Oleh: Martin Mc Dermott
Penyamaan ilm al-kalâm dengan teologi dalam bahasa Barat tidak terlalu akurat karena keduanya beranjak dari titik yang berbeda. Tujuan kalâm, adalah untuk mempertahankan dan menjelaskan eksistensi Tuhan. Al-Mufid mendasarkan pembuktian Tuhan tidak hanya melalui akal namun juga wahyu. Kedua sarana ini dipakai juga untuk pembuktian kemaksuman para Imam Syi’ah yang sering menjadi titik tembak lawan-lawannya. Sedangkan tujuan utama teologi, menurut McDermott, adalah untuk “memahami iman.” Atau sebagaimana dikatakan Augustinus, salah seorang perintis tradisi teologis, “Saya percaya agar saya bisa memahami dan saya memahami agar saya mengimani secara lebih baik.”
SAYA tidak menganggap saya bisa menceritakan kepada Anda sesuatu yang baru perihal Syaikh al-Mufid. Sebagian besar Anda adalah para sarjana dalam tradisinya dan Anda menelaah karya-karyanya serta mengetahui sumber-sumbernya sampai ke suatu tingkat dan dengan kemudahan yang tidak pernah saya dapatkan. Meski demikian, saya berupaya memahami kalâm-nya sebaik mungkin dan memahami apa yang tengah ia lakukan dan maksudkan serta mencoba melakukan hal yang sama.
Dalam sebuah buku yang saya tulis tentang Syaikh al-Mufid, kadang saya menerjemahkan ‘ilm al-kalâm dengan kata “teologi”, karena kesamaannya yang sangat dekat dalam bahasa Barat. Tentu saja, ini bukan suatu terjemahan yang sangat memuaskan, karena ‘ilm al-kalâm tidak persis sama dengan “teologi” dalam dunia Kristen. Sekarang, tujuan saya adalah kembali kepada dua istilah ini dan menimbang sejumlah perbedaan antara apa yang dilakukan al-Mufid, sang mutakalllim dalam disiplinnya dan apa yang dimaksudkan teologi dalam Kristen. Ini sangat sederhana, saya sedang berpikir dalam tradisi saya sendiri, seorang Kristen Katolik yang model dan idealnya dalam teologi adalah Thomas Aquinas.
Saya mengakui bahwa maksud saya ini sangatlah personal, hanya untuk menjawab pertanyaan yang lama saya tanyakan kepada diri saya sendiri namun belum menyelidiki sebelumnya. Sekarang saya tengah mencoba melihat dua metode dalam perbandingan: metode ‘ilm al-kalâm dan metode teologi. Mengingat perbedaan-perbedaan tersebut membantu saya memahami al-Mufid secara lebih baik, apa tujuan yang dilakukannya dan yang tidak dilakukannya. Barangkali ini pun bisa membantu Anda untuk lebih memahami teologi Kristen, apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukannya.
Pembimbing saya dalam semuanya ini adalah Introduction á la Théologie Musulmane karya Louis Gardet dan Georges Anawati yang telah menjadi kajian monumental. Buku ini, bagaimanapun, mengandung kekurangan, yang diakui oleh para pengarangnya, yang tidak mempertimbangkan mutakallimûn Syi’ah.[1]
Pada galibnya dikatakan bahwa ‘ilm al-kalâm merupakan suatu pembelaan yang berwatak apologetis, yang baik dalam menurut sejumlah Muslimin, tapi tidak semua. Al-Ghazali menganggap ‘ilm al-kalâm sebagai obat yang berbahaya, hanya berguna untuk melindungi agama dari orang- orang dari membungkam kaum bid’ah.[2]
Definisi Ibn Khaldun berikut tentang ’ilm al-kalâm amat terkenal: “‘Ilm al-kalâm merupakan suatu ilmu yang mencakup pembuktian dengan bukti-bukti rasional dalam mempertahankan bagian-bagian agama dan menyangkal para pelaku bid’ah yang menyelewengkan dogma-dogma mereka dari doktrin-doktrin generasi sebelumnya dan ahli hadis (the people of tradition). Inti dari dogma-dogma ini adalah keesaan Allah.[3]
Dan sesungguhnya mutakallim, dalam mengelaborasi pembelaannya dari proposisi yang dipercayai, pada saat yang sama melakukan upaya untuk memahami dan menerangkan apa yang dipercayainya. Inilah yang membuat saya tertarik pada al-Mufid.
Di sinilah perbedaan mendasar antara kalâm dan teologi. Tujuan kalâm, pertama-tama, untuk mempertahankan dan, kedua, untuk menjelaskan. Adapun tujuan pertama teologi untuk menerangkan, yakni membangkitkan sejumlah pemahaman dari suatu misteri dimana pikiran manusia tidak bisa memahami sepenuhnya, dan yang kedua hanya untuk mempertahankan. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan itu tunggal. Dan kita, saya duga, juga berpendapat Tuhan merupakan satu misteri yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia yang terbatas. Kita sama- sama berpegang bahwa tidak ada yang bisa berlawanan dengan akal dalam wahyu sejati, karena Tuhan adalah pencipta akal dan wahyu itu sendiri. Tuhan pun bisa menyingkapkan segala sesuatu tentang Dirinya sendiri yang berada di batik kekuasaan kita untuk memahami sepenuhnya.
Kepentingan saya sendiri terletak pada upaya memahami dan menjelaskan data wahyu yang al-Mufid buat di dalam kalâm-nya. Salah satu hal penting yang dilakukan al-Mufid adalah menyiapkan pijakan rasional bagi akidah Imamiyah selama ketiadaan Imam al-Mahdi [yakni Muhammad bin Hasan al-Askari, Imam Keduabelas mazhab Syi’ah Imamiyah Itsnaasyariah―penerj.] Ia harus memenuhi tidak hanya keberatan-keberatan pihak luar namun juga tuntutan-tuntutan Syi’ah untuk penjelasan tentang bagaimana sesuatu yang diajukan untuk keyakinan tidak berlawanan dengan apa yang mereka ketahui.
Saya akan mencoba,
(1) menjelaskan sesuatu tentang konsep kalâm-nya al-Mufid;
(2) kemudian melihat bagaimana ia sendiri menjelaskannya; dan
(3) membandingkannya dengan metode teologi.
Konsep Kalam Al-Mufid
Pertama-tama, kalâm bagi para pakar. Meski mukmin awam dibolehkan untuk menjaga diri mereka sendiri dengan taqiyyah, kata al- Mufid, tetapi para imam telah memerintahkan kelompok lain yang lebih berilmu “untuk menghadapi lawan-lawan mereka secara terbuka dengan argumen dan mengajak mereka kepada kebenaran.”[4]
Karena, kata al-Mufid, sejak pertama telah ada di komunitas Imamiyah sejumlah orang yang “menggunakan akal (nazhar) dan argumen bagi kebenaran serta mencegah kebatilan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti, yang untuk itu para imam memuji mereka.”[5]
Dalam menilai metode gurunya Ibn Babawaih, al-Mufid mengkritik bahwa “ia [Ibn Babawaih] mengikuti metode tradisionis (akhbariyyah), menapaki permukaan, pengertian, dan menghindari dari jalan refleksi (al-‘i’tibâr). Sudut pandang ini merusak agama dari orang yang meyakininya dan menghalanginya penyelidikan rasional (al-‘istibshâr).”[6]
Dari kritik ini adalah mungkin untuk menyimpulkan ide al-Mufid sendiri tentang apa yang harus dilakukan seorang mutakallim. Ia harus merenungkan dan mencoba memahami pengertian hadis-hadis yang telah ia dengar. Hal ini akan membuktikan kualitas keimanannya sendiri dan dengan demikian memudahkannya secara lebih efektif untuk membela imannya terhadap serangan kaum kafir.
Kewajiban manusia pertama; menurut al-Mufid, adalah mengenal Allah.[7]
Tampaknya, kemudian, ini terjadi bahkan sebelum kewajiban untuk menalar pengetahuan wujud-Nya.
Semata-mata penerimaan pasu akan hadis-hadis tentang mereka yang mampu menalar, tidaklah membawa pahala, karena pengakuan dan penerimaan pasu bukanlah keyakinan.[8]
Bagaimanapun, ini tidak berarti mengatakan bahwa semua orang harus terampil dalam dialektika atau cerdas mengungkapkan pengetahuan mereka dalam perdebatan dan konflik.[9]
Karena nazhar tidaklah sama dengan munazharah.[10]
Umumnya manusia, kata al-Mufid, mampu memiliki pengetahuan personal, berdasarkan penalaran, yang menempatkan mereka di atas para penerima pasif, tanpa menjadikan diri mereka sendiri sebagai mutakallimûn.
Di pihak lain, al-Mufid mengatakan bahwa “akal (al-‘aql) memerlukan wahyu (al-sam’) baik pada premis-premisnya maupun pada kesimpulan-kesimpulannya. Dan ia tidak mengabaikan wahyu untuk menginformasikan kepada kaum jahil ihwal bagaimana demonstrasi (al- istidlâl) bekerja. Dan seorang rasul merupakan keniscayaan untuk penetapan awal dari obligasi moral dan permulaannya di dunia.”[11] Kesalingterkaitan akal dan wahyu adalah dasar dalam sistem al-Mufid. Sayang sekali, ia tidak melakukan teorisasi masalah itu secara lebih jauh dalam tulisan manapun yang kami miliki.
Kalam Al-Mufid dalam Praktis
Kandungan tulisan ini adalah bahwa al-Mufid melakukan banyak lagi ketimbang sekadar beradu argumen melawan para penentang pihak luar dan menolak musuh-musuh. Ketika melakukan hal ini, ia juga memenuhi sampai ke tingkat kebutuhan penting lainnya dari kaum Imamiyah yang telah dibangun oleh para imam ketika mereka ada, tapi yang membutuhkan kesinambungan pada masa al-Mufid dan masih perlu dilakukan sepanjang garis yang ia letakkan atau sepanjang garis yang diletakkan oleh para murid dan pelanjurnya. Tugas tersebut merupakan elaborasi rasional akan keimanan. Apakah yang dimaksud dengan doktrin ini atau itu? Bagaimana saya bisa membenarkannya terhadap keberatan-keberatan dari pikiran saya sendiri? Ini merupakan tugas pemberian dari suatu lapisan intelektual kepada apa yang diyakininya. Pasalnya, kandungan dan apa yang diyakini tidak berdiri di atas akal semata, namun juga pada wahyu (sam’).
Sampai noktah ini, misalnya, al-Mufid memerikan dalam al-‘Ifsa’h bukti empat rangkap tentang kebutuhan adanya seorang Imam: dan al-Quran, hadis, konsensus (ijma’), dan dan akal serta pengalaman. Dan bagian terakhir dan bukti itu, dan akal dan pengalaman, terkait pada dua premis: pertama, adalah mustahil menunaikan kewajiban-kewajiban hukum dan seorang mukmin tanpa sosok seorang Imam, dan, kedua, Tuhan tidak membebankan sesuatu yang mustahil.[12]
Maka salah satu dan dua premis tersebut dilambari pada wahyu, dan kedua, bahwa Tuhan tidak membebani sesuatu di luar kekuatan manusia, adalah dan akal.
Al-Mufid juga membidas pendapat golongan Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak memerintahkan sesuatu kepada manusia sesuatu di luar kemampuannya.[13]
Ini mengantarnya juga untuk mempertimbangkan apakah Tuhan berbuat demi kepentingan terbaik manusia, dan apakah Tuhan berbuat demikian karena Tuhan dibebani keadilan, atau apakah Dia menempatkan Dirinya sendiri pada sejenis obligasi moral yang terbit dari keagungan dan kemurahan-Nya.[14]
Dalam menjatuhkan keputusan yang kedua, al-Mufid bersesuaian dengan Mu’tazilah Baghdari yang berlawanan dengan mazhab Basrah.
Tapi sekiranya Tuhan tidak menegakkan keadilan yang ketat, tampaknya terlalu gegabah mendakwa bahwa kita mengetahui melalui akal apa yang Dia bisa dan tidak bisa lakukan. Maka itu, agaknya ini merupakan alasan lain mengapa tesis al-Mufid sebangun dengan doktrinnya yang lain bahwa nalar (‘aql) membutuhkan wahyu untuk menopangnya.
Hal ini tampak sama dengan doa Ibrahim as untuk melihat bagaimana Tuhan akan membangkitkan kembali yang mati. Tuhan menjawab, “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (QS 2:260). Tidaklah tepat untuk mengajukan banyak pertanyaan apakah itu. Yang dibutuhkan justru adalah ikhtiar untuk memahami bagaimanakah itu. Dan di dalam kalâm, ia merupakan suatu ikhtiar lebih dalam gerak pikiran (konsep dan sesuatu yang dimaknainya) ketimbang gerak kedua (keputusan) yang terkait dengan kebenaran dan kepalsuan. Yakni, kaum Imamiyah telah mempercayai apa yang dikatakan Imam.
Akan tetapi al-Mufid tetap ingin mengetahui bagaimana ini selaras dan harmonis dengan hal-hal lain yang ia ketahui melalui akal. Maka ia bertanya, misalnya, dalam al-Masâ’il al-Hâjibiyyah, bagaimana ayat al-Quran ini ataupun itu bisa disenapaskan dengan doktrin Imamiyah, misalnya tentang kesucian Ahlulbait, dengan ayat: “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS 33:33).[15]
Ini sesungguhnya permintaan akan pemberian ayat tersebut dimana ia secara rasional bisa menerima doktrin bahwasanya para Imam maksum dan suci adanya.
Atau, bagaimana perbuatan-perbuatan tertentu para nabi atau imam selaras dengan dengan kemaksuman mereka, umpamanya: sekiranya Ali mengetahui apa yang akan terjadi, mengapa dia tetap pergi ke mesjid tempat ia dibunuh dan mengapa Husain bin Ali bersiteguh pergi ke Kufah?[16]
Ini menggiring al-Mufid untuk mendedah secara lebih utuh makna ‘ishmah berikut makna yang tidak terkait dengannya.
Mempertimbangkan, selanjutnya, bahwa tujuan utama ‘ilm al-kalâm adalah untuk membela doktrin melawan para pembangkang dan musuh, maka ia pun memiliki fungsi sekunder, yakni menguraikan secara lebih utuh pengertian doktrin tersebut untuk memenuhi kebutuhan orang mukmin akan pemahaman yang lebih sempurna tentang apa yang mereka imani. Sara kira tugas kedua kalâm ini tampak meruah dalam karya al-Mufid.
Perbandingan dengan Teologi
Sejauh ini apa yang telah saya katakan barangkali jelas bagi Anda. Mengapa saya menjelaskan tentang hal itu? Pasalnya, sebelum melakukan studi atas kalâm dan al-Mufid, saya telah ditempa dalam teologi, dan rasa penasaran saya mendorong saya untuk menanyakan apa persamaan dan perbedaan antara dua ilmu tersebut. Saya mencatat tiga perbedaan: penekanan, fungsi, dan topik bahasan.
Dalam teologi, fungsi apologetik defensif bersifat sekunder yang mengacu pada peran sekunder minor. Karena teologi, terutama, merupakan dialog di antara orang-orang beriman ketimbang orang kafir. Tempat dialog tersebut adalah dengan orang kafir, satu yang terdapat di ranah filsafat atau apa yang disebut dengan teologi alamiah (natural theology), yang hanya memikat kepada sesuatu yang bisa dibuktikan dengan akal mandiri. Dan, dalam mempertahankan doktrin agama seseorang terhadap serangan pihak luar, atau dalam upaya meyakinkan seorang kafir akan kebenarannya, orang menggunakan ilmu yang disebut apologetik, bukan teologi pada umumnya.
Tujuan utama teologi adalah “memahami iman”. Atau sebagaimana dikatakan Augustinus, salah seorang perintis tradisi teologis, “Saya percaya agar saya bisa memahami dan saya memahami agar saya mengimani secara lebih baik.”[17] Ia menggunakan akal untuk mencoba melihat harmoni antara doktrin-doktrin di antara mereka sendiri dan juga melihat bagaimana doktrin-doktrin itu mengantarkan manusia ke tujuan akhirnya, yakni pengetahuan langsung akan Tuhan di surga. Dengan kata lain, jika suatu bagian sistem teologis berlawanan satu sama lain atau tidak cocok dengan satu sama lain, sistem itu gagal. Namun teolog seperti itu tidak menjadikannya sebagai masalahnya guna membuktikan kredibilitas dari apa yang diimaninya kepada seorang kafir. Demikian itu merupakan tugas filosof atau apologis. Teolog tidak berusaha membela dan memperdalam imannya. Dengan perenungan akalnya, apa yang diimani teolog merupakan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dengan melihat pertautan di antara mereka dan menarik kesimpulan darinya. Dalam proses ini, tujuan dia adalah untuk mengenal Tuhan secara lebih baik, meskipun Tuhan akan tetap merupakan misteri baginya. Buah dari ikhtiar ini pada akhirnya adalah cinta.
Pun, mesti dikatakan bahwa perbedaan lain antara pokok bahasan kalâm dan teologi adalah bahwa kalâm tidak membahas secara khusus rahasia-rahasia yang melampaui pemahaman kita.
Sudah tentu, setiap Muslim akan mengakui segera bahwa ada banyak hal tentang Tuhan dan apa-apa yang terkait dengan-Nya, al-ghayb, di balik pemahaman para makhluk-Nya. Namun tugas kalâm tidak berhubungan dengan misteri-misteri itu. Teolog, sesungguhnya, mendedah banyak subjek yang sama sebagai mutakallim, namun dalam sinaran berbeda.
Teologi berpandangan bahwa banyak kebenaran tentang Tuhan (bahwa Dia Ada, Dia itu Tunggal, Dia mengganjar setiap kebaikan dan menghukum setiap kejahatan dll.) bisa dibuktikan melalui akal semata, sementara wahyu itu sejatinya merupakan keniscayaan sehingga kebenaran- kebenaran ini bisa melalui semua orang, secara lebih cepat, mudah, dan tentu saja tanpa kesalahan yang berbaur di dalamnya.
Karena iman, dalam pandangan teolog, merupakan suatu karunia yang Allah tawarkan dan manusia bisa menerimanya, maka ketika manusia menerimanya, iman membangkitkannya melampaui kekuatan-kekuatan alamiahnya sendiri dan memudahkannya ntuk tidak meyakini pada kekuatan bukti-bukti yang mungkin atau tidak hadir melainkan karena firman Allah.
Apa yang sedang dicoba dilakukan teolog dengan menggunakan akalnya bersama bantuan karunia iman ini adalah untuk sampai pada sebagian pengetahuan akan Tuhan yang berada di antara pengetahuan seorang anak, yang hanya mengimani, dan pengetahuan langsung akan Tuhan yang dialami dalam cinta oleh mereka yang merenungkan Tuhan di dalam surga.
*. Diterjemahkan oleh Retno W. Wulandari, dan Method in Mufid Kalâm and in Christian Theology dalam http://home.swipnet.se/islam/articles/mufid.htm
Referensi:
1. Paris: Vrin, 1948. Ini diterjermahkan oleh Subhi ash-Shalih and Farid Jabr, Falsafar al-fikr al-Dini Bayn al-Islam wal-Masihiyyah, Beirut, Dar al-‘Ilm lil-Maláyin, 1969, 3 jilid.
2. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Din, jilid 1, hal.174, dikutip dalam Gardet-Anawati, hal. 71.
3. Al-Muqaddimah, 1164, Gardet-Anawati, hal. 309.
4. Tashih al-‘I’tiqâdât, hal. 66, M. McDermott, The Theology of al-Shaikh al-Mufid, Beirut: Dar El-Machreq, 1978, hal. 317.
5. Tashih, hal. 26- 7, “Theology”, hal. 315.
6. Tashih, hal. 67.
7. “Theology”, hal. 58, mengutip al-Karajaki, Kanz al-Fawâ’id.
8. Al-Fushûl al-Mukhtârah, hal.78, “Theology”, hal. 243.
9. Al-Fushûl, hal. 79, “Theology”, hal. 245.
10. Tashih, hal. 28, “Theology” hal. 316.
11. Awâ’il, hal. 11-12, “Theology”, hal. 60.
12. Al-‘Ifsâh fi Imâmat Amir al-Mu’minin, hal. 3-4, “Theology”, hal. 120.
13. Awâ’il, hal. 24-25, “Theology”, hal. 156.
14. Awâ’il, hal. 26, “Theology”, hal. 77.
15. Al-Masâ’il al-Hâjibiyyah, pertanyaan 1.
16. Ibid., pertanyaan 20.
17. Khutbah 43, 7, 9.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email