Taubat dan Rahmat Allah
Pada sebuah hadis Bukhari dan Muslim diriwayatkan tentang betapa Allah Swt adalah Maha Penerima taubat. Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan al-Khudriy, Nabi saw bersabda, “Sebelum kalian, ada seorang laki-laki membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk sekitar tentang seorang alim, maka ia ditunjukkan kepada seorang Rahib (pendeta Bani Israil). Setelah mendatanginya, ia menceritakan bahwa ia telah membunuh 99 orang, kemudian ia bertanya, “Apakah ia bisa bertaubat?” Ternyata rahib itu menjawab, “Tidak”. Maka rahib itupun dibunuh sehingga genaplah jumlahnya seratus.
Kemudian ia menemui lagi seorang alim yang lain. Setelah menghadapnya ia bercerita bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, dan bertanya, “Apakah bisa ia pertaubat?” Orang alim itu menjawab, “Ya, Siapakah yang akan menghalangi orang bertaubat? Pergilah ke kota ini (menunjukkan ciri-ciri kota dimaksud), sebab di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke kotamu, karena kotamu kota yang jelek!”
Lelaki itupun berangkat, ketika menempuh separuh perjalanan, maut menghampirinya. Kemudian timbullah perselisihan antara malaikat Rahmat dengan malaikat Azab, siapakah yang lebih berhak membawa jiwanya. Malaikat Rahmat beralasan bahwa “Orang ini datang dalam keadaan bertaubat, dan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Sedangkan malaikat Azab beralasan bahwa “Orang ini tidak pernah melakukan amal baik”. Kemudian Allah mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk menyelesaikan masalah itu, dan berkata, “Ukurlah jarak kota tempat ia meninggal antara kota asal dengan kota tujuan. Manakah yang lebih dekat, maka itulah bagiannya.” Para malaikat mengukur, ternyata mereka mendapati si pembunuh meninggal dekat kota tujuan, maka malaikat Rahmatlah yang berhak membawa jiwa orang tersebut.
Riwayat ini menggambarkan bahwa dalam bertaubat yang harus dilihat adalah aspek ruhani dari orang tersebut. Secara lahir, orang tersebut telah membunuh 100 nyawa, namun Allah tetap memberikan ampun padanya. Ini berarti ada suatu nilai yang amat tinggi yang menjadi pemberat timbangan kebaikan. Inilah yang disebut dengan taubat yang sesungguhnya. Taubat yang mampu memberikan perubahan aspek ruhani sehingga melahirkan perbuatan kebaikan.
Namun demikian, ada manusia yang tetap tidak bertaubat. Mereka ini adalah orang tidak mendapatkan petunjuk Allah yang langsung ke qalbu, karena qalbunya terkunci, tertutup oleh noda-noda dosa. Ini terjadi jika dengan sadar ataupun tanpa sadar kita merelakan diri kita untuk diatur oleh hawa nafsu dan syahwat. Allah berfirman,
Mereka itulah yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Muhammad: 16)
Dalam ayat lain disebutkan, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS. al-Furqan:43-44)
Dosa inilah yang menghambat manusia dalam menuju pertaubatan kepada Allah. Dosa, menurut Imam al-Ghazali, ibarat asap yang menggelapkan dan mengotori kaca qalbu. Dan seiring dengan terus-menerus melakukan dosa bertambah teballah dosa menutupi qalbu. Sehingga qalbu itu hitam dan gelap. Dan secara keseluruhan qalbu itu menjadi buta, terhijab dari Allah. Jika kondisi buta ini terbawa ke alam kubur ketika ajalnya, maka keberadaanya di alam kubur yang asing dalam kondisi buta, merupakan kegelapan di atas kegelapan. Jauh lebih tersesat jalannya. Lebih-lebih jika kondisi butanya terbawa ke alam akhirat. Allah berfirman,
Dan barangsiapa yang buta (qalbunya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat jalannya. (QS. al-Isrâ:72)
Dosa-dosa ini pula yang sesungguhnya yang menghalangi seorang hamba untuk dapat diterima Allah. Padahal keselamatan itu hanya di sisi Allah dan bersama Allah! Seandainya ada sesuatu yang menghalangi diri kita dengan Allah, dan dengan rahmat-Nya, maka tiada tempat lain kecuali kecelakaan yang besar. Allah berfirman,
Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah:81)
Sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. (QS. Yunus:17)
Dengan demikian, tiada lain untuk dapat membersihkan qalbu dari noda-noda dosa, kita sangat membutuhkan rahmat (pertolongan) Allah. Hanya karena rahmat-Nya, seseorang dapat kembali suci qalbunya, sehingga ia selamat dari siksa kubur dan neraka yang menghadang. Dan pintu rahmat Allah, hanya akan terbuka apabila kita terus menerus dengan takzim mengetuknya dengan ketukan “taubatan nasûha”. Ketakziman, kerinduan dan semangat kita untuk mendapatkan rahmat-Nya itulah yang akan menyebabkan pintu rahmat-Nya terbuka.
Allah sangat bergembira terhadap hamba-hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Kegembiraan Allah terhadap orang-orang yang bertaubat, digambarkan melebihi kegembiraan orang yang mendapatkan untanya kembali setelah hilang pergi ke gurun pasir yang luas. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshariy berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya yang hilang di padang luas.” (Hadis Riwayat Bukhari)
Dan sebesar apapun dosa yang dibawa, selama seorang hamba dengan sungguh-sungguh ingin kembali (bertaubat) kepada-Nya, maka ampunan Allah lebih besar daripada itu. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ariy bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk taubat orang yang berbuat dosa siang hari. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang, untuk taubat orang yang berbuat dosa di malam hari. Hingga matahari terbit dari timur.” (Hadis Riwayat Muslim)
Keutamaan Bertaubat
Manusia dalam hidupnya tak luput dari kesalahan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyataan elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi.
Oleh karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Apalagi jika manusia itu terbenam dalam kesalahan yang terus-menerus tentu saja tidak disukai oleh manusia dan juga Allah. Namun, jika manusia sudah terlanjur berbuat kesalahan ada jalan untuk menyesalinya yakni dengan bertaubat.
Dalam hal ini taubat tak hanya diperuntukkan bagi orang yang mempunyai kesalahan saja, taubat juga dilakukan bagi orang yang telah demikian taat menjalankan syariat, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat. Di antara kaum mukminin ada yang bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa, dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari dosa-dosa macam ini. Dari mereka ada yang bertaubat dari melakukan yang syubhat. Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan nama baiknya. Dan di antara mereka ada yang bertaubat dari tindakan-tindakan yang dimakruhkan. Dan di antara mereka malah ada orang yang melakukan taubat dari kelalaian yang terjadi dalam hati mereka. Dan dari mereka ada yang bertaubat karena mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk mencapai maqam yang lebih tinggi lagi
Namun untuk melakukan taubat, bukan perkara mudah bagi sebagian manusia. Karena dalam diri manusia terdapat rasa sombong yang menjauhkannya dari kehendak untuk bertaubat itu. Padahal jika kita menyimak ayat al-Quran, banyak sekali dorongan dan anjuran untuk bertaubat. Al-Quran berbicara,
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqarah:222)
Maka orang yang bertaubat akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi dengan mendapatkan kasih sayang Allah.
Selain itu, keutamaan yang lebih besar dari orang yang bertaubat itu adalah mendapatkan ampunan dari Allah, hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan? Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah berfirman,
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia- lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar:53)
Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun.
Di antara keutamaan lain bagi orang-orang yang bertaubat adalah Allah menugaskan para malaikat muqarrabin untuk ber-istighfar bagi mereka serta berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Allah berfirman,
(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang,orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan?) Kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS.Ghâfir:7-9).
Terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus. Dengan kemurahan karunia Allah, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar, Allah menerima taubat mereka. Seperti dalam firman Allah,
Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (QS. at-Taubah:104)
Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba- hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan. (QS. asy-Syûrâ:25)
Dan dalam menyifatkan Dzat Allah,
Yang mengampuni dosa dan menerima taubat. (QS. Ghâfîr: 3)
Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah dalam masalah pria dan wanita yang mencuri,
Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah:39)
Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-An’am:54)
Kemudian, sesungguhnya Tuhan-mu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl:119)
Demikian pula pujian bagi Allah dengan nama-Nya “at- Tawwab” (Maha Penerima Taubat) terdapat dalam al-Quran, seperti dalam doa Ibrahim san Ismail as,
Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah:128).
Juga seperti dalam sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi,
Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah:54)
Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)
Itulah ayat~ayat yang menggambarkan bahwa Allah adalah Maha Penerima Taubat dan Allah telah memerintahkan kaum Mukminin untuk bertaubat.
Kekuatan Kelapangan Dada
Salah satu kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai kesulitan adalah mempunyai hati yang lapang seperti lautan. Al-Quran sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kelapangan dada, bahkan al-Quran menganggap penerimaan Islam bergantung kepada kelapangan dada, Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang memiliki kelapangan dada, maka Allah akan menyalakan cahaya di dalam hatinya, dan kemudian dia pun dapat memperoleh kemenangan di dalam “peperangan dalam”. Akan tetapi, jika dia tidak mampu menghadapi berbagai kesulitan, dan kehilangan keseimbangan diri menghadapi salah satu gharizah, dalam pandangan al-Quran merupakan suatu kecelakaanlah bagi dia. Kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak luas seperti lautan. Dan kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak memiliki kelapangan dada. Karena, dosa yang menumpuk telah merebut kelapangan dada darinya.
Kelapangan dada adalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia. Kelapangan dada sangat penting bagi semua orang. Kelapangan dada berarti hati harus luas seperti laut, sehingga seorang manusia mampu mencema berbagai kesulitan dan kepayahan di dalam dirinya. Dia tidak ubahnya seperti laut yang mampu mencerna air yang tidak mengalir (air yang najis) namun tidak tercemar dengan percampuran itu. Dia berdiri kokoh di hadapan berbagai tarikan, sentakan, dan badai, dan tidak mempedulikan sesuatu apa pun. Jika seorang manusia ingin menang melawan nafsu ammarah-nya dan mampu mengatasi berbagai kesulitan maka hatinya harus seperti laut, yang senantiasa kokoh di dalam menghadapi air yang najis maupun air yang suci.
Dalam masyarakat, sungguh merupakan musibah jika sebuah kedudukan (jabatan) dipegang oleh seseorang yang tidak memiliki kelapangan dada. Karena dia akan menyakiti orang lain dengan bentuk yang bermacam-macam. Orang ini, dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, menjadi lupa diri; sekiranya dia telah mencapai kedudukan (padahal tidak seberapa), dia sudah tidak mau lagi menjawab salam, dan sibuk mengunakan kedudukannya bagi tujuan-tujuan pribadinya.
Akan tetapi masyarakat akan senang, jika dipimpin oleh seseorang yang bersifat tenang dan memiliki kemampuan mengendalikan diri, karena akan mampu menghadapi semua kesulitan dengan tabah, dan bangkit menyelesaikan kesulitan- kesulitan itu dengan penyelesaian yang sesuai, serta tidak ada yang diperhatikannya ketika itu kecuali Allah. Orang seperti ini menganggap ilmu dan kedudukannya sebagai sesuatu yang berasal dati sisi Allah, dan menganggap dirinya tidak mempunyai andil di dalamnya.
Ada sebuah hadis mengatakan, “Ilmu itu ada tiga tingkat. Barangsiapa yang baru masuk ke dalam tingkat pertama maka dia akan bersikap takabur; barangsiapa yang masuk ke dalam tingkat kedua maka dia akan bersikap tawadu, serta barangsiapa yang telah masuk ke dalam tingkat ketiga maka dia akan tahu bahwa sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa.” Manusia yang sampai pada tingkat ketiga inilah yang sesungguhnya ia telah sampai merasakan kelapangan dada.
Kisah Nabi Musa dan Raja Mesir waktu itu, Fir’aun, dapat menjadi contoh bagaimana kekuatan kelapangan dada itu. Ketika melaksanakan misinya, Nabi Musa as tidak meminta bala tentara dan kekuasaan dari Allah, melainkan Nabi Musa hanya berkata, Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (QS. Thâhâ:25). Jelas kiranya bahwa kelapangan dada lebih penting daripada bala tentara yang lengkap dengan senjata. Dan dengan kelapangan dada inilah maka seluruh urusan akan menjadimudah.
Demikian pula orang yang mempunyai kelapangan dada akan memiliki kemauan yang kuat dan mampu menyatakan perkataan-perkataannya di hadapan semua orang, serta perkataan itu didengar mereka. Orang yang memiliki kelapangan dada jika ditanya tentang sesuatu, jika dia mengetahuinya maka dia akan menjawabnya dengan penuh ketenangan; dan apabila dia tidak mengetahuinya maka secara terus terang dia mengatakan bahwa ‘saya tidak tahu’.
Selanjutnya seorang manusia yang memiliki kelapangan dada, dia tidak akan lemah menghadapi berbagai kesulitan. Dia tidak akan kehilangan jati dirinya ketika berada di dalam kesenangan dan kegembiraan. Seluruh pekerjaannya menjadi mudah, kehendaknya menjadi kuat, dan dia tidak akan dihinggapi kegagalan di dalam berbicara. Dia dapat berbicara dengan baik. Yang lebih penting dari itu ialah kata-katanya di dengar orang dan tertanam kuat di hati-hati manusia.
Dalam sejarah Nabi sawada kisah yang dapat menjadi contoh tentang sikap kelapangan dada. Ketika Rasulullah saw diutus untuk menyeru manusia kepada agama yang benar, beliau shalat bersama Ali as dan Khadijah, istrinya di Kabah. Ketika itu Kabah penuh sesak dengan manusia. Sebagian dari mereka ada yang sedang duduk-duduk, sebagian lagi ada yang sedang melakukan thawaf, ada yang menari, dan sebagian yang lain lagi ada yang sedang bermain. Rasulullah saw mengerjakan shalat dengan penuh ketenangan. Orang-orang Arab itu memandangi mereka, dan mengatakan, “Apa yang dilakukan oleh mereka?” Jelas, ketiga orang ini bukanlah manusia biasa. Mereka tidak merasa takut di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela. Mereka adalah orang yang memiliki kelapangan dada.
Berbagai penderitaan yang dialami Rasulullah saw pada masa awal kenabian, sama sekali tidak memberikan pengaruh kepada diri Rasulullah saw. Inilah arti kelapangan dada. Inilah pengertian bahwa hati manusia harus seperti lautan, yang tidak berkeluh kesah menghadapi berbagai kesulitan dan tidak sombong menikmati berbagai kesenangan, melainkan justru berdiri kokoh dalam menghadapi berbagai kesenangan, serta bersyukur di hadapan berbagai nikmat dan kebajikan.
Jika pada diri kita tidak terdapat kelapangan dada maka ini merupakan kecelakaan. Karena ketiadaan kelapangan dada akan mengundang dosa demi dosa bagi kita. Dan ketika dosa datang menghitamkan hati, maka hati pun kehilangan kelapangannya. Sungguh kecelakaanlah bagi hati yang seperti ini.
Ada sebuah doa yang patut disimak mengenai kelapangan dada ini. Ya Tuhanku, demi kemuliaan dan ketinggian-Mu kami bersumpah kepada-Mu, karuniakanlah kepada kami kesadaran dan sifat-sifat yang baik, yaitu sifat ‘kelapangan dada’; dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk beribadah kepada-Mu dan kemampuan untuk menjauhi maksiat-Mu. Karuniakanlah kepada kami sifat-sifat insani. Wa Shallallahu ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammad.
Waktu dan Hidup Kita
Kita tahu dalam hidup ini, kita sering dibingungkan dengan berbagai pilihan tindakan. Misalnya, apakah kita harus memilih kerja atau kuliah, dan masih banyak lagi pilihan tindakan yang harus kita lakukan setiap hari. Kesalahan pemilihan ini bisa berakibat pada tidak efektifnya kita menjalani hidup. Ada suatu cerita yang menarik yang dapat diambil manfaatnya dari cerita berikut ini. Suatu hari, seorang ahli ‘Managemen Waktu’ berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yang tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya. Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.”
Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yang permulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.” Kemudian dia berkata, “Benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu-batu itu.
Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?” Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum”, salah satu dari siswanya menjawab. “Bagus!” jawabnya Kembali dia meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan.
Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” “Belum!” Serentak para siswanya menjawab. Sekali lagi dia berkata, “Bagus!” Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.
Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kepada para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya” “Bukan”, jawab si ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali.
Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak, anakmu, suami/istrimu, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Hobimu. Waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya.
“Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir) dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yang kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu.”
Dalam tradisi sufi, hal-hal besar yang dimaksud oleh Ahli itu adalah bagaimana kita dalam hidup ini dapat mewujudkan cinta kita sepanjang hari kepada Allah, sang kekasih. Seperti Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang begitu cinta kepada Allah. Atau seperti al-Hallaj, yang begitu merindukan kebersatuan dengan Tuhannya.
Ungkapan cinta kepada Allah dalam tradisi sufi merupakan hal yang paling utama. Cinta kepada Allah ini adalah perkara yang paling tinggi sekali dan itulah tujuan kita yang terakhir. Kesempurnaan manusia itu terletak dalam cinta kepada Allah ini. Cinta kepada Allah ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lain.
Seberiamya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu perkara yang ringan. Sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Allah atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh mencintai Allah karena Allah itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Allah saja. Sebenarnya mereka yang berpendapat demtkian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu. Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Allah itu adalah satu tugas. Allah ada berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin, Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada Allah.
Begitu pula dalam sebuah hadis Nabi saw pernah bersabda, “Belum sempurna iman seseorang itu hingga ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih daripada yang lain.” Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata, Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat? Allah berfirman, Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya? Kemudian Nabi Ibrahim berkata, Wahai Israil! Ambillah nyawaku! Doa ini diajar oleh Nabi saw kepada sahabatnya, “Ya Allah, kurniakanlah kepada ku cinta terhadap-Mu dan cinta kepada mereka yang Mencintai-Mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada cinta-Mu, dan jadikanlah cinta-Mu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.”
Karakteristik cinta dan ibadah kepada Allah itu berkenaan dengan hati. Orang yang cinta kepada Ilahi hatinya dipenuhi dengan cinta, khususnya cinta akan watak spiritual, semisal nilai-nilai kemanusiaan, atau agama dan keyakinannya. Ia akan terbakar dengan cahaya cinta Tuhan ataupun menerima suatu pencerahan atau inspirasi dari-Nya. Syarat penting untuk penerimaan karunia Ilahi dan realisasi kemanusiaan yang autentik adalah membersihkan kuil hatinya dari setiap noda keterikatan materialistik dan membunuh semua berhala emas dan perak serta menyingkirkannya dari hatinya.
Dan salah satu bukti orang itu mencintai Allah, adalah dengan mencintai hamba Allah. Khususnya orang-orang miskin. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa Allah bersama orang-orang miskin itu. Sehingga dalam keadaan bangsa ini yang sedang susah, ada baiknya kita memanfaatkan waktu hidup kita untuk mencintai Allah dengan jalan membantu sesama umat manusia yang sedang ditimpa musibah dan kemiskinan.
Tanggalkan Kesedihan untuk Meraih Kesucian
Hidup manusia berayun dalam dua keadaan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Kesedihan merupakan derita jiwa yang dapat timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Biang keladinya adalah karena kita terlalu mengagungkan nilai-nilai materi, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh.
Dengan demikian hanya manusia yang menganggap bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, maka manusia yang demikian akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai atau karena gagalnya ia mendapatkan apa yang dia cari. Kalau saja manusia tahu siapa dirinya dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam itu tidak kekal, niscaya dia tak akan lagi mendambakan dan tidak lagi mencarinya. Kalau dia sudah tidak mendambakannya lagi, maka tak akan lagi dia bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Dia akan mengarahkan upayanya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.
Dengan orientasi hidup pada tujuan-tujuan suci itu, maka dia hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Dia tidak akan menimbun harta. Dia tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangannya, dia tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh orang yang berbuat seperti itu pasti dia akan tenteram, tidak gundah gulana, akan gembira tidak bersedih, akan bahagia tidak sesak dadanya. Barangsiapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, dan hilangnya sesuatu yang dia cintai.
Barangsiapa dengan berbuat baik ia merasa puas, dan dengan apa yang didapatnya tidak bersedih hati, maka dia akan gembira dan bahagia selamanya. Kalau orang meragukan, bahwa perasaan seperti ini bermanfaat, hendaknya dia merenungkan perasaan orang mengenai tujuan yang mereka upayakan dalam kehidupan mereka, dan amati bagaimana mereka berbeda-beda dalam merespon kehidupan ini berdasarkan keadaan-keadaan dan perasaan-perasaan mereka. Jika kita renungkan maka akan mengungkapkan secara jelas dan terang kehidupan mereka dalam berbagai pekerjaan dan bagaimana perasaan mereka menanggapinya.
Kalau kita perhatikan dengan seksama beragam kelas sosial yang ada. Akan terlihat bahwa kegembiraan seorang pedagang terjadi bila dia berdagang, prajurit bila dia pemberani, penjudi bila dia berjudi, manipulator bila dia manipulasi atau banci dengan kebanciannya. Tiap-tiap orang ini berasumsi bahwa orang yang tidak seperti mereka adalah orang yang tertipu dan tidak merasakan kesenangan yang mereka nikmati. Hal ini karena setiap kelompok sangat merasa bahwa cara hidupnyalah yang benar dan karena sudah lama terbiasa dengan cara hidupriya sendiri.
Demikian pula dengan seorang pencari kebajikan yang menekuni jalur hidupnya sendiri, jika perasaaannya menjadi kuat, dan jika penilainya tetap baik dan praktiknya terus berkelanjutan dia lebih berhak mengecap kegembiraan dibanding kelas-kelas sosial di atas yang tersesat dalam gelapnya kebodohan mereka sendiri. Dialah seharusnya yang paling bahagia di sisi Sang Maha Pemberi nikmat karena dia benar dan mereka salah, dia yakin dan mereka tidak yakin, dia sehat akalnya dan mereka tidak, dia bahagia mereka sengsara, dia sahabat Allah, mereka musuh-musuh-Nya. Allah berfirman, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ditimpa kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62)
Al-Kindi (796-873M), seorang filosof awal Muslim, mengungkapkan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya bukanlah sesuatu yang alami. Kata al-Kindi, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alaminya.”
Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pemah bersedih hati sama sekali? Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati. Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihatlah olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan dan bahwa kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruk yaitu penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami.
Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah. Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membaginya kepada orang lain dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk.
Oleh sebab itu, para filosof berkata, “Barangsiapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia penjahat!” Yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.” Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, lalu dengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan-kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita.
Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah kesadaran akan makna hidup yang melepaskan diri dari jerat-jerat kedengkian dan rasa memiliki keduniaan yang terlalu berlebihan. Sebuah kesadaran untuk membangun orientasi hidup yang lebih mengharmonisasikan hubungan antara Allah dan sesama manusia, berupa tujuan-tujuan yang berjiwa kesucian.
Buah Kesabaran
Sabar dalam menghadapi musibah dan bencana merupakan sifat yang terpuji. Sabar adalah buah berharga jika kita membebaskan diri dari diperbudak hawa nafsu. Nashiruddin al-Thusi, seorang ulama terkemuka dari mazhab Ahlulbait, mengartikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak teragitasi pada hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula dengan seorang arif termasyhur Khawajah ‘Abdullah al-Anshari mengatakan, “Arti sabar adalah menahan diri untuk tidak mengeluh karena derita terpendam.”
Jika seseorang memandang musibah dan kemalangan itu sebagai hal yang menjijikkan dan merasa menderita sekali karenanya, ini menandakan orang tersebut makrifatnya kurang. Ini berarti orang tersebut kurang berpantang dari dosa-dosa, dan kurang menunaikan kewajibannya (taat) pada Allah. Orang yang paham realitas ibadah, dan percaya pada bentuk-bentuk akhirati dari ibadah dan dosa, akan memandang penting sabar dalam ibadah dan tidak mau berbuat dosa. Bila dia mendapati bahwa kegembiraan atau sukacita menyebabkan lalai beribadah, atau menyebabkan dia berbuat dosa, maka keduanya itu menjadi menjijikkan baginya. Orang seperti ini penderitaan batiniahnya yang berat menjadi semakin berat ketimbang orang yang menanggung musibah dan kemalangan dengan sabar.
Dalam suatu riwayat diceritakan ‘Ali bin Thawus merayakan hari pertamanya ketika dia menjadi mukallaf (yang terkena kewajiban keagamaan), karena Allah Swt telah mengizinkannya untuk menunaikan kewajiban pada hari itu. Ali bin Thawus amat senang dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kalau kita melihat diri kita, betapa beda antara kita dan hamba-hamba yang taat itu. Kita menganggap Allah Swt membebani kita dengan kewajiban-kewajiban. Kita memandang kewajiban-kewajiban itu menyusahkan dan menganggu kita. Jika salah seorang di antara kita berusaha shalat pada awal waktu, dia mengatakan bahwa lebih baik melakukannya dan semakin cepat semakin baik. Segala musibah kita disebabkan oleh kebodohan dan kejahilan serta kurang atau tak adanya iman.
Dalam Syarh Manazil as-Sa’irin, ‘Abdurrazzaq al-Kasyani mengatakan, “Yang dimaksud oleh sang Syeikh, ketika dia berkata arti sabar adalah tidak mengeluh kepada makhluk. Dengan kata lain, mengeluh kepada Allah Swt dan memohon kepada-Nya agar diberi pertolongan tidak bertentangan dengan sabar. Nabi Ayyub as mengeluh kepada Allah seraya berkata, Lihatlah, setan telah mendatangiku dengan kelesuan dan azab (QS. Shâd:41). Sesungguhnya Kami mendapatinya orang yang sabar. Betapa hamba unggul dia itu! Dia (sangat) menyesal (QS. Shâd:44). Dan Nabi Yaqub as berkata, Kukeluhkan derita dan dukacita kepada Allah (QS. Yusuf:86), meskipun dia itu orang yang sabar. Namun, tidak mengeluh kepada Allah merupakan wujud keras kepada (hati) dan tanda dendam (enggan).
Riwayat para nabi mengungkapkan bahwa meskipun maqam mereka jauh di atas maqam sabar, ridha dan taslim (pasrah), toh mereka senantiasa memohon, meratap dan mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Allah Swt, dan ini tidak bertentangan dengan maqam spiritual mereka. Tetapi, ingat kepada Allah, mendekat kepada Allah Sang Tercinta, dan mengungkapkan penghambaan dan kerendahan hati di depan yang Mahabesar dan Mahasempurna, merupakan tujuan akhir harapan kaum arifin dan tujuan akhir perjalanan salik.
Dalam hal ini, sikap sabar memberikan banyak hasil, di antaranya adalah pembinaan dan disiplin jiwa. Kalau manusia sabar menghadapi musibah dan kemalangan untuk beberapa lama, jika dia tabah dalam menghadapi kesulitan yang ditimbulkan oleh ibadah dan pahitnya meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasadi, dan bila dia melakukan semua ini demi menaati Tuhannya yang memberinya rezeki, maka secara berangsur-angsur jiwanya menjadi terbiasa dengan hal-hal ini. Lalu jiwanya penuh disiplin dan taat, dan tidak lagi keras kepala. Baginya, menghadapi kesulitan itu merupakan sesuatu yang mudah. Dan berkembanglah di dalam jiwanya itu fakultas yang senantiasa bercahaya, sehingga dia bisa melampaui maqam sabar menuju maqam spiritual lain yang lebih tinggi. Sabar tidak berbuat dosa merupakan sumber ketakwaan diri. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Sedangkan sabar dalam musibah merupakan sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Inilah maqam-maqam ahlul iman atau maqam-maqam ahlul irfan.
Dalam hadis-hadis mulia Ahlulbait as, sabar sangat ditekankan sekali. Imam ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala tanpa tubuh. Tubuh akan hancur tanpa kepada. Begitu pula, bila sabar tiada, lenyap pula iman.” Dalam hadis lain, “Imam Sajjad (Zainal Abidin) mengatakan, “Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh: orang yang tidak sabar, maka dia tidak beriman.” Banyak hadis yang berkaitan dengan topik ini.
Sabar merupakan kunci pembuka pintu kebahagiaan dan sarana utama untuk melepaskan diri dari bahaya besar. Sabar membuat manusia menanggung kemalangan dengan mudah dan menghadapi kesulitan dengan tenang. Sabar memperkuat kehendak dan daya ketetapan hati. Sabar membuat jiwa merdeka. Di lain pihak, sedih dan cemas, selain keduanya ini merupakan watak yang memalukan, juga merupakan gejala-gejala kelemahan jiwa. Sedih dan cemas membuat orang tidak stabil, melemahkan ketetapan hati, dan meloyokan akal. Khwajah Nashiruddin al-Thusi berkata, “Sabar membuat batin tidak sedih, membuat lidah tidak mengeluh dan membuat anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan buruk.”
Sebaliknya, batin orang yang tidak sabar penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Hatinya penuh dengan guncangan, dan ini sendiri merupakan bencana terbesar yang dapat menimpa manusia dan membuatnya kehilangan kedamaian. Namun, sabar menyingkirkan musibah, menjadikan hati dapat mengatasi kesulitan, dan membantu kehendak mengatasi bencana. Orang yang tidak sabar senantiasa mengeluh tentang kesulitan-kesulitannya kepada semua orang. Hal ini, selain membuat dia buruk di mata orang –dipandang rendah sebagai orang lemah yang berwatak labil– membuat dia kehilangan kedudukan di mata, Tuhan dan di depan para malaikat-Nya. Iman dan tawakal kepada Allah macam apa yang dimiliki hamba yang tidak tahan menghadapi kesengsaraan, setelah sebelumnya dia menerima ribuan karunia dan rahmat-Nya, dan lalu membuka mulutnya di depan orang serta mengeluh begitu kesengsaraan menimpanya? Maka tepat kalau dikatakan bahwa orang yang tidak sabar itu tidak memiliki iman.
Jika kita beriman kepada Tuhan dan percaya semua urusan ada di tangan-Nya, tentu kita tidak akan mengeluh tentang kesulitan hidup dan kemalangan atau kesengsaraan yang menimpa kita. Kita menerimanya dengan rela hati. Adanya guncangan batin, ucapan sedih, gerakan tubuh yang buruk – semuanya hanyalah bukti bahwa kita ini kurang beriman. Selama kita merasakan karunia dan rahmat, kemudian kita bersyukur dengan syukur yang formal belaka dan kurang mengandung substansi batiniah, itu pertanda kita menghendaki lebih banyak lagi karunia.
Namun, bila tragedi terjadi, atau kesedihan atau penyakit menimpa kita, kitapun lalu mengeluh tentang Allah Swt di depan makhluk-Nya. Dengan lidah yang mengeluh dan tiada mencela serta sinis, kita mengeluh tentang Dia kepada semua orang. Berangsur-angsur keluhan, kecemasan dan kekhawatiran itu menebarkan benih-benih permusuhan terhadap Allah dan ketentuan-Nya di dalam diri. Perlahan-lahan benih-benih itu pun tumbuh sehingga menjadikan perasaan itu sebagai watak yang abadi. Dengan demikian, na’udzu billah min dzalik, bentuk batin orang itu berupa memusuhi Allah dan ketentuan-ketetentuan-Nya. Bila hal itu terjadi, dia tidak dapat lagi mengendalikan pikiran dan perasaannya. Lahir dan batinnya pun diwarnai dengan permusuhan terhadap Allah Swt, dan dia meninggalkan dunia ini untuk menghadapi keadaan amat buruk dan kegelapan yang abadi, sementara ruhnya diwarnai permusuhan dan kebencian terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah. Aku berlindung kepada Allah dari buruknya suatu akhir yang membawa malapetaka dan dari iman mustawda’ (iman yang bersifat sementara). Karena itu, memang benar bahwa bila sabar tiada iman pun tiada.
Pentingnya Kesabaran
Dalam diri manusia ada satu hal yang amat penting, dan jika manusia tidak mempunyainya maka manusia akan kehilangan orientasi hidupnya. Faktor ini adalah masalah keimanan kepada Allah Swt. Dengan landasan keimanan kepada Allah maka manusia, menurut ulama besar Ali Khamene’i, mempunyai (1) Landasan untuk memahami manusia dan dunia, yakni dikenal sebagai pandangan dunia. (2) Petunjuk umum untuk gerakan dan tindakan manusia (ideologi). (3) Panduan atau regulasi hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya, sesamanya, dan makhluk-makhluk lain. (4) Serangkaian petunjuk umum untuk memelihara momentum penting yang diperlukan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan, dan merampungkan kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan.
Dalam menegakkan bangunan keimanan inilah dibutuhkan kesabaran. Seperti halnya seorang yang ingin mencapai tempat tertentu, maka ia harus tahu lokasi tujuannya dan ketika menuju ke sana harus dengan kesabaran, karena kalau tidak ia akan mendapat hambatan seperti kecelakaan lalu lintas. Faktor kesabaran inilah yang dalam bangunan keimanan merupakan ciri dari seorang mukmin sejati.
Dalam penegakkan keimanan dan mazhab agama juga membutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, kebenaran dan logika ketabahan dari mazhab agama yang suci tidak akan bisa dipahami. Kesabaran akan memberikan harapan puncak bagi kejayaan kebenaran di atas kepalsuan, memberikan darah segar kehidupan kepada tangan-tangan kuat dan langkah-angkah tabah kaum mukmin. Demikian pula, hukum serta bimbingan agama yang mengendalikan dan memeriksa kecenderungan pelanggaran batas manusia niscaya menjadi tidak berdaya.
Jika kesabaran tidak terpatri dalam diri seorang mukmin, maka kongres internasional haji tetap menyisakan kehampaan. Begitu pula gambaran elok dari jihad akbar dengan diri (“perjuangan besar dalam melawan hawa nafsu”), yakni berpuasa dan pengekangan diri niscaya kehilangan daya tariknya. Dan sedekah berikut penunaian zakat demi mendapatkan ridha Allah niscaya diabaikan.
Dalam buku Discourse on Patience, Khamene’i menjelaskan tanpa kesabaran semua nilai etis dan pendidikan luhur Islam (kesalehan, kejujuran, dan kebajikan) niscaya terlupakan; dan pada dasarnya, setiap parameter agama yang menuntut perbuatan dan tindakan, niscaya tercerabut dari mereka. Karena agama menuntut perbuatan nyata, yang tidak mungkin tanpa kesabaran, oleh sebab itu, yang memberikan darah kehidupan segar kepada komplek raksasa ini, atau yang memberikan gerakan ke kereta ini tidak lain adalah kesabaran. Dalam sejumlah hadis disebutkan tentang arti penting dari kesabaran yang didefinisikan sebagai berikut, “Kesabaran atas iman laksana kepala atas tubuh.”
Kepala bagi seseorang memiliki kedudukan yang sangat penting sejauh kehidupan ini diperhatikan. Barangkali siapapun tak peduli dengan tidak adanya anggota-anggota tubuh yang berbeda dalam tubuh manusia seperti tangan, kaki, mata, telinga, dan seterusnya. Akan tetapi jika kepala yang merupakan ruang pengendalian bagi seluruh sistem syaraf tidak ada atau lumpuh, maka semua anggota dan sistem tubuh pun akan menjadi lumpuh atau timpang. Tubuh mungkin tetap hidup, tapi nyatanya ia tak berbeda dengan jasad yang mati.
Kadang-kadang, boleh jadi satu bagian tubuh bisa melakukan sebuah tugas penting. Boleh jadi tinju, kepalan tangan, jari-jemari, atau mata seseorang bisa melakukan perbuatan mulia dalam melepaskan banyak kewajiban, namun semua itu dituntaskan disebabkan adanya kepala. Kesabaran mempunyai kedudukan penting yang sama dalam struktur agama.
Selanjutnya Khamene’i menjelaskan, tanpa kesabaran, eksistensi monoteisme (tauhid) tidak mungkin ada. Begitu pula kenabian dan misi kenabian tidak akan membuahkan hasil apapun. Hak-hak orang yang teraniaya tidak bisa diperoleh dari para penguasa. Shalat, puasa, dan ritus-ritus ibadah lainnya niscaya menjadi muspra (meaningless). Oleh sebab itu, adalah kesabaran yang memenuhi semua aspirasi agama dan kemanusiaan. Jika pada awal permulaan Islam, Nabi saw tidak menawarkan perlawanan terhadap semua oposisi sengit, demi kebenaran tentunya, maka slogan tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illa Allah) niscaya tercekik dalam dinding-dinding rumahnya, sejak kelahirannya.
Yang menjadikan Islam tetap hidup dan sempuma tiada lain adalah kesabaran. Apabila ahlullah (people of Allah) yang takwa dan para nabi besar tidak bersabar terhadap oposisi dan rintangan-rintangan di jalan mereka, niscaya hari ini tidak ada jejak dan pengaruh apapun dari monoteisme. Satu-satunya faktor yang bertanggung jawab yang tetap rnenghidupkan sistem monoteisme, sejak awal penciptaan manusia, adalah kesabaran. Yang menjadi pengusung bendera untuk ideologi samawi ini sampai kiwari, dan akan melanjutkan hal yang sama sampai hari kiamat.
Ide-ide dan ucapan-ucapan manusia yang paling logis, jika tidak disertai dengan kesabaran yang dipraktikkan oleh para pendiri mereka, niscaya mengeringkan tenggorokan dan lidah rnereka. Mereka niscaya tenggelam dalam gelombang bergolak dari sarnudra sejarah selamanya. Oleh sebab itu, sangat jelas bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sama dengan tubuh agama, sebagaimana halnya kedudukan kepala atas tubuh manusia. Amirul Mukminin dalam khutbah al-Qâshi’ah (Khutbah Penghinaan)-nya memberikan kejayaan kaum tertindas atas kaum tiran dan keberhasilan ide-ide mulia mereka sebagai berikut:
“Ketika Allah menyaksikan kesabaran mereka dalam menanggung penderitaan dan kesulitan yang menimpa mereka, karena kecintaan mereka kepada-Nya dan mengikuti jalan kebenaran, maka Ia membukakan kepada mereka pintu-pintu bantuan Ilahi di tengah-tengah kesulitan kemacetan bencana. Setelah melewati masa-masa sulit itu; mereka mendapatkan diri mereka sebagai penguasa dan gubemur. Kemuliaan, kemasyhuran, dan keistirnewaan rnereka sarnpai pada suatu titik yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka dalam mimpi-mimpi terbaik mereka. (Nahj al-Balaghah, Khutbah No.191).” Demikian kesabaran telah menjadikan manusia mencapai kemenangan dari berbagai kesulitan hidup.
Hikmah Kesabaran
Dalam sebuah riwayat diceritakan ada seorang penjual pakaian yang buta huruf, akan tetapi kedudukan keilmuannya telah mencapai suatu tingkatan di mana ilmunya masih terus dimanfaatkan hingga sekarang. Dialah, Ibn Sirin, seorang yang diceritakan Husain Mazhahiri dalam kitab Jihad an-Nafs, membuat kagum banyak orang khususnya dalam masalah ta’bir mimpi.
Diceritakan, seorang wanita datang kepada penjual pakaian ini (Ibn Sirin) dan membeli sejumlah pakaian. Ketika Ibn Sirin membawakan pakaian yang telah dibeli kepada wanita tersebut, dia diajak oleh wanita tersebut untuk melakukan maksiat. Supaya dia selamat dari siksa neraka Hawiyah yang menghinakan, dia berpura-pura minta izin untuk pergi ke WC. Lalu, dia pun pergi ke WC dan mengotori seluruh tubuhnya, dari atas kepala hingga ujung kaki, dengan kotoran. Akhirnya wanita tersebut terpaksa mengeluarkannya dari rumahnya. Tubuh lahir Ibn Sirin najis, akan tetapi dirinya tidak menjadi najis, bahkan bercahaya dengan cahaya Allah. Ketika dia menyucikan tubuhnya, dan kemudian pulang ke rumah, dia merasakan sebuah cahaya meliputi dirinya.
Kisah Ibn Sirin mirip dengan dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf as. Allah kemudian menganugerahkan karamah mengenai tafsir mimpi kepada Ibn Sirin, seperti salah satu karamah Nabi Yusuf as adalah tafsir-tafsir mimpinya. Karamah itu diberikan Allah kepada Ibn Sirin karena ia tetap dalam kesabaran dan menjaga hawa nafsunya walaupun pesona dunia ada di hadapannya.
Hal ini dapat terjadi, menurut Husain Mazhairi, karena Islam mengajarkan dengan menjauhi dosa akan menguatkan keinginan, dan memperkuat dimensi spiritual seorang manusia. Pada keadaan itu seorang manusia mampu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi di hadapan syahwat dan gharizah, dan mampu memenangkan peperangan batin (al-harb ad dakhili) yang terhitung sebagai sebesar-besamya peperangan yang dihadapi manusia. Karena itu, memenangkan peperangan ini adalah suatu perkara yang sulit sekali, dan membutuhkan kesabaran. Sehingga untuk bisa memperoleh kemenangan kita harus menghadapkan wajah kita ke arah Islam. Allah berfirman, Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Al-Quran banyak sekali berbicara seputar manusia yang berbuat dosa. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan untuk kita memperhatikan sejarah mengenai orang yang berbuat dosa untuk diambil pelajaran. Al-Quran mengatakan,
Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. Ali ‘Imran:137)
Dusta dalam ayat tersebut dinyatakan sebagai sebuah dosa. Sesungguhnya dusta adalah dosa besar. Akan tetapi, karena manusia telah terbiasa berkata dusta, maka ketakutan terhadapnya telah tercabut dari hati mereka. Satu dusta saja, sangat membahayakan kita. Begitu juga dengan mengumpat. Imam Khomeini, di dalam sebuah bukunya mengenai mengumpat, mendefinisikan perbuatan mengumpat sebagai berikut, “Anda menyebutkan di belakang saudara Anda, sesuatu yang tidak disukainya.” Mengatakan suatu perkara di belakang seseorang, yang jika perkara itu di hadapannya maka dia tidak suka, inilah yang disebut dengan mengumpat. Jika seseorang mempunyai sifat buruk, lalu Anda mengatakannya di belakang dia, maka ini juga perbuatan mengumpat. Akan tetapi, jika dia tidak mempunyai sifat buruk sebagaimana yang Anda katakan, maka ini namanya ‘fitnah’. Oh, sungguh celaka karena dosa fitnah itu lebih besar daripada dosa membunuh.
Al-Quran mengatakan bahwa kehidupan seorang manusia yang berdosa rawan tertiup angin. Dia tidak mempunyai kehidupan yang tenang dan bahagia. Rumah baginya tidak ubahnya seperti penjara, masyarakat baginya adalah sumber keresahan dan kegelisahan, dan pada akhimya dia mempunyai penyakit lemah syaraf dan senantiasa tertimpa bencana hingga meninggal dunia. Allah berfirman,
Dan orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan- amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. (QS. Ibrahim:18)
Perumpamaan kehidupan manusia berdosa yang terdapat di dalam ayat itu, adalah merupakan penyerupaan pada hal-hal yang rasional (al-ma’qulat) dengan hal-hal yang bisa diindera (al-mahsusat). Artinya, tatkala al-Quran hendak menjelaskan suatu perkara yang bersifat maknawi, al-Quran meletakkannya dalam tataran sesuatu yang bersifat inderawi. Misalnya, ini dapat kita bayangkan jika kita berada di tengah padang pasir, dan di sana kita mengumpulkan angin kencang, maka tentu rumput-rumput kering itu beterbangan tertiup angin.
Allah menyerahkan urusan orang yang berdosa kepada dirinya. Oleh karena itu kehidupannya menjadi gelap. Al-Quran memberikan perumpamaan mengenai orang yang berdosa,
Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. al-Hajj:31)
Jika seseorang jatuh dari langit ketujuh ke bumi, be tapa tubuhnya akan bercerai berai. Apalagi jika dia jatuh dari pesawat terbang ke tempat yang tidak diketahui oleh seorang pun. Al-Quran mengatakan bahwa demikianlah keadaan orang yang berdosa. Al-Quran mengatakan bahwa dosa menjatuhkan manusia ke tempat yang paling bawah dan mencerai-beraikan tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit. Syirik yang disebutkan di dalam ayat ini bukanlah syirik karena menyembah berhala melainkan syirik karena dosa dan mengikuti hawa nafsu.
Al-Quran berkata kepada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bahwa mereka itu musyrik,
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (QS. al-Jatsiyah:23)
Ayat ini mengatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu dianggap sebagai penyembah berhala, dan berhalanya itu adalah hawa nafsunya.
Akibat dari perbuatan dosa bukan hanya akan meliputi diri kita saja, tetapi juga akan membuat genting masyarakat. Suatu bangsa akan menjadi punah, tidaklah oleh datangnya gempa bumi, melainkan sesuatu yang paling banyak menghancurkan suatu bangsa dan mendatangkan ketegangan syaraf di kalangan komponen bangsa tersebut adalah hilangnya iman dan rusaknya akhlak; dan yang lebih fatal lagi daripada itu ialah munculnya hawa nafsu pikiran. Al-Quran mengatakan,
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya. (QS. al-Isra’:16)
Dengan demikian, menjauhi dosa akan sangat bermanfaat jika kita menginginkan kemenangan di dalam pertempuran ini, pertempuran melawan hawa nafsu. Demikian pula hubungan dengan Allah akan memperkuat keinginan dan mendatangkan kehidupan yang bahagia bagi kita. Hubungan dengan Allah akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita, juga keluarga dan masyarakat kita.
Derajat dan Tingkatan Sabar
Suatu ketika Sama’ah bin Mihran ditanya Imam al-Kazhim as, “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.”
Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.”
Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kuburnya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan, ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.”
Seperti ditunjukkan oleh hadis mulia tersebut, terdapat berbagai derajat dan tingkatan sabar. Pahala dan kebaikan sabar bervariasi, selaras dengan derajat dan tingkatannya. Hal itu diuraikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Amirul Mukrninin dari Nabi Muhammad saw, “Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat atas lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan Arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat, ketinggian satu derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh ‘Arsy.”
Hadis mulia ini mengungkapkan bahwa sabar untuk tidak berbuat maksiat lebih unggul dibandingkan tingkat sabar lainnya, sebab tidak saja jumlah derajatnya lebih besar, namun juga jarak antara derajat-derajatnya dalam jenis sabar yang lain. Ini juga memperlihatkan bahwa luasnya surga itu jauh lebih besar dibandingkan yang dapat dibayangkan, sebab penglihatan kita terbatas. Apa yang disebut sebagai gambaran tentang surga bahwa, ...Dan surga luasnya seperti luasnya langit dan bumi... (QS. al-Hadid:21), barangkali merujuk ke surganya watak, dan kriteria surga watak adalah kuat dan sempurnanya kehendak. Karena itu, luasnya tidak akan terbatas. Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang dimaksud di sini adalah tinggi, yaitu barangkali sama lebarnya (dengan surganya amal perbuatan) namun tingginya berbeda. Tapi, ini tampaknya jauh, sebab “lebar” di sini menunjuk ke luas, bukan ke lebar lawannya panjang. “Lebar” dalam kaitannya dengan langit dan bumi juga tak ada artinya bila dipahami dalam pengertian biasa; yaitu sesuatu yang berlawanan dengan panjang, meskipun keduanya memiliki “lebar” dalam pengertian “dimensi kedua” menurut terminologi ahli fisika. Namun, Kitabullah tidak berbicara menurut terminologi tertentu.
Imam Ja’far ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui pencampakkan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun meniliki kepasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dan menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.”
Sabar memiliki tingkatan-tingkatan lain, selain yang dipahami oleh awam, yaitu tingkatannya para penempuh jalan kesempurnaan (salik) dan para wali. Salah satu tingkatan sabar seperti itu adalah shabr fîllah (sabar dalam Allah), tingkatannya orang-orang yang diberkati dengan Kehadiran dan Penglihatan Amat Menyenangkan (ahl usy-syuhud wal-‘ayan), yang terjadi pada saat keluar dari pakaian kemanusiaan, dan pada saat terbebas dari tirai-tirai perbuatan dan sifat, pada saat tersinarinya hati oleh cahaya-cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan pada saat dimasuki keadaan keakraban dan kekaguman, dan terlindunginya diri terhadap perubahan dari warna ke warna, dan kemangkiran dari keakraban dan penglihatan ruhani.
Tingkatan lainnya lagi yaitu tingkatan shabr ‘anillah (sabar dari Allah), yang berkaitan dengan maqam pencinta Allah dan pendamba Allah, di antara ahlusy-syuhud wa-‘ayan pada saat kembali ke dunia mereka sendiri, dunia pluralitas dan ketenangan hati (setelah mabuk kepayang dengan Allah). lnilah maqam paling sulit, suatu maqam yang disebut-sebut oleh ‘Ali bin Abi Thalib as dalam doa Kumail, “Ya Ilahi, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku! Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?”
Berikut ini kisah tentang al-Syibli. Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kalangan pencinta Allah bertanya kepada al-Syibli tentang sabar, “Sabar macam mana yang paling sulit?” Jawab al-Syibli, “Sabar demi Allah.” Kata si pemuda, “Bukan.” “Sabar dalam Allah,” jawab al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Sabar dengan Allah,” kata al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?” kata al-Syibli dengan jengkel. “Sabar dari Allah,” begitu jawabnya. al-Syibli menangis, lalu pingsan.
Tingkatan lain adalah tingkatan shabr billah, yaitu tingkatannya orang-orang yang diberkati kemantapan, tingkatan yang dicapai setelah keadaan ketenangan hati dan baka dengan Allah (baqa’ billah). Tingkatan yang hanya dapat dicapai oleh orang yang sempurna. Dan segala puji bagi Allah, pada awal dan akhimya. Dan shalawat Allah atas Muhammad dan Keturunannya yang suci. Semoga kita dapat mencapai derajat kesabaran seperti itu.
Menahan Marah dengan Kesabaran
Banyak di antara kita dalam bergaul tak dapat menahan rasa amarah. Dari awal yang mulanya bercanda sering akhirnya berbuah pertengkaran. Pertengkaran ini timbul karena adanya ke dua belah pihak tak dapat menahan rasa amarahnya. Padahal Islam mengajarkan untuk mengendalikan sifat amarah ini.
Dalam sejarah Islam, Malik al-Asytar dikenal sebagai Panglima Pasukan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as. Tentang Malik al-Asytar ini, Imam Ali as berkata, “Kedudukan Malik bagiku adalah sebagaimana kedudukanku bagi Rasulullah saw.” Malik al-Asytar adalah pembesar kabilah Kindah dan berkedudukan sebagai Panglima Besar.
Dengan kedudukannya itu, tidak ada keinginan baginya untuk menindas orang yang lebih kecil. Pemah pada suatu hari, Malik berjalan di pasar Kufah dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan berlengan pendek. Tiba-tiba seorang pemuda yang tidak mengenalnya dengan isengnya mencela Malik al-Asytar, bahkan pemuda itu kemudian melemparinya dengan tanah kering. Tetapi, Malik al-Asytar tidak menoleh kepadanya dan terus berjalan.
Seorang yang mengenali Malik berkata kepada pemuda itu, “Apakah engkau tahu siapa orang yang kau lempari itu?” “Tidak”, jawabnya. “Dia adalah Malik al-Asytar!” Pemuda itu lalu menjadi gemetar dan takut. Dikejamya Malik al-Asytar untuk meminta maaf atas perbuatannya. Belum sempat ia menemuinya, dilihatnya Malik al-Asytar masuk ke dalam masjid untuk mengerjakan shalat. Maka ia pun mengikutinya. Begitu Malik al-Asytar selesai mengerjakan shalat, pemuda itupun menemuinya. Lalu, ia berlutut di bawah kedua kakinya dan memohon maaf atas kesalahannya. Malik al-Asytar berkata kepadanya, “Engkau tidak perlu merasa takut. Aku telah memaafkanmu sejak awal, dan aku memasuki masjid ini adalah untuk memohonkan ampunan kepada Allah untukmu.”
Sesungguhnya, Malik al-Asytar dan orang-orang yang menahan kemarahannya adalah orang-orang yang menahan diri mereka ketika marah untuk menjaga kehormatannya. Allah berfirman,
Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka. (QS. al-Furqân:72)
Kemampuan menahan diri ketika marah merupakan sifat orang yang beriman. Sedangakan marah termasuk sifat kebinatangan yang dimiliki manusia. Dan ia merupakan hal alami yang terlahir dalam diri manusia atau hewan dari perasaan yang keras dan tajam terhadap yang lain. Ini terjadi, jika seseorang mendapatkan penghalang bagi keinginannya atau bertentangan dengannya, maka ia akan merasakan kesempitan (susah dan kesal), seperti ia mendengar perkataan yang buruk atau tertimpa kezaliman. Lalu timbullah pada dirinya perasaan ingin membalas dendam. dan kemudian bergolaklah darahnya. Karena itu. kita menyaksikan bahwa pada kondisi demikian. sebagian orang berubah mukanya menjadi merah dan tampak dengan jelas pergerakan darah yang ada di wajahnya. Pada saat itu jiwa seseorang cenderung untuk membalas dendam dan berusaha untuk melakukannya.
Kemudian. dari mulutnya ia melontarkan kata-kata yang bertentangan dengan yang sebenamya. mencela orang lain dengan ungkapan-ungkapan yang keji dan hina. Atau menggunakan tangan dan kakinya. Sering dalam dalam kondisi yang demikian ia tidak sadar dengan apa yang ia perbuat. Itulah kondisi kebinatangan. Ia tidak lagi memperhatikan kebenaran. Ia ulurkan tangannya kepada kebatilan dengan pandangan seperti pandangan hewan. Pada saat ia dalam keadaan marah. tidak ada yang ia lihat di hadapannya selain dendam, sehingga terkadang ia merobek pakaiannya, melontarkan celaan kepada sesuatu yang tidak ada di hadapannya, ataupun memukul dirinya sendiri!
Sering pula terjadi, jika rasa marahnya yang amat sangat tidak tersalurkan (pembalasan), maka ia dapat menderita shock (guncangan) atau serangan jantung disebabkan gejolak darah di uratnya. Bahkan orang seperti itu, dapat terkena stroke ketika marah kemudian mereka mati karenanya. Sebagian lagi ada yang mengalami kelumpuhan. Padahal mereka orang-orang yang mengerjakan shalat. Tetapi mengerjakan shalat semata-mata belumlah dapat menjadikan seseorang sebagai manusia. Melainkan ia harus menahan nafsunya dan mengekangnya. Janganlah ia memberikan ruang bagi sifat kebinatangan untuk bergerak agar ia tidak menjadi hewan yang buas. Jika anjing atau beruang di antara tabiatnya adalah mengoyak-ngoyak daging dan kulit. Adapun manusia, pada saat marah ia merobek dan mengoyak kehormatan dan kemuliaan orang lain, dan ini jauh lebih buruk daripada kezaliman lahiriah.
Untuk menghindari dari keburukan marah, maka manusia harus mengekang nafsunya ketika marah. Seorang manusia yang sebenarnya jika menyikapi sesuatu yang dibencinya akan memilih aspek kemanusiaan yakni kesantunan, sedangkan sifat binatang adalah dengan kemarahan. Memang yang namanya binatang itu tidak mengenal kesantunan. Dan ia tidak mengerti apa itu kesantunan? Sedangkan kita sebagai manusia, adalah orang-orang yang memiliki pemahaman. Jika yang ada pada kita hanya marah, lalu apa perbedaan antara kita dengan binatang?
Jadi, perbedaan merespon hal yang dibencinya atau tidak disenangi ini akan menunjukkan sifat kebinatangan atau kemanusiaan. Sifat kebinatangan merespon dengan kemarahan, sedangkan sifat kemanusiaan dengan kesantunan. Santun berarti sabar dan menahan diri pada saat menghadapi sesuatu yang dibenci. Pada saat melihat hal yang tidak disenangi, ia menahan diri, mengekang lidah, dan mencegah, tangan atau kaki dari berbuat kezaliman. Sesunguhnya menjaga diri sejak awal akan dapat menghindarkan terjadinya pertengkaran dan membuat orang yang menyakiti kita akan merasa malu dengan perbuatannya. Bahkan, dapat membawanya untuk meminta maaf.
Ada sebuah riwayat sufi, yang dapat kita simak dan ambil hikmahnya. Khawajah Nashiruddin ath-Thusi, adalah seorang muhaqiq besar. Pernah suatu kali ada seorang yang bodoh memanggilnya dengan sebutan ‘anjing’. Tapi apa yang dikatakan ath-Thusi jauh dari rasa kemarahan. Ia berkata, “Engkau memanggilku dengan ‘anjing’, padahal aku hanya bekerja dengan pikiranku sehingga aku lihat tak ada sesuatu yang membuatku sama dengan anjing. Aku hanya memiliki dua kaki sedangkan anjing memiliki empat, ia mempunyai gigi-gigi yang tajam untuk memakan tulang, sedangkan gigi-gigiku diam saja dan tidak bekerja, ia memiliki bulu-bulu yang aku tidak memilikinya, dan ia pun memiliki taring, sedangkan aku tidak.” Begitulah ia rnenghadapinya dengan penuh kesabaran, sehingga orang tersebut terdiam. Seandainya ia membalasnya dengan perkataan, “Engkaulah yang anjing; begitu juga ayah dan ibumu!” Tentulah pertengkaran akan semakin memanas dan keadaan pun semakin memburuk.
Memang salah satu pekerjaan berat dalam menjalani hidup ini adalah bagairnana kita dapat menahan diri dari rasa marah. Pada awal mulanya, melatih diri dalam menahan marah adalah suatu hal yang sangat berat, tetapi setelah itu, ia akan menjadi mudah dan sederhana. Sehingga buah dari menahan dan meredam kemarahan akan membawa kepada kebahagiaan dan kemuliaan bagi pelakunya.
Hawa Nafsu dan Pengendaliannya
Setiap awal tahun baru, kita kaum Muslimin diingatkan satu peristiwa besar dalam sejarah Islam, yakni hijrah. Hijrah selain bermakna lahiriah, perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, namun juga dapat bermakna ruhaniah. Pemaknaan hijrah secara ruhaniah ini akan memberikan pada diri kita wahana spiritual yang lebih mendalam. Dengan demikian hijrah secara ruhaniah dapat diartikan sebagai transformasi dari suatu keburukan kepada kebaikan. Seseorang ingin melakukan hijrah, pada dasarnya karena ia ingin mencari perubahan menuju keadaan yang lebih baik.
Perjalanan hijrah ini tak hanya dilakukan oleh manusia. Dalam puisi mistik sufi ‘Konferensi Burung-Burung’ karya Faridduddin Attar diceritakan tentang sekawanan burung yang ‘hijrah’ untuk mencari hakikat yang tertinggi. Attar melukiskan pencarian sekawanan burung untuk menemukan Simurgh, seekor burung legendaris. Nama itu berarti “tiga puluh ekor burung,” yang sekaligus mewakili sejumlah burung dalam kawanan, yang juga berjumlah 30. Setelah mengarungi tujuh lembah dan setelah mengatasi berbagai hambatan yang berat, mereka akhirnya berhasil bertatap muka dengan Simurgh yang tiada bandingannya itu. Puncak cerita merupakan bagian yang paling mengharukan dalam puisi mistik. Kini upaya burung untuk menemukan Simurgh tiada lain merupakan lambang dari pencarian manusia untuk menemukan Allah, atau Realitas Mutlak.
Proses menemukan realitas Mutlak ini bukan hal mudah, manusia harus mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk mencapainya. Sehingga tak heran Rasulullah saw menggambarkan perjuangan ini sebagai jihad akbar. Karena ini memang merupakan medan yang berat. Tapi jika dapat melaluinya maka berbahagialah orang yang beranjak menuju kebaikan. Ia akan makin mendekat ke sumber dari segala sesuatu. Sedangkan jika mereka tak beranjak dari posisi yang sekarang, tetap berada dalam kenistaan, sungguh amat menyedihkan karena ia tetap berada di sebuah penjara bagi dirinya sendiri.
Padahal Tuhan Yang Maha Perkasa dengan kebijaksanaan- Nya telah mengirimkan rahasia Dzat-Nya dari Langit Tersembunyi ke Bumi, dan telah menyembunyikan rahasia itu dalam sifat manusia untuk menunjukkan Nama dan Sifat-Nya sendiri. Tetapi manusia yang tenggelam dalam kegelapan telah melupakan nilai-nilai dan kesempurnaan yang dimilikinya sebelum ia datang ke dunia ini. Demikian pula Allah telah menurunkan nabi-nabi dan (kitab-kitab suci kepada mereka agar mereka bangun dari tidur terlelap, untuk menuntun mereka ke jalan yang lurus, untuk memurnikan dan menata luar dan dalam diri mereka sehingga mereka mampu menyapu jaringan kegelapan dan nafsu, menemukan Alam Terang, mengingat tempat asalnya dan kembali ke sana.
Jika orang mendekati Allah satu sentimeter dengan kemauan keras, Allah akan mendekat kepadanya satu meter, dan Allah datang dengan berlari kepada mereka yang datang dengan berjalan.
Begitu pedulinya Allah pada hambanya yang bernama manusia, namun manusia tetap tidak mengerti dan berada dalam kenistaan. Mengapa manusia dapat bersikap demikian? Dalam diri manusia, terdapat dua ruh; ruh hewan, dan ruh manusia. Ruh hewan adalah zat spiritual halus yang terdiri dari nyawa, kesadaran, daya gerak dan kehendak tubuh, yaitu sifat-sifat manusia yang juga dimiliki hewan. Diri yang bersatu dengan ruh ini disebut diri hewan (nafs al-haywani).
Sedangkan semua kemampuan yang lebih tinggi pada manusia dimasukkan dalam ruh manusia. Diri yang bersatu dengan ruh ini merupakan diri yang bicara/berpikir (nafs al-natiqa), dan diri inilah yang mampu mendorong ke tingkatan diri yang lebih tinggi: tenang, puas, diridhai, dan sempurna. Diri hewan merupakan substrat-nya, makin sering diri manusia tidak dapat hadir tanpa ini, diri hewan menjadi lebih jinak dan orang dapat menahan keinginan hewan. Inilah satu-satunya jalan agar makin banyak aspek manusia dan Ilahi dari diri dapat bangkit. Namun jika diri hewan begitu dominan terhadap manusia, hal inilah yang menyebabkan manusia terjerambah ke dalam perbuatan nista itu, karena banyak mengumbar nafsu hewaniahnya.
Salah seorang wali sufi yang terkenal; Ahmad Sirhindi berkata, “Dalam keadaan aktif, diri hina berusaha untuk menjadi penguasa, menjadi pemimpin, dan lebih besar dari sesamanya. Ia menghendaki agar semua makhluk tergantung kepadanya dan agar mereka mematuhi perintah dan larangannya. Ia menolak ketergantungan dan hutang kepada pihak lain. Ia mengaku bersifat Ilahi dan bersekutu dengan Allah. Tentu saja, diri yang bersifat memaksa, mengerikan dan jauh dari kebahagiaan, tidak akan tenang meski berpartner dengan Allah. Ia bahkan ingin mengalahkan Allah dengan memperhamba segala yang ada. Oleh karena itu maka perbuatan membantu dan membina diri hina ini, hingga ia dapat mempertahankan kepemimpinan dan kekuasaan, merupakan kebodohan dan bencana terbesar.”
Apa yang dikatakan Ahmad Sirhindi tentang diri hina merupakan hasil dari mengedepankan nafsu hewaniahnya itu. Sehingga ia akan terjebur dalam perbuatan-perbuatan yang menjauhi Allah, bahkan dapat menjadi sekutu-Nya. Tentu untuk menaklukan diri hina ini bukan persoalan mudah, karena ia begitu mempesona dan memberikan berbagai kesenangan duniawi.
Salah satu tokoh Sufi, Syeikh Abdukadir Jailani pernah memberikan nasehat panjang untuk mengalahkan diri hina ini. Menurutnya, diri hina itu hanya dapat dijinakkan dengan pengendalian. Caranya yaitu dengan memberikan pendorong atas hak-haknya, tetapi jangan biarkan ia menikmatinya. Misalnya, hak-hak diri adalah makan, minum, pakaian, dan rumah, lakukan dan miliki seperlunya. Begitu pula kenikmatan merupakan hal yang disukainya, berikan haknya menurut ukuran yang ditentukan di dalam syariat. Berikan kepadanya apa-apa yang halal atau bersih, jangan sekali-sekali memberinya barang haram atau kotor. Puaslah dengan yang sedikit, asalkan halal. Biasakan dirimu dengan hal ini.
Selanjutnya Syeikh Abdulkadir menasehatkan, “Bila kamu ingin kebebasan, lawanlah dirimu sebagai tanda kepatuhanmu terhadap Tuhanmu. Jika dirimu cenderung mematuhi-Nya, setujuilah. Jika cenderung terhadap dosa, lawanlah. Jangan singkirkan tongkat perjuangan dari belakangmu. Jangan percaya pada tipu dayanya. Ia akan pura- pura tertidur. Ketika binatang buas itu pura-pura tidur atau kelelahan, kamu mungkin tidak memiliki perlindungan. Ia selalu mencari kesempatan ketika ia tampak tidur atau lelah. Begitulah sifat predator. Diri adalah bagaikan predator. Ia beraksi ketika tampak mengantuk atau tidur, namun ketika melihat kesempatan, ia beraksi. Di luar, tampaknya diri itu patuh, taat, dan setuju dengan kebaikan; tetapi ia menyembunyikan kebalikannya. Jadi, hati-hatilah ketika ia tampak patuh.” Ia melanjutkan, “Obati dirimu sendiri dan berjuanglah melawan dirimu sendiri.” Hal ini sebagaimana firman Allah,
Siapa pun yang berjuang di jalanKu, Kami akan membimbingnya ke jalan yang lurus. (QS. al-Ankabut:69)
Dan juga,
Jika kamu menolong agama Allah, Ia akan membantumu. (QS. Muhammad:7)
Mengendalikan Hawa Nafsu (1)
Di tengah situasi ekonomi yang sulit karena naiknya harga-harga barang kebutuhan sehari-hari sekarang ini dibutuhkan kemampuan diri kita untuk mengendalikan diri. Sebab jika tidak maka kita dapat terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Kemampuan mengendalikan diri merupakan suatu hal yang penting baik dilakukan oleh pemimpin maupun rakyat. Bagaimana cara kita mengendalikan diri adalah dengan memahami apa yang terjadi dalam diri kita sebagai manusia.
Dalam diri manusia selalu ada pertarungan antara keinginan berbuat kebaikan dan keburukan. Pertarungan ini merupakan perjuangan yang selalu ada dalam diri manusia dan merupakan pertarungan yang paling sulit. Bahkan Rasulullah saw sendiri menyatakan bahwa pertarungan ini sebagai jihad akbar. Dan tempat bersemayam pertarungan ini adalah hati.
Memang hati adalah tempat bersemayamnya kebaikan dan kejahatan. Dia adalah penguasa anggota tubuh dan pembawa diri, kemanapun kita akan melangkah, bagai nakhoda kapal yang menentukan arah kemana kapal akan melaju. Di hati, ada suatu kekuatan berlawanan yang saling tarik menarik dan saling menjatuhkan, yang masing-masing dari keduanya ingin mendominasi diri kita. Kedua kekuatan itu adalah kekuatan Ilahi dan kekuatan setan dimana kita sendirilah yang menentukan pada kekuatan manakah hati kita akan memihak.
Dalam hat ini, salah satu kelebihan manusia dibanding malaikat adalah keinginan-keinginan manusia yang berbentuk syahwat. Allah menganugerahi dalam diri manusia syahwat (suatu keinginan dan kecenderungan) untuk menjadi salah satu acuan dalam hidupnya dan menempatkannya dalam hati. Namun demikian, manusia dituntut untuk menjaga syahwatnya agar tetap pada posisi yang sesuai dan tidak condong pada kekuatan setan. Jadi syahwat dalam diri manusia dapat memberikan manusia semangat untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensinya, namun jika tidak dikendalikan akan memberikan dorongan yang menjerumuskan manusia itu sendiri. Misalnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan materi, dapat mendorong manusia untuk bekerja keras dan tekun, namun jika tidak dikendalikan akan menimbulkan sifat keserakahan.
Demikian pula Allah telah memberikan akal dan pengetahuan pada manusia agar bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Akal inilah yang nanti berfungsi untuk mengendalikan syahwat manusia itu. Selain itu Allah juga telah menurunkan wahyu-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang benar. Wahyu inilah yang memberikan petunjuk kepada Akal, agar manusia dapat berjalan di jalan yang benar.
Manusia dengan dibekali akal dan wahyu ini mempunyai kebebasan memilih dalam hidupnya, apakah akan cenderung pada nilai-nilai kebajikan atau keburukan. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam al-Quran bahwa manusia mempunyai kesempatan untuk memilih.
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS. al-Baqarah:256)
Lalu darimanakah hawa nafsu itu berawal? Hadis Nabi saw menjelaskan bahwa hawa nafsu sesungguhnya berawal dari “perut”. Nabi saw bersabda, “Orang mukmin makan dalam satu perut, sedangkan orang munafik makan dalam tujuh perut.” (HR. Muttafaq ‘Alaih) Ini artinya syahwat (keinginan nafsu) orang munafik itu tujuh kali lipat dari syahwat orang mukmin. Abdullah al-Qusyairi, seorang sufi mengatakan, “Hikmah dan ilmu telah diletakkan dalam rasa lapar, sementara maksiat dan kebodohan telah diletakkan dalam kekenyangan.” Dalam sebuah atsar (perkataan sahabat dan tabi’in) disebutkan “perangilah hawa nafsu kalian dengan lapar dan dahaga sebab yang demikian itu terdapat balasan pahalanya”.
Yang dimaksud dengan lapar dan dahaga di sini adalah bukan semata-mata lapar dan dahaga saja, melainkan lapar dan dahaga dengan diiringi keteguhan iman. Betapa banyak orang yang lapar tetapi karena tidak diiringi iman di dalam hatinya, maka rasa lapar ini dimanfaatkan oleh setan untuk menggoda manusia, untuk berbuat kebatilan. Rasa lapar tanpa diiringi. keteguhan iman adalah kosong belaka. Sebab, iman adalah pengendali hati dan lapar adalah penguat kendali hati. Lapar adalah suatu media yang digunakan Rasulullah saw dan para sahabat untuk mendidik hati agar tunduk pada perintah-Nya dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu.
Di antara manfaat lapar yaitu, menjernihkan hati, menyalakan kebijakan dan menajamkan penglihatan hati, seperti yang dikatakan Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi, “Lapar adalah awan maka apabila seorang hamba lapar, keluarlah hujan hikmah dari hatinya.” Kemudian di antara manfaat lapar yang paling utama yaitu mematahkan keinginan nafsu terhadap semua bentuk maksiat dan menguasai nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan.
Jika nafsu sudah terkekang dan keinginan-keinginan nafsu untuk hidup berlebihan dengan menumpuk-numpuk harta sudah sirna, orang tidak lagi berusaha mencari mata pencaharian haram dan berbuat kemaksiatan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Hal ini akan melahirkan kesederhanaan dalam hidup dan memungkinkan seseorang untuk mengutamakan orang lain dan bersedekah dengan makanan yang lebih kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Demikian apabila ia seorang pemimpin maka ia akan mengutamakan kepentingan rakyatnya dibandingkan kepentingan dirinya. Tidak akan ia membiarkan rakyatnya lapar, padahal ia hidup dalam kesenangan dan berlimpah harta.
Di samping itu, manfaat dari nafsu yang terkekang yaitu terkendalinya syahwat yang selalu condong pada kesenangan yang berlebihan dan kemaksiatan. Namun demikian, agar selalu diingat, bahwa menahan lapar dan dahaga saja tanpa diiringi dengan ibadah dan zikrullah tidak akan mempunyai nilai dan kekuatan dalam mengubah diri dan mensucikan hati.
Dengan demikian jika manusia dapat menyucikan dirinya, maka pada saat manusia kembali kepada Tuhannya, di situlah ia akan bersilaturrahmi kepada penciptanya. Tuhan yang memberinya petunjuk dan yang memberinya alam kehidupan. Pertemuan antara pencipta dan yang dicipta ini, merupakan akhir dari perjalanan yang dilalui manusia. Layaknya tuan rumah, Allah menyediakan tamu-tamunya berbagai hidangan, tergantung kepada setiap individu-individu yang sampai kepada-Nya. Pada mereka disediakan tempat-tempat khusus tergantung kepada jalur dan rute yang dilalui. Mereka yang beriman akan ditempatkan di tempat khusus yang namanya surga dan mereka yang tidak beriman akan ditempatkan di ruang yang disebut neraka.
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. mereka berhiaskan kalung-kalung dari emas dan mutiara, pakaian mereka terbuat dari sutera, mereka diantarkan dalam ruang yang penuh kata-kata baik dan indah dan mereka diantarkan kepada jalan yang terpuji. (QS. Hajj:23-24).
Mengendalikan Hawa nafsu (2)
Manusia dalam hidupnya pasti ingin mencapai kebahagiaan. Tapi banyak di antara manusia tidak menyadari hakikat dirinya. Padahal untuk mencapai kebahagiaan ini manusia perlu mengenal hakikat dirinya. Manusia secara hakikat memiliki aspek lahir dan batin dalam wujudnya. Aspek lahir berupa jasad, sedangkan aspek batinnya berwujud nafs dan ruh, yang merupakan penghuni alam malakut yang lebih tinggi dari alam lahiriah.
Dengan pengenalan diri manusia akan menyadari tujuan hidupnya di muka bumi. Manusia menyadari bahwa tugas utamanya di dunia ini adalah melakukan pensucian kembali nafsnya (zakkaha), dan berjuang (jihadun nafs) agar memperoleh rahmat Allah berupa penguatan nafs dengan Ruh al-Quds, yang dengannya nafs akan mampu mengenali dan mengenalkan Allah kepada jasadnya dan semesta alam. Hanya melalui pencapaian inilah kebahagiaan sejati dapat diperoleh manusia.
Dari sini, kita perlu menyadari betapa pentingnya mengkaji ajaran Islam yang telah memberikan petunjuk pencerahan akan hakikat tujuan manusia ini. Dalam terminologi al-Quran dijelaskan bahwa struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaannya oleh Sang Pencipta, di mana an-nafs (jiwa), yaitu aspek batin manusia, memiliki realitas sebagai pasangan dan pada gilirannya nanti akan menjadi pemimpin dari aspek jasadnya. Allah berfirman,
Demi nafs, serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu, (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan nafs itu (zakkaha), dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syam:7-10).
Selain nafs (jiwa), terdapat aspek batin lainnya dalam manusia, yaitu ar-ruh (daya hidup). Allah berfirman,
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah yang kering dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila telah Kusempumakan kejadiannya, dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama. (QS. al-Hijr:28-29)
Nafs (jiwa) manusia adalah makhluk yang berasal dari alam malakut-suatu alam yang berasal dari nur Allah dan tak tampak dari indera lahiriah,yang kemudian dipersaksikan tentang siapa Rabbnya dan dituliskan qadla dan qadarnya di alam alastu. Fase kehidupan berikutnya adalah ketika Allah menyatukannya dengan jasad melalui peniupan ar-Ruh dalam usia janin 120 hari di kandungan rahim ibu nasabiahnya hingga saar kelahiran jasad ke dunia ini.
Dalam kehidupan di dunia nafs, ruh dan jasad kemudian bersatu dalam satu diri manusia. Seiring dengan ajal yang menimpa. jasad, maka jasad akan kembali ke unsur asalnya, yaitu tanah, sedang ruh akan kembali kepada Allah, dan nafs akan melanjutkan perjalanannya pada fase kehidupan berikutnya, yaitu alam barzakh atau alam kubur. Kehidupan akhirat bagi nafs dimulai dengan peristiwa kebangkitan. Dalam kehidupan akhirat yang langgeng inilah nafs harus mempertanggungjawabkan misi kehidupannya di dunia, dan akan memperoleh balasan yang sesuai dengan penunaian misi hidupnya masing-masing.
Dengan demikian, di dunia inilah Nafs melakukan perjuangan untuk memenangkan pertempuran melawan hawa nafsu, sehingga kebahagian abadi dapat tercapai. Perjuangan melawan hawa nafsu merupakan jihad yang terbesar dalam pandangan Islam. Dalam suatu riwayat diceritakan, ketika Rasulullah saw melihat pasukan yang kembali dari sebuah pertempuran, beliau bersabda, “Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan masih harus melaksanakan jihad akbar.” Ketika para sahabat bertanya tentang makna jihad akbar, beliau saw menjawab, “Jihadun nafs (jihad mengendalikan hawa nafsu).”
Mengomentari hadis tersebut, Imam Khomeini ra menyebutkan bahwa jihadun nafs adalah jihad yang lebih penting. Jihad ini lebih akbar dibandingkan dengan terbunuh di jalan Allah, karena merupakan usaha untuk mengendalikan seluruh fakultas dan kekuatan diri manusia, menempatkannya di bawah seruan dan perintah Allah, dan mengusir seluruh unsur setan dan kekuatan jahat dari diri kita. Kedua aspek lahir (jasad) dan batin (nafs beserta ruh) memiliki kekuatan yang saling bertempur untuk menguasai. Imam Khomeini mengatakan:
Selalu ada pertempuran di antara kedua kekuatan tersebut, dan eksistensi manusia adalah medan perang tempat bertemunya kedua pasukan itu. Ketika kekuatan kebaikan Ilahiah memperoleh kemenangan, manusia muncul sebagai makhluk mulia yang bijak, mencapai kedudukan yang tinggi para malaikat –bahkan dapat melampaui mereka– dan menjadi anggota kelompok para nabi, wali, shidiqqin, syuhada, dan shalihin. Ketika kekuatan kegelapan setan menguasai, manusia menjadi makhluk pembangkang yang keji, dan berkelompok bersama orang-orang kafir pengingkar yang terkutuk.
Penghalang utama seseorang dalam jihadun nafs, menurut Imam Khomeini ra adalah kecintaannya terhadap dunia (asy-syahwat) dan cinta diri (al-hawa atau hawa nafsu). “Ketahuilah, bahwa jika manusia tunduk kepada penguasaan hawa nafsu (cinta diri), maka dia pun semakin diperbudak dan hina, sebanding dengan kuatnya penguasaan tersebut; karena perbudakan artinya adalah ketundukan dan kepatuhan sepenuhnya. Orang yang patuh kepada hawa nafsu dan tunduk kepada diri jasadiah, maka dia menjadi budak hawa nafsu dan jasadiah dirinya yang taat. Dia sepenuhnya mematuhi segala perintahnya, dan menjadi budak yang hina dan patuh kepadanya. Kepatuhan ini mencapai batasnya ketika dia lebih mematuhi kehendak hawa nafsunya ketimbang mematuhi Pencipta langit dan bumi... Hamba hawa nafsu dan ambisi cinta duniawi telah mengenakan belenggu menjadi budak hawa nafsu. Dia segera menjadi siapa pun yang diketahui dan dibayangkannya akan memberinya keuntungan duniawi. Jika kata,katanya dia menyatakan dirinya suci dan terhormat, pernyataannya itu cuma muslihat belaka, karena kata-kata dan perbuatannya bertentangan.”
Lebih lanjut tentang cinta diri, Imam Khomeini menjelaskan ketika membahas surat al-Fatihah berkata, “Segala sesuatu yang menimpa kita disebabkan oleh cinta diri, egoisme kita sendiri.” Sebuah hadis riwayat al-Baihaqi mengatakan, “Musuhmu yang paling besar adalah dirimu-sendiri, yang terdapat di kedua sisimu.” Diri-sendiri adalah musuh yang paling berbahaya di antara semua musuh, lebih buruk dari pada semua berhala. Ia adalah raja segala berhala yang memaksa kalian untuk menyembahnya dengan kekuatan yang lebih besar daripada berhala-berhala yang lain. Sampai seseorang mampu menghancurkan ini, ia tidak akan menghadap kepada Allah. Allah dan berhala, egoisme dan ilahiah, tidak dapat berada dalam satu diri sekaligus.Jika kita tidak meninggalkan rumah berhala ini, membelakanginya, dan menghadapkan diri kita (muwajjahah) kepada Allah, maka dalam kenyataan kita akan menjadi musyrik; meskipun kelihatannya seperti menyembah Allah.
Buah Kesombongan
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki yang buta hatinya duduk di majelis Rasulullah saw. Lalu datanglah seorang yang buta matanya, dan duduk disamping orang yang buta hatinya itu. Orang yang buta hatinya itu –dia seorang laki-laki yang kaya– menjauhkan dirinya dari laki-laki yang buta matanya itu. Melihat itu Rasulullah saw marah dan berkata kepada orang yang buta hatinya itu, “Kenapa engkau melakukan itu? Apakah engkau khawatir kemiskinan dia akan menular kepadamu, atau engkau takut kekayaanmu menular kepadanya?” Orang itu menjawab, “Saya siap memberikan setengah dari kekayaan saya kepada orang miskin ini, asalkan Anda ridha kepada saya ya Rasulullah saw.” Rasulullah saw menoleh kepada orang fakir yang buta matanya itu dan berkata, “Apakah engkau ingin setengah dari kekayaan laki-laki ini?”
Orang miskin yang buta itu menjawab, “Tidak, saya tidak mau.” Rasulullah saw bertanya, “Mengapa?” Orang miskin itu menjawab, “Saya takut saya menjadi sombong dengan kekayaan yang saya miliki, sehingga saya menjadi seperti dia yang buta mata hatinya, di samping kebutaan mata saya.
Dengan buta mata hatinya maka orang tersebut telah terjebak dalam kesombongan, karena memiliki kekayaan. Padahal kesombongan merupakan sifat yang harus dijauhi kaum Muslimin. Sifat sombong dapat menjadikan manusia tidak bersyukur kepada Allah.
Pada masa kita sekarang ini kita sering menyaksikan sebagian orang bersikap sombong bukan hanya karena kekayaan tetapi juga ilmunya. Dengan berbagai gelar yang mentereng di depan dan belakang namanya manusia telah bersikap sombong kepada kedua orangtuanya. Misalnya seseorang yang telah meraih gelar doktor, lalu dia melihat dirinya telah sedemikian tinggi, hingga hampir menggapai bintang dengan mudah akan menuduh ayahnya sebagaiorang yang kolot dan terbelakang. Sungguh mengherankan ilmu yang ada pada mereka, telah mendorong mereka kepada penyimpangan dan kesesatan. Padahal, yang kita dengar, ilmu akan membawa manusia kepada derajat yang lebih tinggi. Jadi apa yang ada pada orang-orang yang sombong ini bukanlah ilmu, melainkan kesesatan, penyimpangan dan keterpurukan.
Memang sikap berbangga diri, banyak ditemukan di kalangan ahli ilmu dan orang-orang terpelajar. Kita melihat, bagaimana –misalnya– mereka menggunakan kata “saya” dengan penuh kebanggaan dan kesombongan. Mereka berpikir bahwa mereka memiliki ilmu orang-orang terdahulu dan ilmu orang-orang terkemudian, padahal ilmu mereka tidak ubahnya seperti setetes air di tengah lautan. Allah berfirman, Dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit (QS. al-Isra’:85).
Apakah mereka yang mengaku berilmu itu mau berpikir tentang dari mana datangnya ilmu itu? Dan siapa yang telah memberikan ilmu kepada mereka? Jika seorang manusia mengatakan “saya berilmu”, maka sesungguhnya ilmu yang ada pada dirinya adalah ilmu yang diperoleh. Adapun yang berilmu hanyalah Allah satu-satunya. Allah lah yang mesti berbangga dengan ilmu-Nya. Oleh karena itu, Allah tidak suka kepada orang yang menyamai-Nya di dalam sifat-Nya. Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman:18)
Allah telah menciptakan manusia dari unsur-unsur tanah, kemudian dari air sperma yang najis, untuk kemudian pada akhir umurnya manusia menjadi bangkai yang menjijikkan, lalu mengapa kita harus sombong?
Dia lah yang telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu, hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (QS. Ghafir:67)
Jadi dengan sesuatu yang mana ia layak merasa sombong? Apakah dengan air sperma yang dia berasal darinya? Ataukah dengan bangkai yang kelak dia akan berakhir dengannya? Seandainya manusia berpikir tentang keadaannya ini, niscaya dia tidak akan merasa sombong dengan dirinya, dan dia akan sangat bersikap tawadu. Manusia, dengan tidak memikirkan asal muasal kejadiannya ini, mungkin saja berpikir bahwa dirinya seorang yang penting, seorang yang berilmu tinggi, dan orang-orang menghormatinya. Lalu dia pun berjalan di muka bumi dengan sombong dan membanggakan diri.
Sungguh jika kita memelihara sikap sombong ini, sebenarnya kita akan menuai hasil yang buruk di kemudian hari. Kita akan dibenci dan tidak disukai oleh makhluk Allah lainnya. Ada sebuah kisah tentang kehidupan Luqman, yang mengajarkan kepada kita tentang buah dari tindakan kita sekarang ini.
Dahulu, Lukman al-Hakim adalah budak seseorang. Tuannya adalah seorang manusia yang baik dan termasuk orang yang meyakini Allah, akan tetapi sayangnya tuannya itu seorang yang lalai. Ketika malam hari, semua manusia pergi ke tempat tidurnya. Begitu juga dengan Lukman al-Hakim, namun kemudian dia bangun dari tidurnya untuk mengerjakan shalat malam. Lukman al-Hakim merasa heran kepada tuannya yang mengaku beriman kepada Allah namun tidak terlihat tanda-tanda hendak bangun untuk mengerjakan shalat malam. Lukman pun pergi dan berkata kepada tuannya. “Tuanku, bangunlah dari tidur, marilah kita sama-sama mengerjakan shalat malam. Karena kafilah orang-orang yang shalat tidak akan lalai dari pahala dan ganjaran Allah. Oleh karena itu, bangunlah wahai tuanku!”
Tuannya menjawab, “Saya masih ngantuk, biarkan saya tidur sesaat lagi, nanti saya akan bangun, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Begitu pula ketika mendekati waktu subuh. Lukman pun membangunkan lagi. Dan tuannya menjawab lagi, “Tinggalkan saya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Akhirnya tuannya itu bangun setelah sinar matahari menyorot dirinya.
Lalu ia memberikan biji gandum kepada Lukman sambil berkata, “Pergilah ke ladang, dan tebarkanlah biji gandum ini di sana.” Lukman kemudian bermaksud memberi pelajaran kepada tuannya. Lukman pergi ke ladang namun ia tidak menanam biji gandum, tapi biji bulgur. Lalu dia pulang dan memberitahukan apa yang dilakukannya kepada tuannya. Mendengar itu tuannya berkata kepadanya, “Apakah engkau gila dengan apa yang kamu lakukan?”
Lukman menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Saya lihat gandum itu harganya mahal sementara bulgur harganya murah maka oleh karena itu saya berpikir untuk menanam bulgur, sementara nantinya kita akan menuai gandum, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.”
Tuannya marah dan bertanya kepadanya, “Dari mana kamu belajar ini?” “Dari Tuan,” jawab Lukman tenang. “Karena Anda tidur sepanjang malam dan tidak bangun untuk mengerjakan shalat Subuh, sementara Anda mengatakan “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dengan itu Anda berharap mendapat surga, keridhaan Allah dan bidadari Mahsyar pada Hari Kiamat,” lanjut Lukman.
Dengan demikian sebenarnya apa yang akan kita tanam dalam hidup ini akan berbuah kemudian. Begitu pula jika kita menanam sikap sombong maka akan berbuah kebencian dan ketidakbersyukuran pada Allah. Sungguh ini merupakan sikap yang harus dijauhi oleh kita kaum Muslim, karena akan menuai hasil yang menistakan kita di kemudian hari.
Hilangkan Ketamakan dan Bersikaplah Tawadu
Di dunia yang kaya ini, ternyata terdapat banyak kemiskinan. Coba bayangkan betapa kaya alam ini, mulai dari hasil hutan, tambang, laut dan pertanian. Semuanya itu merupakan kekayaan alam yang tak terkira untuk umat manusia. Tapi toh dengan kekayaan yang sedemikian banyak, tetap saja kemiskinan dan kelaparan melanda berbagai muka bumi ini.
Begitu pula dengan negara kita, kalau kita tengok alamnya betapa kayanya. Ada hasil hutan yang berlimpah, hasil tambang yang tak terkira, hasil laut yang kaya namun semuanya itu tidak bisa menghilangkan kemiskinan rakyatnya, Bahkan dari hari ke hari, kemiskinan bukan saja berkurang malah kian bertambah. Lalu apa yang menyebabkan semua ini terjadi? Semuanya itu terjadi karena adanya ketamakan pada sebagian manusia. Di negara ini segelintir orang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga kekayaan alam tersebut hanya dinikmati oleh sedikit orang.
Memang terkadang manusia jatuhpada penyakit tamak. Senang mengumpulkan sesuatu berupa kekayaan padahal ia tidak terlalu membutuhkannya. Manusia seperti ini mengumpulkan kekayaan melebihi dari kebutuhannya, bahkan berlebihan-lebihan. Tak hanya itu, bahkan untuk mengumpulkan kekayaannya itu, ia menggunakan segala cara. Mulai dari yang terang-terangan melanggar hukum hingga yang abu-abu.
Misalnya ini terjadi pada para konglomerat hitam dan penguasa yang tidak mempunyai itikad baik. Mereka, para konglomerat dan penguasa, banyak mengirimkan jutaan dolar hartanya ke luar negeri yang disimpannya ketika terjadi tuntutan hukum atasnya. Padahal, jelas-jelas harta mereka adalah harta negara. Namun karena ketamakannya mereka tidak mau mengembalikan bahkan melarikannya keluar negeri.
Tamak adalah sifat yang tercela dan hina. Sifat ini dapat mendorong pelakunya untuk melakukan pengkhianatan, pencurian, penipuan dan monopoli, karena ia menyangka bahwa dirinya akan kekal di dunia ini. Ketamakan adalah sifat yang jelas terdapat pada sebagian hewan, khususnya pada semut. Semut adalah contoh ketamakan untuk mengamankan keadaan beberapa hari mendatang. Tetapi manusia melebihi semut atau tikus dalam hal ketamakan. Karena semut menyimpan makanan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perutnya, sedangkan manusia menumpuk kekayaan hanya untuk kesombongan dan kekuasaan.
Kekayaan dapat menjadi sumber kesombongan jika kekayaan itu hanya sekedar untuk dipamerkan dan manusia tersebut bersifat kikir. Dengan kekayaannya yang berlimpah, bukannya untuk dimanfaatkan sebagai sarana beramal saleh tapi malah untuk kesombongan. Selain itu, kekayaan yang banyak itu juga digunakannya untuk mengejar ambisi kekuasaannya. Lihat saja tokoh-tokoh politik di negara ini, walaupun jelas.-jelas mereka telah bersalah, toh tetap saja mereka tidak merasa bersalah.
Lalu manusia seperti itu, yang telah berkuasa, akan terus melanggengkan kekuasaannya dan menumpuk kekayaannya sehingga ia makin jauh dari nilai-nilai agama, bahkan terkadang akan melecehkan agama. Misalnya Fir’aun, ia adalah maharaja yang kaya dan sombong terhadap Tuhannya. Karena kekuasaan dan kekayaannya itu, ia akhimya bersikap sombong dan menghinakan ajaran yang dibawa Nabi Musa as. Namun, Fir’aun akhimya harus menerima nasib yang menggenaskan, tenggelam di lautan.
Tentu saja, dalam kehidupan ini, tidak semua orang mempunyai sifat yang buruk. Banyak sekali di dunia ini, orang-orang yang yang menjalani hidupnya seperti malaikat, sehingga ia menjadi insan yang sebenamya. Untuk menjadi insan yang sebenamya bukanlah perkara yang mudah dan ringan. Ia harus melatih dirinya dengan kesabaran, keztihudan dan ketakwaan kepada Allah.
Orang tersebut, yang hidupnya penuh dengan kesabaran, kezuhudan, dan ketakwaan hendaklah berusaha agar menjadi orang yang bersifat tawadu, yang mau melayani orang-orang lain, yang mewaspadai kecenderungan-kecenderungan dalam dirinya untuk mencapai ketingggian dan hendaklah ia senantiasa ingat asal kejadiannya dan akhir perjalanannya. Karena, pada asalnya ia hanyalah berupa air mani yang kotor dan akan berakhir menjadi bangkai yang busuk.
Salah seorang tokoh yang hidupnya penuh dengan kesabaran, kezuhudan, ketakwaan dan tawadu terhadap orang lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ada sebuah kisah yang patut kita simak untuk menjadi contoh dalam hidup ini. Waktu itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dengan pelayannya, Qanbar, sedang berada di sebuah pasar. Ketika itu Imam membeli dua potong baju di mana yang lebih bagus diberikan kepada Qanbar. Maka berkatalah Qanbar, “Mengapa Tuan memberikan kepada saya baju yang lebih bagus, sedangkan Tuan adalah majikan saya dan Khalifah kaum Muslim?” Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menjawab, “Aku malu kepada Allah apabila aku mengutamakan diriku daripada engkau !”
Ali bin Abi Thalib as adalah seorang makhluk, dan Qanbar pun seorang makhluk pula. Seandainya Ali bili Abi Thalib as memiliki kedudukan, maka Allah-lah yang memberikan kedudukan itu. Adapun dalam kedudukannya sebagai makhluk, keduanya adalah sama. Apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah garis yang mesti direncanakan oleh para pencintanya untuk diri mereka. Sehingga, mereka tidak mencari-cari keunggulan terhadap orang lain.
Manusia seperti Imam Ali as merasa sejajar dengan pelayannya karena ia dan pelayannya sama-sama makhluk Allah, sehingga ia tidak mengistimewakan dirinya dibandingkan orang lain, dan tidak berharap dirinya mendapat kesenangan sedangkan orang-orang lain merasakan susah. Bahkan, ia harus sabar menghadapi kesulitan untuk kepentingan orang lain, dan berusaha untuk kesenangan mereka meskipun untuk ltu ia harus mengalami kesulitan dan cobaan.
Pemimpin seperti ini adalah orang yang berusaha untuk menyenangkan orang lain, tidak hanya menginginkan kesenangan dirinya. Ia juga harus berusaha untuk menghilangkan beban dari punggung orang lain, bukan malah memberati mereka dengan beban-bebannya. Ia juga memaafkan kesalahan mereka, bukannya malah menjatuhkan mereka ke jurang kesalahan. Ia juga menjaga kemuliaan orang lain, bukannya berusaha mencemarkan kemuliaan mereka.
Mereka adalah pemimpin yang berusaha untuk menghilangkan rasa lapar orang lain, bukannya malah merampas roti dari mulut mereka. Jika ia berada di antara dua perangai: perangai malaikat dan perangai hewan. Maka ia akan memilih perangai malaikat. Hewan tidak suka melayani orang lain; sedangkan malaikat yang dilakukannya adalah kasih sayang dan melakukan kebajikan untuk orang lain.
Semua sifat itu akan terjadi jika manusia dalam hidupnya menghilangkan ketamakan dan kesombongan, serta mengembangkan ketakwaan, kesabaran, kezuhudan dan kemurahhatian. Dengan mengembangkan sifat dan sikap tersebut maka tatanan hidup di masyarakat akan menjadi baik dan penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan.
Senjata Melawan Godaan Setan
Siapapun tidak akan memperoleh hakikat Istiadzah (berlindung dari godaan setan) kalau manusia masih melakukan perbuatan dosa dan tunduk pada ajakan setan. Allah dalam surat al-Fathir, ayat 6, berfirman, Maka jadikanlah Ia (setan) sebagai musuhmu). Setan adalah musuh manusia yang nyata, paling berat dan tidak nampak pada penglihatan. Mentaatinya berarti menjadikannya sebagai teman. Janganlah manusia memberinya peluang sedikit apapun dan selalu bersikap waspada kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat.
Di sinilah letak perbedaan antara setan dan malaikat. Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa malaikat adalah nama untuk kekuatan-kekuatan alam yang mendorong kepada kebaikan dan kebahagiaan, sedang setan adalah nama untuk kekuatan alam yang mendorong kepada kejahatan dan kesengsaraan. Akan tetapi yang diterangkan oleh al-Quran berbeda dengan pernyataan itu. Al-Quran menerangkan bahwa malaikat dan setan adalah makhluk-makhluk yang tidak bisa dijangkau oleh indra-indra lahiriyah. Hanya saja ia mempunyai wujud dan kecerdasan, kehendak dan kemerdekaan.
Dalam hal tentang setan, ini berkaitan dengan kisah iblis dan keenggannnya bersujud kepada Nabi Allah Adam As, serta dialog yang terjadi antara Allah Swt dengannya, semuanya dipaparkan dengan jelas dalam al-Quran. Setelah iblis dikeluarkan dan diusir dari barisan malaikat ia berkata kepada Allah,
Aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka. (QS. Shad:82-83)
Allah menanggapi pernyataan iblis ini berfirman,
Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka semuanya. (QS. Shad:85)
Hal ini mengisyaratkan bahwa pahala dan siksaan itu tidak layak diberikan kecuali kepada mereka yang memahami kebaikan dan kejahatan. Artinya setan mempunyai kesempumaan pemahaman dan kehendak. Dalam ayat lain Allah menyifati iblis, bahwa iblis. mempunyai sifat “Duga” yang merupakan salah satu dari kriteria pemahaman. Dalam al-Quran, Allah berfirman,
Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. (QS. Saba’:20)
Dalam ayat lain iblis menolak celaan yang dilontarkan terhadapnya. Penolakan inilah yang membuktikan bahwa iblis mempunyai pemahaman, karena penolakan tidak mungkin dilakukan oleh makhluk yang tidak memiliki kehendak dan pemahaman. Dalam surat Ibrahim ayat 22, disebutkan,
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu dengan janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali- kali tidak ada kekuasan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh karena itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.
Ayat ini dan ayat-ayat lain yang kandungannya sama menunjukkan bahwa setan itu mempunyai sifat-sifat yang tidak mungkin dimilikinya tanpa pemahaman dan kemerdekaan berkehendak. Sifat-sifat tersebut tidak relevan dengan kekuatan alam yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat tersebut.
Lalu apa yang dapat kita lakukan ketika menyadari bahwa musuh dalam selimut kita itu begitu perkasa? Yang harus kita lakukan tentunya mencari senjata dan kekuatan penangkis yang sanggup menaklukan musuh besar manusia ini. Lebih dari itu, kita harus selalu siap dan menyiapkan senjata yang ampuh, karena musuh besar itu menunggu saat-saat ketika sedang lalai. Sedikit saja kita lalai maka musuh ini akan memanfaatkannya semaksimal mungkin dan akan habislah kita. Maka senjata pamungkas yang mampu menangkis serangan-serangan tanpa henti musuh besar umat manusia ini adalah ketakwaan. Karenanya bekalilah hidupmu dengan takwa dan selalu bersiaga dalam menghadapi iblis sang jahanam.
Setan memiliki sejumlah cara menggoda yang sistematis. Pertama-tama misalnya, ia akan merayu seorang mukmin untuk melakukan sesuatu yang makruh terlebih dahulu, kemudian mengajaknya berbuat dosa kecil. Sampai akhimya ia menjadi terbiasa melakukannya dengan menganggap enteng perbuatan dosa tersebut. Padahal, menganggap enteng perbuatan dosa kecil sama halnya dengan melakukan perbuatan dosa besar. Pada tahap berikutnya, setan akan meniupkan manusia penyakit was-was di hatinya yang dulunya pernah dipenuhi dengan keimanan, dan manusia tidak menyadarinya sama sekali. Hanya orang-orang yang bertakwa (yang memiliki senjata takwa) lah, yang akan aman dari bahaya godaan setan tersebut. Adapun nasib orang-orang yang tidak memiliki prinsip akan selalu ada dalam jeratan. Oleh sebab itu, melakukan sunah Nabi saw, meninggalkan perbuatan makruh, Berta menjaga agar tidak sampai lupa diri menurut kadar kemampuannya akan memberikan dampak dan pengaruh yang positif pada diri kita.
Banyak sekali amalan sunah yang bisa dijadikan senjata untuk menghadang serangan setan. Misalnya berwudhu. Rasulullah saw berkata, “Wudhu adalah senjata orang mukmin.” Selain menjadikan seorang mukmin selalu berada dalam keadan suci (dari hadas besar maupun kecil), wudhu akan membantu mereka dalam menghadapi setan. Kalau memungkinkan kita menjaga wudhu dalam waktu yang lama, tapi ada baiknya juga anda memperbaharui wudhu anda dengan mengambil air wudhu yang baru. Dengan kata lain kita dianjurkan untuk mengambil wudhu sesering mungkin. Rasulullah saw berkata, “Wudhu adalah cahaya, dan wudhu berkali-kali adalah cahaya di atas cahaya.” Kita dianjurkan juga untuk berwudhu ketika hendak tidur. Dengan begitu, kita akan tidur dalam keadaan bersenjata.
Dalam memberitahukan jenis senjata ampuh untuk memerangi setan, Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang apa bila dilakukan, kalian akan jauh dari setan, yang jauhnya antara timur dan barat? Para sahabat menjawab dengan serentak, “Baik, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berpuasalah kalian, karena berpuasa akan membutakan setan dan bersedekahlah kalian, karena bersedekah akan mematahkan punggung setan.” Namun tidak semudah itu mematahkan punggung dan membutakan mata musuh besar umat manusia ini, kecuali puasa dan sedekah tersebut dilakukan dengan benar.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email