Pesan Rahbar

Home » » Ya'juj dan Ma'juj di Zaman Modern, Dalang Pemimpin Sebagaian Dari Bani Israel

Ya'juj dan Ma'juj di Zaman Modern, Dalang Pemimpin Sebagaian Dari Bani Israel

Written By Unknown on Tuesday 19 July 2016 | 13:38:00


Oleh: DR. Tammam Adi

Saat ini kita sedang menyaksikan penghancuran dunia dalam skala global. Merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan penjelasan dan pemahaman mengenai hal ini dan apa-apa yang dapat kita lakukan. Oleh karena itu cendekiawan-cendekiawan dan sarjana-sarjana agama sedang berkompetisi untuk menyediakan jawabannya. Agama yang dapat menyediakan jawaban yang benar dan berguna akan menjadi legitimasi kebenaran agama itu bagi orang-orang yang mencari kebenaran.

Sarjana Muslim menempatkan Islam dalam posisi yang terpuruk karena memberikan alibi terhadap tersangka pelaku perusakan ini. Mereka mengatakan bahwa Yajuj dan Majuj, sebuah kekuatan perusak yang tak terkalahkan, masih terkungkung di balik sebuah penghalang.

Kepercayaan ini membuat Muslim terlihat sebagai orang yang paling bodoh, rumahnya akan segera roboh karena rayap telah menggerogoti dindingnya. Masih saja, orang ini dapat tidur di malam hari, berterima kasih kepada Allah karena laporan dari pembasmi hama yang mengatakan bahwa tidak ada satu rayap pun di rumahnya.

Allah subhanahu wata’aala berjanji akan menjaga Al-Qur’an. Namun Allah tidak berjanji untuk menjaga Hadist (laporan mengenai ucapan Muhammad SAW) atau tafsir(terjemahan/pengartian Al-Qur’an). Kebingungan mengenai Ya’juj dan Ma’juj (Gog and Magog) berasal dari dua sumber:
1. Menerima kesalahan dan kekeliruan tafsir
2. Menerima Hadist palsu atau kekeliruan penafsiran Hadist dimana Hadist itu berkontradiksi dengan Al-Qur’an.

Masalah yang kedua dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip bahwa Hadist yang benar hendaklah sesuai dan berdasarkan kepada Al-Qur’an. Sheikh Al-Islam Ibn Taymiyya (ra) adalah seorang sarjana Islam dibidang Al-Qur’an dan Al-Hadist. Beliau menghafalkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dapat mengeluarkan semua Hadist dan dasarnya di Al-Qur’an pada semua subjek. Beliau menggunakan dua prinsip diatas sebagai fatwanya dan dapat memberikan satu atau dua dasar di Al-Qur’an terhadap Hadist yang beliau sebutkan. Rasulullah SAW akan membacakan Hadist terhadap suatu permasalahan (yang merupakan keputusan, arahan, atau penilaian) kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dasarnya. Para sahabat (ra) juga menggunakan prinsip yang sama.

Di lain pihak, tafsir mengenai Yajuj dan Majuj telah mengandung begitu banyak kesalahan dan salah penafsiran sedemikian rupa sehingga tidak ada satu kemungkinan-pun bahwa Yajuj dan Majuj belum terlepas ke dunia. Bagaimana tanggapan Al-Qur’an mengenai hal ini? Sebaiknya kita mulai meneliti hal ini dari awal, Sheikh Imran Nazar Husein telah melakukannya.

Di dalam buku ini, Sheikh Imran Nazar Husein menantang sarjana-sarjana Muslim yang beranggapan bahwa Yajuj dan Majuj belum terlepas ke dunia. Dia menunjukkan bahwa- walaupun anggapan itu berdasar pada satu Hadist, kepercayaan ini berkontradiksi dengan Al-Qur’an. Dia menunjukkan bahwa Yajuj dan Majuj telah lama terlepas di muka bumi ini, dia menunjukkannya dengan pengamatan dan fakta-fakta sejarah yang dia hubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Selama 25 tahun, saya telah melakukan penelitian tersendiri mengenai sifat dari penafsiran Al-Qur’an (semantik Al-Qur’an). Saya mendukung metodologi Sheikh Imran Nazar Husein dalam memahami Al-Qur’an di Bab Tiga pendahuluan ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia harus dipahami dengan ta’wil Al-Qur’an. Ta’wil adalah penggunaan pemahaman analogis dari ayat-ayat Al-Qur’an dalam hubungannya dengan data politik dan sejarah. Penglihatan ta’wil Sheikh Imran Nazar Husein yang begitu berharga bukanlah didapat dari kegiatannya yang bergelut dengan data-data tersebut, namun diperoleh karena adanya dengan nur di dalam hatinya yang didapat dari Allah SWT secara terus menerus. Sheikh Imran memiliki pandangan yang benar, bahwa ta’wil alegori harus ditelaah dengan serius dalam memahami masalah spiritual yang tidak memiliki data fisik.

Dalam bagian di bawah ini saya akan menunjukkan kepada anda prinsip-prinsip dari ta’wil dan semantik Al-Qur’an. Lalu saya akan menggunakan ta’wil ini untuk mengembangkan ta’wil yang baru dalam ayat-ayat mengenai Ya’juj dan Ma’juj serta pola dan karakter mereka. Sebagian besar ta’wil saya ternyata sama dengan dengan ta’wil dari Sheikh Husein mengenai perihal yang sama. Kedua ta’wil itu menunjukkan bahwa jika kita menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dalam memahami realitas, maka, dapat disimpulkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah lama terlepas ke dunia.

Royal Arcade Ya’juj Wa Ma’juj di Melbourne Australia

Ta’wil: prinsip-prinsip semantik Al-Qur’an

Untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, orang harus mengetahui, bahwa Allah SWT, dan bukannya orang Arab, yang menciptakan bahasa Arab. Inilah mengapa orang-orang Arab tidak dapat membuat sebuah ayatpun yang dapat menyaingi ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan jika hanya sebuah Surah yang pendek.

Cara Allah menggunakan bahasa Arab di dalam Al-Qur’an sangatlah berbeda dengan cara orang-orang Arab dalam menggunakan bahasa Arab. Bangsa Arab selalu membuat kesalahan dalam menggunakan termin-termin dalam bahasanya sendiri. Bahkan sastrawan-satrawan Arab, leksikografer (pembuat kamus), dan mufassirun (penafsir Al-Qur’an) sering salah faham, dan salah pengertian dalam menggunakan bahasa Arab. Di lain pihak, Allah SWT, menggunakan bahasa Arab dengan sempurna dan jelas, suatu bahasa yang mengartikan dirinya sendiri (wa haadha lisaanun ‘arabiyyun mubiin, Al-Qur’an, An-Nahl, 16:103).

Oleh karena itu, pembelajaran penafsiran Al-Qur’an, semantik Al-Qur’an, harus berdasarkan kepada Al-Qur’an itu sendiri. Saya sudah lama mengembangkan teori-teori semantik Al-Qur’an. Baru-baru ini saya mengetahui bahwa, Dr. Fazlur Rahman Ansari (r. a) (guru dari Sheikh Husein), memiliki keyakinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an membentuk sistem makna yang secara konsisten menghubungkan ayat-ayat itu satu sama lain, dan masing-masing berfungsi menjelaskan satu sama lain. Hal ini juga merupakan pengalaman yang sering saya temui.

Satu ayat yang diartikan dengan mandiri dan berdiri sendiri seringkali ambigu dan memiliki multi arti. Contoh, daraba berarti memukul, mengajukan argumen, memaksa, berjalan menuju, dan lain-lain. Semua arti-arti ini adalah rumus-rumus yang dapat digunakan dalam berbagai cara untuk membentuk sebuah model situasi (pukul batu itu dengan tongkat kamu, malaikat memukul muka mereka). Basis dari kecerdasan manusia adalah fleksibilitas dua dimensi seperti ini (multi arti, masing-masing dengan rumusan yang multi guna). Hal ini menyebabkan pikiran mengelana, menyelami dan meneliti. Inilah kekuatan yang diberikan Allah SWT kepada Adam (a. s), dan karena kekuatan ini Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Adam (a. s) tanpa mempertimbangkan hormat.

Untuk membuat sebuah termin menjadi berguna (daraba), maka harus terjadi dua hal:
1. Letakkan termin tersebut pada sebuah kontek yang akan membatasi maknanya. Letakkan termin ini pada sebuah kalimat (kontek). Sebagai contoh, wa daraba lanaa mathalan… (dia mengajukan argumen kepada kita dengan cara analogi [perumpamaan], Al-Qur’an, Yasin, 36:78). Isi kontek sering akan membatasi pilihan makna, dan mungkin hanya satu (mengajukan argumen). Namun dalam tahap ini, satu makna adalah rumusan yang luas dengan banyak tujuan kemungkinan aplikasinya (argumen yang belum diketahui tujuannya). Dalam tahap ini biasanya terlalu abstrak untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat.
2. Hubungkan makna dari rumusan tadi kepada realitas (ta’wil). Dengan ijin Allah, seseorang dapat menghubungkan makna dari rumusan tadi sesuai dengan konteknya dengan realitas dan kenyataan di lapangan. Ayatnya kemudian mengatakan: wa nasiya khalqahu qaala man yuhyil ‘idhaama wa hiya rameem (dia lupa bagaimana penciptaan dirinya sendiri; dia berkata, “siapa yang dapat membuat tulang yang berserakan menjadi hidup (manusia)?”. Dengan menghubungkannya dengan situasi sebenarnya, rumusan makna (mengajukan argumen) menjadi bermanfaat. Sekarang kita dapat menggunakan rumusan yang baru untuk menjelaskan realitas (seseorang yang lupa akan penciptaan dirinya, mengajukan argumen analogis, mengenai mengubah tulang berserakan menjadi manusia), dan kemudian untuk menanganinya (memahami analogi tersebut dan menjadi jelas bahwa hal itu adalah salah). Hubungan antara rumusan makna dan realitas inilah yang disebut sebagai realisasi dari rumusan makna atau ta’wil.

Rumusan makna biasanya memungkinkan ditariknya ta’wil analogis: menghubungkan suatu hal di dunia realitas yang memiliki persamaan dengan rumusan makna. Inilah dasar dari pemahaman analogis yang merupakan alat utama dalam pemikiran dan jurispudensi. Dalam situasi realitas yang berbeda, rumusan makna yang sama bisa menghasilkan ta’wil yang berbeda, tergantung dari panduan yang kita terima dari Allah (nur).

Tergantung dari konteknya, ta’wil alegori merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan: menghubungkan kepada sesuatu hal yang memiliki persamaan dengan rumusan makna namun memiliki realitas yang berbeda. Mimpi yang nyata dan rumusan makna spiritual seringkali merupakan sebuah alegori. Realitas spiritual berbeda dengan realitas fisik. Lagi pula, ta’wil alegori menjadi hal yang penting karena realitas dunia ini yang menipu dan tidak final (tidak dalam realitas akhirnya, mataa’ul ghuroor: melihat dan mengalami tipu daya). Realitas hanya dapat menjadi absolut faktual dan final di akhirat.

Namun Allah dapat menghalangi hubungan antara rumusan makna dan realitas sebenarnya. Ayat “fa darabna ‘alaa aadhaanihim fil kahfi sineena ‘adadaa” (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:11) diterjemahkan sebagai: Oleh karena itu, kami membuat mereka “tidur” di dalam gua untuk waktu yang lama (tahun) dengan melakukan “daraba”, sesuai yang tidak dijelaskan, yang terjadi pada telinga mereka. Ta’wil dari rumusan makna yang mustahil. Kita tidak diberitahu mengenai realitas (apa yang Allah lakukan) yang terjadi terhadap telinga mereka. Kita tidak dapat menghubungkan rumusan makna (darabnaa ‘alaa aadhaanihim, kami “memukul” atau “menutup rapat” atau “menempatkan sesuatu” pada telinga mereka) dan realitas tentang apa yang Allah lakukan kepada telinga mereka. Ayat seperti ini disebut mutashabih (memiliki realitas yang tidak sama dengan realitas kita). Hanya Allah yang mengetahui ta’wil dari ayat-ayat seperti ini. Ketika orang yang keras hati mengejarnya, mereka hanya dapat menebak-nebak saja, tebakan mengenai akhirat, sehingga mereka menciptakan sekte, dan konsep-konsep palsu atau kenabian palsu.

Semua topik-topik penting di dalam Al-Qur’an ditetapkan dalam suatu kontek atau beberapa kontek (ayat-ayat mengenai suatu topik) yang membatasi pilihan makna, dan memungkinkan kita untuk menghubungkan rumusan makna dengan situasi kenyataan atau realitas. Disinilah ta’wil menjadi mungkin. Bagian di bawah ini yang berjudul “Apa itu Fassad?” menjelaskan pendekatan ini.

Jika sebuah ayat memiliki ta’wil baik analogis maupun alegoris, maka ayat tersebut disebut muhkam (berarti: kokoh, Al-Qur’an, Al-Imran, 3:7). Makna dari ayat-ayat yang muhkam seringkali menimbulkan ta’wil analogis, dan sebagai konsekuensinya, kelanjutannya adalah pemahaman analogis. Namun dibeberapa ayat-ayat muhkam, hanya bisa dilakukan ta’wil alegori.

Ayat-ayat muhkam adalah dasar dari Al-Qur’an (ummul kitab). Ayat-ayat ini adalah bagian dari janji Allah yang akan menjaga Al-Qur’an. Ayat-ayat ini adalah kerangka kerja, sistem makna, yang menjaga dan mengatur ta’wil dari pesan-pesan dan peraturan-peraturan penting yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Allah menginginkan masing-masing Muslim, bukan hanya sarjana dan ulama, untuk menggunakan ayat-ayat muhkam dalam melakukan ta’wil, menghubungkan ayat-ayat itu kepada realitas kehidupan kita, dengan berdasarkan pada kamampuan mental kita, dan dengan cahaya (nur) dari Allah, dan dengan pertolonganNya (taufik), dalam rangka menilai realitas yang telah ditetapkan Allah (hukm bi maa anzalallah). Ini termasuk seluruh aspek realitas, tidak terbatas pada apa yang terdapat di kitab fiqih (penafsiran hukum).

Seperti apa yang telah diutarakan banyak sarjana Islam, pemegang kekuasaan Muslim, diharapkan dapat mengaplikasikan ayat-ayat muhkam kepada realitas politik dan sosial, dimulai dari masa Dinasti Umayyah. Oleh karena itu, seharusnya, saat ini sudah banyak tafsir yang harus disensor.

Jika Ya’juj dan Ma’juj di lepaskan di bumi sesaat sebelum masa Islam, bukankah mereka sudah akan mulai berusaha menghancurkan kekuatan Muslim? Rasulullah (SAW) mengatakan bahwa Umar (ra) adalah seperti pintu gerbang yang tertutup rapat diantara Muslim dan gelombang-gelombang fitnah (perlawanan terhadap kebenaran yaitu Islam, Yajuj dan Majuj), dan bahwa gerbang ini suatu saat ini akan dihancurkan dan tidak dapat ditutup kembali. Bukankah Ya’juj dan Ma’juj telah menghancurkan pintu gerbang itu dengan membunuh Umar (ra)? Bukankah mereka akan mensensor semua diskusi dan literatur Islam mengenai Ya’juj dan Ma’juj seperti halnya Zionist mensensor semua diskusi, literatur dan media massa yang membicarakan mereka dengan menyebut hal itu sebagai anti semit?


Yajuj dan Majuj: bangsa yang memiliki kekuatan menghancurkan dan berkemampuan menjadi satu-satunya adikuasa.

Imperium Nabi Dzulkarnain a. s adalah adikuasa yang tak terkalahkan dengan teknologi yang tak terbatas (innaa makkanna lahuu fil ardi wa aataynahu min kulli shay’in sababaa, Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:84). Dia mengalahkan semua bangsa yang ada saat itu, dari ujung Barat sampai ujung Timur, dimana ia menghargai mereka-mereka yang shaleh dan menghukum mereka-mereka yang menindas (tidak adil) dan tidak bermoral (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:85-91). Ketika dia sampai di suatu tempat, di sebuah celah di barisan gunung tinggi yang membatasi dua wilayah bumi (assaddain, Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:93), penduduk di daerah itu meminta dia untuk menolong mereka.

قَالُواْ يَـٰذَا ٱلۡقَرۡنَيۡنِ إِنَّ يَأۡجُوجَ وَمَأۡجُوجَ مُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَهَلۡ نَجۡعَلُ لَكَ خَرۡجًا عَلَىٰٓ أَن تَجۡعَلَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ سَدًّ۬ا

“Mereka berkata, ‘Wahai Dzulkarnain, [bangsa] Ya’juj dan Ma’juj adalah pelaku kerusakan di bumi [atau pelaku perusakan global, mufsiduuna fil ard]. Apakah kami harus menetapkan pajak untuk kamu agar kamu merubah (taj’ala) apa yang kini berada diantara kami dan mereka [barisan gunung tinggi, assaddain, yang memiliki celah diantara keduanya, sehingga tidak menjadikan barisan gunung itu satu kesatuan penghalang] menjadi sebuah penghalang [saddan, satu penghalang tanpa celah]?” (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:94).

Seseorang mungkin berpikir bahwa Dzulkarnain a. s akan menyerang Ya’juj dan Ma’juj dan menaklukan mereka seperti apa yang ia lakukan terhadap para penindas lainnya yang telah ia taklukan. Tetapi, dia tidak melakukannya dan menyetujui permintaan untuk merubah barisan gunung itu menjadi penghalang untuk Ya’juj dan Ma’juj dengan menambal celah yang terdapat di barisan gunung itu (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:95). Ini berarti bahwa Dzulkarnain a. s mengetahui bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak dapat dikalahkan oleh manusia, walaupun oleh dirinya sendiri sebagai adikuasa dunia yang memiliki teknologi unggul yang tak terbatas. Ini juga berarti bahwa Ya’juj dan Ma’juj memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menjadi satu-satunya penguasa dunia di kemudian hari. Di dalam Bab Empat buku, Sheikh Imran Nazar Hosein memasukkan keterangan ini dalam penjelasannya mengenai sifat dan profil dari Ya’juj dan Ma’juj.

Al-Radm: penghalang Ya’juj dan Ma’juj yang terdiri dari barisan gunung dan celah diantaranya yang ditambal oleh Dzulkarnain

Ya’juj dan Ma’juj hanya dapat bergerak keluar dari lingkungan mereka melalui celah yang berada diantara dua barisan gunung yang tinggi dan berbentuk seperti tembok penghalang (assaddain, Al-Qur’an, Al-Kahfi 18:93) dan menyerang tetangga mereka yang terletak di bagian lain dari dua barisan gunung penghalang itu.

Masyarakat yang menjadi korban ya’juj dan Ma’juj meminta Dhul Qarnain untuk merubah (taj’ala) celah memisahkan mereka dengan Ya’juj dan Ma’juj (baynana wa baynahum, barisan gunung yang memiliki celah sebagai jalan tembus) menjadi sebuah penghalang (saddan, Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:94). Dia menjawab: “aj’al baynakum wa baynahum radman,” saya akan menambal celah diantara kalian dan mereka (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:95). Dzulkarnain a.s menutup celah di barisan pegunungan itu dengan besi yang dipanaskan dan dicairkan yang kemudian sesudah mengering dilapisi dengan perunggu yang dipanaskan dan dicairkan. Penghalang bagi Yajuj dan Majuj terdiri dari barisan gunung dan tambalan celah yang dibuat oleh Dzulkarnain a. s (Al-Radm).

Jika seseorang menggunakan sepatu yang ada tambalannya, kita mengatakan bahwa dia memakai radman (sesuatu yang ditambal). Karena kalimat, “aj’al baynakum wa baynahum radman” (saya akan merubah apa-apa yang berada diantara kalian dengan mereka menjadi sesuatu yang ditambal), akan sangat keliru jika kita menganggap radman adalah tambalannya saja. Tata bahasa yang keliru telah mengakibatkan banyak ulama dan peneliti mengambil kesimpulan yang salah. Klarifikasi di atas memungkinkan adanya ta’wil yang benar.

Di dalam Bab Lima buku, berdasarkan ta’wil dari Al-Quran, Surah Al Kahfi, 18:93-97 Sheikh Imran Nazar Hosein menunjukkan letak geografi lokasi dari radman ini. Barisan gunung bercelah itu terletak dibagian Timur dan Barat Pegunungan Kaukasus, yang dipisahkan oleh celah sempit yang disebut Daryal Gorge. Barisan Pegunungan Kaukasus membentang dari Laut Hitam di Barat dan Laut Kaspia di Timur.

Sebelum Islam, telah tercipta lubang besar – sebuah celah lebar terbentuk akibat dari merosotnya ujung pegunungan itu ke dalam Laut Kaspia

Allah menyatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak dapat memanjat tembok penghalang yang diciptakan Dzulkarnain itu (famastaa’uu an yazharoohu wa mastataa’uu lahuu naqba, AL-Qur’an, Al-Kahfi, 18:97). Dzulkarnain a. s mengetahui bahwa penghalang itu hanya bisa dijadikan perlindungan sementara. Dia berkata, atas kehendak Allah, “Penghalang ini [Al-Radm, barisan pegunungan yang ditambal] adalah rahmat dari Allah, namun ketika janji dari Allah datang, maka dia akan membuatnya menjadi dakkaa’ [dakkaa’ = ‘runtuh’ atau ‘hancur’]” (qaala haadha rahmatun min rabbii, fa idha jaa’a wa’du rabbii ja’alahuu dakkaa’, Al-Qur’an, Al Kahfi, 18:98).

Allah menjanjikan kepada setiap Nabi yang diutusNya bahwa Nabi yang terakhir diutusNya akan membawa Hukum terakhir (Al-Qur’an). Di dalam Taurat, hal ini disebut sebagai, ‘Janji Allah’. Janji Allah yang disebutkan oleh Dzulkarnain a. s adalah Dar Al-Islam. Beberapa dekade sebelum lahirnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad (s. a. w), sekitar 550 M, ujung dari Pegunungan Kaukasus, yaitu di bagian Timur, merosot ke dalam Laut Kaspia sehingga terjadilah celah besar di sana. Yajuj dan Majuj menggunakan celah ini untuk menyerang Persia sebelum Islam. Umar (r. a) melancarkan invasi militer terhadap Ya’juj dan Ma’juj melalui celah ini juga.

Konfirmasi dari ‘Janji Allah’ adalah Islam terdapat di banyak Hadist, dimana disebutkan bahwa Islam dan khususnya Bangsa Arab akan menjadi target (wailun lil ‘arab) karena telah tercipta celah di radm (penghalang bertambal). Yang membuat takut Rasulullah (s. a. w) adalah besarnya lubang ini, yaitu: 90 satuan, atau 90 farsakh (1 farsakh = 3.5 mil). Celah ini cukup besar untuk menampung gelombang besar Ya’juj dan Ma’juj untuk keluar dan menghancurkan Jazirah Arab. Nubuah Allah terpenuhi: “Dan pada saat itu [ketika penghalang terbuka], Kami akan membuat mereka (Yajuj Majuj), bertabrakan satu sama lain seperti ombak di lautan (wa taraknaa ba’dahum yawma idhin yamuuju fii ba’d, Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:99).

Dalam ayat lain, Ya’juj dan Ma’juj dijelaskan, “keluar dari segala bukit/ ketinggian’ (min kulli hadabin yansiluun, Al-Qur’an, Al-Anbiya, 21:96). Penggunaan kata bukit (hadabin) dalam kontek ini sangat pas sekali dengan makna dari dakkaa’= reruntuhan bukit.

Celah besar di pinggir laut ini membuat tambalan Dzulkarnain a. s, menjadi tidak begitu penting. Tambalan ini akhirnya runtuh di kemudian hari dan celah sempit Daryal Gorge akhirnya terbuka. Ya’juj dan Ma’juj telah lepas untuk melakukan kehancuran dan kejahatan massal kepada umat manusia di akhir zaman ini.


Jamannya Yajuj dan Majuj

Ketika Allah menyatakan, “dan pada hari itu, Kami akan membuat mereka bertabrakan satu sama lain seperti ombak di lautan (wa taraknaa ba’dahum yawma idhin wamuuju fii ba’ad, Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:99), apa yang dimaksud Allah sebagai “hari itu”?

Satu ‘hari’ (yaum) dari waktu Allah-Hari Ilahiah-bukanlah 24 jam, namun sebuah masa yang berlalu selama seribu tahun kalender bulan atau lebih. Hari-hari suci memiliki tempo yang berbeda-beda, namun dalam pengertian umum, satu hari suci berlangsung 1000 tahun kalender bulan, satu millenium (wa inna yauman ‘inda rabbika ka alfi sanatin mimmaa ta’udduun, Al-Qur’an, Al-Hajj, 22:47). Di dalam Bab Tiga buku, Sheikh Imran N. Hosein mendiskusikan klasifikasi hari-hari suci. Al-Qur’an sendiri mengklasifikasikan dalam 3 hari suci, yaitu:
1. Hari suci yang berlangsung selama 50.000 tahun kalender bulan dimana malaikat-malaikat naik ke hadapan Allah (Al-Qur’an, Al-Ma’aarij, 70:4). Surah Al-Ma’aarij menjelaskan apa yang terjadi di masa yang lama ini. Diantaranya adalah, orang-orang mereka bangkitkan dan mereka masukkan ke dalam neraka. Beberapa Mufassirun menyebutnya sebagai Yaumul Qiyamah, atau Hari Pembangkitan.
2.Siklus manajemen suci yang terdiri dari dua hari suci: sebuah manajemen milleniumdimana Allah mengatur dan menjalankan perintahNya, dari tempatNya ke bumi, yang diikuti dengan akuntansi millenium dimana malaikat-malaikat menghadapNya untuk melaporkan mengenai perintah-perintah yang telah mereka jalankan sehingga manusia dapat dinilai dengan benar (yudabbiru al-amra minas samaa’I ilal ardi thumma ya’ruju ilayhi fii yaumin kaana migdaruhu alfa sanatin mimmaa ta’udduun, Al-Qur’an, As-Sadjah, 32:5)

Seperti apa yang telah dijelaskan tadi, munculnya Islam dan dilepaskannya Ya’juj dan Ma’juj ke dunia (sekitar 550 SM), keduanya terjadi di terbitnya satu hari suci. Dengan demikian, dapat diartikan sebagai satu manajemen millenium. Maka, millenium ini telah berakhir lima abad yang lalu dan saat ini kita berada di masa perhitungan/akuntansi millenium yang selalu mengikuti setiap manajemen millenium. Manajemen millenium telah di mulai 1.460 tahun kalender matahari atau 1.505 tahun kalender bulan yang lalu. Hanya Allah yang tahu kapan ‘jam terakhir’ (tahun-tahun akhir) akan datang. Mungkin pada saat perhitungan millenium, mungkin juga setelahnya.


Ya’juj dan Ma’juj saat ini menjadi adikuasa dunia, namun pada akhirnya mereka akan di hancurkan

Setelah 1.500 tahun lebih menyatu dengan Ya’juj dan Ma’juj seperti ombak di lautan, umat manusia saat ini ada yang mengadosi cara hidup mereka atau sekedar mengikuti mereka seperti hanyut di ombak yang deras. Saat ini sangatlah sulit untuk mengetahui siapa yang menjadi Ya’juj dan Ma’juj asli atau siapa yang sudah bergabung dengan mereka. Inilah dasar dari Hadist 999 dari setiap 1000 manusia di neraka adalah golongannya Ya’juj dan Ma’juj.

Ya’juj dan Ma’juj sudah keluar dari setiap ketinggian dan sudah menguasai setiap kedudukan penting, kedudukan yang memiliki kekuasaan (min kulli hadabin yansiluun, Al-Qur’an, Al-Anbiya, 21:96). Mereka sekarang adalah adikuasa di bumi. Adikuasa ini dibalik penampilannya adalah peradaban yang zalim (qaryatin zaalimatin), dan seperti peradaban yang zalim lainnya, akan dihancurkan menjelang datangnya jam ‘j’ atau tahun-tahun mendekati peralihan manajemen millenium (Al-hajj, 22:45-48).

Ya’juj dan Ma’juj mengerti betul arti namanya dalam bahasa Arab Ya’juuj wa Ma’juuj. Kata-kata ini adalah bentuk aktif dan pasif dari akar kata “hamza jiim jiim” (suara dari “a j j”). Satu-satunya kontek yang sama di dalam Al-Qur’an yang sesuai dengan akar kata ini, adalah penggunaan kata ujaaj yang berarti rasa dari asinnya air yang terbakar. Sehingga Yajuj dan Majuj adalah mereka yang membakar yang lainnya (Ya’juuj) dan mereka sendiri terbakar (Ma’juuj).

Mengapa Allah mengutuk Ya’juj dan Ma’juj dan juga seluruh umat manusia yang mengikuti gaya hidup mereka-yaitu untuk terbakar di neraka? Bagaimana seseorang mengenali gaya hidup Yajuj dan Majuj? Insya Allah, bagian selanjutnya akan dijelaskan dengan menggunakan ayat-ayat yang muhkam.(*)


Apa itu fasad?

Ya’juj dan Ma’juj digambarkan sebagai mufsidun fil ard (Qur’an, Al-Kahfi 18:94). Saya dengan longgar menerjemahkan frase ini sebagai “para pelaku kerusakan di Bumi.” Mari kita lihat lebih dekat.

Mufsidun adalah kata jamak dari bentuk pelaku aktif, mufsid. Ini berarti “kaum yang secara kolektif melakukan sesuatu.” Dalam kasus ini, berarti kaum yang memiliki profesi atau gaya hidup kolektif yang menyebabkan kerusakan jenis tertentu yang disebut fasad. Kedua istilah itu, fasad dan mufsidun, berasal dari akar kata “fa sin dal” (bunyinya “f s d”). Jadi, fasad itu kerusakan jenis apa?

Allah menggunakan istilah-istilah yang berasal dari akar ini (yufsiduna, yufsidu, yufsida, tufsidu, al-mufsidin, dan lain sebagainya) dalam banyak ayat Al- Qur’an bersama dengan jenis perilaku tertentu. Di bawah ini adalah beberapa contoh ayat yang menggunakan rumus fasad. Tolong perhatikan bahwa kata kerja bentuk jamak menunjukkan aktivitas sosial atau kolektif. Juga, sandangan al dan struktur tata bahasa tertentu menunjukkan bentuk komprehensif atau totalitas. Ini mirip dengan “semuanya” atau “seluruhnya.”
1. Fasad religius. Pelanggaran dengan terang-terangan seluruh Perjanjian Tuhan oleh suatu kaum yang telah bersungguh-sungguh melaksanakan perjanjian itu (yanquduna ‘ahda Allaahi min ba’di mitsaaqihi . . . wayufsiduna fil ard, Qur’an, al-Baqarah 2:27). Ketika suatu sekte yang memiliki disiplin ketat atau agama ortodoks secara sistematis melanggar hukum dalam kitab suci mereka sendiri, ini disebut fasad. Perilaku ini menghancurkan kehidupan Akhirat kaum tersebut.
2. Fasad hubungan keluarga. Pemisahan secara sistematis seluruh hubungan keluarga (yaqta’una ma amara Allahu bihi an yusala wa yufsiduna fil ard, Qur’an, al-Baqarah 2:27). Ini berarti memisahkan istri dari suami, anak dari orang tua, saudara dari saudara lainnya, dan sebagainya.
3. Fasad genosid. Pembunuhan massal (yufsidu fiha wa yasfikud-dimaa’, secara harfiah berarti, “menumpahkan seluruh darah,” Qur’an, al-Baqarah 2:30).
4. Fasad pertanian. Perusakan atau peracunan sistematis seluruh hasil panen (li yufsida fiha wa yuhlika al-harts, Qur’an, al-Baqarah 2:205). Ini termasuk, misalnya, merusak seluruh sistem pertanian atau rekayasa genetik dan memasukkan racun ke dalam benih.
5. Fasad kepada keturunan (nasl). Perusakan sistematis seluruh reproduksi manusia atau pembunuhan massal seluruh anak (li yufsida fiha . . . wa yuhlika . . . an-nasl, Qur’an, al-Baqarah 2:205).
6. Fasad ekonomi. Suatu sistem perdagangan yang membolehkan pihak yang kuat dapat membayar orang-orang pekerja di bawah harga yang pantas atau menolak hak-hak mereka (fa awful kayla wal mizaana wa la tabkhasu an- naasa ashya’ahum wa la tufsidu fil ardi ba’da islaahiha, Qur’an, al-A’raaf 7:85).
7. Fasad sodomi. Penerimaan praktik homoseksualitas secara sosial (ta’tuna ar-rijaala . . . al-mufsidin, Qur’an, al-‘Ankabut 29:29-30). Ini mencapai puncak dengan “pernikahan gay” dan meruntuhkan sistem pernikahan yang sebenarnya.

Maka, Fasad berarti perusakan kehidupan manusia secara sengaja dan sistematis dengan pembunuhan massal atau dengan perusakan kunci unsur kehidupan, termasuk kehidupan akhirat. Ya’juj dan Ma’juj disebut mufsidun, namun tidak ditentukan jenis fasad secara khusus. Maka, mereka adalah suatu kaum dengan profesi atau gaya hidup kolektif menciptakan dan mempraktikkan semua jenis fasad. Mereka sungguh mendapat murka Allah dan layak dibakar di dalam Neraka. Mereka adalah jenis masyarakat yang disebut sebagai almaghdubi ‘alayhim (orang-orang yang mendapat murka Allah) dalam surat al-Fatiha.

Telah banyak jenis fasad yang dapat diamati dan dalam skala global, dan fasad genosid adalah salah satu yang telah meningkat dalam beberapa abad terakhir, ini tentunya adalah hasil perbuatan Ya’juj dan Ma’juj. Namun, bagaimana mereka berhasil mengajak manusia untuk mengikuti perbuatan-perbuatan individu dan kolektif yang mengerikan itu?


Profil Ya’juj dan Ma’juj dan kelompok-kelompok fasad yang mereka kendalikan

Pada permulaan Al-Qur’an Surat al-Baqarah, Allah melukiskan sekelompok masyarakat yang secara kolektif melakukan fasad. Dia menggambarkan pernyataan misi palsu, keyakinan aneh, modus operandi, struktur organisasi, dan Dia bahkan menamakan dalang rahasia mereka. Pada akhirnya, ayat-ayat ini menggambarkan Ya’juj dan Ma’juj dan kelompok fasad lain yang bekerja untuk mereka.

1. Front agama palsu. Kelompok ini dengan tipu daya berpura-pura beriman kepada Allah dan Hari Akhir (wa minan naasi man yaqoolu aamanna billahi wa bilyawmil aakhiri wamahum bi mu’minin, yukhaadi’una Allaha walladzina aamanu . . . Qur’an, al-Baqarah, 2:8-9, 14).
2. Kepercayaan kuat yang tidak biasa. Kelompok ini terlalu sombong untuk berbagi keimanan dengan orang-orang biasa yang mereka anggap “bodoh” (wa idza qila lahum aaminu kamaa aamanan naasu qaalu anu’minu kamaa aamanas sufahaa’, Qur’an, al-Baqarah 2:13).
3. Gangguan secara mental. Anggota kelompok ini memiliki penyakit mental dan spiritual (penyakit hati) yang dibuat Allah menjadi lebih parah (fi qulubihim maradun fazaadahumu Allahu maradaa, Qur’an, al-Baqarah 2:10). Ini mungkin termasuk logika bengkok, ritual-ritual aneh, dan perilaku seksual yang tidak wajar.
4. Pernyataan misi positif. Kelompok ini dengan sesat mengklaim memiliki misi positif, konstruktif untuk masyarakat (wa idzaa qila lahum la tufsiduna fil ardi qaalu innamaa nahnu muslihun . . . Qur’an, al-Baqarah 2:11-12).
5. Pertemuan-pertemuan rahasia, konspirasi. Pemimpin-pemimpin kelompok ini secara rutin mengadakan pertemuan rahasia dengan pimpinan atas untuk memperbarui aliansi dan membahas berbagai kegiatan (wa idza khalaw ilaa shayaatinihim qaalu innaa ma’akum . . . Qur’an, al-Baqarah 2:14, lihat juga 2:76 dan Ali ‘Imraan 3:119-120).
6. Pimpinan atas mereka adalah “para setan”. Pemimpin-pemimpin kelompok melapor kepada pimpinan atas yang diidentifikasi Allah sebagai para setan (wa idza khalaw ilaa shayaatinihim . . . Qur’an, al-Baqarah, 2:14). Ini adalah penyebutan pertama istilah “setan” dalam Al-Qur’an. Hal itu terjadi dalam bentuk jamak. Dalam dua bagian selanjutnya, saya akan membahas siapa para setan ini dan bagaimana mereka merekrut, memotivasi, dan memimpin kelompok-kelompok fasad yang bekerja untuk Ya’juj dan Ma’juj.


Para Setan: Pemimpin-pemimpin Kharismatik dengan gaya bicara yang manis dan menipu

Selain Setan (Iblis, leluhur bangsa jin), penipu hebat (al-gharur), Allah menunjuk para setan dari bangsa manusia dan jin sebagai dalang yang menentang para nabi (wa laqad ja’alnaa likulli nabiyyin ‘aduw-wan shayatina al-insi wal- jinn, Qur’an, al-An’am 6:112). Para setan ini menginspirasi (yuhi, berbicara secara rahasia atau secara tidak langsung) satu sama lain dengan bahasa emas (zukhrufal qawli) yang digunakan sebagai alat penipuan (ghurura). Hati dan pikiran (qulub) orang-orang yang tidak beriman kepada Akhirat (al-aakhirah) akan mendengarkan bahasa tersebut, menerimanya, dan sebagai akibatnya melakukan dosa apapun yang mereka lakukan (Qur’an, al-An’aam 6:113).


Siapa para dalang fasad ini?


Pimpinan atas Ya’juj dan Ma’juj dan kelompok-kelompok aliansi fasad berasal dari Sebagian Bani Israel

Dalam deskripsi lain pertemuan-pertemuan rahasia kelompok fasad, para pemimpin kelompok dan pimpinan atas (para setan) diidentifikasi milik kelompok yang sama (“saat mereka mengadakan pertemuan rahasia dengan satu sama lain,” wa idzaa khalaa ba’duhum ilaa ba’d qaalu atuhadditsunahum bimaa fataha Allahu alaikum . . . Qur’an, al-Baqarah 2:76).


Siapakah kelompok ini?

Konteks di sini adalah suatu kelompok yang berkonspirasi menolak Islam meskipun Taurat mendeskripsikan dengan tepat tentang nabinya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai Bani Israel yang perilaku fasadnya tidak berubah sepanjang zaman (Qur’an, al-Baqarah 2:40-73) dan tidak akan berubah hingga masa yang akan datang (hati telah manjadi batu, tidak akan pernah beriman kepada Qur’an, al-Baqarah 2:74-75). Perilaku konspirasi mereka dicirikan dengan insiden sapi (Qur’an, al-Baqarah 2:67-73): Allah memerintah mereka untuk menyembelih seekor sapi lalu memukul tubuh korban dengan bagian sapi yang telah disembelih itu. Sang korban kembali hidup untuk sementara waktu lalu menyebutkan para pembunuhnya (qataltum nafsan, kalian [bentuk jamak] telah membunuh seseorang). Seluruh masyarakat Bani Israel telah berkonspirasi untuk menutupi siapa pelaku pembunuhan itu (wallahu mukhrijun ma kuntum taktumun, dan Allah akan mengungkap apa yang kalian [bentuk jamak] tutupi).

Dalam Al-Qur’an, Bani Israel (Banu Israil) pun disebut sebagai umat Yahudi (al-yahud) atau Ahli Kitab (ahl al-kitab). Istilah terakhir ini pun berlaku untuk umat Kristen. Kadang-kadang konteks Al-Qur’an menentukan umat mana yang dimaksud, namun kadang-kadang istilah itu dimaksudkan untuk kedua umat. Allah pun memberitahu kita bahwa “sekelompok di antara Ahli Kitab” (konteks di sini berarti bahwa kelmpok ini adalah seluruh umat yahudi atau sekelompok di antara mereka) meninggalkan Taurat dan sebagai gantinya menganut lantunan-lantunan para setan dari bangsa jin (ma tatlu ash-shayaatin, Qur’an, al-Baqarah 2:101-102). Lantunan-lantunan ini mungkin dimasukkan ke dalam kitab Talmud, salah satu kitab suci Yahudi.

Lebih dari itu, Allah memberitahu kita bahwa seluruh umat Yahudi (al-yahud) secara kolektif bekerja keras (yas’awna, bentuk jamak) untuk menciptakan fasad (wa yas’awna fil ardi fasadan, Qur’an, al-Ma’idah 5:64). Ini termasuk fasad religius dan semua jenis fasad lainnya. Ahli Kitab yang saleh (orang-orang yahudi yang saleh), sebagai pengecualian dalam ayat ini, adalah orang-orang yang menerima Al-Qur’an (Ali ‘Imran 3:113-115).

Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya menyimpulkan bahwa para setan dari bangsa manusia yang memimpin Ya’juj dan Ma’juj dan kelompok-kelompok fasad yang bekerja untuk mereka pasti berasal dari Bani Israel yang mengikuti lantunan-lantunan para setan dari bangsa jin. Dalam bagian sebelumnya, saya telah menegakkan dasar hubungan antara Ya’juj dan Ma’juj berdasarkan Al-Qur’an. Hubungan ini penting untuk pembahasan kumpulan ayat-ayat kedua yang menyebutkan Ya’juj dan Ma’juj.


Yajuj dan Majuj telah berhasil membawa Banu Israel kembali ke “kota mereka” yaitu Jerusalem

Di dalam Surah Al-Anbiya, ayat 21:95-97, Allah menyebutkan sebuah kota yang berhubungan dengan Yajuj dan Majuj.

وَحَرَٲمٌ عَلَىٰ قَرۡيَةٍ أَهۡلَكۡنَـٰهَآ أَنَّهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ (٩٥) حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتۡ يَأۡجُوجُ وَمَأۡجُوجُ وَهُم مِّن ڪُلِّ حَدَبٍ۬ يَنسِلُونَ (٩٦) وَٱقۡتَرَبَ ٱلۡوَعۡدُ ٱلۡحَقُّ فَإِذَا هِىَ شَـٰخِصَةٌ أَبۡصَـٰرُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَـٰوَيۡلَنَا قَدۡ ڪُنَّا فِى غَفۡلَةٍ۬ مِّنۡ هَـٰذَا بَلۡ ڪُنَّا ظَـٰلِمِينَ (٩٧)

Kota itu telah dihancurkan dimana Al-Qur’an menyatakan bahwa penduduk kota itu dilarang kembali ke kota itu sampai syarat-syarat berikut ini terpenuhi:
1. Ya’juj dan Ma’juj telah dilepaskan ke bumi.
2. Ya’juj dan Ma’juj telah menyebar ke seantero bumi. “Min kulli hadabin yansiluun” yang setidaknya memiliki realisasi berikut ini:
a.Ya’juj dan Ma’juj telah beranak pinak dengan keturunan setiap keluarga bangsawan, raja-raja, atau elit penguasa di muka bumi.
b. Ya’juj dan Ma’juj telah menyusup ke dalam setiap organisasi (hadab = struktur yang ditinggikan, organisasi).
c. Ya’juj dan Ma’juj turun dengan cepat dari setiap ketinggian atau bukit, konteks ini berarti (melakukan serangan atau melakukan peperangan di semua penjuru bumi).

Prasyarat ini telah menjelaskan bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah membantu orang-orang dari kota yang telah dihancurkan itu untuk kembali ke kota itu lagi. Di dalam Bab Enam, Sheikh Imran Husein berhasil menghubungkan ayat-ayat ini kepada sejarah Jerusalem modern. Dia menunjukkan bahwa Banu Israel telah kembali ke Jerusalem dimana dahulu kala mereka telah terusir dari Jerusalem, ketika kota itu dihancurkan, dan mereka dikejar-kejar di seluruh penjuru bumi. Sehingga ayat-ayat ini menjelaskan mengapa Negara Yahudi Israel diciptakan dan kenyataan bahwa Banu Israel dipaksa untuk kembali ke Jerusalem. Sheikh Husein dengan benar beragumen bahwa mereka yang telah berkonspirasi membawa kembali Banu Israel ke Jerusalem adalah Yajuj dan Majuj.

Fakta bahwa pemimpin dari Yajuj dan Majuj adalah sebagian dari Banu Israel menjelaskan motivasi ini.

Ketika Yajuj dan Majuj telah menyelesaikan misi khusus ini, maka, Janji Kebenaran (Al-Wa’ad Al-Haqq, atau jam ‘j’, hari pembalasan) telah dekat. Ini berarti kembalinya Yesus atau Isa (as) untuk yang kedua kalinya setelah ditolak bahkan direncanakan untuk disalib oleh Banu Israel. Maka jika saat itu tiba, mereka yang tidak beriman pada misi Yesus akan menatap dia dengan mata terbuka lebar pada kebenaran (shaakhisatun absaarul ladhiina kafaruu) dan menyadari bahwa sudah terlambat bagi mereka untuk menghindari murka Allah.

Argumen Sheikh Imran Husein bahwa kota itu adalah Jerusalem berdasarkan kepada yang berikut ini. Allah telah menyatakan bahwa Banu Israel akan menguasai bola bumi sebanyak dua kali dan sebanyak dua kali pula melakukan fasaad (Al-Qur’an, Al-Isra, 17:4-8). Saat pertama kali mereka berkuasa telah lama terjadi (wa kaana wa’dan maf’uula: dan ini adalah sebuah nubuah yang sudah dilaksanakan). Saya mengajukan kepada anda pada kenyataan bahwa saat ini kita akan menyaksikan Banu Israel menjadi penguasa bumi untuk yang kedua kalinya (kalimat “wa’dul aakhirati” di dalam ayat ini berarti “pemenuhan janji yang terakhir [naik menuju kekuasaan]”). Seperti dinubuahkan ayat berikutnya ketika ‘naik menjadi penguasa’ untuk yang kedua kalinya terjadi, Banu Israel akan dibawa ke Jerusalem dari berbagai negara oleh ‘pihak lain’ (fa idhaa jaa’a wa’dul aakhirati ji’naa bikum lafiifa, Al-Qur’an, Al-Israa, 17:104).

Foto: Dajjal

Dajjal (Mesiah Palsu), pemimpin tertinggi Yajuj dan Majuj

Saya telah beragumen sebelumnya bahwa pemimpin dari Yajuj dan Majuj pasti berasal dari golongan Banu Israel yang berkitab buatan setan dari golongan jin. Salah satu dari mereka pastinya menjabat sebagai pemimpin yang tertinggi. Hadith mengkonfirmasi hal ini dan merujuk pada personifikasi Yahudi yang dikenal sebagai Al-Masih (Mesiah) Ad-Dajjal (Pembohong, Peniru, Mengaku-aku) atau Mesiah Palsu (mereka menolak Mesiah yang asli yaitu Yesus atau Isa alaihissalaam). Rasulullah (saw) menemukan dan mengidentifikasi dia sebagai Ibn Sayyad, seorang pemuda Yahudi yang bermukim di Medinah. Hadith juga memberitahu kita bahwa Dajjal saat itu juga berada di tempat lain, yaitu di sebuah pulau tertentu. Menjadi jelas bahwa Dajjal tampil dalam berbagai bentuk, tahapan dan berbagai dimensi waktu. Di dalam bukunya, “Jerusalem di Dalam Al-Qur’an” Sheikh Husein menjelaskan tahapan-tahapan yang dilalui Dajjal di bumi.


Yajuj dan Majuj sudah menyusup ke golongan-golongan agama

Berdasarkan penjelasan di Al-Qur’an mengenai karateristik dan struktur dari kelompok-kelompok pelaku fasaad, Ibn Mas’ud (ra), sahabat Rasulullah (saw) mengatakan bahwa golongan-golongan Islam yang muncul pada masa beliau sebagai “Yahudinya Islam”. Yang beliau maksud adalah bahwa karateristik yang ditunjukkan oleh golongan-golongan Islam itu menyerupai dan sama persis dengan karateristik-karteristik kelompok-kelompok pelaku fasaad dari Banu Israil. Hadist memberitahu kita bahwa semua golongan-golongan Islam itu akan masuk neraka. Hanya mereka yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan selamat.

Di dalam Bab Satu Sheikh Husein menantang semua golongan-golongan Islam untuk menjelaskan permasalahan Yajuj dan Majuj.Golongan-golongan tertentu dari Nasrani, Hindu, Budha, Atheis dan Politeist juga bermanifestasikan perilaku kelompok-kelompok pelaku fasaad.

Sehingga lumrah adanya jika golongan-golongan sub agama ini bersekutu dengan golongan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan tertinggi, yaitu kawanan Yajuj dan Majuj. Mungkin ketika kita berbicara saat ini, para pemimpin-pemimpin golongan-golongan itu sedang berkoordinasi dengan Dajjal.

Mungkin inilah alasan mengapa Allah melarang Muslim untuk berteman dan bersekutu dengan Yahudi dan Nasrani. Allah memperingatkan bahwa mereka itu teman dan sekutu satu sama lain (ba’duhum awliyaa’u ba’d, AL-Qur’an, Al-Maidah, 5:51). Sheikh Imran Husein mengenali bahwa peradaban modern Eropa (Barat) saat ini adalah persekutuan dan aliansi dari Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dan merupakan pertubuhan dan manifestasi dan jati diri dari Yajuj dan Majuj.


Implikasi

Sheikh Imran Husein menerawang secara spiritual yang dalam sekali mengenai konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial dari keluarnya Yajuj dan Majuj ke bumi. Saya percaya pertanyaan penting yang harus dijawab saat ini adalah: Bagaimana kita dapat menolak ucapan manis yang keluar dari mulut setan untuk turut serta yang mereka lakukan yang tampak sebagai reformasi, perubahan dan kemajuan, namun pada realitasnya suatu kejahatan fasaad merusak aspek-aspek kehidupan manusia. Surah Al-Kahfi menawarkan jawaban: mundur dari kota-kota. Hadist juga menawarkan solusi yang sama. Di dalam Bab Tujuh, Sheikh Husein menawarkan konsep, “Kampung Muslim”.

Integritas kolektif Muslim sebagai kesatuan ummah dan jamaahnya Muhammad (saw), sudah lama dihancurkan. Kalifah Islam (pemerintahan pusat) tidak dapat didirikan kembali selama Yajuj dan Majuj memegang kekuasaan penuh di muka bumi. Surah As-Saff, 61:1-14, menjelaskan sejarah bumi dan peristiwa-peristiwa di masa yang akan datang. Mereka, yaitu bagian dari Banu Israil, yang telah melawan Musa (as) dan Isa (as) akan berusaha dan bersusah payah untuk memadamkan cahaya Allah. Mereka menawarkan Mesiah Palsu sebagai pengganti Isa (as). Pasukan Yajuj dan Majuj mereka telah menguasai seluruh kolong jagat. Namun Imam Al-mahdi (as) akan memulai perlawanan pertama, dan Isa (as) yang akan mengakhirinya. Kemudian dia akan memerintah bumi dari Jerusalem berdasarkan Islam.(*)

(Kampung-Muslim/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: