Jawaban:
Di benak setiap orang muslim pasti bertanya-tanya apa filsafatnya hukum-hukum syari’at. Bisa terbilang bahwa pentingnya pengetahuan tentang filsafat taklid lebih besar daripada pengetahuan tentang hukum-hukum yang lain, sebab apabila seorang mukallaf (muslim yang sudah memenuhi syarat untuk diatur oleh syari’at) mengetahui alasan kenapa dia harus bertaklid maka pintu pengamalan fatwa-fatwa mujtahid akan terbuka baginya.
Keharusan Bertaklid
Syari’at Islam memuat perintah wajib dan larangan haram yang diatur oleh Allah swt. untuk kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Jika manusia mematuhi aturan-aturan ini maka dia akan sampai pada kebahagiaan yang ideal, dan jika tidak maka dia tidak akan lepas dari jeratan siksa akibat pembangkangannya.
Di saat yang sama, tidak semua orang muslim dapat dengan mudah memahami hukum-hukum syari’at Islam dari al-Qur’an dan hadis atapun akal yang sehat. Al-Qur’an tidak seperti buku undang-undang atau risalah amaliah yang menyebutkan hukum-hukum syari’at secara tersusun rapi, terperinci dan terjelaskan dengan segala catatan-catatan parsialnya. Akal yang tidak terlatih dan bukan spesial di bidang ini tidak akan mampu menyimpulkan undang-undang yang dibutuhkan secara langsung dari al-Qur’an dan hadis.
Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at diperlukan berbagai basis pengetahuan yang di antaranya adalah: penguasaan ilmu logika pemahaman ayat dan hadis, penguasaan tentang hadis yang sahih dan tidak sahih, cara penggabungan antara ayat, hadis atau keduanya, dan masih banyak lagi. Dan untuk penguasaan itu juga diperlukan pendidikan yang serius selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini seorang mukallaf dihadapkan pada tiga pilihan jalan:
1. Menempuh jalan pendidikan spesial untuk menjadi mujtahid;
2. Mempelajari semua fatwa para mujtahid dan mengamalkan sesuatu yang sekiranya benar serta sesuai dengan semua fatwa mereka, jalan ini disebut dengan ihtiyath;
3. Bersandar pada fatwa seorang yang menguasai ilmu-ilmu tersebut dan spesial bahkan unggul di bidang hukum-hukum syari’at.
Tanpa diragukan lagi bahwa jika seseorang telah sampai pada tingkatan ijtihad maka dia tergolong ahli di bidang hukum syari’at dan tidak perlu lagi pada dua jalan yang lain, tapi untuk sampai kepada tingkatan itu untuk sementara dia terpaksa harus mengikuti salah satu dari dua jalan selain ijtihad. Dari satu sisi, jalan yang kedua (ihtiyath) membutuhkan pada data-data yang cukup tentang fatwa-fatwa yang ada dalam setiap persoalan, begitu juga tentang cara-cara berihtiyath. Dan berhubung jalan yang kedua ini sulit untuk ditempuh serta seringkali melumpuhkan kehidupan sehari-hari manusia, maka jalan yang ketiga adalah pilihan yang paling efektif, dominan, dan rasional untuk masyarakat umum.
Tentunya tiga pilihan ini tidak hanya berlaku dalam sikap manusia terhadap hukum syari’at, melainkan juga berlaku dalam segala persoalan spesialis dan pelik lainnya. Satu contoh seorang insinyur yang spesialis di bidangnya tiba-tiba jatuh sakit, kemudian untuk penyembuhan diri dari penyakit dia ada tiga pilihan, dia kuliah terlebih dahulu di jurusan kedokteran samapi akhirnya dia menjadi dokter yang ahli dalam menanggulangi penyakit tersebut, atau dia membaca seluruh pendapat dokter-dokter berkenaan dengan penyakit itu dan jika memungkinkan kemudian dia bersikap ekstra hati-hati agar tidak menyesal di akhir, atau pilihan yang terakhir adalah langsung saja dia pergi ke dokter spesialis dan meminta panduannya untuk mengobati penyakit yang dia alami.
Jalan yang pertama tidak bisa menyembuhkan penyakitnya secara tepat waktu dan cepat, adapun jalan yang kedua juga betul-betul sulit dan menghalangi dia dari pekerjaan spesialis dia sebagai insinyur. Oleh karena itu dia langsung saja mendatangi dokter spesialis dan berkonsultasi serta meminta bantuan darinya.
Penerjemah: Nasir Dimyati
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email