Dalam membincang relasi Islam dan pranata sosial sebagaimana banyak orang mengidam-idamkan sebuah peradaban yang madani, ternyata kita tak perlu menilik jauh hingga 15 Abad. Konon, tak lama setelah Rasulullah SAW wafat, kondisi masyarakat telah sangat berubah. Pemerintah Umayyah dan Abbasiyah mereduksi Islam menjadi empty shell (kerangka yang kosong). Pemerintahan yang dinastik dijalankan, kebijakan yang menindas diterapkan. Konsep taqwa yang agung hanya menyisakan laku-laku ibadah yang ritualistik. Khalifah Utsman memusatkan kekayaan pada segelintir orang, hingga hilanglah kata “adil” yang merupakan inti kehidupan di dunia. Islam sebagai teologi pembebasan tiba-tiba musnah, kembali ke masa Pra-Kenabian.
Sepeninggal Rasulullah SAW, umat kebingungan atas segala kebaruan yang dibawa oleh industrialisasi serta modernisasi. Para fuqaha yang dijadikan rujukan mulai berbeda pendapat, umat terdiaspora sonder keyakinan, sedang para pemimpin terperosok dalam perilaku bermegah-megahan. Lalu, bagaimana teologi Islam setelah melewati abad pencerahan hingga era kapitalisme mutakhir yang melahirkan instrumen komunikasi seperti media sosial dan gawai? Dunia yang per menitnya, menurut data Exelacom,Inc. memiliki 2,78 juta views untuk youtube, 2,4 juta search queries untuk google, 701.389 facebook login, 51.000 app downloads dari App Store, dan 150 juta email sent?
Kita dapat membuat batas dan bercerai dengan teknologi, tetapi, ingatlah, dunia akan tetap bergerak maju dan dinamis. Dalam dunia jurnalistik daring, muncul situs-situs Islam yang mengeksploitasi perbedaan keagamaan dan sektarian. Situs radikal ini menyuarakan ekstremisme agama dan mengumandangkan konflik-konflik geopolitik-ekonomi (bahkan dari negeri asing) yang dipersepsi sebagai konflik atas dasar agama. Adanya situs-situs ini mengakibatkan munculnya dua gelombang kaum beragama, yakni pertama, Muslim yang terindoktrinasi nilai Islam yang sarat kekerasan dan kedua, Muslim (dan non Muslim) yang ketakutan dengan Islam (Islamophobia).
Bejana informasi daring yang mengaku sebagai situs keislaman memiliki berbagai wajah. Selain mereka yang bahkan tidak memiliki struktur redaksi serta murni menjalankan aktivitas bisnis lewat pengelolaan situs daring dan media sosial tanpa melewati serangkaian proses jurnalisme media, adalah mereka yang merasa sedang melakukan tugas-tugas dakwah. Tugas dakwah mereka lakukan dengan menebar ketakutan, propaganda kebencian, dan bibit-bibit terorisme.
Umat Islam yang penuh kebencian dan penuh ambisi menguasai liyan bertentangan dengan semangat Islam sebagai teologi pembebasan yang mampu melahirkan ilmu pengetahuan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Islam sebagai ilmu adalah Islam yang mampu menghadirkan kebaikan bagi kehidupan. Selama ini, kita terpaku pada defense mechanism atas ketertinggalan kita dalam bidang IPTEK, misalnya penemuan komputer oleh Alan Turing yang seorang gay atau Mark Zuckerberg penemu facebook yang seorang yahudi tanpa memiliki semangat untuk membangun kembali peradaban keilmuan kita sendiri. Kita menebar ketaksukaan, menyeru pemboikotan, tapi tak kuasa dengan arus kemajuan hingga tetap saja memanfaatkan berbagai kemudahan yang difasilitasi oleh zaman.
Publik internet yang bijak tidak menjadikan Islam mazhab media sosial sebagai ujung pencarian. Kita mesti menempatkan media sosial sesuai fungsinya sebagai platform terbuka bagi informasi. Ruang agama ada dalam majlis taklim dengan guru ulama yang alim dan saleh. Ya, saleh. Sebagaimana maksud diutusnya Rasul dalam Innama bu’ist-tu li utammima makarimal akhlaq. Kata innama dalam kaidah bahasa Arab dipahami sebagai “adatu hashr”, yakni kata-kata yang hanya menjelaskan satu maksud dan meniadakan yang lain. Maknanya, Rasulullah SAW diutus hanya semata menyempurnakan akal budi manusia. Indahnya akhlak adalah landasan dakwah kemanusiaan yang tidak boleh dikorbankan dalam menegakkan ijtihad apapun.
*Kalis Mardiasih. Beralamat di kalis.mardiasih@gmail.com
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email