Oleh: La Ode Zulfikar Toresano (Aba Zul)
Bila kita formulasikan bahwa “hijab” berbanding lurus dengan eksistensi identitas perempuan Islam dan penguatan nilai-nilai Islami, apakah hijab merupakan pembeda (furqan) seperti yang dapat dipahami pada konsep oposisi biner? Bila benar oposisi biner terbentuk dari tarikan garis demarkasi yang bernama “hijab”, bukankah kehadiran hijab akan menciptakan menguatnya pengkotakan atau pengelompokan (segregation) dalam masyarakat yang justru akan memperlemah nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamin)? Lagipula, bila rumusan hijab adalah sama dan sebangun (atau mirip) dengan konsep oposisi biner, bagaimana kita bisa menjawab tudingan bahwa pemaknaan “hijab” dalam tulisan “Hijab Pakaian Muslimat” justru menciptakan pemiskinan atas ajaran Islam, mengingat nilai-nilai Islam yang luas tidak pantas direduksi sekadar menjadi seperti pementasan “wayang” dengan dua aktornya yang dikendalikan oleh tangan kanan dan tangan kiri (“binary opotition” or “two actors of partnership or opposed”) Sang Dalang atau Sutradara; atau juga memosisikan ajaran Islam sekadar pembeda antara “madu” dan “racun”, seperti dalam lirik sebuah lagu yang pernah popular pada tahun 1980-an di negeri ini?
***
DARI perspektif “hidrostatika”, bukankah tekanan atau ketegangan yang muncul dalam masyarakat, misalnya akibat penggunaan pakaian ala Barat yang serba telanjang, bisa diminimalisir melalui sejumlah pendekatan (counterbalance), antara lain dengan tidak menghalangi perluasan bidang operasi aktifitas (gaya tekan) penggunaan pakaian ala Barat itu tetapi mengatur kestabilan (constant value) kuantitas maupun kualitas tekanan atau tegangannya, dan bukan semata dengan menyodorkan — apalagi mempropagandakan — penerapan atau pemakaian hijab? Dengan begitu, bukankah akan lebih menjamin penghargaan atas hak asasi para pemakai pakaian ala Barat itu dibandingkan dengan memberantas pilihan mereka yang notabene juga dilindungi Al-Qur’an (lihat sejumlah ayat yang berkaitan dengan jaminan kebebasan berkeyakinan)?
***
BILA dikatakan bahwa “hijab” merupakan salah satu jalan yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat kepada kreatifitas mental dan moralitas, mengapa dalam realitasnya banyak lelaki dari sejumlah negara tertentu — yang kaum perempuannya mengenakan hijab — sering melakukan wisata seksual [meskipun mungkin diklaim sebagai perbuatan “halal” dari perspektif fiqh (Islamic jurisprudence) yang mereka anut karena perbuatan tersebut diawali dengan adanya syarat-syarat tertentu, misalnya “ijab qabul” dan “pemberian mahar”] ke negara-negara yang perempuannya berpakaian seronok? Dengan begitu, apakah “hijab” sebagai faktor pengalih perhatian kepada kreatifitas mental dan moralitas dapat dikatakan bersifat spasial dan temporer (bergantung pada dimensi ruang dan waktu), dan oleh karenanya ia juga bersifat “relatif” dan “parsial”, termasuk dalam penerapan serta kemanfaatannya? Lalu, bila ajaran Islam itu bersifat “mutlak” dan “universal” (rahmatan lil ‘âlamin), mengapa hijab sebagai bagian integral dari ajaran Islam — dalam konteks pemahaman seperti tadi — terpaksa harus direlatifkan dan juga diparsialkan?
***
DENGAN seringnya pelanggaran hak asasi manusia terhadap sejumlah tenaga kerja perempuan Indonesia (TKI) di sejumlah negara yang kaum perempuannya mengenakan hijab, apakah tidak cukup dijadikan sebagai fakta penguat lainnya untuk mempertanyakan atau menggugat kebenaran klaim bahwa hijab merupakan faktor pengalih perhatian masyarakat kepada kreatifitas mental dan moralitas? Kreatifitas mental dan moralitas apa yang membenarkan pelanggaran hak-hak asasi atas sejumlah tenaga kerja perempuan Indonesia di beberapa negara yang perempuannya mengenakan hijab? [**]
(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email