqqih (1/90-91): “Sebagaimana ahlul ilmi mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membuat/menetapkan Sunnah kecuali dengan wahyu.” Dan dia menukilkan hal itu dari generasi Salaf yang mulia seperti, Thawus al-Yamany, Hasan bin ‘Athiyyah, al-Auza’i, dan lainnya.

3. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam “Mukhtashar Ash-Shawaa’iqul Mursalah” (2/340): “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menurunkan al-Hikmah kepada nabi-Nya sebagaimana Dia telah menurunkan al-Qur’an kepada beliau. Allah memberikan karunia itu untuk kaum Mukminin. Dan yang dimaksud al-Hikmah adalah As-Sunnah sebagaimana dikatakan banyak Salaf. Pendapat mereka ini benar, karena Allah Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Al-Hikmah (sunnah Nabimu). [Al-Ahzab: 34]

Allah menyatakan bahwa yang dibacakan (di rumah-rumah istri Nabi-red) ada dua macam. Pertama adalah ayat-ayat Allah, yaitu Al-Qur’anul Karim. Yang kedua adalah al-Hikmah yaitu As-Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an sebagaimana dalam sabda beliau:

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Sesungguhnya aku diberi al-Kitab (al-Qur’an) dan yang semisalnya bersamanya.
Al-Auza’i berkata dari Hassan bin ‘Athiyyah: “Jibril turun kepada Rasul dengan membawa al-Qur’an dan As-sunnah. Dia mengajarkan As-Sunnah kepada beliau sebagaimana dia mengajarkan As-Sunnah.”

Sebagaian orang beranggapan bahwa hadits-hadits itu sama sekali tidak memiliki faedah ilmu. Padahal Jibril pula yang membawa turun hadits-hadits itu dari sisi Allah kepada beliau, sebagaimana dia membawa al-Qur’an. Ismail bin ‘Abdillah berkata: “Sepatutunyalah kalian menjaga apa yang datang dari Rasulullah, karena segala sesuatu dari beliau kedudukannya seperti al-Qur’an.”

Dan Ibnul Qayyim berkata lagi pada halaman lain (2/369/370): “Sedangkan orang-orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits beliau berisikan faedah ilmu, berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[An-Najm: 3-4]

Allah juga berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya:

إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ

Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. [Yunus: 15]

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [Al-Nahl: 44].

Mereka berkata: “(Dari dalil ayat-ayat di atas) dapat dimengerti bahwa setiap ucapan Rasulullah n dalam urusan diin, semuanya adalah wahyu dari sisi Allah. Dan setiap wahyu dari sisi Allah merupakan Adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Allah. Allah Ta’ala telah berfirman:

وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan Allah Ta’ala Allah Ta’ala Al-Hikmah [An-Nisa’: 113]

Al-Kitab adalah al-Qur’an dan al-Hikmah adalah As-Sunnah. Nabipun juga telah bersabda:

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya.
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengatakan bahwa beliau diberi as-Sunnah sebagaimana beliau diberi al-Kitab. Dan Allah sendiri telah menjamin untuk tetap menjaga apa yang Dia wahyukan kepada beliau. Allah menurunkan Sunnah kepada beliau dengan tujuan untuk menegakkan hujjah-Nya atas seluruh hamba sampai akhir masa. Mereka juga mengatakan: “Jika pada hadits-hadits beliau ada kedustaan niscaya datangnya bukan dari sisi Allah. Dan tidak termasuk apa yang Allah turunkan, dan tidak termasuk apa yang Dia berikan kepada beliau sebagai penjelas dan keterangan terhadap Kitab-Nya. Karena bagaimana mungkin bisa tegak hujjah-Nya atas mahluk-Nya jika hal itu merupakan kedustaan?! Karena itu sesungguhnya Sunnah berlaku sama halnya dengan al-Kitab, dan menjelaskan maksudnya. Sunnah itulah yang memaparkan kehendak Allah dalam al-Kitab kepada kita. Andai saja pada hadits-hadits beliau ada kedustaan atau kekeliruan, niscaya runtuhlah hujjah Allah atas hamba-hamba-Nya.”

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam “Al-Iman” halaman 73: “Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi wahyu al-Qur’an dan wahyu lain yaitu al-Hikmah, sebagaimana sabda beliau:

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya.
Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Jibril turun kepada beliau dengan membawa As-Sunnah kemudian mengajarkannya kepada beliau, sebagaimana dia mengajarkan al-Qur’an.”

5. Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsirnya (1/3): “Sunnah turun kepada beliau juga lewat wahyu seperti turunnya al-Qur’an. Hanya saja Sunnah tidak dibacakan, beda dengan al-Qur’an yang dibacakan.”

6. Abul Baqa’ berkata di dalam “Kulliyyah-nya” halaman 288: “Dan kesimpulannya bahwa al-Qur’an dan al-Hadits sama-sama wahyu yang diturunkan dari sisi Allah, berdasarkan dalil:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. [An-Najm: 3-4].

Hanya saja keduanya mempunyai perbedaan, yaitu dari segi bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai mu’jizat [1] dan tahaddi (tantangan) [2] sedangkan hadits tidak. Sebagian Sunnah ada yang diturunkan lewat wahyu yang jelas, seperti hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Jibril turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa as-Sunnah, diantaranya adalah:

a). Dari Shafwan bin Ya’la bin Umayyah, bahwa Ya’la pernah berkata: “Aku berharap dapat melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat wahyu diturunkan kepada beliau. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Ji’ranah, dan beliau mengenakan kain untuk berteduh bersama sebagian sahabat-sahabat beliau. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berlumuran minyak wangi dan dia berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapatmu dengan seorang laki-laki yang tengah ihram (melakukan haji atau umrah-Red) mengenakan jubah yang telah dilumuri minyak wangi?”. Beliau menanti sejenak kemudian datanglah wahyu, –‘Umar berisyarat kepada Ya’la: yaitu kemarilah!- Maka Ya’la datang dan memasukkan kepalanya. Ternyata wajah beliau dalam keadaan yang memerah dan beliau menutupinya untuk sesaat. Lalu lenyaplah hal itu dari beliau. Kemudian beliau bersabda: ”Mana tadi orang yang menanyaiku tentang umrah?”. Seseorang mencarinya dan membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Adapun minyak wangi yang engkau gunakan, maka cucilah 3x basuhan. Adapun jubahmu, maka lepaskanlah. Kemudian lakukanlah dalam umrahmu sebagaimana engkau melakukan dalam hajimu.” [HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya –Kami ringkas takhrijnya-Red]

b). Dari ‘Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Telah sampai berita kedatangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah pada Abdullah bin Salam. Lalu dia mendatangi beliau dan berkata: “Sesungguhnya aku akan bertanya kepada anda tentang tiga perkara, yang tidak mengetahuinya kecuali Nabi.” Lalu dia bertanya: “Apa tanda hari kiamat yang pertama, makanan apa yang pertama dimakan oleh ahlul Jannah, bagaimana seorang anak mirip dengan bapaknya, dan bagimana pula seorang anak mirip dengan ibunya?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tadi Jibril telah mengabariku dengan semua itu.” Anas berkata: Abdullah berkata: “Dialah (Jibril) musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Beliau bersabda lagi: “Adapun tanda hari kiamat yang pertama adalah adanya api yang menggiring manusia dari arah timur menuju arah barat. Adapun makanan pertama yang dimakan ahli Jannah adalah tambahan hati ikan. Sedang kemiripan pada anak, jika seorang suami menggauli isterinya kemudian maninya yang keluar lebih dulu, maka anak itu mirip dengan bapaknya. Dan jika air mani isteri yang keluar lebih dulu, maka anak itu mirip dengan ibunya.” Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah”. Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya bangsa Yahudi adalah kaum yang suka membuat kedustaan. Jika mereka mengetahui keislamanku sebelum engkau menanyai mereka, niscaya mereka akan membuat kedustaan tentang aku terhadapmu.” Lalu datanglah orang-orang Yahudi, dan Abdullah masuk ke dalam rumah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Menurut kalian siapakah Abdullah bin Salam itu?”. Mereka menjawab: “Dia orang yang paling alim di antara kami, dan anaknya orang yang paling alim di antara kami. Orang yang paling baik di antara kami, dan anaknya orang yang paling baik di antara kami.” Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian jika dia masuk Islam?” Mereka menjawab: “Semoga Allah melindunginya dari hal demikian.” Lalu Abdullah keluar kepada mereka dan berkata: ”Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang haq) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Maka mereka berkata: “Dia orang terburuk di antara kami,dan anaknya orang terburuk diantara kami.” Dan mereka mencela Abdullah bin Salam. [HSR. Bukhari, Muslim dan Ahmad].

Sebagian Sunnah yang lain lewat wahyu yang tidak jelas, seperti tiupan di dalam hati. Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda: “Sesungguhnya Roh Kudus (Jibril) meniupkan di hatiku, bahwa satu jiwa tidak akan mati sebelum sempurna ajal dan rezekinya. Maka takutlah kalian kepada Allah dan baguskanlah di dalam mencari rezeki. Dan janganlah keterlambatan rezqi menyebabkan salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara maksiat pada Allah. Karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak bisa diraih kecuali dengan ketaatan pada-Nya.” [Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:2081].

Contoh yang lain adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar). Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘anha , dia berkata: “Wahyu yang pertama kali datang pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm adalah lewat mimpi yang benar, tidaklah beliau bermimpi kecuali datanglah apa yang beliau mimpikan, seperti (jelasnya) cuaca subuh.” [Potongan hadits shahih, riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya]
Sunnah termasuk Adz-Dzikr (peringatan) yang terjaga.

Ketahuilah -wahai orang yang mendapatkan bimbingan menuju kebenaran dengan idzin Allah-, bahwa Sunnah Muthaharah akan senantiasa terjaga karena dijaga oleh Allah Ta’ala. Berikut ini dalil-dalil perkataan kami ini (yang menunjukkan terpeliharanya Sunnah):
Dalil Pertama: Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (peringatan), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

Sesungguhnya ayat yang mulia ini menunjukkan terpeliharanya Sunnah, baik secara kepastian/langsung dan konsekwensi. Adapun dari segi kepastian/langsung adalah bahwa Sunnah merupakan wahyu dari Allah, sebagaimana telah lewat penjabarannya, sedangkan wahyu adalah dzikrun munazzalun (peringatan yang diturunkan). Karena istilah dzikr (peringatan) mencakup segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan dari segi konsekwensi, bahwa Allah menjamin pengumpulan al-Qur’an sekaligus pemeliharaannya. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.
[Al-Qiyamah: 17]

Ibnu Jarir berkata di dalam Tafsirnya (29/118): “Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan Al-Qur’an di dalam dadamu, wahai Muhammad, sehingga Kami akan mengokokohkannya di dalam dadamu.”

Kemudian Allah menjamin keterangan Al-Qur’an dan penjelasan (ayatnya yang ) global, yaitu Allah berfirman:

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.
[Al-Qiyamah: 17]

Ibnu Jarir berkata di dalam Tafsirnya (29/119): “Yakni penjelasan apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an secara terperinci kepadamu wahai Muhammad, tentang halalnya, haramnya serta hukum-hukumnya.”
Dan Sunnah sebagai penjelas untuk Kitabullah, karena Rasulullah sendiri diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur’an kepada manusia, sebagaimana tertera di dalam ayat (44) dari surat an-Nahl. Oleh karena itu bahwa Allah yang telah menjamin untuk menjaga (Al-Qur’an) “yang dijelaskan”, maka Dia juga menjamin untuk menjaga (As-Sunnah) “yang menjelaskan”. Seandainya penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Sunnah) terhadap (Al-Qur’an) yang global itu tidak terjaga atau tidak terjamin keselamatannya, niscaya lenyaplah manfaat nash al-Qur’an (yang global-red) sehingga batal pula syariat-syariat yang diwajibkan pada kita di dalamnya (al-Qur’an).”


Pandangan para ulama rabbani di kalangan umat ini, di antaranya:

1. Ibnu Hazm rahimahullah.

Beliau berkata di dalam “Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam” (1/121-122): “Allah Ta’ala berfirman perihal Nabi-Nya:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[An-Najm: 3-4]

Dia juga memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengatakan:

إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ

Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. [Yunus: 15]

Dan Dia berfirman pula:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Peringatan), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An-Nahl: 44]
Maka jelas bahwa semua ucapan beliau adalah wahyu yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla dan tidak diragukan lagi.

Tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa dan syariat bahwa wahyu yang datang dari Allah adalah “peringatan yang diturunkan”. Dan seluruh wahyu sudah pasti terjaga dengan penjagaan Allah. Dan segala sesuatu yang ditanggung penjagaannya oleh Allah sudah tentu terjamin, yaitu tidak akan sia-sia dan tidak akan dirubah-rubah sedikitpun darinya selamanya. Tidak mungkin dirubah dengan perubahan yang tidak ada penjelasan tentang kebathilan perubahan tersebut. Karena jika saja ini sampai terjadi, sungguh kalamnya Allah dusta belaka serta jaminan-Nya pun lenyap. Hal ini tidak mungkin terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itulah sudah pasti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad n kepada kita akan senantiasa terpelihara dengan penjagaan Allah Ta’ala, dan terus tersampaikan kepada setiap orang yang mencarinya sampai berakhirnya dunia ini. Allah berfirman:

لأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

Supaya dengannya (al-Qur’an) aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya). [Al-An’aam: 19]

Jika hal itu memang demikian, maka kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa tidak ada jalan sama sekali untuk mencampur wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan kebathilan palsu yang tidak dapat dibedakan secara yakin oleh seorang manusia. Jika hal ini terjadi, berarti dzikir (peringatan; wahyu; Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang diturunkan tidak terjaga. Dan berarti bahwa firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikir, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

Merupakan kedustaan dan janji yang diselisihi. Tentulah hal itu tidak akan dikatakan oleh seorang muslim-pun.

2. Ibnul Qayyim rahimahullah.

Beliau menukil perkataan Ibnu Hazm di atas tadi dan membenarkannya serta menganggap bagus perkataan itu di dalam “Mukhtashar Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal Mu’athhilah” (2/389). Ibnul Qayyim berkata: “Apa yang dikatakan Abu Muhammad (Ibnu Hazm) benar, yaitu mengenai hadits (Sunnah) yang diterima secara amalan dan keyakinan oleh ummat baik. Bukan hadits gharib (asing; aneh; yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad-red) yang tidak dikenal penerimaan umat terhadapnya.”

3.Ibnul Wazir Al-Yamany rahimahullah.

Beliau berkata di dalam “Ar-Raudhul Baasim Fidz Dzabbi ‘an Sunnati Abil Qasim” (1/32-33): “Allah Ta’ala berfirman dalam mensifati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) [An-Najm: 3-4].

Pada ayat lain yang Dia wahyukan pada beliau:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

Ini berarti bahwa syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara, dan Sunnah beliau senantiasa terjaga. Maka bagaimana bisa ada orang yang menentang Ahlu Sunnah, membisik-bisikkan keburukan di hati orang-orang yang mencintai untuk tetap menjaga Sunnah, dan menghalangi jalan orang-orang yang berusaha mengetahui lafadz dan maknanya!”

4. Abdullah bin Al-Mubarak pernah ditanya: “Tidakkah engkau khawatir hadits ini dirusak oleh mereka?”. Beliau menjawab: “Sama sekali tidak! (kalau sampai demikian) dimanakah para pakar (hadits)?! (Dan Allah telah berfirman):

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 9]

Aku (Syaikh Saliem bin Ied Al-Hilaly) berkata: “Ucapan Abdullah bin Al-Mubarak ini diambil dari hadits Rasulullah yang bunyinya:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka akan melenyapkan perubahan orang-orang yang melampaui batas darinya (ilmu), melenyapkan kedustaan orang-orang yang bathil, serta ta’wilnya orang-orang yang bodoh.” [Hadits Hasan dengan seluruh sanadnya, riwayat Al-Baihaqi, Ibnu ‘Adi, Al-‘Uqaili, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Imam Ahmad. Dihasankan oleh Al-Hafizh Al-‘Ala’i, Ibnul Wazir Al-Yamani, Al-Qash-thalani, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Kami ringkas takhrijnya-Red]

(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq, dari majalah Al-Ashalah no:17/III/15 Dzulhijjah, hal: 16-26)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]


Catatan Kaki:
[1]. Yang di maksud di sini yaitu perkara-perkara luar-biasa yang ada di dalam Al-Qur’an, yang tidak bisa ditandingi oleh orang-orang yang tidak mempercayainya, sehingga melemahkan dan memaksa mereka untuk beriman terhadapnya.-Red
[2]. Seperti tantangan Allah di dalam Al-Qur’an –surat Al-Baqarah:23- terhadap orang-orang yang meragukannya untuk membuat satu surat seperti Al-Qur’an-Red

(Menggapai-Kebenaran/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: