Oleh: Hamid Hadji Haydar
Makalah ini membandingkan definisi, konsep dan model demokrasi yang ditawarkan oleh sarjana-sarjana Barat dan mengintegrasikannya dengan "kandungan-kandungan vital" lainnya yang menjadi poras pemikiran politik Imam Khomeini yaitu Wilayat al-Faqih, kemerdekaan dan republikanisme. Menurut Imam, muasal hukum dan pemerintahan seharusnya bersifat ilahiah-manusiawi. Hal ini bisa ditetapkan baik secara demokratis maupun secara Islami, elitisme kompetitif, periodisitas pemerintahan dalam naungan sistem pemerintahan ilahiah-manusiawi.
IMAM Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, dikenal sebagai sarjana yang cemerlang dalam berbagai bidang ilmu Islam antara lain, filsafat, hukum, fiqh, tafsir dan sebagainya. Lebih lanjut, dia dianggap sebagai figur revolusioner yang berhasil mengantarkan kemenangan revolusi Islam Iran melawan pemerintahan imperial kuat dukungan negara adidaya. Anehnya, beliau tidak dikenal sebagai seorang teoritikus dalam wilayah filsafat politik.
Padahal, sebagai tambahan teorinya dalam Wilayat al-Faqih, yakni supremasi pemimpin agama atas pemerintah, beliau telah mengungkapkan banyak prinsip-prinsip politik fundamental lain seperti tabiat manusia, asal dan tujuan suatu negara, legitimasi, kontrak sosial, aturan hukum, cara-cara pemerintahan, demokrasi, konstitusi, kemerdekaan, keadilan dan banyak lagi. Tanpa pemahaman yang memadai tentang prinsip-prinsip seperti Wilayat al-Faqih, maka warisan magnum opus Imam Khomeini itu tidak akan dipahami dengan benar.
Konsep Demokrasi
The Concise Oxford Dictionary of Politics mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan rakyat", Tetapi pada kenyataannya demokrasi dipandang secara negatif, dalam konteks pemerintahan, baik pada masa Yunani Kuno maupun kemunculannya kembali di Eropa pada abad kedelapan belas, Betapapun, kekaguman tetap muncul dari makna-makna yang membentuknya.
Sejarah demokrasi (sebagai suatu gagasan) pada dasarnya menyiratkan beberapa konteks yang berbeda. Kelebihan demokrasi seharusnya tidak diabaikan begitu saja dengan alasan bahwa demokrasi menimbulkan pertentangan dalam hubungannya dengan struktur dan definisinya. Imam Khomeini memuji gagasan demokrasi dan ia menawarkan model Islam berkenaan dengan hal tersebut, yang disebutnya dengan "demokrasi sejati". Memang, pada satu sisi Imam Khomeini menyalahkan model-model demokrasi yang lain dengan mengatakan:
Kita seharusnya bertindak berdasarkan keadilan. Kita harus mengajarkan pada mereka akan makna demokrasi. Demokrasi Barat telah rusak dan begitupun yang terjadi di Timur. Demokrasi sejati adalah Islam. Inilah demokrasi. Bukan yang berasal dan Barat. yang sangat kapitalis. Bukan pula demokrasi yang diterapkan di Timur, yang telah melakukan penindasan pada rakyat jelata.
Dalam diskusi mengenai demokrasi, ada tiga konsep yang muncul berkenaan dengan bentuk pemerintahan, yaitu dalam bentuk-bentuk: sumber kekuasan pemerintahj tujuan-tujuan yang ingin dicapai pemerintah, dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam formasi pemerintahan.
Kehendak Rakyat: Sumber Kekuasaan Negara
Beberapa ahli mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang muncul dari kehendak rakyat. Para ahli itu lebih mengedepankan definisi demokrasi dengan konsep seperti itu ketimbang sebagai penetapan keputusan-keputusan politis secara langsung. Mereka melakukan hal itu dengan cara representasi orang terpilih, yang tentu saja, termasuk dalam perhitungan mereka. Menurut pandangan ini, demokrasi diikuti dalam pengertian "kekuasaan mayoritas" karena mustahil melaksanakan kehendak rakyat secara lahiriah. Schumpter menyebut pendekatan ini sebagai "demokrasi klasik" dan mengeritiknya.
Imam Khomeini mengakui otoritas rakyat dan menganggap pemerintahan sebagai perwujudan kehendak rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan suatu rezim politik. mensahkan konstitusi dan memilih pemimpin, presiden atau perwakilan di legislatif,
Mengenai penentuan suatu rezim politik, Imam Khomeini mengatakan:
Saya meminta kepada setiap orang untuk memilih Republik Islam. Namun demikian, kalian bebas memilih... Kalian boleh memilih konsep-konsep republik yang lain. Kalian memiliki hak untuk memilih apakah rezim imperial, rezim demokrasi atau apapun yang terdapat di dalam kartu suara. Kalian bebas memilih.
Imam Khomeini mengatakan ihwal pengesahan Konstitusi Republik Islam:
Keabsahan "Dewan Penetapan Konstitusi" diaktualisasikan dengan cara penunjukan langsung dari rakyat. Kriterianya adalah pemilihan umum. Pada suatu saat, rakyat memilih secara langsung dan pada saat yang lain rakyat memilih wakil mereka. Dalam keadaan apa pun rakyalah yang berhak.
Dalam menekankan seleksi otoritas pemerintahan, dalam hal ini pemimpin, presiden dan perwakilan dewan legislatif, dia menyatakan:
Wilayat al-Faqih "•lembaga pemimpin keagamaan tertinggi"• adalah sosok moralis, patriotik, berpengetahuan dan kompeten yang dilihat dengan nyata oleh rakyat. Rakyatlah yang memilih suatu sosok atau figur. Rakyatlah yang seharusnya mengatur ketentuan-ketentuan administratif dan urusan-urusan pemerintahan lainnya. Berdasarkan hak-hak asasi manusia, adalah kalian, rakyat, yang mesti menentukan nasib kalian sendiri. Majlis (Parlemen Iran) berada di atas semua kelembagaan. Dan substansi Majlis ini, bukan lain, adalah perwujudan kehendak rakyat.
Di kesempatan lain, Imam Khomeini memadukan kedaulatan negara dengan masyarakat awam dan menolak gagasan bahwa kedaulatan itu terbatas hanya pada strata masyarakat tertentu.
Pemilihan tidak dibatasi kepada orang-orang yang memiliki syarat-syarat tertentu. Mereka bisa saja dari kalangan ulama, tokoh-tokoh partai politik dan sebagainya. Mereka semua adalah milik rakyat. Nasib rakyat berada di tangan mereka sendiri. Saat ini, pemilihan diserahkan ke tangan rakyat. Selama pernilihan, seluruh warga negara sama kedudukannya, apakah dia seorang presiden, perdana menteri, petani yang bekerja di ladangnya atau pedagang. Dengan kata lain, setiap orang itu setara. Masing-masing memiliki satu suara untuk memilih.
Lebih lanjut, Imam Khomeini menyetujui "hukum mayoritas" dan konsep "demokrasi perwakilan". Jadi, Imam "mengotorisasikan" demokrasi dalam bentuk-bentuk asal suatu kekuasaan pemerintahan. Imam mendefinisikannya sebagai formasi pemerintahan yang berdasarkan pada kehendak orang banyak. Perlu dicatat bahwa perspektif Imam Khomeini ini berbeda dengan demokrasi murni dan liberalisme. Menurutnya, rakyat harus memutuskan wewenang mereka dengan suatu cara tertentu. Kehendak orang banyak harus diikat oleh kehendak. ilahiyah. Dan ikatan ini dimanifestasikan dengan pengendalian Wilayat al-Faqih atas pemerintah. Sebagaimana Imam Khomeini menyatakan:
Tanpa Wilayat al-Faqih, pemerintah akan menjadi lalim. Jika tidak sesuai dengan perintah Tuhan dan presiden tidak dipilih berdasarkan perintah seorang faqih, ia "•pemerintahan tersebut"• tidak terlegitimasi. Kelaliman adalah hasil dari tidak adanya legitimasi. Dengan mematuhi bentuk pemerintahan seperti ini berarti sama saja dengan mematuhi kelaliman.
Sampai sejauh ini bisa disimpulkan bahwa Imam Khomeini meyakini "hukum ilahiah-manusiawi" yang disebutnya sebagai "demokrasi Islam". Bila dibandingkan dengan konsep demokrasi, menurut beberapa ahli, secara umum Demokrasi Islam bisa disebut sebagai "semi demokratik".
Demokrasi: Kemerdekaan dan Kesejahteraan Umum
Beberapa ahli mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang melaluinya orang-orang dapat meraih nilal-nilai berikut ini: persamaan, kemerdekaan, pengembangan perilaku pribadi, kesejahteraan umum, pencapaian tujuan dan sebagainya. Perbedaan demokrasi terletak pada penilaiannya kepada tujuan atau sasaran yang ingin dicapai. Sasaran itu dapat tercapai dengan cara pemerintahan rakyat, sebab adanya kemerdekaan dan persamaan.
Berdasarkan teori ini, suatu pemerintahan demokratik adalah suatu pemerintahan yang memungkinkan orang meraih kesejahteraan umum secara optimal. Hal ini berbeda dengan pemerintahan despotik yang mengutamakan kehendak seseorang atau segelintir kelompok orang yang menentukan nasib seluruh masyarakat. Imam menghargai demokrasi dan mendefinisikannya sebagai suatu pemerintahan yang berorientasi pada kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan umum. Dalam salah satu ceramahnya yang disampaikan sebelum kemenangan Revolusi Islam, dia mengatakan:
Demi kemuliaan Tuhan Yang Mahakuasa, kita tidak seharusnya berhenti berjuang hingga kita mengambil alih pemerintahan imperialistik dan menetapkan keadilan Islam. Kita harus meneruskan perjuangan ini hingga pemerintahan demokratik, dalam arti yang sebenarnya, berkuasa menggantikan pemerintahan despotik.
Pada kesempatan lain, dia menyampaikan:
Dalam republik Islam, terdapat keadilan, kemandirian. Rakyat dalam seluruh cara hidup harus hidup dalam kenyamanan di dalam republik Islam. Dalam republik Islam, keadilan Islam dimanifestasikan.
Di sini, Imam menjauhkan dirinya dari demokrasi murni dengan menawarkan beberapa batasan tentang kemerdekaan. Dia meyakini bahwa kemerdekaan demokrasi bergantung kepada prinsip-prinsip agama Islam yang suci, seperti yang dikatakannya:
Kemerdekaan diikat oleh hukum. Kemerdekaan yang diberikan harus dijalankan dalam lingkup konstitusi dan hukum Islam dengan cara yang paling baik dan memungkinkan.
Oleh karena itu dalam mengintrodusir gagasan Republik Islam, Imam Khomeini menawarkan hukum ilahiah-manusiawi sebagai pondasi atau poros.
Demokrasi: Pemilihan Kompetitif dan Bebas
Schumpter menganggap kedua teori di atas tidak akurat. Ia lalu mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemberdayaan sebuah institusi. Dia berdalih bahwa metode demokrasi mencakup runtunan pengaturan yang sistematis dan terorganisir "•yang membuat suatu ruang pengambilan keputusan politik"• dengan cara sedemikian rupa hingga setiap individu dapat memperoleh kekuasaan dalam pengambilan keputusan melalui pemilihan kompetitif dan dilakukan sepenuhnya oleh rakyat.
Di sini, rakyat yang demokratis, secara periodik memilih wakil-wakilnya untuk memerintah dan harus bertindak di pihak rakyat. Menurut versi ini, esensi demokrasi terletak di dalam kekuasaan warga negara yang memiliki wewenang untuk mengganti satu pemerintahan dengan yang lainnya.
Dengan demikian, setiap warga negara melindungi diri mereka sendiri dari keadaan riskan. Yakni, orang-orang yang terpilih membawa mereka pada suatu kelanggengan kekuasaan, dan sebagainya. Selama rakyat mampu mengganti suatu pemerintahan dan sepanjang mereka memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, sedikitnya terdapat dua pilihan partai yang berbeda, maka ancaman tirani dan despotisme dapat dihindari.
Setelah Perang Dunia Kedua, diskusi mengemuka antara para teoritikus mengenai definisi demokrasi. Mereka mendefinisikan demokrasi yang berdasarkan pada sumber-sumber atau tujuan suatu pemerintahan, atau "•suatu bentuk pemerintahan yang Schumpter yakini"• dalam bentuk metode sistem pemerintahan. Pada tahun 1970-an perdebatan terhenti dengan kemenangan pada versi Schumpter. Para sarjana membuat distingsi antara definisi murni dan kental-konsep ideal, ihwal demokrasi di satu pihak dan definisi empirik, deskriptif dan situasional di pihak lain.
Mereka menyimpulkan bahwa hanya definisi yang terakhir yang nampaknya cukup memenuhi syarat, dan dengan demikian akan diterapkan. Konsekwensinya, banyak ahli Amerika yang mengabaikan diskusi teoritis tentang demokrasi yang berdasar pada hipotesis umum dan sebagainya. Mereka berusaha memahami aliran-aliran institusi demokrasi, bersama-sama kualitas fungsi-fungsi mereka dan penyebab evolusi dan devolusi mereka.
Di sini, pemerintahan demokrasi diposisikan sebagai pemerintahan otoritarian tradisional dan totalitarian. Pemosisian ini bertujuan agar kedua model itu dapat dibandingkan dan dikonfrontasikan; Berdasarkan suatnya, pemerintahan demokratik terdiri dari fitur-fitur berikut:
1. Pemilihan Umum;
2. Kompetisi antara, paling sedikit, dua partai yang berbeda bertujuan memenangkan kekuasaan;
3. Periodesasi pemerintahan dapat digilir dari pihak satu ke pihak lain;
4. Kekuasaan Elit.
Imam tidak menggambarkan atau menganalisis partal-partai dan demokrasi itu sendiri, yang berada dalam pemerintahan demokrasi itu. Mungkin karena tidak ada yang menarik baginya dalam subjek demokrasi "eksperimental". Betapapun, orang bisa membandingkan gagasannya tentang sistem pemerintahan yang baik dengan metode-metode kekuasaan di dalam pemerintahan demokrasi, otoritarian dan totalitarian.
Mengenai pemilihan umum, Imam Khomeini berpandangan bahwa rakyat harus merasa bebas untuk memilih, khususnya karena kebebasan memilih adalah suatu fenomena yang telah ada sejak awal Islam. Jadi, dia menekankan secara berulang-ulang kepada para ulama dan rakyat agar menjaga kebebasan memilih mereka secara hati-hati, dan tidak mengikuti otoritas yang berusaha menghalangi pemilihan umum.
Pada saat referendum diumumkan (untuk menentukan pemerintahan baru di Iran setelah kemenangan Revolusi Islam), pilihan saya adalah Republik Islam. Para pemeluk Islam harus memilih Republik Islam. Meskipun di dalam praktiknya, rakyat bebas memilih apakah model pemerintahan imperialistik atau Barat. Ulama dan rakyat wajib menolak siapa pun yang menghalangi kemerdekaan untuk memilih dengan bebas. Kini pemilihan berada di tangan rakyat. Tidak ada orang yang berhak mendikte orang lain dalam pemilu. Dalam Islam, seseorang yang memiliki otoritas tidak bisa memerintah orang lain yang berhubungan dengan pilihan perwakilannya... karena rakyat memiliki kebebasan.
Mengenai kepentingan kompetisi di antara kelompok-kelompok politik, baik yang Islami dan revolusioner, bersama dengan keuntungan pluralisme, Imam Khomeini berkata:
Partai Ilahiyah mengundang rakyat menuju Tuhan dan kepada alam... partai tidak perlu semuanya baik atau buruk... melainkan kriterianya. Yang paling penting adalah tujuan dari suatu partai itu sendiri. Dalam negara Islam, ijtihad (proses pengambilan hukum Tuhan dengan cara dalil dan alasan) harus transparan bagi semua orang. Revolusi dan negara Islam, dengan tabiatnya yang paling mendalam, bahkan menuntut bahwa hasil pemikiran ijtihadi yang nampaknya berlawanan antara satu dengan yang lain, dalam berbagai bidang, harus dibiarkan bebas. Oleh karena itu tidak ada orang atau kekuasaan yang dapat menghalanginya. Kritisisme yang tepat akan mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Tidak ada satu orang pun yang bisa menganggap dirinya bebas dari kritikan. Lazimnya, kritikan sejati secara hakikat berbeda dengan kritikan yang dilandasi oleh ambisi politik. Jika satu atau kelompok orang bermaksud menguasai atau bahkan merusak anggota pemerintahan (Republik Islam), hanya Islam dan revolusi yang akan menderita sebelum benar-benar membahayakan setiap orang atau hal lain.
Berkenaan dengan periodesasi dan modifikasi pemerintahan Islam, bersama dengan kebutuhan akan sifat temporalnya, Imam mengatakan:
Metode imperialistik didasarkan pada prinsip non-komunikasi. Otoritas harus ada di tangan rakyat. Inilah hal yang rasional. Orang yang rasional akan setuju dengan dengan fakta ini, yaitu rakyat dapat mengatakan "tidak" kepada pemerintahan yang, menurut mereka, telah melakukan kesalahan. Situasi tersebut bahkan lebih jelas. Islam telah menggambarkan kemampuan tertentu yang dibutuhkan dari orang yang memiliki otoritas atas seseorang di dalam suatu pemerintahan Republik Islam, dan sistem Wilayat al-Faqih. Oleh karena itu, begitu salah satu dart persyaratan ini tampak terabaikan, sistem pemerintahan tersebut secara otomatis berhenti.
Secara singkat, pandangan Imam mengharapkan, di semua aspek seperti politik, sosial, agama, militer, ekonomi, dan sebagainya, sistem pemerintahan yang dimaksud adalah suatu teknik yang mesti dipegang oleh kelompok-kelompok ahli dalam bidang yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, dia mengatakan:
Ketika kita mendeklarasikan bahwa sistem pemerintahan yang benar termasuk kepada "mujtahid-mujtahid Islam adil", kadang-kadang timbul pertanyaan di dalam benak rakyat apakah mujtahid adil ini, secara nyata cukup berkompeten untuk mengawasi dan mengadministrasi urusan-urusan militer, politik dan ekonomi. Bagaimanapun, alasan ini tidak relevan dengan apa yang kita ketahui, bahwa administrasi urusan-urusan, dalam setiap bentuknya, diputuskan dengan hati-hati di bawah pengawasan sejumlah ahli. Bahkan selama pemerintahan Imam Ali sendiri, manusia agung ini tidak mengurus dan memutuskan semua urusan-urusan administratif.
Ringkasnya, Imam telah membuktikan metode-metode dan institusi demokrasi. Dia menggambarkan pemerintahan Islam sebagai sesuatu yang demokratis dipandang dari segi institusional. Pandangan ini sesuai dengan teorinya tentang "urusan-urusan administratif kompetitif".
Kesimpulan
Setelah menganalisis demokrasi saat ini, Imam mengklasifikasi mereka ke dalam demokrasi totalitarian dan demokrasi liberal.
Imam menolak kedua sistem di atas dan mengusulkan model "demokrasi Islam", yang berdasarkan pada kehendak orang banyak dengan kehendak Tuhan yang Mahakuasa. Dia menganggap bahwa inilah yang disebut dengan demokrasi "sejati".
Imam telah mengelaborasi pada dimensi-dimensi yang berbeda dari esensi dan tabiat demokrasi sejati ini. Dalam subjek mengenai sumber sistem kekuasaan pemerintahan, dia meyakini bahwa Republik Islam berkesempatan menjadi contoh ideal dan teladan, yaitu suatu republik yang dibentuk dari kehendak bebas rakyat sehingga secara alamiah pemerintahan menjadi demokratis. Menurut pendapatnya, adalah rakyat yang harus menentukan pemerintahannya sendiri, mensahkan konstitusinya sendiri dan memilih pemimpin, presiden dan wakil-wakil mereka di parlemen. Rakyat dapat menentukan konsep "kekuasaan mayoritas" dan "demokrasi perwakilan". Ini dapat terwujud bilamana rakyat memiliki konsensus yang lengkap tentang suatu negara dan melakukan inteferensi langsung dalam mengadministrasikan urusan-urusan sistem pemerintahan. Pada sisi yang lain, karena pada prinsipnya rakyat harus dibatasi oleh kehendak Yang Mahakuasa, dalam versi demokrasi ini Imam mengusulkan "hukum Tuhan-manusiawi".
Dalam menjawab pertanyaan apakah tujuan dan sasaran pemerintahan demokrasi yang harus dicapai? Imam menanggapi dengan terlebih dahulu membuat definisi tentang demokrasi sebagai suatu sistem yang memberikan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan umum. Patut dicatat bahwa Imam menjauhkan keyakinan dan definisinya dari konsep rezim tiran sebelumnya mengenai "wilayah pribadi". Sebaliknya, dia membatasi kemerdekaan rakyat dengan cara penetapan hukum Tuhan, sehingga tetap jauh dari rezim liberal. Oleh karena itu, Imam yakin kepada "pemerintahan Tuhan-manusiawi".
Dalam subjek metode dan institusionalisasi pemerintahan, Imam melakukan pendekatan dengan gagasan "elitisme kompetitif" dalam pengertian yang luas. Dia menerima kebebasan kompetitif dan periodisasi sistem pemerintahan yang dipegang oleh elit politik, agama, ekonomi dan sebagainya. Dia sepakat dengan demokrasi eksperimental dan menolak dengan keras rezim totalitarianisme dan despotisme.
Sebagai kata penutup, kita patut mencermati bahwa Imam sangat sensitif dengan istilah “demokrasi†sehingga menambahkannya dalam "Republik Islam Iran". Betapapun, dia menyatakan dengan penuh keyakinan prinsip-prinsip demokrasi di dalam filsafat politiknya.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email