Manusia dan Ibadah
Manusia dalam hidupnya tidak mempunyai kebebasan yang mutlak. Manusia sebagaimana halnya makhluk yang lain dalam hidup ini juga mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Aturan-aturan kehidupan manusia inilah yang dalam pandangan Islam termaktub dalam al-Quran dan hadis Nabi saw. Ada sebuah hadis yang berbunyi, “Allah sangat suka agar manusia juga bebas dalam berbagai masalah yang di dalamnya ia diberi kebebasan.” Maksud dari hadis ini adalah hendaknya manusia menganggap kebebasan yang diberikan sebagai kebebasan juga. Dalam hadis lain, Imam Ali berkata, “Sesungguhnya Allah meletakkan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar. Karena itu, janganlah engkau melanggarnya. Allah telah meletakkan serangkaian kewajiban yang harus dilakukan. Maka, janganlah engkau meninggalkannya. Begitu juga dalam beberapa masalah, Allah bersikap diam. Namun, itu bukan karena lupa. Maka janganlah engkau kemudian menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkanmu.”
Tindakan dalam mentaati ketentuan dan larangan Allah inilah yang disebut ibadah. Ibadah mempunyai pengertian ada yang umum dan yang khusus. Definisi yang di atas itu merupakan ibadah umum, sedangkan ibadah khusus meliputi shalat, puasa, zakat, berdoa, haji dan lain-lain. Ibadah ialah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia. Dari sisi batin, manusia mengarahkan perhatiannya kepada Zat yang telah menciptakannya dan juga menggenggam wujudnya dalam kekuasaan-Nya. Manusia membutuhkan Zat itu. Pada hakikatnya, ini merupakan perjalanan yang ditempuh manusia dari makhluk kepada pencipta-Nya. Terlepas dari semua faedah dan pengaruh yang ditimbulkannya, ibadah merupakan salah satu kebutuhan jiwa manusia. Tidak dilaksanakannya ibadah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam jiwa manusia.
Dalam hal ini, ada sebuah contoh sederhana. Jika kita hendak meletakkan dua wadah di kedua sisi punggung seekor hewan, maka kedua wadah itu harus seimbang. Tidak boleh satu wadah penuh berisi barang, sementara wadah lainnya dibiarkan kosong. Dalam jiwa manusia ada ruang-ruang kosong. Dalam hati manusia, ada banyak tempat kosong. Setiap kebutuhan yang tidak terpenuhi akan membuat jiwa manusia gelisah dan tidak seimbang. Jika manusia berniat menghabiskan seluruh umumya dengan hanya melakukan ibadah dan tidak mau memperhatikan berbagai kebutuhan lainnya, maka kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi itu akan berontak, menyakitinya, dan membuatnya resah. Sebaliknya juga demikian. Sekiranya manusia sepanjang hidupnya hanya berusaha memenuhi keinginan-keinginan materi saja dan tidak mau sama sekali memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka ruh dan jiwanya akan senantiasa berada dalam keadaan resah dan memberontak.
Di masa mudanya, Nehru, tokoh India, adalah seorang yang sama sekali tidak beragama. Namun pada masa-masa akhir hidupnya, keadaanya berubah. Ia mengatakan, “Aku merasakan ada sebuah ruangan hampa dalam hatiku dan juga di alam ini, yang tidak mungkin bisa kupenuhi kecuali dengan masalah-masalah spiritual. Terjadinya berbagai goncangan dan keresahan di alam ini ialah disebabkan kekuatan-kekuataan spiritual telah dilemahkan. Inilah vag menyebabkan tidak ada lagi keseimbangan di alam ini.”
Jelaslah bahwa manusia benar-benar membutuhkan ibadah dan ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang yang disebabkan manusia jauh dari ibadah. Terlepas dari semua pertimbangan, shalat adalah dokter yang senantiasa siap melayani penghuni sebuah rumah. Jika olah raga sangat bermanfaat bagi kesehatan badan, jika air bersih sangat penting dan diperlukan oleh seisi penghuni rumah, jika udara bersih sangat dibutuhkan oleh setiap orang, dan jika makanan sehat dan bergizi diperlukan oleh setiap orang, maka shalat juga penting bagi keselamatan dan kesehatan manusia. Betapa banyak orang bisa membersihkan jiwanya. sekiranya mereka mengkhususkan satu jam saja dari sehari semalam untuk mengadu dan bermunajat kepada Tuhannya.
Dengan demikian, unsur-unsur yang akan meresahkan jiwa manusia bisa dikeluarkan dengan perantaraan shalat. Islam adalah agama yang mencakup sosial dan akhlak. Mengapa? Sebab Islam mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran sosial yang lebih utama. Allah berfirman dalam al-Quran,
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al- Hadid:25).
Dalam ayat lain Allah berfirman,
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari tengah-tengah mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. (QS. al-Jumu’ah:2)
Apakah di sini berarti bahwa Islam memandang rendah nilai yang dimiliki ibadah karena Islam demikian tinggi memandang nilai yang dikandung dalam ajaran,ajaran sosial? Dalam hal ini, Islam tidak mengecilkan arti ibadah, meskipun hanya sebesar biji saqwi. Bahkan, Islam tetap menjaga kedudukan dan derajat ibadah di atas segala sesuatu ini. Dalam pandangan Islam, Ibadah merupakan pokok ajaran. Jika ibadah tidak dilaksanakan secara benar, maka masalah-masalah sosial dan akhlak juga tidak akan benar. Jika ibadah tidak diwujudkan, maka kedua ajaran tersebut, yaitu ajaran akhlak dan ajaran sosial tidak akan bisa berubah menjadi realitas di alam nyata.
Dalam pandangan Islam, tidak diakui bahwa diri seseorang yang tidak mengerjakan shalat ada ciri-ciri seorang Muslim. Imam Ali berkata, “Tidak ada sesuatu yang mencapai derajat shalat setelah beriman kepda Allah.” Rasulullah saw bersabda, “Shalat tidak ubahnya seperti mata air hangat yang ada dalam rumah seseorang. Di situ ia mandi sebanyak lima kali dalam sehari dengan menggunakan air hangat itu.” Imam Ali berkata, “Engkau harus menepati shalat dan engkau harus memeliharanya. Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw,
Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mendirikannya. (QS. Thaha:132)
Dalam ayat lain dikatakan,
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya knmu berdiri (mengerjakan shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya. Dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. (QS. al-Muzzammil:20).
Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sempurna tanpa ibadah. Nabi saw tetap seorang Nabi. Namun demikian, beliau tetap mengerjakan ibadah ketaatan dan istighfar. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Setiap kali Rasulullah saw duduk dalam satu majelis, beliau mengucapkan istighfar sebanyak dua puluh lima kali.
Yang beliau ucapkan ialah: Astaghfirullah rabbî wa atûbu ilâîh, yaitu aku memohon ampun kepada Allah yang merupakan Tuhan-Ku dan aku bertaubat kepada-Nya.” Jika Rasulullah saw yang seorang Nabi saja masih tetap melakukan ibadah kepada Allah, apalagi kita sebagai pengikutnya yang banyak kelemahan dan dosa.
Jalan Menuju Kesempurnaan Manusia
Dalam diri manusia, menurut tradisi tasawuf, terdapat dua keperihan yang merupakan salah satu jalan menuju manusia yang sempurna. Dua keperihan itu adalah berupa kerinduan ‘kembali kepada asal’ dan keperihan melihat penderitaan orang lain. Sehingga dengan penekanan kepada dua sisi ini, maka manusia tersebut dapat menjalankan dengan apa yang sering disebut hablum minallah dan hablum minnannas.
Keperihan manusia yang pertama yakni rindu pada Ilahi banyak diceritakan dalam tradisi tasawuf. Misalnya, diceritakan dalam kisah-kisah sufi bagaimana seekor beo dalam sangkar yang dibawa dari India selalu ingin menghancurkan sangkar itu dan terbang kembali ke kampung halamannya. Begitu pula Maulawi bercerita tentang buluh perindu yang dipotong dari rumpunnya, lalu Anda mendengar rintihan seruling yang meratapi perpisahan itu dan kerinduan untuk bersatu kembali.
Ibarat-ibarat itu menggambarkan kegelisahan manusia yang ingin kembali ke dunia berikutnya, yang merasakan perihnya perpisahan dan yang rindu akan persatuan Ilahi. Itulah penderitaan menjadi orang asing di dunia ini dan terpisah dari sumber aslinya di dunia lain. Ia rindu kembali. ke rumahnya sendiri, kepada Tuhan, kepada surga tempat ia dulu diusir. Namun kedatangannya ke dunia ini tidaklah salah dan sia-sia melainkan mempunyai tujuan.
Sebuah hadis Nabi saw mengatakan, “Barangsiapa mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.” Kerinduan manusia akan Tuhan, menurut hadis ini dapat dicari dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana al-Quran juga memberikan keterangan tentang masalah ini,
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu. (QS. Fushshilat:53)
Jadi, manusia itu sendiri menurut hadis dan ayat al-Quran, merupakan tempat memasuki dunia spiritual. Ini bisa terjadi, karena di dalam hakikat manusia ada unsur-unsur yang tidak selaras dengan dunia materi. Ini bukan hanya dipercayai para psikolog lama; psikolog modernpun mengakuinya secara jelas. Selain itu kriteria kemanusiaan manusia dan yang memberinya kepribadian tidak dibentuk oleh alam atau sesuatu yang lain, tapi oleh manusia sendiri. Imam Ali bin Musa al-Ridha as mengatakan, “Yang ada di sana diketahui melalui yang ada di sini.”
Dengan demikian, ketika manusia sudah mengenal dirinya yang ini berarti manusia mengenal Tuhannya, maka dengan sendirinya tumbuh rasa pengabdian pada-Nya. Pengabdian ini harus didasarkan atas cinta sejati, bukan cinta pamrih. Cinta sejati kepada Tuhan ini membuat manusia sepenuhnya tak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan tak merasakan sakit apa pun, sekalipun anak panah dicabut dari badannya. Sakit perpisahan dengan Tuhan dan kerinduan akan kedekatan dengan-Nya ini tidak berakhir sampai ia bersatu dengan Tuhan.
Keperihan lain manusia adalah bila ia merasakan penderitaan manusia lain. Apabila lapar dan derita orang lain menjadi lebih sulit ditanggung daripada lapar dan derita sendiri, itu adalah nilai dasar kepribadian dan sumber nilai-nilai manusiawi lainnya. Ia mencakup rasa tanggung jawab terhadap orang lain, terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia. Sa’adi berkata:
Bukan kemiskinan yang membuatku pucat.
Aku pucat karena meratapi fakir miskin.
Tentang ini dapat kita simak pandangan para sufi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Murtadha Muthahhari dalam buku Manusia Sempurna. Selama seseorang terpisah dari Tuhan, segala sesuatu salah. Tetapi, setelah bersatu dengan Tuhan, mengenal dan mendekati-Nya serta merasakan-Nya dengan diri sendiri, seseorang harus berpaling kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kesertaan-Nya untuk menolong, menyelematkan dan membawa mereka mendekati Tuhan. Apabila seorang manusia berjalan dari manusia kepada Tuhan, ia tak akan mencapai apa pun. Apabila ia bergerak ke arah manusia tanpa bergerak kepada Tuhan, ia akan seperti penganut paham materialis sekarang, yang tak mampu melaksanakan sesuatu, karena jalan itu sama sekali palsu. Hanya orang-orang yang telah menyelamatkan diri sendiri yang akan menyelamatkan orang lain dari perbudakan alam dan manusia. Itu berarti, ia mula-mula harus bebas dari hawa nafsu, kemudian dari dominasi dunia lahiriah dan sesama manusia.
Dalam ayat al-Quran dijelaskan keperihan Nabi saw yang melihat penderitaan umatnya. Allah berfirman,
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang yang mukmin. (QS. at-T aubah:128)
Ayat ini menunjukkan betapa Nabi saw begitu berhasrat membimbing dan menyelamatkan manusia dari perbudakan dan kesulitan-kesulitan di dunia ini sehingga beliau serasa hendak bunuh diri karena keperihan hatinya. Jadi, Nabi merasakan kesusahan manusia lain dan berbuat sebesar mungkin untuk mereka.
Sahabat Nabi saw yang mempunyai rasa keperihan seperti Nabi adalah Imam Ali. Imam Ali menunjukkan perasaan yang sama. Disebutkan dalam Nahjul al-Balaghah, suatu kali ia menerima laporan dari Basrah bahwa Utsman bin Hanif menghadiri suatu pesta. Memang di pesta itu tidak ada minum-minum, perjudian, dan maksiat. Tetapi Ali menegur gubenurnya itu karena menghadiri pesta yang hanya dihadiri para aristokrat, dan tidak menyertakan fakir miskin. Lalu Ali menggambarkan keperihan-keperihannya sendiri; bahwa ia dapat memperoleh semua sarana kenikmatan, hiburan dan kesenangan bila ia kehendaki, tapi ia tidak ingin melepaskan kendali kehidupannya di tangan hawa nafsu. Ia memikirkan semua orang di berbagai negeri yang miskin dan sangat memerlukan. Inilah yang dimaksud dengan ‘merasakan keperihan orang lain’. Ia mengatakan, “Haruskah saya puas dengan gelar ‘khalifah’ dan ‘amir al-mukminin’ tanpa turut mengambil bagian dalam kesusahan kaum mukmin?”
Kisah berikut ini juga menceritakan keperihan Imam Ali terhadap penderitaan pengikutnya. Suatu hari, Imam Ali melihat seorang wanita membawa kantung air dari kulit dan berpikir bahwa tentulah ia sendirian sehingga terpaksa harus melakukan pekerjaan seperti itu. Ia mendekati wanita itu sambil menawarkan bantuan.
Wanita itu menerima tawaran itu. Ketika tiba di rumahnya, Imam Ali menanyakan kepadanya apakah tak ada orang lain yang akan menolongnya. Wanita itu mengatakan bahwa suaminya telah gugur di pihak Ali, dan tak ada lagi orang yang mengurusnya. Mendengar itu, segenap tubuh Ali serasa terbakar belas kasihan, dan ia tak dapat tidur semalam suntuk. Esok paginya ia dan para sahabatnya membawa perbekalan ke rumah wanita itu. Di sana beliau sendiri memasakkan daging memberi makan anak-anak wanita itu yang telah piatu dan mengelus-elus mereka seraya mengatakan, “Maafkan Ali karena telah melalaikan kamu.” Kemudian ia menyalakan tungku, mendekat untuk merasakan panasnya, seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Ali, rasakan panasnya ini agar kau tidak melupakan panasnya neraka karena melalaikan kaum yatim piatu, miskin dan lain-lain.”
Dengan demikian dua keperihan ini, rindu Ilahi dan merasakan penderitaan orang lain haruslah terpatri di hati-hati kita. Dengan keperihan ini maka kehidupan akan selamat, yaitu ketika mengarungi dunia menuju kehidupan abadi, akhirat.
Pentingnya Itsar
Di tengah kesulitan yang sedang menimpa bangsa kita sekarang ini, ada baiknya kita simak satu riwayat yang mengajarkan kepada kita untuk mendahulukan orang lain dibanding diri kita sendiri (itsar). Pada satu ketika ada tiga orang sahabat Nabi saw sedang berada di medan peperangan melawan orang-orang kuffar. Ketiga sahabat Nabi saw itu terkena anak panah yang terhujam di tubuhnya. Salah seorang di antara mereka terkena panah pada bagian leher, seorang lagi terkena pada bagian dada dan yang satu lagi pada bagian paba. Tiba-tiba ada seorang sahabat lain datang dengan membawa secawan air menghampiri mereka bertiga yang sedang dalam kesakitan yang amat sangat dan mendekati sakratul maut.
Pada saat itu lah suatu persaudaran sejati yang diikat tali akidah tauhid terlihat. Betapa dalam keadaan yang sedang sulit sekalipun mereka saling memperhatikan sesamanya. Begitu minuman itu sampai di orang yang pertama ia pun menolaknya, dan seraya mengatakan, “Berikanlah air kepada sahabatku, karena ia kesakitan.” Ketika orang yang kedua hendak minum air, ia teringat sahabatnya dan menolak minuman itu seraya berkata, “Berikanlah air kepada sahabatku yang lain, karena ia kesakitan.” Demikian pula dengan orang yang ketiga, ia pun menolaknya. Pada akhimya mereka bertiga meninggal dunia. Sampai sedemikian rupa sifat itsar yang mereka miliki.
Begitulah sifat itsar yang terpelihara dalam diri sahabat Nabi saw. Sifat ini amat relevan jika diterapkan pada keadaan kita sekarang ini. Di saat harga-harga yang membumbung tinggi yang telah menyesakkan dada masyarakat miskin. Kita saksikan pula di media massa, jutaan orang yang tidak dapat hidup layak di tengah kekayaan negeri ini. Para nelayan tidak bisa lagi melaut karena tidak mampu lagi membeli solar yang harganya demikian tinggi. Para pedagang menaikkan harga barangnya sehingga masyarakat makin sulit membelinya. Dalam situasi seperti ini sifat itsar menjadi penting kita lakukan. Bukan malah kita menunjukkan ketidaksederhanaan, dengan pesta-pesta mahal di tengah himpitan kemiskinan masyarakat. Sungguh kata Nabi saw, “Bukan termasuk golonganku barangsiapa yang tidak mementingkan yang lain.”
Jadi di tengah kesulitan hidup ini, tidak pantaslah kita menunjukkan kesenangan di hadapan penderitaan orang lain. Pernah pada suatu hari menantu Rasulullah saw yang bernama Ali bin Abi Thalib as bekerja menimba air dari sumur yang sangat dalam dengan mendapat upah tiga biji kurma dan sebungkus nasi yang cukup untuk dimakan sekeluarga. Istri beliau, Fatimah as amat gembira tatkala melihat Ali bin Abi Thalib pulang dari bekerja dengan membawa makanan. Fatimah as segera memanggil kedua putranya untuk makan bersama, tiba-tiba di depan pintu ada seorang pengemis sedang mengetuk pintu. Fatimah as membuka pintu dan Ali bin Abi Thalib memberikan sebungkus nasi itu kepada pengemis.
Begitulah pendidikan yang beliau terapkan dalam keluarga yang bersumber dari didikan Rasulullah saw. Tentu kita pernah mendengar tentang kisah hijrah Rasulullah saw bersama para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah, dan muncullah istilah Muhajirin dan Anshar, ketika kaum Muhajirin sampai di kota Madinah disambut dengan lapang dada oleh kaum Anshar. Setelah dipersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, kemudian mereka kaum Anshar memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum Muhajirin, seperti hewan, pakaian bahkan tempat tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Antara Muslim yang satu dengan yang lain adalah bersaudara bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.”
Memang untuk menjalani sifat itsar ini amat sulit. Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu pernah menulis tentang akhlak yakni mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama Muslim. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syariah, ternyata perlakuan kepada sesama Muslim juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.
Menurutnya ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dan juga dalam persahabatan terhadap sesama saudara seiman. Ia merujuk pada satu hadis yang menyebutkan, “Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya.” Kelanjutan dari hadis itu mengatakan, “Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya.” Kemudian, “Terkutuklah orang yang menipu saudaranya.” Kemudian berikutnya, “Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya.” Dan yang terakhir, “Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya.”
Sayyid Abdullah menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik dalam menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Yang paling rendah adalah bahwa kita menganggap saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.
Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Memang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 3500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 2000,00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.
Sedangkan pada tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada saudara kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.
Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun kita sangat memerlukan. Mungkin orang-orang seperti Nabi dan Wali Allah saja yang bisa itsar. Orang-orang yang sudah menjadikan itsar itu jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.
Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, “Ada golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari ‘Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt.” Ia adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali. Dan juga orang yang meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada sesama Muslim. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya.
Mengenal Allah dan Menegakkan Keadilan Sebagai Misi Para Nabi
Bila kita merujuk kepada al-Quran kita akan mendapati dua konsep yang menjadi tujuan diutusnya para nabi. Kedua konsep itu ialah: (1) Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. (2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia. Inilah inti tujuan semua ajaran para nabi.
Berkaitan dengan tujuan para nabi a-Quran menjelaskan,
Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan seizing-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab:45-46)
Dari semua aspek yang disebutkan dalam ayat ini, tampak jelas bahwa “mengajak kepada Tuhan” merupakan tujuan utama diutusnya para nabi. Sementara di sisi lain, al-Quran berkata di dalam surat al-Hadid ayat 25, Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Ayat ini berbicara secara gamblang bahwa tujuan utama misi kenabian ialah menegakkan keadilan.
Jika kita mencermati kedua ayat al-Quran ini yang berbicara tentang tujuan para nabi, terlihat ada dua macam tujuan, yaitu tujuan yang bersifat individual dan sosial. Tujuan yang bersifat individual ini adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, ini dapat kita sebut sebagai monoteisme individual. Sedangkan tujuan yang bersifat sosial ialah melakukan penegakkan nilai keadilan di tengah masyarakat yang dapat kita sebut sebagai monoteisme sosial.
Di antara dua tujuan para nabi ini, manakah yang paling hakiki? Apakah untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menyembah kepada-Nya atau menegakkan keadilan. Atau dengan kata lain manakah yang menjadi tujuan dan mana yang menjadi sarana. Apakah menegakkan keadilan di masyarakat merupakan tujuan utama para nabi, sementara mengenal Tuhan dan menyembah-Nya hanyalah sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan ini, atau sebaliknya keadilan sebagai sarana dan mengenal Tuhan merupakan tujuan yang hakiki.
Dengan kata lain, apakah tujuan sesungguhnya dari misi kenabian adalah monoteisme individual atau monoteisme sosial? Ada beberapa pendapat seputar masalah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa para nabi mempunyai tujuan ganda. Artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Yang pertama berkaitan, dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat yaitu monoteisme individual. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebahagiaan duniawi, yaitu monoteisme sosial.
Adapun pendapat kedua meyakini bahwa sesungguhnya tujuan diutusnya para nabi ialah untuk menegakkan monoteisme sosial, namun untuk dapat sampai ke sana harus ada yang menjadi prasyarat utamanya, yaitu tegaknya monoteisme individual. Pandangan ini meyakini, oleh karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari “aku” menjadi “kita” dalam monoteisme sosial, dan itu tidak akan bisa dicapai tanpa monoteisme individual, maka Tuhan pun menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat tegaknya monoteisme sosial. Dengan kata lain mengenal Tuhan merupakan sarana untuk menegakkan keadilan.
Pendapat ketiga berpendapat bahwa tujuan utama diutusnya para nabi ialah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, sementara monoteisme sosial hanya sebagai prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan ini. Alasannya ialah bahwa dalam pandangan dunia monoteistik, dunia memiliki sifat “berasal dari Tuhan” dan “kembali kepada Tuhan”. Jadi, kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung kepada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.
Adapun mengapa para nabi menaruh kepedulian terhadap keadilan serta penolakan terhadap penindasan dan diskriminasi. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang berorientasi kepada Tuhan tidak akan dapat terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menguasai masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mengatakan bahwa nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan dan juga moralitas-moralitas sosial seperti kemurahan hati, mudah memaafkan, kebaikan budi dan kedermawanan, bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang secara absolut mencerminkan kesempurnaan manusia. Semua nilai-nilai ini hanya sarana atau alat untuk mencapai kesempurnaan. Nilai-nilai tersebut adalah sarana ke arah keselamatan bukan keselamatan itu sendiri.
Pandangan keempat hampir mirip dengan pandangan ketiga, namun dengan perbedaan, bahwa meskipun nilai-nilai sosial dan moral tetap merupakan sarana menuju nilai hakiki manusia yaitu menyembah dan beriman kepada Tuhan, namun nilai-nilai tersebut masih dianggap memiliki nilai-nilai inheren.
Kalau kita ingin menganalisa lebih jauh timbul perbedaan di antara pandangan ketiga dan keempat, sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada perbedaan jenis hubungan antara sesuatu yang menjadi sarana dengan sesuatu yang menjadi tujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis hubungan antara apa yang menjadi sarana dengan tujuan. Pada jenis hubungan yang pertama, nilai tidak lebih hanya sebagai sarana untuk sampai kepada sesuatu, dan ketika telah sampai, maka keberadaan dan ketidakberadaannya adalah sama. Atau dengan kata lain, keberadaannya sudah tidak berarti. Sebagai contoh, seseorang ingin menyeberangi sebuah sungai kecil, lalu dia menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah sungai kecil tersebut sebagai batu loncatan ke seberang sungai. Setelah mencapai tepi seberang, jelas, keberadaan batu tersebut tidak penting lagi bagi orang tersebut. Demikian juga dengan tangga yang digunakan untuk mencapai atap.
Adapun jenis hubungan yang kedua ialah keberadaan sarana tersebut tetap berarti dan mempunyai nilai walaupun tujuan tersebut telah tercapai. Sebagai contoh, pengetahuan yang diperoleh di kelas satu dan dua merupakan prasyarat untuk mencapai kelas yang lebih tinggi. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ketika seorang murid telah mencapai kelas yang tinggi maka ia tidak akan rugi apabila menghapus pengetahuan yang diperolehnya di kelas satu dan dua dari memorinya, dan ia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi tanpa pengetahuan tersebut. Karena hanya dengan bantuan pengetahuan itulah dia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi.
Yang menjadi inti masalahnya ialah bahwa terkadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah atau penting di hadapan tujuan yang akan dicapai. Kedudukan prasyarat yang lemah dihadapan tujuan, seperti sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, seperti juga halnya sebuah batu besar di tengah anak sungai bukanlah bagian dari tepi seberang sungai. Sedangkan prasyarat yang penting seperti kedudukan pengetahuan yang diperoleh di kelas yang rendah maupun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama.
Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan sifat mudah memaafkan tetap berarti dan mempunyai nilai.
Jadi, dapat kita katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya para nabi ke dunia ini lalah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan.
Menumbuhkan Kesalehan Sosial
Syahdan, dalam kisah yang diceritakan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami, tersebutlah seorang saleh bernama Haji Saleh, yang tak henti beribadah kepada Tuhan. Ia selalu berzikir, tidak berbuat dosa, dan selalu membaca Kitab suci-Nya, namun ia dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan. Karena tak habis pikir, ia bersama dengan kawan-kawan senasib menghadap Tuhan hendak mengajukan protes.
Maka, Tuhan pun menjawab, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya bisa beramal di samping beribadah. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.”
Bahkan, dikisahkan, malaikat pun ikut menimpali, “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Ringkasnya novel itu ingin memberi sebuah pesan bahwa dalam sesuatu kesalehan yang bersifat individu terkandung sebuah kesalahan yang fatal. Haji Saleh memang orang yang taat beribadah kepada Tuhan, tapi ia melupakan lingkungan sosialnya, keluarga. Begitu pula yang banyak terjadi di negara kita, banyak orang kaya pergi haji untuk yang kesekian kalinya, dan mereka hanya ingin merasakan ‘kenikmatan spiritual’ berhaji yang tak terlukiskan itu. Kasus haji Saleh dan orang kaya yang pergi haji berkali-kali menyisakan sebuah pertanyaan, yakni apa yang salah dengan dengan kesalehan ini (‘kesalehan individual’). Padahal agama menganjurkan untuk memperbanyak salat sunah, pergi haji, berpuasa ala Nabi Daud, dan terpekur dalam alunan beribu-ribu zikir.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mempunyai sistem yang harmonis (seimbang) memandang kesalahannya tidak selalu terletak pada perilaku ibadah itu, tapi Islam melihat perilaku ibadah tersebut dalam konteks keseluruhan. Ini bisa saja terjadi karena ada ketidakseimbangan perlakuan terhadap tiap-tiap bagian dalam suatu sistem. Sama halnya dalam simfoni sebuah lagu. Nada sol, secara fisika, jelas sama di manapun berada. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan berbagai nada pada sebuah lagu, intensitas dan tinggi-rendahnya akan berbeda dengan nada sol pada lagu yang lain. Artinya, dalam menikmati sebuah lagu, kita tidak dapat memisahkan nada per nada secara otonom.
Dengan demikian, Islam sebagai suatu sistem memandang bahwa kebahagiaan, kesuksesan, dan kesempurnaan hidup yang dijanjikannya tidak akan pemah diperoleh Muslim tanpa perlakuan yang harmonis terhadap tiap-tiap bagian sebagai suatu keseluruhan. Islam tidak pernah membicarakan kewajiban-kewajiban individual tanpa mengaitkannya dengan maslahat-maslahat sosial: shalat-berjamaah; puasa-zakat; dan haji-kurban. Dalam al-Quran, amal saleh dan iman selalu ditampilkan berpasangan ketika Islam berbicara tentang tujuan pamungkas (ultimate goal) hidup manusia. Perhatikan ayat berikut,
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan- Nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. (QS. al-Kahf:110)
Itulah prinsip Islam yang sesungguhnya. Meskipun demikian, banyak orang lalai bahwa prinsip ini mempunyai akibat yang luar biasa. Misalnya adalah masalah kebaikan. Kebaikan dalam prinsip Islam tidaklah identik dengan keadilan dan kebenaran. Orang yang gemar bersedekah alias dermawan mungkin baik, tetapi belum tentu adil dan benar. Semuanya mesti dilihat dari berbagai unsur dalam sistem Islam: dari mana hartanya diperoleh; bagaimana niatnya, popularitas ataukah ikhlas (tentu saja yang satu ini hak prerogatif Allah untuk menilainya); tepatkah caranya; dan lain-lain.
Jika ini dilupakan, maka akan mengakibatkan kita sering salah dalam melihat gejala-gejala modern. Apakah orang yang memiliki ‘kesalehan individual’ tinggi –sekalipun terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetap dianggap telah mengerjakan amal saleh? Apakah orang yang pergi haji berkali-kali dengan maksud ‘ekstasi spiritual’– sementara tetangganya dan saudara sebangsanya menggelepar, merenggang nyawa, tetap dianggap saleh? Bukankah Nabi saw bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu yang membiarkan tetangganya kelaparan, sedangkan ia tidur kenyang.”
Lebih jauh lagi yang dapat terjadi adalah bahwa manusia modern yang hidup serba praktis dan mekanis membuat mereka melihat segala sesuatu dengan standar kepemilikan, termasuk terhadap hal-hal spiritual. Jadi, ‘kenikmatan spiritual’ dalam ibadah haji dengan berbagai bonus-bonus pahala hendak mereka rengkuh sebanyak-banyaknya. Di sinilah, berlakunya akuntansi pahala. Coba bayangkan jika shalat di Masjidil Haram diganjar dengan 100.000 kali pahala shalat di tempat lain, berapa puluh juta pahala yang diperoleh seseorang yang telah berhaji sampai berkali-kali? Tentu saja, bukan itu yang dimaksud oleh hadis-hadis tentang ganjaran atau pahala.
Untuk tidak terjebak dalam perangkap kesalehan individual ini, kita tampaknya mesti mengoreksi kembali sistem pengetahuan kita tentang penghambaan (ibadah) kepada Tuhan. Ibadah, selama ini, lebih kita anggap sebagai pemujaan atas kebesaran-Nya, menyebut-nyebut nama-nama-Nya, dan membaca kitab suci-Nya. Padahal, pada hakikatnya, ibadah disyariatkan selain diniatkan untuk Allah, ibadah juga adalah untuk kepentingan manusia. Dalam al-Quran, jelas bahwa setiap perintah kepada suatu kewajiban selalu diiringi dengan paparan tentang manfaatnya bagi pengembangan diri manusia, baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial.
Selama seseorang masih menganggap ibadah adalah hanya untuk Allah dan tidak berdampak pada sisi kemanusiaan, maka ia tidak akan meyakini bahwa keikutsertaannya dalam program-program pemberdayaan manusia sebagai sebuah penghambaan kepada Allah. Ia masih akan mempertentangkan antara ibadah-ibadah spiritual dengan kerja-kerja sosial; yang profan dengan yang sakral; dan yang ukhrawi dengan yang duniawi.
Oleh karena itu, boleh jadi ia berpikir dua kali untuk menafkahkan hartanya untuk program-program pemberdayaan manusia dibanding program-program ritual keagamaan. Perhatikan bagaimana orang gemar mendirikan masjid yang indah-indah, tetapi lupa memberdayakan marbot (pengurus masjid), petani, buruh, dan nelayan; orang sibuk mengadakan musabaqah tilawatil Quran daripada membangun perpustakaan dan pusat pengkajian al-Quran. Mereka beranggapan bahwa membangun masjid adalah melayani Tuhan, sedangkan memberdayakan orang lemah hanya melayani manusia.
Padahal pelayanan kemanusiaan, menurut al-Quran, jelas merupakan satu bentuk penghambaan kepada Allah. Bahkan, dalam surah al-Maun, orang-orang yang shalat dicela karena mereka membiarkan orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu kelaparan. Artinya, tidak akan diterima ibadah seseorang yang abai terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Demikianlah, nama-nama Allah meski kita singkap pada wajah-wajah kuyu orang-orang miskin, jerit kepedihan orang-orang teraniaya, dan tangis kelaparan anak-anak yatim piatu. Alangkah indahnya ketika Rasulullah saw bersabda, “Aku akan bersama dengan orang yang mengasihi anak yatim seperti halnya kebersamaan jari telunjuk dengan jari tengah.”
Mencapai Keberkahan Rezeki
Salah satu persoalan yang menjadi kebutuhan penting manusia adalah memenuhi kebutuhan hidup materinya. Bayangkan jika dalam hidup ini, kita kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok kita seperti makan, pakaian dan papan. Maka kita mungkin akan mengalami tekanan jiwa sehingga menimbulkan kegelisahan dan kedukaan dalam batin kita.
Tapi jika kita perhatikan masyarakat kita sekarang ini ada orang yang kaya, tapi juga tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam batinnya. Padahal kekayaannya cukup untuk membeli apa yang dia inginkan. Mau beli tempat tinggal yang megah, baju baru yang mahal, bepergian ke berbagai tempat, semuanya dapat ia lakukan dengan mudah. Namun, semua itu tidak memberikan dia ketenangan dalam hidupnya.
Jadi persoalan rezeki materi yang kita dapat besar dan kecil bukanlah ukuran untuk menjadikan kita bahagia dan tenang dalam menjalani hidup ini. Lalu bagaimana rezeki yang dapat membawa kita pada kebahagiaan? Persoalan ini harus kita cari jawabnya, sebab kalau tidak kita akan mempunyai persepsi yang keliru tentang hakikat mencari rezeki ini.
Rezeki yang dapat memberikan kebahagiaan adalah rezeki yang berkah. Rezeki yang berkah itu pertama akan membawa ketenangan dalam hidup orang tersebut. Jika seorang mendapatkan rezeki itu karena perbuatan mencuri atau merampas hak orang lain pasti rezeki itu tidak akan membawa ketenangan. Ia akan gelisah kalau barang curian itu akan ketahuan, atau basil rampasan akan diambil kembali dengan paksa oleh pemiliknya.
Coba kita perhatikan orang-orang yang mendapat rezeki dengan cara merampas milik orang lain. Pasti hasilnya adalah untuk berfoya-foya, dan bahkan pada sebagian orang digunakan untuk berjudi dan membeli Narkoba. Ia akan mendapatkan ketenangan semu dalam menjalani kehidupannya itu. Begitu pula dengan pejabat yang mendapatkan kekayaan dengan cara KKN, ia tidak akan tenang menjalani hidup ini.
Yang kedua, rezeki yang berkah itu adalah memberikan rasa cukup pada diri kita. Cukup di sini tidak identik dengan banyak. Walaupun banyak belum tentu rezeki itu memberikan rasa cukup pada diri kita. Misalnya, orang kaya yang terlihat secara fisik sudah amat kaya, punya rumah mewah dan mobil mewah, tapi ia ingin mendambakan mempunyai pesawat terbang pribadi. Orang seperti ini walaupun mempunyai kekayaan yang amat banyak, pasti tidak akan mempunyai rasa cukup. Tapi ada orang yang hanya mempunyai rumah sederhana dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya untuk pendidikan, namun ia sudah merasa cukup akan kebutuhan materinya itu.
Sedangkan yang ketiga rezeki yang berkah itu tidak memberikan kehinaan pada diri kita, atau dengan kata lain menjadikan diri kita terhormat. Walaupun kita mempunyai kekayaan yang banyak clan dengan cara yang halal namun kita kikir terhadap masyarakat maka harta kita itu menjadikan diri kita terhina di masyarakat. Masyarakat akan mencemooh diri kita dan akan mengucilkan kita dari pergaulan. Dan di mata Tuhan orang yang seperti ini adalah orang yang terhina.
Tentu saja kita tidak ingin terhina baik di mata Tuhan maupun manusia. Salah satu jalannya adalah dengan kesabaran dan bersyukur. Karena dengan kesabaran ini kita menjadi lebih mawas terhadap tingkah laku kita sehingga tidak terjerumus dengan kesombongan. Begitu pula dengan bersyukur, maka kita akan selalu merasa bahagia dengan harta yang telah kita miliki dan tidak menjadi kikir, dengan berapapun jumlah harta yang kita miliki.
Salah satu riwayat tentang kesabaran yang patut disimak adalah kisah Sama’ah bin Mihran ketika ditanya oleh Imam Musa al-Kazhim as. “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.”
Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.”
Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kubumya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan. ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.” Hadis ini menunjukkan bahwa dengan sabar kita disuruh untuk memperhatikan orang lain yang lebih kekurangan dari kita. Dan dengan rezeki kita, kita tebarkan kasih sayang kepada seluruh manusia.
Imam Jafar ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui mencampakan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun memiliki kapasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dari menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan, maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.”
Dengan demikian, dalam menjalani hidup ini kita hendaknya mendapatkan rezeki yang berkah dan sabar dalam melakukan perilaku kehidupan, kemudian kita bersyukur atas, apa yang kita miliki. Maka jalan kehidupan yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan terbentang, itulah jalan bagi orang yang sabar dan bersyukur dengan mendapatkan rezeki yang berkah.
Meraih Kemuliaan Ramadhan
Memasuki Ramadhan tahun ini (2002), kaum Muslimin sedang dihadapi dengan cobaan. Salah satu cobaan yang besar adalah tudingan akan cap teroris yang ingin dialamatkan kepada kaum Muslimin. Tudingan ini merupakan suatu hal yang jauh panggang dari api. Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw merupakan ajaran yang cinta damai, dan tidak mengajarkan kekerasan sebagai jalan untuk mendapatkan tujuan.
Nilai kemanusiaan ajaran Islam ini, salah satunya dapat kita lihat dari puasa Ramadhan yang sedang kita jalani sekarang ini. Pada bulan yang suci ini kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Dalam menempuh perjalanan menuju Allah, ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga, telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.
Dalam menempuh perjalanan yang sukar itu adalah kebodohan jika kita tidak mempersiapkan diri. Berbagai bekal itu yang harus dipersiapkan adalah berupa benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Memang jika telusuri makna puasa (shiyam) dalam al-Quran, maka kita akan menemukan bahwa al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara,
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun. (QS. Maryam:26)
Demikian ucapan Maryam as yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa as). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.
Bagi kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum –bagi manusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran” dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 10, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Dalam surat al-Quran disebutkan tujuan dari puasa adalah agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah:183). Juga, Supaya kamu bersyukur (QS. al-Baqarah:185). Inilah tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan puasa Ramadhan. Sehingga merupakan keharusan bagi kita untuk memahami makna takwa itu dengan benar, sebagai orientasi dari puasa kita.
Kata takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah.” Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada.” Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam. (a) Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hokum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, “Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,” “Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana”, atau “Api panas, dan membakar”, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya. (b) Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa, “Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt.”
Secara jelas al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendak diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi saw, misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan.”
Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt setiap saat, “bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya”. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah kepada Allah dan supaya manusia meneladani Allah Swt melalui contoh teladan Rasulullah saw dalam menggapai kemuliaan Ramadhan.
Mengungkap Keutamaan Haji
Jika kita renungkan kehidupan kita sebagai manusia, sebenarnya kita berada di antara dua fase kesunyian. Fase pertama yaitu ketika sebelum dilahirkan dan fase kedua adalah kematian. Di antara dua fase inilah manusia menjalani kehidupannya. Fase kehidupan manusia ini hanya berlangsung sekejap, namun di fase inilah masa depan manusia ditentukan. Hasilnya berupa kebaikan atau keburukan yang akan dihadapi manusia kelak
Dalam menjalani fase kehidupan ini, manusia dalam pandangan Islam harus berjalan dalam panduan Ilahi. Tanpa panduan Ilahi ini manusia akan berada dalam kesesatan dan kenistaan, bukan saja di akhirat kelak tapi juga di dunia ini. Salah satu panduan Ilahi dalam ibadah kepada kepada Allah adalah menunaikan ibadah haji. Yakni melakukan haji ke Baitullah yang menjadi perjalanan akhir dari rukun Islam. yang kelima. Ibadah haji hukumnya wajib bagi umat Islam. Pelaksanaan Ibadah haji yang benar akan membawa manusia meraih ketenteraman dan kedamaian yang tersembunyi di pusat wujudnya. Dan pencapaiannya dapat dilakukan setiap muslim, pada setiap kesempatan.
Secara leksikal, pengertian al-hajj atau al-hijj itu adalah bertujuan untuk menuju (mengunjungi) Baitullah atas panggilan Tuhan untuk menunaikan manasik haji. Sedangkan secara historis ibadah ini berasal dari Ibrahim as. Namun kemudian menjadi simbol ibadah universal di mana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Itulah kenapa sebelum datangnya Islam ke Jazirah Arab hampir semua bangsa di dunia ini melakukan perjalanan ke kota Mekkah untuk bisa beribadah di sana. Meskipun bentuk-bentuk ibadah yang dilakukannya sudah mengalami distorsi dan perubahan-perubahan substansial dan fundamental yang berbeda dengan yang disyariatkan oleh Ibrahim as.
Pentingnya ibadah haji dapat kita simak dari hadis Nabi saw berikut ini “Apabila seorang yang beribadah haji mengangkat bekalnya, maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh amal kebajikan; dan apabila ia meletakkan bekalnya, maka Allah akan menghapuskan baginya sepuluh kesalahannya dan mengangkat derajatnya sampai ke tingkat kesepuluh. Apabila ia naik kendaraannya, maka Allah akan memberikan kepadanya pahala sebanyak langkah yang diayunkannya atau sejauh jarak yang ditempuhnya. Apabila ia berthawaf mengelilingi Kabah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia melakukan sa’i antara Safa dan Marwah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia wukuf di Arafah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Apabila ia melempar Jumrah Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Imam Ja’far ash-Shadiq yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Sedemikian rupa Nabi saw menyebut-nyebut setiap satu dari amal ibadah haji ini dengan mengatakan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosanya sampai beliau bersabda, “Ya Fulan, tidak akan mungkin kau bisa memperoleh apa yang telah diperoleh orang yang beribadah haji.”
Ibadah haji itu sendiri bertujuan pula untuk membawa manusia dari dunia bentuk ke dunia ruh; atau dari dimensi lahiriah ke dimensi spiritual. Namun karena manusia tinggal di dunia bentuk (material) dan pada awal perjalanan spiritual tidak-lah terlepas darinya, maka dengan menggunakan dunia bentuk sedemikian rupa, maka ibadah haji mengarahkan perhatian manusia ke dunia spiritual. Bentuk adalah selubung dunia spiritual, namun bersamaan dengan itu sekaligus juga merupakan simbol dan tangga untuk dapat mencapai persatuan antara seorang hamba kepada Tuhan-Nya.
Perintah Allah ini merupakan sebuah kunci yang diberikan kepada manusia agar dapat menguak rahasia kehidupannya sendiri dan memperoleh harta masa lampau warisan Adam as, warisan Ibrahim as, dan warisan Muhammad Rasulullah saw. Perintah melakukan ibadah Haji bukanlah suatu kebetulan ataupun historis semata, melainkan perintah langsung dari Allah untuk dijadikan sebagai sarana pendakian jiwa manusia menuju dunia transenden, meski hanya bagi mereka yang telah melewati rintangan kezuhudan dan disiplin spiritual.
Pendakian ini pada tingkatan pertamanya adalah kepatuhan dan harapan kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Agung memiliki rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaimana api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka seseorang yang menjalankan ibadah haji karena Allah semata akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup serta keharmonisan yang menyebabkan esensi manusia bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya.
Alasan untuk ini adalah; adanya hubungan antara ibadah haji dengan esensi hati manusia dengan dunia transenden, yang disebut alam ruh.
Dunia transenden adalah dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber kecantikan dan keindahan adalah keselarasan (tanasub). Semua yang selaras mewujudkan keindahan di dunia, karena seluruh kecantikan, keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati adalah pantulan kecantikan dan keindahan dunia itu sendiri. Dengan alasan yang sama, mereka yang menikmati ibadah haji tanpa melewati tingkatan pertama dalam perjalanan spiritualnya, tak akan pernah sampai ke permukaan dunia transenden yang luas tiada batas, dan apabila jiwa mereka mencoba melakukan penerbangan ke dunia tersebut meski hanya untuk sesaat dengan bantuan panggilan suci itu (haji), maka dia dengan segera akan jatuh kembali begitu panggilan suci itu berakhir dan mereka tidak akan mampu mempertahankan keadaan spiritualnya.
Memang pencapaian keadaan spiritual tidaklah mudah. Untuk mencapai keadaan ini, menurut Faridhal Attros al-Kindhy ada tiga tahapan yang harus dilalui manusia yang berhaji. Dalam tahap pertama beribadah haji, manusia dipersatukan dengan getaran kehidupan alam, yang di dalam diri seseorang selalu ada dalam bentuk getaran hati. Kehidupan manusia bersatu dengan kehidupan alam, mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos, sehingga jiwa manusia mengalami perluasan dan mencapai kebahagiaan dan ekstase yang melingkupi dunia. Jika manusia gagal mencapai dan merasakan tahapan pertama, ini hanyalah disebabkan kelalaian kepada Tuhan (Ghaflah).
Dalam tahap kedua, manusia akan berada di atas seluruh kenikmatan dan perbedaan waktu, manusia diputuskan secara tiba-tiba dari dunia waktu; dia akan merasakan dirinya berhadap-hadapan dengan wajah Yang Maha Kekal dan untuk sesaat merasakan nikmatnya peleburan (fana) dan kekekalan (baqa). Pada tahapan terakhir, “manusia tertuntun untuk menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan dan menjadi sumber gita-gita yang menebarkan kasih sayang dan kebajikan yang luhur serta menuntun orang lain ke tempat primordial dan kediaman akhirnya”. Pada dasarnya manusia tengah mencari kehidupan spiritual serta ketenangan dan kedamaian yang tersembunyi dalam substansi ibadah haji yang bersifat spiritual.
Pencapaian nilai-nilai spiritual ini akan berbuah dengan memetik berbagai hidangan dari Allah berupa ampunan, rahmah dan pahala yang besar, sebagai imbalan dan balasan atas tenaga dan harta yang telah mereka curahkan di jalan memenuhi seruan yang penuh berkah ini. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah. Dan adalah hak Allah untuk memuliakan para tetamu-Nya serta mengaruniakan mereka ampunan. Demikan kata sebuah hadis. Allah Swt sebagai penerima tamu, sementara kita tidak melihat-Nya. Oleh karena itu kita berthawaf di ruang tamu rumah-Nya (Kabah) seperti yang dilakukan seorang yang sedang dimabuk cinta di sekitar kekasihnya, ia merasakan nikmatnya tapi tidak dapat melihat dzatnya.
Berthawaf tidak mengagungkan Kabah, namun mengagungkan Tuhan pemilik Kabah yang tidak bisa kita lihat. Karenanya ketika thawaf kita membaca, “Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar wala haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim.” Selanjutnya kita berdoa sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan demikian, thawaf adalah meng-esa-kan dan mensucikan Tuhan alam semesta. Dan ketika kita mencium Hajar Aswad kita tidak menjadikannya sebagai sekutu Allah seperti yang orang-orang musyrik lakukan, namun kita mengungkapkan kerinduan hati dan keagungan cinta kepada Allah yang tidak bisa kita lihat. Oleh karena itu ketika mencium Hajar Aswad kita berucap, “Allahumma liiman bika watasdiqaa bi kitabika wawafaan biahdika wattibaan lisunnaati nabiyyika.” Ya Allah aku cium Hajar Aswad ini, karena beriman kepada-Mu, meyakini kitab-Mu, memenuhi janji-Mu dlan karena mengikuti sunah Nabi-Mu.
Selain itu di antara hikmah-hikmah dan rahasia haji adalah menyatukan delegasi/penduduk bumi atas dasar tauhid dan sebagai ajang tukar menukar pendapat tentang hal-hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin, baik masalah agama atau keduniaannya, melindungi mereka dari kejahatan musuh-musuhnya dan memperkokoh kesatuan keagamaan dan pemikiran serta menyingkirkan sebab-sebab perpecahan. Oleh karena itu Allah mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka dapat membuktikan manfaatnya. Dan seandainya ibadah haji dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan Islam tentu akan menjadi sarana kejayaan Islam dan kekuatan muslim in.
Sufisme Menurut Islam
Tak dapat dipungkiri bahwa tujuan agama adalah untuk menyatukan manusia dengan Pencipta-Nya. Penyatuan ini terjadi di surga, yakni ketika orang-orang yang beriman telah selamat melewati berbagai ujian hingga hari kebangkitan. Ketika itulah Tuhan memberikan kepada mereka masing-masing menurut derajatnya, penghargaan tertinggi yakni ‘penglihatan’ indah wajah-Nya.
Namun bagi kalangan wali Allah, pemikiran penyatuan dapat dilakukan dengan lebih cepat, karena mereka adalah golongan yang beruntung yang tidak perlu menunggu hingga mereka memasuki Taman untuk mengalami kenikmatan ‘penglihatan’ itu. Mereka diberikan kesempatan untuk memasuki bagian dalam Taman melalui pengetahuan langsung sementara mereka masih berada di dunia ini. Ini adalah tujuan tertinggi keberadaan manusia, dan jalan untuk mendapatkannya merupakan hal paling berharga yang mungkin diimpikan orang untuk dipelajari.
Karena itu, pada hati tiap agama terdapat inti pusat yang memiliki kedalamannya dan aspek paling berharga, yaitu pengajaran-pengajaran dan praktik-praktik yang keseluruhannya membawa pencari melampaui pengetahuan teoritis dan jenjang spiritual menuju pengalaman langsung tentang Kehadiran Tuhan. Untuk menapaki jenjang spiritual ini, dibutuhkan sebuah metode untuk mencapainya.
Metode realisasi spiritual ini disebut sufisme. Sufisme dalam Islam merupakan inti Islam, yakni pusat dan aspek terdalam ajaran Islam. Sandaran-sandaran ritual dan doktrin sufisme adalah Islam. Karena itu, tidak terdapat pengertian yang sejati mengenai Islam tanpa disertai dengan sufisme. Begitu pula tidak terdapat pengertian yang sebenarnya mengenai sufisme bila terpisahkan dari Islam, dan tidak pula memungkinkan untuk memiliki bentuk sufisme yang terletak di luar batas Islam.
Ada satu pepatah yang mudah dalam melihat hubungan Islam dengan sufisme. Pepatah itu adalah Islam tanpa sufisme akan seperti badan tanpa hati. Badan tanpa hati akan kehilangan apa yang berdenyut di dalamnya dan meliputinya dengan hidup; sementara sufisme di luar Islam akan seperti hati tanpa badan, sebuah organ yang kehilangan penyangga materi yang kepadanya hidup bergantung. Seperti halnya badan dan hati bergantung sepenuhnya satu sama lain untuk bertahan, begitu pula Islam dan sufisme memiliki hubungan satu sama lain.
Memang ada upaya-upaya para orientalis tertentu yang melemparkan keraguan pada sumber sufisme dan usaha-usaha mereka untuk menganggapnya berasal dari sumber asing dari Islam. Begitu pula, ada sejumlah Muslim yang mereka sendiri kekurangan kecerdasan spiritual, tidak tahan melihatnya terdapat di orang lain dan lalu menyangkalnya dengan cara-cara luar biasa.
Dalam hal ini, para orientalis mewakili tujuan untuk meruntuhkan Islam dari luar, dan mereka kaum Muslim yang menolaknya, juga merupakan pelengkap yang tidak dapat dihindarkan, adalah serangan dari dalam. Keduanya akan merasa lebih nyaman dengan satu dimensi Islam yang kering, yang dibutuhkan penganutnya tidak lebih dari kedangkalan pengertian doktrinal dan hubungan kedangkalan ritual yang sesuai, dan tidak mengizinkan ruang sama sekali untuk pencarian kemurnian yang lebih dalam dan pencerahan.
Jika kita meyakini pandangan ini, maka pada akhimya agama khususnya Islam adalah sebuah kerangka kosong, sebuah bentuk ketiadaan semua makna belaka. Sekali suatu agama kehilangan kekuatannya untuk menyatukan orang-orang dengan Tuhan, secara pengalaman dan dalam hidup ini, hanya merupakan masalah waktu saja sebelum daya hidupnya berkurang lebih jauh pada tingkat, bahwa agama akan kehilangan kekuatan keselamatannya, dan akhirnya terhancurkan.
Jika ini terjadi, maka agama akan berada di belakang peradaban, dan tidak lebih dari penggalan tak berharga yang menyerupai kaca yang pecah, pecahannya sedemikian kecil sehingga mereka tidak dapat memenuhi tujuan awalnya, walaupun masih dapat dikenali sebagai bagian cermin tertentu dan jadi diklaim sebagai bagian yang berlaku seperti yang asli. Ini adalah situasi Barat yang modem mengikuti kehancuran agama. Kristen.
Satu bukti besar bahwa suatu agama masih memelihara kehidupannya, denyut hatinya adalah para wali Allah. Mereka adalah orang suci yang telah memasuki kehadiran Tuhan dan lantas menjadi mampu memandu yang lain sepanjang rute yang sama. Mereka adalah makhluk hidup yang padanya potensi Adam untuk peringkat kesucian dan gnosis telah menjadi aktualisasi, kehadiran mereka telah menjadi norma yang tidak dapat dibantah tentang daya hidup agama-agama yang diberikan.
Memang kegagalan perwujudan dunia Kristen untuk menghasilkan gnostik tunggal selama berabad-abad dan agama Kristen juga telah kehilangan pengetahuan mengenai metode untuk melakukannnya, bagi banyak muslim, mereka menganggap agama Kristen telah kehilangan yang tak dapat diperoleh kembali. Sebaliknya, ‘para wali Allah’ berlimpah dalam dunia muslim dan masih relatif mudah dicari.
Mereka para wali Allah adalah manusia yang mempunyai kecenderungan spiritual yang tinggi, tindakan baik secara lahir maupun batin semata-mata untuk Allah. Kesadaran batin inilah yang mempengaruhi nilai spiritual seseorang. Inilah kesadaran yang harus terus dibina dan dikembangkan bagi orang yang ingin membangun nilai-nilai spiritual dalam dirinya, layaknya para wali Allah itu.
Untuk menjadi condong secara spiritual adalah dengan merasa, walaupun samar-samar dan tidak terus menerus, bahwa pasti ada sesuatu di atas dunia materi, bahwa mengambil dunia ini pada nilai permukaan tidak mungkin menjadi tujuan paling pokok makhluk hidup, bahwa pasti ada arti dalam setiap bentuk, bahwa pasti ada cara yang dengannya arti-arti itu dapat digenggam dengan singkat, bahwa ada sesuatu dalam manusia yang membutuhkan lebih daripada kelangsungan hidup semata-mata, sesuatu yang mampu menggapai Yang Absolut.
Perjalanan menuju realitas tak terhingga membutuhkan jauh lebih banyak bahan dan pikiran seseorang, dan ini mungkin diikuti dengan pemikiran bahwa, bagaimana pun juga, bukan tidak masuk akal untuk menginginkan hal-hal seperti itu. Ini mungkin menyebabkan mereka dengan sedikit atau tanpa pengetahuan sebelumnya mengenai masalah tersebut mencari untuk tahu lebih dan karenanya dari permulaan diraih.
Sedangkan bagi mereka yang telah memiliki pengetahuan teoritis yang cukup pada subjek tersebut tapi merasa aspek-aspek praktik sebagai hal yang jauh dan tidak dapat direalisasikan, mereka mungkin digerakkan untuk secara aktif mulai mencari cahaya yang lebih kepada mereka, melalui berbagai proses riyadhah (penyucian diri) yang terus menerus.
Perilaku ini (riyadhah) jika terus menerus dilakukan akan memberikan nilai-nilai spiritual yang itu merupakan nilai-nilai sufisme. Dengan nilai-nilai inilah seorang Muslim dapat menjaga kesucian batinnya. Inilah tujuan dari agama Islam yang mengajak manusia mengarungi samudera ketakwaan kepada Allah melalui perilaku kehidupan yang suci.
Memahami Adab al-Islam
Masyarakat manusia, sejak masa masyarakat suku primitif telah mengembangkan berbagai aturan untuk mengatur perilaku hubungan individu dan masyarakat. Aturan-aturan ini dibuat agar tatanan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan tidak terdapat kekacauan. Aturan-aturan ini yang kemudian dinamakan adab.
Adab adalah istilah bahasa Arab yang artinya adat-istiadat; ia menunjukkah suatu kebiasaan, etiket, pola perilaku yang ditiru dari orang-orang yang dianggap sebagai model. Akhlak dalam banyak kebudayaan selain Islam ditentukan oleh kondisi-kondisi setempat, dan karenanya dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Hal ini berbeda dengan akhlak dan adat-istiadat Islami, akhlak Islam bukan hal yang ‘tidak sadar’, karena akhlak Islam dituntun oleh dua sumber utama, yaitu al-Quran dan Sunah. Al-Quran dan Sunah mengandung prinsip-prinsip sangat luas yang diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di dalam masyarakat manusia dari abad ke abad. Sebagai jalan hidup yang lengkap, Islam mengatur kegiatan ekonomi, politik dan peribadatan serta perilaku yang berhubungan dengan pertukaran dan rutinitas manusia setiap hari. Islam tidak terbatas hanya pada perilaku yang bersifat peribadatan dan hukum, tetapi mencakup kriteria dan nilai-nilai, sikap, adat-istiadat dan perilaku dalam semua jangkauan kepentingan dan hubungan manusia. Sebagai bagian dari keseluruhan ini, akhlak Islam diambil dari tujuan-tujuan Islam yang luas dan mencerminkan ide-ide dan nilai-nilainya yang sangat luas.
Memahami dan menjalani Adab al-Islam tidaklah dipraktikkan secara terpisah dari keseluruhan. Malahan, kesalingberhubungan mereka dengan unsur-unsur Islam lainnya harus selalu dipertahankan. Demikian juga, tidak seharusnya unsur-unsur yang berbeda di dalam adab al-lslam diperlakukan secara terpisah, karena kedua hal ini juga saling berhubungan erat. Satu contoh yang sangat menyolok: seorang Muslim diharuskan tidur cepat-cepat agar dapat bangun pagi-pagi sekali untuk menjalankan shalat subuh.
Dengan bersumberkan pada Wahyu Ilahi, akhlak Islam menjadi berwatak religius yang memotivasi ketaatan yang benar. Walaupun demikian, karena watak religiusnya ini bukan berarti setiap rincian akhlak ini merupakan kewajiban. Sesungguhnya, dalam akhlak Islam ada beberapa perbedaan dari ‘yang dilarang’ sampai ‘yang dianjurkan’ sebagaimana terdapat dalam aturan-aturan pokok akhlak Islam. Yang pertama ditegaskan dan dikuatkan oleh hukum, sedangkan yang kedua tidak membawa si pelanggar pada pengadilan atau hukum formal kecuali celaan dari anggota masyarakat Muslim lainnya. Kelompok akhlak ketiga adalah yang apabila dilanggar tidak mengakibatkan celaan dari kaum Muslim lainnya.
Demikian pula, karena wataknya yang bersifat Ilahiyah, akhlak Islam juga tidak lantas menyebabkan sistemnya harus bersifat kaku dan tidak fleksibel. Islam bukanlah semacam cita-cita yang tidak dapat ditembus pengalaman manusia atau tidak dapat diterapkan pada berbagai kondisi dunia yang ada. Sebaliknya, sifat dasar dari sistem akhlak ini sedemikian rupa sehingga fleksibel dalam banyak hal dan stabil dalam hal-hal lainnya, unsur fleksibilitas yang berlandaskan pada penalaran manusia yang membuat Islam menarik dan dapat menjawab perubahan waktu.
Sebagai contoh, untuk melihat bagaimana realistis dan praktisnya akhlak Islam, puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan adalah kewajiban utama kaum Muslim. Namun, Islam (karena memahami berbagai kesulitan perjalanan) mengecualikan orang yang melakukan perjalanan dari (kewajiban) puasa, tetapi dia harus menggantikannya di hari lain bila kesulitan itu telah berlalu.
Aspek fleksibelitas ini dapat terjadi, karena dua sumber dasar Islam, al-Quran dan Sunah, meliputi, di samping banyak aturan yang terperinci, juga terdapat prinsip-prinsip umum yang secara terbatas mengatur semua persoalan yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan agama, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Prinsip-prinsip umum ini tidak tunduk terhadap perubahan sejarah, namun demikian cara untuk menurunkan aturan-aturan untuk menjawab berbagai persoalan baru dalam situasi-situasi baru menurut Islam dilakukan dengan ijtihad. Ijtihad adalah penggunaan nalar seseorang secara disiplin untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu sesuai dengan esensi dan semangat Islam dan dalam ketaatan pada prinsip-prinsipnya yang umum dan abadi. Jadi, rincian ajaran-ajaran Islam dapat merespon secara efektif terhadap persoalan perubahan yang bersifat historis.
Demikian pula, ajaran Islam sepenuhnya sadar dengan sifat manusia dan kebutuhan manusia. Islam mengakui realitas-realitas kehidupan dan memperlakukannya dengan cara yang paling praktis. Maka tidak ada dorongan untuk membatalkan atau mengatur prinsip-prinsip keyakinan yang umum dalam rangka menyesuaikannya dengan kondisi-kondisi khusus.
Dalam hal ini, akhlak Islam dimaksudkan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, untuk memberinya ritme, harga diri dan ketenangan. Ia bukanlah seperangkat ritual yang angkuh atau legalistik untuk memperumit kehidupan sehari-hari. Islam menentukan setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Bagi orang yang beriman, Islam memberikan kriteria untuk menilai tingkah dan perilakunya, dan menetapkan hubungannya dengan individu-individu lain, dengan masyarakat secara keseluruhan, dengan dunia kasat mata. Islam juga menetapkan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri.
Adab al-Islam adalah suatu peraturan lengkap yang mencakup hampir semua aspek perilaku sosial, suatu bagian dari jalan hidup yang lengkap yakni Islam. Karena bagian-bagian Islam yang berbeda membentuk sebuah kesatuan yang berpadu, penerapan adab al-Islam secara terlepas dari bagian lainnya tidaklah akan menghasilkan realisasi Islam yang utuh. Malahan bisa jadi, dalam hal-hal tertentu, menjadi tidak bermakna.
Cakupan adab al-Islam berbeda dengan batas-batasan ‘etiket’ pada masyarakat Barat. Akhlak Islam tidak sekedar aturan sopan santun dalam berbagai kesempatan, tetapi meliputi segala macam hubungan manusia dari tindakan-tindakan yang paling sederhana sampai peristiwa-peristiwa sosial yang paling rumit. ‘Etiket’ di Barat tampaknya telah menjadi perlindungan bagi masyarakat kelas atas. Misalnya sopan santun terhadap bangsawan, cara makan, cara berpakaian dan lain-lain, umumnya dihubungkan dengan kelas atas.
Sebaliknya, maksud adab al-Islam terletak pada karakter dan sifat religiusnya. Adab al-Islam mendukung kebutuhan manusia untuk mengingat Tuhan dalam kehidupan rutin sehari-harinya; ia dirancang untuk tetap memelihara ingatan manusia kepada Tuhan dan membantunya bertindak tepat dan benar. Ini tampak sekali dalam doa kepada Tuhan yang menyertai sebagian besar perilaku sehari-hari dalam Islam. Seorang Muslim harus mengawali dan mengakhiri harinya, ketika bangun dan akan tidur, dengan menyebut Tuhan. Dia harus bersyukur dan memuji Tuhan ketika makan dan minum, ketika membeli baju baru atau barang-barang kegunaan lainnya. Menyebut Tuhan sangat dianjurkan bahkan ketika buang hajat sekali pun. Demikian pula mengingat Tuhan dan memohon keselamatan dan petunjuk adalah sangat penting ketika melakukan perjalanan.
Demikian pula, adab al-Islam mencakup cita-cita kernanusiaan berlandaskanpada konsep amal saleh. Cita-cita kemanusiaan ini telah melampaui domain ‘religius’ dan mencakup rentang aktivitas manusia yang luas (dalam hubungannya dengan makhluk lain, dengan lingkungan bernyawa atau tidak bernyawa). Dan hal ini, dibolehkan dalam kepercayaan dan hukum Islam. Itulah akhlak Islam yang merupakan sumber bagi sebuah tatanan manusia yang penuh dengan kedamaian, kebahagiaan, dan kebenaran.
Memahami Pentingnya Doa
Manusia hidup antara ayunan harapan dan kenyataan. Ketika harapan didambakan ada keinginan kuat manusia ingin mendapatkannya, apalagi ketika harapan itu begitu menyentuh keinginan manusia yang paling dalam, seperti harapan sakit ingin sembuh atau harapan sedih ingin bahagia. Jika harapan itu begitu kuat menghujam dan manusia sulit menggapainya, maka manusia ingin mendapatkan pertolongan dari yang lain dengan memohon padanya. Jika permohonan ini dilakukan kepada Allah Swt yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka manusia telah melakukan sebuah ritual yang paling bermakna dalam hidupnya yakni berdoa atau munajat.
Memang secara fitri manusia itu membutuhkan perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Jika seorang manusia jatuh ke dalam jalan yang buntu, sekalipun dia tidak mengenal Allah Swt, maka tanpa disadarinya dia memohon pertolongan kepada Allah Swt. Al-Quran berkata,
Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah. (QS. al-Ankabut:65)
Ayat ini, di samping membuktikan pembahasan kita bahwa doa adalah sebuah keutamaan, dia juga menganggap doa sebagai seutama-utamanya dalil untuk mengenal Allah Swt. Ayat ini berbicara tentang sesuatu yang dinamakan “fitrah”. Manusia adalah makhluk pencari Allah Swt. Bahkan dalil fitrah mengatakan bahwa selain di kedalaman jiwa manusia mengakui adanya Allah Swt, dia juga mengakui tauhid dan mengatakan adanya keutamaan-keutamaan pada Allah Swt. Artinya, bahwa kedalaman jiwa manusia mengetahui bahwa Allah Swt itu Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Dermawan, Mahakuasa, dan Maha Mendengar. Dan pada akhirnya, sesungguhnya kedalaman jiwa manusia dapat merasakan adanya Sesuatu yang mencakup segala kesempurnaan.
Pengakuan akan kesempurnaan Allah diwujudkan manusia dalam berdoa. Dalam hal ini, doa dan munajat kepada Allah Swt adalah salah satu keutamaan yang besar sekali bagi manusia. Doa dan munajat kepada Allah Swt bersumber dari kedalaman jiwa manusia. Oleh karena itu, ucapan Ya Allah, Ya Allah, dan ucapan Ya Rabb, Ya Rabb, yang kemudian diakhiri dengan permintaan hajat, pada dasarnya adalah doa lisan. Doa jenis ini mempunyai pahala yang banyak, dan banyak sekali anjuran dan penekanan terhadap doa yang seperti ini.
Pada prinsipnya doa adalah berbicara dengan Allah Swt. Dalam hal ini, shalat pun merupakan percakapan dan mikraj. Seorang yang sedang shalat adalah seorang yang sedang bercakap-cakap kepada Allah Swt atau sedang diajak bicara oleh Allah. Ketika dia sedang membaca al-Fatihah dan surat, dia sedang diajak bicara oleh Allah. Sementara sebagian dari bagian-bagian shalat adalah berisi percakapan dia kepada Allah.
Karena itu seorang manusia, sebarapa besarpun tingkat kecintaan dan hubungannya dengan Allah Swt, doa (shalat) harus menjadi sesuatu yang paling lezat baginya. Dengan demikian, orang yang tidak menemukan kelezatan dalam membaca al-Quran, berdoa dan shalat, maka dia harus tahu bahwa sungguh hal itu merupakan suatu musibah yang besar baginya.
Pernah dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Nabi Musa as pergi untuk bermunajat, seorang laki-laki berkata kepadanya “Katakan kepada Tuhanmu sesungguhnya saya adalah pelaku dosa-dosa besar, namun mengapa Dia tidak menyiksaku?” Mendengar itu, Nabi Musa as pun pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Ketika Nabi Musa as hendak kembali, Allah Swt berkata kepadanya, “Kenapa kamu tidak menyampaikan pesan hamba-Ku kepada-Ku?” Nabi Musa as menjawab, “Saya merasa malu kepada-Mu, sementara Engkau mengetahui apa yang telah dikatakan hamba-Mu.” Lalu Allah Swt berkata, “Ya Musa, katakan kepada hamba-Ku itu sesungguhnya Aku telah menyiksanya dengan sesuatu yang paling besar namun dia tidak menyadarinya. Katakan kepadanya, sesungguhnya Aku telah menarik dari dirinya rasa kelezatan berdoa dan bermunajat kepada-Ku.
Selain wujud kelezatan ruhani, doa bagi manusia dapat menjadikan manusia mengetahui Tuhan dan dirinya. Di dalam riwayat disebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya berarti dia telah mengenal Tuhannya. Di dalam sebuah doanya Rasulullah saw berkata, “Ya Allah, perlihatkanlah sesuatu kepadaku sebagaimana adanya.” Artinya, Ya Allah, perlihatkanlah alam wujud kepadaku sebagaimana adanya. Ya Allah, perlihatkanlah diriku kepadaku sebagaimana aku sesungguhnya.
Doa dan munajat kepada Allah sesungguhnya dapat mencabut akar-akar egoisme dari diri manusia. Di dalam doa dan munajat kepada Allah Swt, mula-mula manusia melihat dirinya lemah di hadapan Allah Swt, manakala dia meminta sesuatu kepada Allah di dalam doanya, maka dia berarti menetapkan kemahakayaan mutlak Allah dan sekaligus kefakiran mutlak dirinya. Sehingga manusia tidak akan lagi memuji-muji dirinya di hadapan manusia lain.
Ada kisah menarik yang dapat direnungkan. Pada waktu itu ada seorang raja meminta nasehat kepada salah seorang arif. Arif itu bertanya, “Jika Anda kehausan, dan Anda hampir mati karena kehausan, apa kiranya yang sanggup Anda berikan untuk bisa meminum air?” Raja itu menjawab, “Saya akan berikan setengah dari kerajaan dan kekuasaan saya.” Arif itu kembali bertanya, “Jika air yang Anda minum itu tertahan di dalam badan Anda, apa kiranya yang sanggup Anda berikan supaya air kencing Anda bisa keluar?” Raja itu menjawab, “Saya akan memberikan setengah kerajaan saya yang masih tersisa.” Mendengar jawaban itu arif itu berkata, “Jadi, tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa bangga dengan kekuasaan Anda yang nilainya sama dengan segelas air yang Anda minum dan kemudian Anda keluarkan lagi.”
Salah satu aspek penting lain dari doa adalah bahwa doa dapat memberikan ketenangan jiwa. Jika seorang manusia menyimpan kesedihan dan keresahan di dalam hatinya niscaya kesedihan dan keresahan itu akan berubah menjadi penyakit/jiwa. Untuk itu dengan berdoa jiwa dapat menjadi tenang. Dengan bermunajat kepada Allah, ini berarti mengutarakan segala keluh kesah yang ada di dalam hati kepada seseorang yang dipercaya, dan yang dipercaya itu adalah Allah Swt. Pada hakikatnya, doa dan munajat ialah mencurahkan keluh kesah dan kesedihan kepada Allah. Bahkan bila di sana tidak ada kebaikan sekalipun untuk dikabulkannya doa Anda, namun di situ berarti Anda telah mengosongkan keluh kesah yang ada di dalam hati Anda. Atau dengan kata lain, menurut ungkapan orang awam, beban Anda menjadi ringan.
Buah penting yang lain dari doa ialah bahwa doa memberikan katup pengaman. Allah berfirman,
Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya (dari ibadah-ibadah yang lain). (QS. al-Ankabut:45)
Dari ayat ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa keutamaan doa dan munajat kepada Allah berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari shalat. Di dalam riwayat disebutkan, “Doa adalah inti sarinya ibadah.”
Sesungguhnya doa di samping sangat dianjurkan dan mempunyai pahala yang banyak, doa juga mempunyai manfaat yang besar sekali, sehingga pengabulan doa sekalipun tidak bisa menyamainya. Oleh karena itu, jadikanlah senantiasa doa dan taubat kita bersumber dari kedalaman jiwa, dan usahakanlah agar senantiasa mata kita mengalirkan air mata, air mata keimanan, air mata keyakinan. Biarkanlah air mata ini mengalir, sehingga lidah dan hati kita dengan refleks mengatakan “ampunilah kami ya Allah, ampunilah kami ya Allah”. Ketika manusia menyadari ini, maka manusia sadar betapa rendahnya dia di mata Allah dan manusia berdoa kepada-Nya dengan ketulusan.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas, Paramadina, Jakarta, cet I, Mei 2001.
Al-Ghazali, Metode Menjemput Maut, Mizan, Bandung, cet 7, Agustus 2000.
Al-Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ruhani, Pustaka Hidayah, Bandung cet 3, November 2000.
Al-Ghazali, Mutiara, Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Mizan, Bandung, cet x, November 2000.
Alwi Shihab, Islam Sufistik, Alwi Shihab, Mizan, Bandung, cet I, April 2001.
Abdul Husain Dasteghib, Isti’adzah, Alhuda, Jakarta, cet 1, Maret 2002.
Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, cet 3, Agustus 2000.
Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, Penerbit Serambi, Jakarta, cet l, Maret 2001.
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, LKiS, Yogyakarta, cet 1, Juli 2002.
Husain Mazhahiri, Menelusuri Makna Jihad, Lentera, Jakarta, cet 1, Desember 2000.
Husain Mazhahiri, Mengendalikan Naluri, Lentera, Jakarta, cet 2, Februari 2001.
Husain Mazhahiri, Membentuk Pribadi Menguatkan Rohani, Lentera, Jakarta, cet 1, Mei 2001
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Mizan, Bandung, cet 4, Noyember.1998.
Imam Khomeini, Mi’raj Ruhani, Yayasan al-Jawad, Bandung, cet 1, Oktober 1996.
Imam Khomeini, 40 hadis Nabi saw (buku pertama), Mizan, Bandung, cet v, 1996.
Imam Khomeini, 40 hadis Nabi saw (buku kedua), Mizan, Bandung, cet 1, Juli 1993.
Jawad Amuli, Rahasia-Rahasia Ibadah, Penerbit Cahaya, Bogor, cet 1, Juni 2001.
Jawad Amuli, Jejak Ruhani, Penerbit Cahaya, Bogor, cet 1, Februari 2003.
J.Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, Penerbit Pustaka, Bandung, cet 1, 1999.
Jalaluddin Rahmat, Renungan-renungan Sufistik, Mizan, Bandung, Cet.11, Oktober 2001.
Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa , Muthahhari Press, Bandung, cet 1, Juni 2002.
Jalaluddin Rahmat, Rindu Rasul, Rosda, Bandung, cet 1, September 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, Rosda, Bandung, cet 3, Oktober 2000.
Jalaluddin Rumi, Aforisme-aforisme Sufistik, Jalaluddin Rumi, Pustaka Hidayah, Bandung, cet II, Januari 2001.
Khalil al-Musawi, Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda, Penerbit Lentera, Jakarta, cet 2, Desember 1999.
Louis Massignon, Al-Hallaj sang Sufi Syahid, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, cet II, Maret 2001.
Kamal Faqih Imani, Bunga Rampai Hikmah, Alhuda, Jakarta, cet 1, April-2003.
Khalil al-Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Penerbit Lentera, Jakarta, cet 4, September 2000.
Laleh Bakhtiar, Meneladani AkhIak Allah, Mizan, Bandung, cet 1, Juni 2002.
Muhammad Al-Ghazali, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam, Lentera, Jakarta, cet 1, April 2001.
Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, Pustaka Hidayah, Jakarta, cet I, Oktober 1991.
Murtadha Muthahhari, Fitrah, Lentera, Jakarta, cet. 3, Februari 2002.
Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahjul al-Balaghah, Department of Translation and Publication, Islamic Culture and Relations Organization, Qum Iran, 1997.
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, Lentera, Jakarta, cet2, 1994.
Mujtaba Musawi Lari, Menumpas Penyakit Hati, Lentera, Jakarta, cet.6, 2000.
Musa Subaiti, Akhlak Keluarga Muhammad saw, Lentera, Jakarta, cet.3, Februari 2000.
Muhammad Ridwi, Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, Lentera, Jakarta, cet I, Januari 2002.
Rudhy Suharto, Revolusi Ruhani:Refleksi Tasawuf Pembebasan, Pustaka Intermasa, Jakarta, cet 1, 2002
Rudhy Suharto (ed), Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, Alhuda, Jakarta, cet 1, September 2002.
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, Bandung, cet.7, November 1999.
Syahid Dastaghib, Menuju Kesempurnaan Diri, Lentera, Jakarta, cet 1, April 2003
Syeikh Abdul Qadir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi, petuah-petuah Syeikh Abdul Qadir Jailani, Pustaka Hidayah, Bandung, cet 1, April 2001.
Syeikh Nadim al-Jisr, Para Pencari Tuhan, Pustaka Hidayah, Bandung, cet I, 1998.
Syeikh Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, Lentera, cet.3, Mei 2000.
Tor Andrae, Di Keharuman Taman Sufi, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet 1, Oktober 2000.
Tentang Editor
Rudhy Suharto, lahir di Jakarta, 5 April 1968, saat ini adalah staf Islamic Culture Center Jakarta, Pemimpin Redaksi Majalah Syiar, Redaksi Jurnal Ilmiah Islam Alhuda, dan Ketua Yayasan Mahali Sehati. Pernah menjadi redaktur Warta VI (1989-1992), pendiri HMI Cabang Depok (1992). Sampai sekarang aktif memberikan materi ideologi di lingkungan HMI Cabang Jakarta dan Depok. Telah menerbitkan buku Revolusi Ruhani: Refleksi Tasawuf Pembebasan (penerbit Pustaka Intermasa), dan Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah (penerbit Alhuda). Telah menyunting buku Tema-tema Pokok Nahjul Balaghah karya Murtadha Muthahhari diterbitkan oleh penerbit al-Huda, Belajar Sambil BerTmain: Pelajaran Agama Islam karya Ibrahim Amini. Penulis artikel tasawuf dan pemikiran keagamaan di Harian Umum Pelita. rudhy_sr@yahoo.com
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email