Jawaban:
1. Tauhid atau menyembah 2 tuhan.
Sebagian orientalis menyebutkan bahwa sebelum munculnya Zoroaster masyarakat Iran adalah penyembah alam. Mereka yakin bahwa Zoroasterlah yang membawa ajaran tauhid. Tapi menurut hadis-hadis islami,[1] jelaslah bahwa masyarakat Iran adalah masyarakat muwahhid sebelum datangnya Zoroaster dan ajaran agama mereka merupakan bagian dari agama tauhid.
Kepercayaan akan tauhid ini tetap berlangsung bahkan setelah Zoroaster muncul. Zoroaster juga menyebut dirinya sebagai penyeru tahudi dan mendakwahkan ajarannya. Dia mempercayai akan keesaan Allah dan menyebutnya sebagai Ahura Mazda yakni Tuhan yang memiliki kekuatan.[2]
Banyak dalil yang menyebutkan bahwa kepercayaan tauhid ini tetap berlangsung sampai beberapa lamanya setelah Zoroaster muncul dan para penganut kepercayaan Zoroaster juga tetap menjalin hubungannya dengan penganut agama tauhid lainnya. Untuk memperjelas hal ini, kami akan mengisyaratkan dalil yang menunjukkan kepercayaan Zoroaster terhadap tauhid dan hubungan mereka dengan agama tauhid lainnya:
a. Setelah Cyrus menaklukkan dua sungai, ia membantu kaum Yahudi agar mereka bisa kembali ke Palestina dan rumah ibadah mereka yang telah dihancurkan oleh Banucad Nasr dibangun kembali. Dalam titahnya, Cyrus berkata: Aku, Cyrus, raja Persia mengumumkan bahwa Tuhan telah memberikan langit dan semua dunia kepadaku. Dan Tuhan memerintahkanku untuk membangun sebuah rumah di kota Jerussalem yang terletak di Judas. Oleh karena itu, semua orang Yahudi yang berada di negaraku bisa kembali ke negaranya dan membangun rumah Tuhan di Jerussalem. Semoga Tuhan bersama mereka.[3]
b. Adanya bangunan seperti Ka’bah di Pasargad, ibukota Cyrus yang terletak di antara istana-istana dan pemakaman-pemakaman Cyrus, miniatur Ka’bah dan diperhatikannya arah kiblat di pemakaman Cyrus menunjukkan adanya hubungan antara Ka’bah yang merupakan simbol tauhid dengan ajaran Zoroaster. Setelah Cyrus, Monotheisme juga tetap melekat di antara anak-anaknya. Sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Raja Khusyayar: “Di antara negara-negara yang tunduk pada Khusyayar, terdapat sebuah negara yang sebelumnya menyembah jin; ketika aku menyadari ketidakbenaran jin atas kebaikan Ahura Mazda, aku mengumumkan agar rakyat tidak lagi menyembah jin. Setelah sebelumnya kau menyembah jin, kini aku menyembah Ahura Mazda sesuai dengan aturan yang benar..”.[4]
Adanya bangunan lain yang mirip Ka’bahdan saat ini disebut dengan Ka’bahnya Zoroaster yang terdapat dalam peta Rustam adalah dalil lain tentang hubungan antara ajaran Zoroaster dengan agama tauhid lainnya, terutama kuburan beberapa raja Khamamansyi, seperti kuburan Raja Khusyayar yang dikelilingi oleh bangunan mirip Ka’bah dan ini menunjukkan pentingnya bangunan yang mirip dengan Ka’bah ini. Seolah-olah bangunan ini adalah pengingat Ka’bah. Karena jika tidak, maka tidak akan ada kesesuaian yang bisa ditemukan antara kedua bangunan ini, yaitu Ka’bahnya Zoroaster sebagaimana yang terdapat dalam peta Rustam dengan bangunan seperti Ka’bah yang terdapat di Pasargad.
c. Hubungan dengan agama tauhid lainnya dan kepercayaan tentang adanya rasul yang diutus Allah juga terus berlangsung setelah pemerintahan raja Khamamansyi dan pemrintahan Skanian. Bukti yang paling penting adalah keberadaan sekelompok Majusi Iran di Palestina untuk mencari Nabi yang baru dilahirkan yaitu Nabi Isa as. Menurut Injil Mathius: “Beberapa Majusi ahli bintang telah datang dari timur ke kota Jerussalem” dan bertanya: “Di manakah bayi yang baru lahir yang akan menjadi raja Yahudi kelak? Kami telah melihat bintangnya di daerah Timur terpencil. Kami datang untuk menyembahnya....ketika mereka masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anak (Isa) danibunya Maryam, mereka bersujud dan menyembah anak itu. Kemudian mereka membuka hadiah yang mereka bawa berupa emas, minyak wangi dan rempah-rempah dan diserahkan pada Maryam. Namun ketika dalam perjalanan pulang mereka tidak melalui Jerussalem sehingga mereka bisa mengabari Herodeus; sebab dalam mimpinya mereka mendapat perintah dari Tuhan untuk kembali ke negaranya dari jalan lain”.[5]
Bukti sejarah ini menunjukkan bahwa ajaran Zoroster memiliki akar tauhid dan memiliki hubungan yang erat dengan agama Ibrahim dan sebagaimana ajaran Ibrahim, salah satu rukun ajaran Zoroaster adalah tauhid dalam penciptaan (khaliqiah). Jhon B. N menulis: Bertentangan dengan akidah sebagian masyarakat Zoroaster kontemporer, nabi kuno itu (Zoroaster) berkata bahwa berdasarkan iradah Ahura Mazda, semua makhluk telah diciptakan dan sebagaimana yang tertera dengan jelas dalam kitab Gatuha, Ahura Mazda adalah pencipta nur dan kegelapan.[6]
Oleh karen aitu, dalam keyakinan resmi kitab Avesta telah tertulis bahwa Ahura Mazda adalah Tuhan mulia yang disembah dan memiliki esensi mulia serta tidak memiliki contoh (tandingan). Namun tauhid murni ini kemudian mengalami pembagian[7] dan tauhid yang diajarkan Zoroaster ini mengalami perubahan.
2. Kepercayaan akan akhirat.
Zoroaster menganggap dirinya nabi dan mengajak umatnya untuk menyembah Ahura Mazda serta memberikan kabar gembira tentang pahala yang akan diberikan karena melakukan perbuatan baik. Sebagaimana ia berdoa kepada Ahura Mazda: “Aku akan membawa diriku pada tempat yang paling tinggi, karena aku tau pahal apa yang telah dijanjikan oleh Ahura mazda untuk semua perbuatan baik”.[8]
Dengan memperhatikan pesan yang jelas dalam Avesta, orang-orang yang mengimani Zoroaster percaya akan kekekalan ruh dan mereka berkata: “Setelah setelah meninggalkan badan ruh akan tinggal di alam barzakh sampai tibanya hari kiamat. Mereka juga meyakini sirath, timbangan amal, surga dan neraka. Surga dalam ajaran Zoroaster tak lain seperti surga dalam ajaran Islam”.[9]
3. Dasar Amaliah
Laporan detail dan terperinci tentang ahkam amali Zoroaster tidak sampai ke tangan kita. Yang kita tahu darinya hanyalah Mazdaism, salah satu cabang dari Zoroaster. Namun, hadis Islam telah menegaskan keberadaan nabi dan kitab suci Majusi.[10] Di sisi lain, kepercayaan akan tauhid dan hubungan erat antara pengikut Zoroaster di zaman Khamamansyi dan Skanian dengan agama Ibrahim lainnya yang dapat ditemukan dalam pengumuman Cyrus sedangkan Cyrus mengumumkan bahwa dirinya ditugaskan oleh Tuhan untuk membangun tempat ibadah di Jerussalem, menunjukkan bahwa prilaku pengikut ajaran Zoroaster diambil dari ahkam ilahi dan semua prilaku mereka seperti prilaku para muwahhid.
Tidak ditemukannya ahkam amali ajaran Zoroaster sebelum zaman Sasania adalah karena ajaran ini tidak mengenal kebiasaan menulis dan lebih mengutamakan kebiasaan berbicara. Sebagian sumber yang menunjukkan dasar akidah dan amali Zoroaster telah berhasil dikumpulkan pada zaman Sasania dan bahkan setelah munculnya Islam[11] dan untuk menisbahkannya dengan Zoroaster dan pengikut Zoroaster sebelum zaman Sasania tidak akan begitu menyentuh kenyataan. Meskipun demikian, catatan yang ada juda dapat menghasilkan kesimpulan bahwa ajaran Zoroaster juga mengklaim akan menunjuki manusia menuju keselamatan, sebagaimana ajaran agama lainnya, dan juga menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat jika manusia mengamalkan ajaran ini. Sumber paling penting yang menunjukkan aturan amal ajaran Zoroaster adalah bagian Wandida dalam kitab Avesta. Bagian ini terdiri dari dari 202 paragraf, tentang halal dan haram, najis dan suci, dan sebagian balasan, dasar amali dan perbuatan dalam ajaran Zoroaster.[12]Dengan mempelajari bagian ini dan bagian lainnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari penciptaan dan hasil kehidupan adalah bahwa manusia harus berusaha memakmurkan kehidupannya dan kehidupan sesamanya di duni dan dengan pikiran, perkataan dan perbuatan baik manusia dapat menunjukkanbahwa ia layak bergabung dengan alam kekal kelak.[13]
Meskipun aturan yang terdapat dalam Avesta memiliki banyak khurafat ketika dibandingkan dengan agama-agama Ibrahim, khususnya Islam,[14] namun aturan itu sangat memperhatikan tantang kewajiban manusia di hadapan Ahura Mazda (Tuhan) dan kewajiban dengan sesamanya; meskipun di antara aturan itu terdapat juga penyimpangan, ifrath dan tafrith.
Pembahasan seblumnya lebih membahas tentang kesamaan antara ajaran Zoroaster dengan agama Ibrahimi lainnya. Agama ini juga memiliki banyak perbedaan dengan agama lainnya. Ahkam amali yang terdapat dalam bagian Wandida kitab Avest sama sekali tidak sesuai dengan agama-agama samawi. Mislanya, wanita yang melahirkan anak mati harus diasingkan di tempat terpencil, jauh dari api dan air. Ia baru boleh minum susu jika ia telah meminum beberapa gelas urin sapi jantan yang telah dicampur dengan debu. Ia baru boleh minum air beberapa hari berikutnya.[15]
Dalam Wandida ini juga disebutkan adanya beberapa kebiasaan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya jika seseorang membunuh anjing laut maka hendaknya ia dicambuk 10 ribu cambukan...membunuh ribuan ular, katak dan.....[16]agar dosanya diampuni. Ahkam seperti ini terdapat dalam Wandida dan dengan memperhatikan bagian ini dapat dipastikan bahwa ia tidak akan mempu menunjuki manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Penerjemah: Mukhlisin Turkan
Referensi:
1. Silahkan rujuk: Ushul Kafi, jilid 4, hal. 14; Ahmad bin Ali Thabarsi, Ihtijaj, Intisyarat Uswah, cetakan 2, 1416, jilid 2, hal. 236; Majlisi, Biharul Anwar, Beirut, Darul Ahya Tirasul Arabi, cetakan 3, 1403, jilid 10, hal. 179, Syaikh Muhammad bin Hasan Thusi, Attahzib, Beirut, Darutta’arif lil Mat’buat, 1412, jilid 6, hal. 275.
2. Mahmud jawad Masykur, Khulasah Adiyan dar Tarikh-e Dinha-ye buzurg, Intisyarat Syarq, cetakan empat, 1369, hal. 97.
3. Kitab Muqaddas Kitab Uzra, jilid 1, hal. 2-4 dan hal. 466.
4. Richard N, Fried, Miras-e Bastani Iran, terjemahan Mas’ud Rajab Nayi, Intisyarat Ilmi va Farhanggi, cetakan 3, 1377, hal. 192.
5. Injil Mathius, 2/2, 3, 11 dan 12, Kitab Muqaddas, hal. 894.
6. Jhoan B.N, Tarikh Jami Adiyan, terjemahan Ali Ashgar Hikmat, Intisyarat Amuzes Inqilab-e Islami, cetakan 5, 1370, hal. 458.
7. Idem, hal. 468.
8. Jalil Dustkhah, Avesta,Intisyarat Marwarid, cetakan awal, 1370,jilid 1, hal. 8, Yasnah Hat, 4/28.
9. Husain Taufiqi, Asnayi be Adiyan-e Buzurg, Intisyarat semat, cetakan awal, 1379, hal. 66.
10. Siqqatul Islam Kulaini, Alkafi, jilid 4, hal. 12, sesuai nukilan CD Nur 2.
11. Silahkan rujuk: Murtadha Muthahhari, Majmu’e Asar, Khadamat Mutaqabal Islam va Iran, hal. 213-214.
12. Jalil Dustkhah, idem, jilid 2, hal. 659-888.
13. Idem, pengantar jilid 1, hal. 37.
14. Murtadha Muthahhari, idem, hal. 235.
15. Avesta, jilid 2, hal. 715 dan 716, paragraf lima, hal. 46-57.
16. Jalil Dustkhah, idem, jilid 2, hal. 822, Wandida, parafgraf 14.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email