Pesan Rahbar

Home » » Ibrahim Isa: Kaum Perempuan Indonesia di Saudi dan Emirat Hidup di Zaman Perbudan!

Ibrahim Isa: Kaum Perempuan Indonesia di Saudi dan Emirat Hidup di Zaman Perbudan!

Written By Unknown on Saturday, 3 September 2016 | 05:52:00


SIAPA MEMBELA HAK -HAK MEREKA SBG PEREMPUAN?

Menghiasi maraknya Peringatan Hari Ibu 22 Desember, 2011, tulisan Bonnie Triyana di Historia Online, hari ini, memenuhi harapan. Bonnie menelusuri latar belakang sejarah HARI IBU di Indonesia. Mengapa itu diperingati? Bahwa adalah Presiden Sukarno yang dalam tahun 1959, melalui dekrit Presiden menetapkan 22 Desember sebagai HARI IBU INDONESIA.

Untuk memperoleh gambaran yang utuh menngenai tulisan Bonnie Triyana tsb. paling baik adalah mengakses majalah “HISTORIA ONLINE” hari ini. Dan membacanya sendiri!

Ada satu paragraf yang patut jadi perhatian khusus apa yang ditulis Bonnie Triyana. Dikutip di bawah ini para yang dimaksud, sbb:

“Dinamika gerakan perempuan makin menguat seiring makin bersatunya orientasi mereka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan. Perempuan tak lagi berdiam di dapur atau pasrah menerima nasib yang terjadi pada diri mereka. Sejumlah advokasi terhadap perempuan korban pertikaian rumah tangga dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan anggota kongres perempuan. Perempuan Indonesia, sejak 22 Desember 1928 memasuki ranah perjuangan politik praktis, sebuah wilayah yang sebelumnya tabu mereka masuki karena nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat yang tak memungkinkan mereka bergerak aktif memperjuangkan hak-haknya.”

Mengenai yang dikemukakan Bonnie, bahwa: -- “Dinamika gerakan perempuan makin menguat seiring makin bersatunya mereka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan”.

Ditinjau secara umum dan menyeluruh, memang demikianlah adanya.

Tokh, -- perlu perhatian khusus mengenai nasib kaum perempuan Indonesia yang bekerja di luarnegeri, tertistimewa yang pergi merantau jauh di Arab Saudi dan Emirat.

Berita-berita mengenai nasib kaum perempuan Indonesia yang diperas habis-habisan, diperlakukan sewenang-wenang, diperkosa dan dianiaya oleh majikan-majikan serta makelar-makelar pekerja rumah tangga, baik yang di Indonesia maupun uang di Arabia, tak terkira banyaknya. Belakangan ramai diberitakan mengenai hukuman pancung terhadap pekerja rumah tangga perempuan Indonesia yang dianiayai oleh majikan, kemudian sebagai bela diri dan perlawanan telah membunuh majikannya. Dan masih banyak lagi yang akan jadi korban 'hukum pancung Arab Saudi'.

Respons dan perlawanan konsisten dari fihak Indonesia, apalagi fihak pemerintah, terhadap ketidak adilan yang menimpa kaum perempuan Indonesia, saungguh tidak memadai.

Bukankah para pekerja rumah tangga Indonesia yang demi mencari nafkah untuk keluarga mereka yang hidup miskin itu, banyak diantaranya adalah ibu-ibu di rumah mereka sendiri, di kampung halaman Indonesia, --- berhak dibela dengan palbagai cara, baik oleh aksi-aksi langsung organisasi masyarakat, maupun cara diplomatik oleh fihak pemerintah?

Kebetulan sekali, --- hari ini aku baca di sebuah surat kabar Belanda, “De Volkskrant”, sebuah artikel yang sungguh menarik dan penting. Menarik dan penting, khususnya bagi kita orang-orang Indonesia. Karena tulisan tsb menyangkut langsung nasib kaum perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKI di Saudi Arabia dan Emirat.

Untuk memperoleh gambaran betapa seriusnya nasib kaum perempuan Indonesia yang mencari nafkahnya di Saudi dan Emirat, harian “de Volkskrant“ memuatnya di halaman pertama rubrik luarnegeri koran tsb. Separuh paginanya adalah sebuah foto yang menggambarkan dua orang perempuan Indonesia yang sebentar lagi kepalanya akan dipenggal oleh dua orang algojo Arab Saudi. Lokasinya? --- Tidak salah lagi, --- di Saudi Arabia. Dua algojo itu pakai kedok, sedangkan dua orang perempuan korban, seluruh kepalanya ditutup kain hitam. Di belakang tampak beberapa orang membawa slogan-slogan: Antara lain berbunyi STOP EKSPOR PRT (Mungkin maksudnya Pembantu Rumah Tangga), “Bangun Solidaritas thdp Perempuan . . . (selanjutnuya kurang jelas teks berikutnya, karena tertutup oleh foto sang algojo.

Benar, gambar yang dimuat s.k.”deVolkskrant”: itu adalah sebuah foto mengenai demonstrasi yang diadakan di Yogyakarta. Aksi demo itu mengutuk dipenggalnya leher seorang prempuan TKI yang dituduh telah membunuh majikannya di Arab Saudi. Tindakan TKI itu adalah reaksi atas penganiayaan dan pemerkosaan yang dilakukan sang majikan Saudi terhadap dirinya.

Seorang promovenda Belanda, Antoinette Vlieger, Rabu kemarin meraih titel doktoralnya, dengan tema:

“PEMBANTU RUMAH TANGGA DI ARABIA ADALAH BUDAK-BUDAK”

Dengan sendirinya, sebagai orang Indonesia, kita merasa lebih tertarik pada tulisan “de Volkskrant” ini, karena yang menjadi fokus sorotan adalah mengenai nasib pekerja rumah tangga di Arab Saudi dan di Emirat (United Arab Emirat). Yang berbangsa INDONESIA, Filipina dan Bangladesh.

Tulis Antoinette Vlieger, “Pemerasan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap pekerja rumah tangga asal luarnegeri, di Arab Saudi dan Emirat benar-benar keterlaluan. Mereka tak punya hak apapun”.”Seorang pekerja rumah tangga formilnnya bukan barang yang dimiliki, tetapi kenyataannya begitu!.”

Antoinette bermukim 7 bulan lamanya di Arab Saudi dan Emirat untuk melakukan riset terhadap masalah pekerja rumah tangga asing di kedua negeri itu. Hasil risetnya sungguh mengungkap lebih lanjut betapa PRAKTEK ZAMAN PERBUDAKAN masih berlangsung di Arab Saudi dan Emirat.

Suatu ketika Antoinette berpura-pura sebagai orang yang memerlukan pembantu rumah tangga. Ia mengunjungi kantor makelar yang mengelola perdagangan budak ini. Bukan main terkejutnya Antoinette, ketika sang makelar tanpa malu maupun tedeng aling-aling, mengatakan kepada Antoinette: Kalau Anda menjemputnya (maksud pembantu rumah tagga) dari lapangan terbang, maka ia adalah b u d a k Anda. Lanjut sang makelar: Ambil paspornya, dan kurung dia dirumah. Kalau tidak, dia akan menceriterakan semua rahasia keluarga kepada tetangga-tetangga Anda. Sang makelar khusus menekankan kepada Antoinette, agar jangan mengizinkan keluar pembantu rumah tangga itu. Sebab, itu akan menyebabkannya jadi hamil.

Tulis Antoinnet selanjutnya: Sebagian besar dari pembantu rumah tangga tsb terjerumus dalam suatu priode kehidupan yang merupakan impian buruk tak terduga. “Mereka disuruh melakukan pekerjaan keluarga yang terdiri dari opa, oma, bapak, ibu dan enam orang anak-anaknya. Kebanyakan harus bekerja 7 hari seminggu, dan dalam 24 jam harus siap kapan saja untuk disuruh ini-itu. Mereka samasekali tak memperoleh perlindungan hukum apapun. Banyak sekali terjadi tindakan sewenang-wenang dan pemerkosaan.

Tahun lalu, seorang pekerja rumah tangga INDONESIA ditemukan mayatnya di tempat sampah. Lehernya hampir putus. Itu terjadi di Arab Saudi. Perempuan Indonesia itu ternyata telah diperkosa, diperlakukan sewenang-wenang kemudian dibunuh. Beberapa minggu sebelumnya seorang pekerja rumah tangga (23th) luka-luka berat diopname di rumah sakit. Ia disiksa dengan alat setrika dan gunting. Menurut sumber Indonesia, dalam tahun 2010, tidak kurang dari 120 orang pekerja rumah tangga Indonesia yang ditemukan mati.

Resminya para pekerja rumah tangga itu memiliki 'kontrak kerja' tetapi mereka tak memilik hak-hukum apapun.”Mereka tidak termasuk digolongkan hukum-perburuhan, karena mereka bekerja di perumahan. Pemerintah Arab tidak-mau-tahu dengan apa yang terjadi di dalam rumah-tangga. Di situ menurut tradisi patriakhat, yang jadi penguasa adalah majikan. Pekerja rumah tangga tidak bisa begitu saja berpindah majikan. Bila 'kontrak kerja' putus, maka visum tinggal juga tak berlaku lagi. Kapan saja ia menghendakinya, sang majikan bisa mendeportasi pekerja rumah tangga. Formalnya, pekerja rumah tangga itu, bukan seorang budak, tetapi dalam praktek mereka adalah budak-budak. Demikian besarnya ketidak-samaan kekuasaan, sehingga apa yang terjadi (di Arab Saudi dan Emirat) bisa dikatakan suatu perbudakan.

Kadang-kadang negeri-negeri seperti Indonesia dan Filipina, memprotes keadaan ini. Tetapi sedikit sekali pengaruhnya. Negeri-negeri itu, memang memerlukan uang (devisa yang diperoleh dari ekspor pekerja rumah tangga) itu. Kalau ribut-ribut, Arab Saudi juga mengancam tidak akan memberikan lagi visa bagi merka yang mau melakukan ibadah haji. Juga karena di negeri-negeri asal pekerja rumah tangga itu, korupsi merupakan hal yang biasa, dan status para pekerja rumah tangga itu rendah sekali.

Sistim hukum dan perundang-udangan di Arab Saudi dan Emirat, menjamin agar para pekerja rumah tangga itu, tidak mungkin memenangkan suatu perkara. Meskipun dibuktikan bahwa sang korban dilukai oleh siksaan.

Arab Saudi, kata Vlieger, adalah sebuah diktator. Segala-galanya didasarkan pada koneksi dengan keluarga Saudi dan dengan elite keagamaan, atau pada uang. Demikian Antoinette Vlieger mengungkap situasi penderitaan kaum perempuan pekerja rumah tangga di Arab Saudi dan Emirat.

Nasib kaum perempuan pekerja rumah tangga Indonesia seperti yang diungkapkan oleh hasil riset 7 bulan di Arab Saudi dan Emirat, masih belum ada perubahan.

Pantaslah menjadi perhatian kita semua, khususnya kaum perempuan Indonesia dan organisasi-organisainya. Namun yang paling bertanggung-jawab dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia!

(Ibrahim-Isa/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: