Pesan Rahbar

Home » » Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi; Bab III: Metode Perbaikan Akhlak (Diantaranya Menjauhi Kemaksiatan)

Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi; Bab III: Metode Perbaikan Akhlak (Diantaranya Menjauhi Kemaksiatan)

Written By Unknown on Friday 30 September 2016 | 22:27:00


Metode Perbaikan Akhlak

Coba kita perhatikan sekeliling kita, ada manusia yang berperilaku baik dan ada yang berperilaku buruk. Perbedaan tingkah laku manusia ini menurut Islam adalah dalam masalah akhlaknya. Menurut al-Ghazali akhlak adalah gambaran tentang kondisi yang menetap di dalam jiwa. Semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berpikir dan merenung. Jika kondisi yang menjadi sumber berbagai perilaku yang indah dan terpuji bersifat rasional dan syar’i, maka kondisi itu disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika berbagai perilaku yang bersumber darinya buruk, maka kondisi yang menjadi sumber itu disebut akhlak yang buruk.

Dalam hal ini, akhlak manusia bukanlah sesuatu yang melekat tanpa berubah. Akhlak manusia dapat berganti dari yang buruk ke yang baik atau sebaliknya. Perubahan itu terjadi karena berbagai faktor seperti keluarga, pendidikan dan lingkungan masyarakat. Imam al-Ghazali menolak anggapan yang mengatakan bahwa akhlak tidak dapat berubah. Karena, menurutnya seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasihat, dan pendidikan tidak berarti apa-apa.

Rasulullah saw pernah bersabda, “Perbaikilah akhlak kalian.” Ini menandakan bahwa akhlak manusia itu dapat berubah. Bahkan tak hanya manusia, hewan pun dapat berubah akhlaknya. Misalnya kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Hal ini jelas menandakan adanya perubahan akhlak (perilaku).
Untuk mengenal akhlak yang baik, maka manusia harus mengenal karakteristik akhlak yang baik. Akhlak yang baik adalah titik tengah antara sesuatu yang terlalu berlebihan (radikal kanan) dan sesuatu yang terlalu kurang (radikal kiri). Misalnya, kedermawanan merupakan akhlak yang terpuji, dan akhlak ini berada di tengah-tengah antara sifat kikir dan sifat mubazir. Allah Swt telah memberikan pujian dengan berfirman,

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. al-Furqân:67)

Demikian dalam ayat,
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. al- Isrâ’:29)

Tentu tujuan dari perubahan akhlak ini bukan dimaksudkan untuk mengekang instink yang ada pada dasar biologis manusia, semisal syahwat dan emosi. Tetapi tujuan dari pendidikan akhlak adalah mengendalikan dan mendorong ke arah yang normal (titik tengah). Misalnya, jika manusia mempunyai syahwat sex atau makan, maka keduanya bukan dikekang tapi dikendalikan. Sex yang benar haruslah dengan pernikahan, begitu pula dengan makan yaitu dengan normal, tidak rakus dan tidak pula kehilangan selera makan. Allah Swt berfirman,

...Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (QS. al-Araf:31)

Dengan demikian, diperlukan sebuah usaha untuk mempunyai akhlak yang baik. Bagaimana caranya? Cara pengobatan ini sebenarnya tak ubahnya dengan pengobatan fisik? Menurut al-Ghazali sesungguhnya kesehatan badan ada pada normalitas kondisi, dan sakit badan bersumber dari kecenderungan kondisi badan untuk menjauhi normalitas. Demikian pula pada akhlak merupakan kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas adalah penyakit dan gangguan.

Cara pengobatan badan dilakukan dengan menghilangkan berbagai sebab dan penyakit yang mengganggu normalitas kondisinya; sedangkan cara memperoleh kesehatan badan adalah dengan mengembalikan kondisi yang normal. Demikian pula pengobatan jiwa dilakukan dengan cara menghilangkan berbagai kenistaan dan akhlak buruk darinya, serta memberikan keutamaan dan akhlak yang baik kepadanya.

Al-Ghazali mengemukakan, “Kondisi badan yang umum adalah yang normal. Perut terancam bahaya karena makanan, keinginan dan berbagai situasi. Demikian pula, semua anak kecil dilahirkan dalam keadaan fitri, tetapi kedua orang tuanya yang menjadikannya Nasrani, Yahudi dan Majusi. Atau dengan kata lain, melalui proses pembiasaan dan pendidikan, maka kenistaan-kenistaan diperoleh. Badan pada mulanya tidak diciptakan dalam keadaan sempurna, tetapi ia menjadi sempurna dan kuat melalui proses pertumbuhan dan pemeliharaan dengan makanan.

Demikian pula jiwa yang diciptakan dalam keadaan kurang, akan dapat mengalami kesempurnaan melalui proses pendidikan dan pengajaran akhlak serta santapan ilmu. Jika mengubah kehormatan badan yang sakit hanya dapat diatasi dengan lawannya- misalnya, panas dengan dingin atau sebaliknya, dingin dengan panas- begitu pula akhlak buruk yang merupakan penyakit hati juga dapat diobati dengan lawannya. Oleh karena itu, penyakit kebodohan diobati dengan belajar, penyakit bakhil diobati dengan berusaha dermawan, penyakit sombong diobati dengan sikap rendah hati, dan penyakit rakus diobati dengan mengurangi selera makan.

Al-Ghazali melukiskan metodenya dalam mengobati penyakit hati tersebut adalah dengan perilaku yang berlawanan dari keinginan dan kecenderungan jiwa. Allah Swt telah mengemukakan hal itu di dalam al-Quran dalam satu kalimat yang berbunyi,

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (QS. an-Naziat:40-41)

Oleh karena itu, terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan diri melakukan perilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan yang hendak diobati, serta terus melakukannya sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tabiat. Dengan metode ini, akhlak atau perilaku buruk akan hilang dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik.

Jika akhlak buruk yang harus diobati bersifat menetap atau kuat di dalam perilaku, maka al-Ghazali menasihati untuk menerapkan metode at-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan si individu dari akhlak yang buruk menuju akhlak lain yang lebih ringan dan terus seperti itu, sehingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang harus diobati. Misalnya, jika seseorang melihat kerakusan menguasai dirinya, maka ia harus berpuasa dan mengurangi makan. Setelah itu, ia harus memaksakan diri menyediakan makanan yang enak dan memberikannya kepada orang lain dan ia sendiri tidak boleh memakannya, sehingga jiwanya kuat menghadapi hal itu. Alhasil, kesabaran menjadi kebiasaan dan kerakusan akan menghilang.

Tahapan-tahapan itu harus dilalui jika kita ingin mengobati penyakit hati yang telah bersarang dalam diri kita. Padahal ada yang lebih penting dari mengobati yakni menjaga jiwa atau hati dalam keadaan seminim mungkin dari perbuatan dosa sejak masih kecil. Karena, menurut al-Ghazali bahwa anak kecil tumbuh dalam keadaan jiwa yang kosong dari semua lukisan dan gambaran. Jiwanya siap menerima semua ‘ukiran’. Jika jiwanya dibiasakan dengan akhlak yang baik, maka jiwanya akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang baik. Soalnya, anak kecil dengan substansinya diciptakan untuk siap menerima semua nilai baik dan nilai buruk, tetapi kedua orang tua yang membuatnya condong ke salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, orang tuanya harus menganjurkan anak-anaknya untuk mempelajari akhlak yang buruk, serta memperhatikan aspek pendidikan, pelatihan dan pembiasaan akhlak yang baik.


Mendidik Hati

Manusia masa kini sering mengalami kegamangan hidup dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dapat kita saksikan bahwa manusia masa kini sedang berenang dalam ketidaksadaran, konsumerisme, selingan yang membekukan pikiran, subjektivitas tanpa tujuan, individualisme yang neurotik, dan fragmentasi filsafat. Semua itu telah menjadikan manusia kehilangan orientasi dalam kehidupannya.

Begitu pula kondisi artifisial inasyarakat industri modem dan pasca industri semakin mempercepat waktu, meningkatkan stres, mengisolasi setiap orang, mengurangi interaksi, merusak hati kita, dan memecah-belah setiap aspek eksistensi kita. Kita telah kehilangan makna dan tujuan hidup. Karena keutuhan kita telah hilang, kita membentuk suatu dunia yang tidak menyerupai teman melainkan sebuah tempat di mana manusia diperbudak, di mana keindahan alam dijarah, dimana keadilan dan peperangan yang tidak perlu menghancurkan apa yang hendak dibangun oleh hati manusia.

Peristiwa dan kondisi yang ada dalam masyarakat ini merupakan cermin yang ada dalam diri kita (ego). Keberadaan ego yang penuh hasrat ini merupakan monster yang berkepala banyak, momok yang bisa berubah bentuk.

Semua itu ternyata telah merasuk ke dalam diri kita, sehingga menjadikan diri mempunyai sifat-sifat serakah, egois dan kedustaan dalam menyikapi hidup ini.

Mengapa hal itu dapat terjadi? Ini semua akibat terjadinya fragmentasi diri, yang merupakan akibat langsung dari hilangnya pengetahuan objektif kita tentang diri dan realitas. Dengan demikian, merupakan hal yang penting bagi kita untuk mengetahui hakikat diri kita itu.

Mengetahui hakikat diri, sebenamya tak lepas dari tradisi spiritual yang ada di dunia. Tradisi spiritual inilah yang membentuk pandangan manusia terhadap dirinya. Tradisi ini juga memberikan arah dan tujuan hidup manusia itu. Sekarang ini, manusia seyogyanya meninggakan tradisi spiritual yang memelihara iman dengan membuta dan penuh dengan kepicikan, yang lebih pantas untuk manusia masa lampau.

Selanjutnya, akankah mayoritas manusia dewasa ini bersedia menerima spiritualitas umum, spiritualitas media massa yang diperoleh dari literatur yang terus meningkatkan pertolongan untuk diri sendiri, yang sebagian besarnya mengandung tema-tema ego yang hidup dari dirinya ketimbang dari sumber yang autentik? Atau akankah spiritualitas dibajak oleh mereka yang menawarkan penyederhanaan secara kaku atau indoktrinisasi pada realitas berdimensi tunggal? Kita membutuhkan suatu spiritualitas bemuansa lembut, juga objektivitas. Kita membutuhkan suatu agama yang kandungan seninya sama banyak dengan hukumnya.

Namun begitu, kita sadar bahwa pengetahuan yang objektif yang kita butuhkan tidak bisa dibangun oleh akal manusia saja. Akal dapat menjalankan banyak fungsi yang bermanfaat; ia dapat membagi, mengkritik, dan menolak, tetapi akal bukan sumber pengetahuan tentang tujuan hidup yang berasal dari ilham. Dugaan akal terlampau sering hanya menghantar ke suatu kumpulan opini yang membingungkan. Di sinilah tradisi sufisme mempunyai tempatnya. Tradisi ini memberikan manusia harapan untuk membuka cakrawala baru tentang dirinya.
Sufisme bukan semata-mata hasil dari terkaan manusia. Ia didasarkan pada wahyu Ilahiah, kitab-kitab suci, yang telah diturunkan kepada umat manusia dan memberikan pengetahuan esensial yang kita butuhkan untuk mengembangkan kemanusiaan kita. Allah berfirman,

Sebenarnya al-Quran adalah tanda-tanda yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu; dan tidak ada yang mengingkari tanda-tanda Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS. al-Ankabût:49)

Begitu pula hadis Nabi saw banyak berbicara tentang nilai ruhani. Nabi Muhammad saw berkata, “Carilah ilmu sampai di negeri Cina.” Manusia diminta menjadi pencari ilmu yang aktif, bukan penerima dogma yang pasif. Tetapi pengetahuan yang kita cari tidak boleh cuma bersifat kuantatif, pengetahuan faktual, melainkan kualitatif, pengetahuan spiritual juga. Hati manusia menempati posisi penting dalam anatomi realitas. “Langit dan bumi tidak dapat menampung-Ku.” Begitu Kabir Helminski berucap tentang pentingnya hati.

Kita harus mendidik hati agar mendapatkan pengetahuan kualitatif ini. Hati bukan sekedar suatu metafora samar yang menjelaskan kapasitas untuk merasakan yang tidak dapat didefinisikan. Hati adalah kekuatan kognitif yang objektif di luar otak. Ia adalah alat persepsi yang dapat mengenali dunia sifat-sifat spiritual. Hatilah yang dapat mencintai, memuji, memaafkan, dan merasakan Keagungan Tuhan. Hanya hati manusia yang dapat mengatakan ‘ya’ membuktikan keutuhan, dan mengenal Yang Mutlak. Hati dapat, melalui bimbingan pemahaman batin, memahami hal yang Riil.

Menurut psikologi spiritual tasawuf, hati (qalb) adalah titik tengah antara diri (ego, nafs) dan ruh. Hati tergantung di antara dua kekuatan yang sama kuat dan saling menarik. Jika hati hanya menyerahkan dirinya pada diri, ia tidak menerima apa yang dibutuhkan untuk kehidupan dirinya yang sehat. Ia menjadi tertabiri, mengeras, dan akhirnya sakit. Jika hati membuka diri pada pengaruh ruh, ia memulai energi spiritual dan mengedarkannya ke setiap bagian manusia dan ke dunia luas. Akan tetapi, sayangnya hati benar-benar tidak berdaya di antara dua kekuatan nafs dan ruh.

Dengan retorikanya yang menggugah, Sufi asal Amerika ini bertanya; Kekuatan apa yang meletakkan hati kita yang lembut dalam situasi yang tampaknya kejam ini dan mengapa? Mungkinkah keadaaan ini menyadarkan kita bahwa kita dalam dilema agar bisa belajar berseru dalam kelemahan kita, meminta pertolongan, menyeru dengan jelas kepada yang Mahakuasa?

Ia pun menjelaskan dengan lugas jawaban atas pertanyaannya sendiri. Kebutuhan manusia yang riil dan esensial selama berabad-abad belum berubah benar. Siapa yang tidak sepakat, misalnya, dengan penilaian al-Ghazali delapan abad yang lalu bahwa “kesempurnaan manusia ada di dalam hati, bahwa cinta Tuhan harus menaklukkan hati manusia dan menguasai sepenuhnya, dan meskipun ia tidak menguasai sepenuhnya, ia harus dominan di dalam hati atas kecintaan terhadap segala hal lainnya.”

Yang telah berubah adalah bentuk dan tekanan kekuatan cinta, sehingga dapat memindahkan cinta Tuhan dari hati. Dan yang mungkin berubah lebih lanjut adalah manusia bisa kehilangan semua konsepsi cinta Tuhan sebagai kriteria kesempumaan dan kebaikannya. Dalam al-Quran dikatakan,

Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (QS. Maryam:96)

Sebagai manusia, kita merindukan spiritualitas yang menghangatkan, merindukan, dan menciptakan cinta bukan sebaliknya. Karena spiritualitas semacam itulah yang bisa memberikan manusia kedamaian, kasih sayang sesamanya dan juga mengenal jati dirinya sebagai manusia. Dengan spiritualitas semacam itulah kita dapat membangun dunia yang penuh dengan nilai-nilai harmonisasi.


Kemuliaan Akhlak Muhammad saw

Pribadi Nabi Muhammad saw merupakan wujud kesempurnaan dan kemuliaan dari seluruh manusia. Muhammad saw adalah manusia pilihan Allah Swt untuk diutus sebagai pemberi kabar-Nya kepada manusia. Dia adalah rasul yang terakhir. Muhammad saw adalah makhluk Allah yang memiliki banyak keistimewaan dari segi kecerdikan, serta sifat-sifat keutamaan nabi seperti jujur, siddiq, amanah dan tabligh. Mukjizatnya yang paling luar biasa adalah wahyu Ilahi, al-Quran.

Kemuliaan akhlaknya bukanlah di mulai saat kenabian, tapi merupakan sifat yang inheren dalam dirinya sejak ia dilahirkan. Allah telah menjadikan beliau sempurna keadaan fitrahnya, karena beliau kelak akan diutus untuk membawa agama fitrah, agama yang cocok dengan akal yang merdeka dan pandangan ilmu pengetahuan. Allah menyempurnakan beliau dengan akhlak yang luhur, sebab beliau akan diutus untuk membawa agama yang menyempurnakan dan menjunjung budi pekerti yang mulia.

Sejak kecil beliau sudah mulai membenci penyembahan berhala, khurafat dan takhayul serta pekerjaan-pekerjaan hina lainnya, lalu beliau sangat menyenangi ‘uzlah’ menyepi sendiri, sehingga terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk bangsanya saat itu (berupa kebiasaan bergelimang dalam kesenangan badani, pelampiasan kejahatan nafsu hewani; seperti pembunuhan: pelanggaran hak-hak orang, pemerasan, perampasan dan keserakahan dengan makan harta orang secara tidak benar), itu semua karena beliau akan diutus Allah untuk memperbaiki jiwa manusia yang sudah rusak, untuk menyucikan perilaku manusia yang sudah bejat, dengan percontohan akhlak yang mulia. Allah menjadikan beliau sebagai manusia teladan tertinggi, karena beliau akan diutus Allah untuk melaksanakan apa yang diwahyukan Allah kepadanya, berupa undang-undang dan hukum yang luhur.

Sepanjang usianya beliau teguh dengan akhlaknya: hidup sederhana, murah tangan dan santun. Hatta sesudah mendapatkan banyak harta rampasan perang (ghanimah) dari kaum musyrikin dan Yahudi, beliau tetap memilih hidup sederhana, meskipun agama tidak melarang makan dan memakai rezeki yang baik-baik. Ini dikarenakan beliau lebih mementingkan kebutuhan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Beliau suka menjahit pakaian sendiri dan menambal terompah sendiri, padahal agama memperbolehkan berhias, malah memerintahkan berpakaian sebaik-baiknya kalau mau pergi ke masjid, mengerjakan shalat. Beliau selalu membantu keluarganya dalam urusan-urusan rumah tangga.

Dengan kesempurnaan dan kemuliaannya itu, alangkah rindunya kita untuk mendapatkan kasih dan syafaat Rasulullah saw. Alangkah rindunya kita untuk hidup di bawah tuntunan Rasulullah saw, sebagaimana Allah telah berfirman,

Inilah satu-satunya jalanku yang lurus (yaitu Islam) maka hendaklah kamu mengikutinya. Jangan mengikuti jalan- jalan lain, niscaya kamu akan berpecah daripada jalan Allah. Yang demikian itu telah diwasiatkan oleh Allah kepada kamu supaya kamu bertakwa. (QS. al- An’am:153)

Ketulusan iman dan cinta pada Rasulullah saw harus memenuhi segenap sudut dan ruang hati kita. Sehingga keimanan ini lahir dalam bentuk amalan-amalan yang memperlihatkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw dan keyakinan kepada Allah. Allah berfirman,

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul yang benar dari Tuhan kamu, maka hendaklah kamu beriman. Itu adalah lebih baik bagi kamu. (QS. an-Nisa’:170)

Sesudah beriman kepada Nabi saw, kita dituntut pula mentaatinya. Bukan sekedar pengakuan beriman saja, tetapi sebaliknya hendaklah mempraktikkannya dalam semua urusan hidup baik di dalam rumahtangga, mendidik anak-anak, pergaulan dengan masyarakat, di tempat kerja dan di mana-mana saja. Kita dikehendaki taat sepenuhnya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. (QS an-Nisa’:159)

Berdasarkan firman ini, ketaatan kepada Allah Swt dan Nabi saw merupakan kewajiban, bukan sunah. Untuk merasa ridha dengan perintah ini kita perlu melalui proses yang betul untuk melahirkan ketaatan, kepatuhan sepanjang hayat, sehingga kita dipanggil pulang menemui Allah.

Kita hendaknya berusaha meningkatkan kefahaman, kesadaran, keyakinan dan semangat kita dari masa ke masa sehingga dapat taat sepenuhnya di dalam kehidupan untuk mencari keridhaan Allah Swt. Allah berfirman,

Katakan Wahai Muhammd: Jika kamu kasih kepadn Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu. (QS Ali ‘Imran:31)

Untuk mendapat kasih Allah dan Rasul-Nya kita hendaknya mengikuti Rasulullah saw. Hanya dengan patuh kepada Rasulullah barulah kita akan mendapat kasih Allah. Rasulullah saw bersabda, “Semua kamu akan masuk surga, kecuali orang-orang yang membantah. Sahabat,sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang membantah?’ Rasulullah bersabda, ‘Siapa yang mentaati aku dia akan masuk surga dan siapa yang membantahi atau mengingkari aku maka sebenamya dia membantah.”

Setiap muslim wajib beradab dengan Rasulullah saw karena itu adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman. Hal itu disebutkan pula oleh Allah di dalam Surat al-Hujurat ayat 1 yang berbunyi, Wahai orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti sebelum kita mengerjakan sesuatu, kita perlu merujuk kepada Allah dan Rasulullah (yakni al-Quran dan al-Sunah) terlebih dahulu. Sifat seperti ini sentiasa menjadi tabiat sahabat-sahabat Rasulullah. Pada suatu ketika seorang sahabat lewat di antara dua lembah yang terletak di antara dua bukit. Di situ terdapat kawasan berair yang jemih lagi tawar aimya. Lalu sahabat itu berkata kepada dirinya, “Alangkah baiknya kalau aku dapat tinggal di sini. Tetapi aku tidak boleh berbuat demikian kecuali mendapat keizinan dari Rasulullah terlebih dahulu.”

Setelah mengetahui perkara itu, Rasulullah berkata, “Jangan sekali-kali kamu berbuat demikian. Sekiranya kamu beribadah selama 60 tahun masih belum sama dengan seorang yang keluar berjihad di jalan Allah.” Kita perlu mentaati Rasulullah saw dalam semua hal. Hal ini lebih penting lagi terutama bagi seorang pendakwah karena ia bukan saja perlu menjadi seorang yang saleh, bahkan berbuat baik dan mengajak orang lain menjadi baik.

Dalam surah al-Hujurat ayat 2, Allah berfirman, Janganlah kamu mengangkat suara kamu melebihi suara Rasulullah. Ayat itu diturunkan selepas peristiwa Thabit bin Qais bercakap dengan suara yang tinggi di hadapan Rasulullah. Ketika ayat itu turun, Thabit merasa bersalah yang amat sangat. Dia tidak keluar dari rumahnya karena merasa Allah murka dengannya. Kehilangan Thabit menyebabkan Rasulullah saw bertanya-tanya mengenainya. Ketika seorang sahabat datang ke rumahnya, Thabit berkata, “Sayalah yang mengangkat suara melebihi suara Nabi. Habis musnah segala amalan saya dan saya termasuk dalam golongan ahli neraka.” Ketika kabar itu sampai kepadanya, Rasulullah bersabda, “Tidak, dia adalah ahli surga.”

Bagaimanakah sifat itu dapat tumbuh dalam diri sahabat Rasulullah? Sebenamya mereka telah mengenal Rasulullah saw dan mengetahui riwayat hidupnya sejak kecil hingga dewasa. Kemudian mereka mengikuti proses pendidikan di madrasah Rasulullah saw. Dengan itu Allah menampakkan rasa kasih sedemikian rupa hingga memenuhi setiap sudut dan ruang di dalam hati mereka. Itulah para sahabat Rasulullah saw, lalu bagaimana dengan kita!


Shalawat: Ungkapan Cinta kepada Nabi saw

Dalam al-Quran, Allah Swt mengajarkan kepada kita tentang keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad saw. Ketundukan sempurna dan total dalam cinta kepada Rasulullah saw merupakan syarat mutlak guna meraih keberhasilan dalam perjalanan ruhani. Allah dan para malaikat-Nya terus menerus menyampaikan shalawat kepada Nabi saw sebagaimana termaktub dalam surat al-Ahzab:56. Dalam ayat itu, orang-orang beriman pun diperintahkan untuk menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi saw. Riwayat menyebutkan, pembacaan shalawat Nabi saw mestilah menyertakan keluarganya (âli Muhammad).

Tentunya, ada hikmah dan tujuan tertentu ketika Allah menempatkan keluarga Muhammad (âli Muhammad) bergandengan dengan nama Nabi saw dalam bacaan tasyahud. Sayyid Ali Khameini, misalnya, mengungkapkan, dengan membaca shalawat seorang hamba akan senantiasa sadar bahwa dirinya harus berpedoman kepada mereka serta terus memperbaharui hubungannya dengan mereka (Ahlulbait Nabi saw). Artinya, dalam berislam kita diharuskan mengikuti mereka yang menjadi contoh hidup kesempurnaan manusia.

Ketika menyadari kelemahan diri dan kerendahan wujudnya, maka seorang hamba akan dengan penuh santun menyampaikan salam kepada Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya. Dengan begitu, shalawat menjadi penghubung spiritual antara dirinya dan Nabi saw.

Allah Swt sendiri berfirman kepada Nabi saw, “Katakanlah kepada mereka: ‘Jika engkau mengklaim engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku. Maka Allah akan mencintaimu’.” Untuk mendapatkan cinta Allah Swt, kita harus mengambil langkah penting dengan menjelmakan cinta kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya sampai ke suatu derajat di mana cinta menembus setiap atom diri kita dan mewarnai kehidupan, pemikiran, dan aktivitas kita sehari-hari. Nabi saw berkata, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Sabdanya lagi, “Agamamu adalah akhlak.” Separuh agama adalah ibadah. Kita bisa mengibaratkan ibadah sebagai suatu pabon dan akhlak sebagai buahnya. Tak seorangpun bisa menjadi pencinta sejati sampai keinginan dan hasratnya sejalan dengan keinginan Nabi saw. Di sinilah perlunya kita memeriksa diri kita apakah keinginan dan tindakan kita sudah sejalan ataukah tidak dengan ajaran Nabi Muhammad saw.

Tentang ini, ada satu doa menarik dan perlu direnungkan. Dalam doa dikatakan, “Ya Allah, hidupkan kami dengan kehidupan Muhammad dan keluarga Muhammad dan matikan kami dengan kematian Muhammad dan keluarga Muhammad.” Makna doa ini amatlah dalam. Doa ini semacam peneguhan atas shalawat yang dibaca kaum Muslimin berupa janji setia agar kehidupan dan kematian kita berpandukan kepada hidup-matinya Muhammad dan keluarga Muhammad.

Kisah berikut amat menarik untuk direnungkan karena mengungkapkan cinta seorang perempuan tua kepada Nabinya. Ada seorang perempuan tua penjual bunga. Setiap usai berjualan, ia shalat di masjid Agung di kotanya. Selesai zikir dan wirid seperlunya, ia membersihkan dedaunan kering yang berserakan di halaman masjid. Dengan tangannya yang renta, ia melakukan hal itu setiap hari. Perbuatannya itu diketahui oleh pengurus masjid. Karena iba, pengurus masjid membersihkan dedaunan tersebut sebelum si nenek itu datang. Akhimya, si nenek itu bertanya dengan nada protes mengapa itu dilakukan. Pengurus masjid menjawab bahwa mereka merasa iba kepadanya. “Kalau iba,” timpal si nenek, “Beri aku kesempatan untuk membersihkan dedaunan itu dari halaman masjid.”

Permintaan itu pun diluluskan. Akhimya perempuan tua itu menjalani aktivitasnya yang semula: mengumpulkan dedaunan. Seorang Kyai diminta untuk menanyakan kepada si nenek mengapa ia begitu bersemangat mengumpulkan dedaunan. Alasannya, sungguh membuat kita terharu (dan ia meminta agar alasanya tidak disampaikan kecuali setelah ia meninggal) .

“Saya ini perempuan bodoh, Pak. Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat di akhirat kelak tanpa syafaat Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah saw. Kelak jika saya mati, saya ingin Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.” Begitulah kecintaan tulus dari perempuan tua tersebut.

Sedangkan menyangkut kesaksian benda-benda mati atas perbuatan manusia, salah seorang maksumin as mengatakan bahwa setiap langkah menjadi saksi atas perbuatan manusia.
Karena itu, hendaknya manusia memperhatikan apa yang dipikirkan dan diperbuatnya.

Kita harus bertanya kepada diri kita sebagai Muslim: “Apakah kita benar-benar mencintai Nabi Muhammad saw lebih daripada anak-anak kita, bisnis kita, dan keluarga kita? Inilah sesuatu yang diminta dari kita jika kita benar-benar ingin sukses dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Untuk hal ini, patutlah kita bercermin pada kehidupan Ali bin Abi Thalib as. Kecintaannya yang sangat kepada Nabi saw menyebabkannya rela untuk menggantikan Nabi saw di tempat tidur. Sampai-sampai al-Quran memujinya juga. Ketika kita sepenuhnya tunduk kepada cinta dan ajaran Muhammad saw, maka kita menjadi seorang pencinta sejati. Ketika cinta ini menginfus wujud kita, menukil dalam-dalam ke atom kita, maka keberhasilan adalah milik kita.

Dalam kajian ilmiah ditunjukkan tiga pengaruh dari keajaiban cinta terhadap perilaku menurut teori psikolog sosial Herbert C. Kelman. Pertama, ketundukan (compliance). Ini pengaruh yang paling dangkal. Orang lain patuh kepada kita karena khawatir kehilangan sesuatu yang menguntungkan atau mengundang sesuatu yang merugikan. Seorang pegawai patuh kepada majikannya karena takut gajinya dipotong. Orang patuh pada aturan lalu lintas karena takut ditilang polisi. Kedua, internalisasi. Ini pengaruh yang lebih dalam. Orang Islam mengikuti Nabi Muhammad saw karena yakin ia benar. Seorang pasien mengikuti karena anjuran dokternya benar. Murid mengikuti gurunya karena sang guru benar. Dengan kata lain, berdasarkan otoritas atau keahlian.

Ketiga, identifikasi. Dalam identifikasi, setiap orang berusaha untuk ‘to be like or actually to be the other person’, ingin seperti atau betul-betul menjadi orang lain itu. Anak kecil yang meniru orang tuanya, siswa yang mencontoh perilaku gurunya, atau fans yang mengambil tingkah laku idolanya merupakan contoh-contoh identifikasi. Karena cintalah proses identifikasi muncul. Inilah yang dimaksudkan dengan ucapan Nabi saw, “Anta ma’a man ahhabta.” Engkau bersama orang yang engkau cintai.

Dalam hal ini, kaum Muslim patut bersyukur lantaran Allah memberi kita rahmat besar berupa kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Kita harus menyediakan waktu dalam kehidupan kita sehari-hari tidak sekedar mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi saw, namun pada akhimya mencoba mengejawantahkan kehidupan dan etiket risalahnya. Dialah guru akhlak mulia dan contoh al-Quran yang hidup. Sehingga tidak ada keberhasilan dalam hidup ini (untuk di dunia dan akhirat) selain dengan mengikuti Rasulullah saw. La hawla wa la quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishawwab.


Meraih Kesucian Hati Dengan Wudhu

Dalam ajaran Islam ada dua sisi dalam melihat perintah Allah, yaitu sisi syariah dan sisi ruhani. Sisi ruhani ini merupakan dimensi spiritual yang akan menyentuh hati, memberi kekuatan ruhani, kebahagiaan dan rasa ketenangan. Sisi ruhani ini ada dalam setiap orang yang mempunyai keinginan menuju Allah melalui hatinya.
Dalam penerapannya, aspek ruhani ini tak lepas dari aspek syariah. Salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan syariah adalah berwudhu. Begitu pentingnya wudhu, sehingga orang yang tidak berwudhu dilarang untuk shalat, thawaf, menyentuh Mushaf (al-Quran). Pada kesempatan ini, kita akan membahas aspek ruhani dari berwudhu yang merupakan bagian dari thaharah. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut ahli fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi dan tayamun. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah Swt.

Wudhu yang merupakan bagian dari thaharah mempunyai arti penting dalam ibadah. Dalam beberapa riwayat Rasulullah saw bersabda tentang pentingnya berwudhu, “Barangsiapa berwudhu, lalu membaguskan wudhunya, dan kemudian shalat dua rakaat tanpa terbersit suatu urusan keduniaan dalam pikirannya, ia keluar dari dosa-dosanya seperti ketika dilahirkan ibunya.” Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi saw bertanya di tengah para sahabatnya, “Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang karenanya Allah menghapuskan dosa-dosa manusia dan meninggikan derajatnya, yaitu membaguskan wudhu ketika malas mengerjakannya; melangkahkan kaki ke masjid; dan menanti waktu shalat berikutnya setelah menyelesaikan satu shalat.” Nabi saw berwudhu satu kali-satu kali, lalu bersabda, “Inilah wudhu yang menyebabkan Allah menerima shalat.” Beliau berwudhu dua kali-duakali, lalu bersabda, “Barangsiapa berwudhu dua kali-dua kali, Allah memberikan pahalanya dua kali..” Kemudian beliau berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu bersabda, “Inilah cara wudhuku, wudhu para nabi sebelumku, dan wudhu kekasih ar-Rahman, Ibrahim as.”

Pada riwayat-riwayat di atas, menunjukkan bahwa wudhu berfungsi sebagai penghapus dosa, meninggikan derajatnya dan meningkatkan pahala. Tapi semua itu akan mempunyai nilai jika sisi ruhani diutamakan. Seperti yang diungkapkan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang mengingat Allah ketika berwudhu, Allah akan menyucikan seluruh tubuhnya. Barangsiapa yang tidak mengingat Allah ketika berwudhu, Allah hanya akan menyucikan anggota tubuhnya yang tersiram air wudhu.”

Jadi dalam berwudhu kita tidak hanya membersihkan aspek lahir saja. tapi juga aspek batin. Ini terungkap dalam hadis yang berbunyi seperti ini. Beliau pernah bersabda, “Apabila hamba Muslim berwudhu lalu berkumur, keluarlah dosa-dosa dari mulutnya. Apabila ia menghirupkan air ke hidung dan mengeluarkannya lagi, keluarlah dosa-dosa dari hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya, keluarlah dosa-dosa dari wajahnya hingga yang ada di bawah kelopak matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, keluarlah dosa-dosa dari kedua tangannya hingga yang ada di bawah kuku jari-jari tangannya. Apabila ia mengusap kepala, keluarlah dosa-dosa dari kepalanya hingga yang ada di bawah telinganya. Apabila ia membasuh kedua kakinya, keluarlah dosa-dosa dari kedua kakinya hingga yang ada di bawah kuku jari-jari kakinya. Kemudian langkahnya menuju masjid dan shalatnya merupakan ibadah sunah baginya.”

Terhapusnya dosa-dosa ketika berwudhu merupakan simbolisasi dari perbuatan yang kita lakukan melalui raga yang dibasuhi dengan air wudhu. Jadi ketika mulut kita berkumur dengan air wudhu, ini mengisyaratkan apapun yang kita masukan dan keluarkan dari mulut tidak membawa hal-hal yang haram. Karena air wudhu yang mengalir di mulut telah mensucikan mulut itu dari yang haram. Ini berarti memasukkan makanan dan minuman hanya yang halal-halal saja, tidak dari hasil perbuatan haram. Demikian pula jika mengucapkan perkataan tidak akan menyakiti hari orang lain. Setiap ucapannya memberikan kesejukan kepada yang mendengamya. Kata-katanya tidak bermaksiat kepada Allah.

Selanjutnya ketika ia membersihkan hidungnya. maka hidungnya itu tidak mencium bau-bauan haram, seperti minuman keras dan yang merangsang syawat. Ia menjaga kesucian hidungnya dengan hanya mencium yang halal. Dan ia banyak mencium karamah-karamah Allah, yang Allah berikan melalui para nabi dan walinya. Jika ia seorang pemimpin maka ia harus banyak mendengar keluhan rakyatnya, bukan hanya ucapan manis bawahannya. Ia harus banyak mendengar suara orang-orang yang membutuhkan perhatiannya, seperti kaum miskin dan anak-anak terlantar.

Manusia yang berwudhu akan menjaga kesucian mukanya dari polesan-polesan semu. Ia akan ceria dan tersenyum kepada semua manusia. Ia beramal dengan senyumnya. Wajahnya memberikan kedamaian kepada yang melihatnya. Dan matanya terlindung dari melihat hal-hal yang haram. Melihat hanya yang dihalalkan Allah. Cahaya kesucian terpancar dari raut wajah dan sinar matanya. Air wudhu telah membersihkannya dari kotoran jasmani dan ruhani.

Sehingga tangan dan kakinya hanya menyentuh yang dihalalkan dan kakinya melangkah di tempat-tempat yang tersucikan. Tangan yang tersucikan akan selalu ringan memberi daripada menerima. Ia banyak menolong orang-orang yang kesulitan hidup dan membutuhkan pertolongannya. Kakinya ringan melangkah untuk membantu sesama saudaranya. Langkah-langkahnya jauh dari tempat-tempat maksiat. Jika ia seorang pemimpin umat ia akan dengan cepat tangan mengulurkan bantuan kepada rakyatnya. Ia tidak rela melihat rakyatnya ditimpa bencana sedangkan ia asyik di rumah dinasnya. Kaki dan tangannya yang telah suci dengan air wudhu, akan terus bergerak memberikan pertolongan kepada rakyatnya.

Diriwayatkan, Umar ibn Khathab mengutus salah seorang sahabat Rasulullah saw ke Mesir untuk mengambil tirai Kabah. Lalu orang itu singgah di salah satu wilayah Syam tempat adanya pertapaan seorang rahib. Tidak ada rahib lain yang lebih alim darinya. Utusan Umar ini ingin menemuinya dan mengetahui ilmunya. Lalu ia mendatanginya dan membuka pintu rumahnya. Akan tetapi, pintu itu tidak dapat terbuka. Setelah beberapa lama, baru utusan itu dapat menemui rahib, lalu bertanya untuk mendengarkan dan mengagumi ilmunya. Ia pun mengadukan kepadanya tentang dirinya yang tertahan di pintu rumahnya. Rahib itu menjawab, “Ketika kami melihatmu, datang kepada kami, dalam keadaan takut kepada penguasa, kami takut kepadamu. Kami menahanmu di pintu semata-mata karena Allah Swt berfirman kepada Musa as, “Wahai Musa, apabila kamu takut kepada penguasa, berwudhulah, dan perintahkanlah keluargamu berwudhu. Sebab, barangsiapa yang berwudhu, ia berada dalam perlindungan-Ku dari apa yang kamu takutkan. Oleh karena itu kami mengunci pintu itu bagimu hingga engkau berwudhu dan berwudhu pula semua orang yang ada di dalam rumah, serta kami shalat. Karenanya kami merasa tenteram terhadapmu, kemudian membukakan pintu untukmu.” (Imam Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi. Pustaka Hidayah)

Dengan dernikian orang yang berwudhu akan mempunyai kesucian lahir dan batin. Sehingga wudhunya rnenjadi perisai bagi dirinya. Ia akan selalu terjaga dari kekotoran ruhani dan jasmani, dan maksud jahat dari orang-orang yang berniat jahat. Seperti wudhunya para wali Allah, yang telah tersucikan hatinya.


Jauhi Kemaksiatan Tegakkan Kesalehan

Perbuatan-perbuatan manusia, baik itu perbuatan baik atau buruk akan mempunyai dampak bagi manusia itu sendiri. Perbuatan-perbuatan baik akan membuahkan kebaikan bagi manusia, sedangkan perbuatan-perbuatan buruk akan mengakibatkan kehancuran bagi manusia. Perbuatan buruk yang merupakan kemaksiatan kepada Allah ini mengakibatkan berbagai dampak buruk dan tercela, yang dapat membahayakan kalbu maupun jasad, baik di dunia maupun di akhirat. Semua itu tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah sendiri.

Salah satu dampak dari perbuatan maksiat adalah terhalangnya ilmu, sebab ilmu adalah cahaya Allah yang ditempatkan di dalam kalbu, sementara kemaksiatan adalah sesuatu yang dapat memadamkan cahaya tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan, manakala Imam Syafi’i duduk mengaji di hadapan Imam Malik, dia membacakan sebuah kitab di hadapan Imam Malik. Imam Malik kagum atas kecerdasan otak dan kesempumaan pemahamannya. Beliau kemudian berkata, “Sungguh, aku telah melihat Allah memberikan cahaya di dalam kalbumu. Oleh karena itu, hendaklah engkau tidak memadamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.” Imam Syafi’i pernah berkata dalam sebuah syairnya:

Ku mengadu pada Waki’ akan buruknya hafalanku. Ia menunjuki diri ini agar meninggalkan kemaksiatan. Beliau pun bertutur: Ingatlah, ilmu itu anugerah Ilahi. Pelaku maksiat tak mungkin diberi.

Dampak lain kemaksiatan adalah terhalangnya rezeki. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis, seperti yang dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam bukunya Siraman Rohani, yang berbunyi, “Sesungguhnya seorang hamba akan terhalang rezekinya akibat dosa yang dilakukannya.” Sebagaimana menjalankan ketakwaan kepada Allah dapat mendatangkan rezeki, maka meninggalkan ketakwaan dapat mendatangkan kefakiran. Dengan demikian, tidak ada apa pun yang dapat mendatangkan rezeki kecuali dengan meninggalkan kemaksiatan. Allah berfirman,

Kalaulah penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. al-A’raf: 96)

Kemaksiatan juga mengakibatkan kesedihan dalam kalbu manusia, karena dirinya jauh dari Allah, yang tidak dapat diimbangi dan dibarengi oleh kesenangan duniawi terkumpul. Sedangkan kebahagiaan kalbu hanya dapat dirasakan oleh orang yang hatinya hidup. Ada seseorang yang pernah mengadu kepada seorang bijak mengenai kesedihan yang ada di dalam kalbunya. Orang bijak itu bertutur demikian,

Jika kau merasa berduka karena melakukan dosa-dosa.
Tinggalkanlah ia segera niscaya akan damai rasanya.

Dalam sebuah hadis lain dari ‘Abdullah Ibn Abbas yang berbunyi, “Kebaikan itu tercermin pada adanya cahaya pada raut wajah dan kalbu. Kebaikan itu dapat menyebabkan kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan disenangi oleh setiap makhluk Allah. Sementara kejahatan akan mengakibatkan raut wajah menjadi hitam, kalbu menjadi gelap, badan menjadi lemah, rezeki menjadi sempit dan menyebabkan munculnya kebencian dalam kalbu setiap makhluk.”

Kemaksiatan juga dapat menimbulkan kelemahan pada kalbu dan badan. Kelemahan pada kalbu demikian jelas, bahkan akan berlangsung terus hingga dapat menghilangkan kehidupan secara keseluruhan. Sementara kelemahan pada badan dapat dipahami karena kekuatan tubuh seorang mukmin itu terletak pada jiwanya. Semakin kuat jiwanya, akan semakin kuat pula badannya. Sebaliknya, seorang yang gemar berbuat dosa, meskipun mungkin ia berbadan kuat, tetapi ia bisa begitu lemah ketika melakukan suatu pekerjaan.

Dalam bagian lain dari buku yang sama, Ibn Qayyim, menuliskan sebuah hadis dari Ibn Abbas yang bertutur tentang makna berbuat dosa ini, “Wahai pelaku dosa! Janganlah sekali-kali kamu merasa tenteram terhadap akibat dosa itu pada saat kalian melakukannya. Betapa kecilnya rasa malumu terhadap orang-orang yang ada di kanan kirimu pada saat melakukan dosa adalah jauh lebih besar ketimbang dosa itu sendiri. Tawamu pada saat kamu tidak mengetahui apa yang Allah akan perbuat terhadap dirimu adalah lebih besar daripada dosa itu sendiri. Rasa bangga dengan dosa yang kamu lakukan adalah lebih besar ketimbang dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin yang menyingkap tabir pintumu di saat kamu melakukan dosa, padahal hatimu tidak merasa khawatir terhadap pandangan Allah kepada dirimu, adalah lebih besar daripada dosa itu sendiri.”

Setiap manusia yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan berbagai kemaksiatan kepada-Nya akan menjadi sia-sialah hari-hari dalam kehidupannya yang sebenarnya. Kelak ia akan tahu hilangnya waktu-waktu tersebut dan di akhirat nanti ia akan berkata, Alangkah baiknya seandainya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini (QS. Al-Fajr:24). Memang menyesal kemudian tidak berguna, untuk itu kita harus waspada melihat jeratan kemaksiatan yang akan semakin mengikat kita.

Perbuatan maksiat itu akan semakin memacu dan menguatkan hasrat untuk melakukan kemaksiatan, dan secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan semakin lemahnya keinginan untuk bertaubat yang bahkan dapat melenyapkan sama sekali kehendak untuk bertaubat. Jika separuh kalbunya telah mati, boleh jadi ia akan bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Akan tetapi, semua itu mirip dengan taubatnya para pendusta tatkala ia lebih banyak mengucapkan taubat di bibir saja sedangkan hatinya selalu ingin berbuat maksiat, selalu mengerjakan dan bahkan senantiasa melakukannya selama ada kesempatan. Inilah penyakit yang paling besar dan dapat menyebakan cepatnya kebinasaan pelakunya.
Sungguh dalam hal ini patut kita simak pandangan lbn Qayyim tentang akibat kemaksiatan. Ia menuturkan bahwa kemaksiatan itu dapat membuat jatuhnya martabat, kedudukan dan kehormatan pelakunya dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan semua manusia. Sebab, manusia yang paling dipandang mulia oleh Allah adalah manusia yang paling bertakwa, sementara manusia yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah manusia yang paling taat kepada-Nya. Kedudukan seorang hamba di sisi Allah sangat bergantung pada sejauh mana tingkat ketaatannya kepada Allah. Seorang yang mengingkari Allah dan enggan untuk menaati perintah-Nya akan jatuh martabatnya dalam pandangan-Nya dan juga rendah dalam pandangan hamba-hamba-Nya yang lain.

Ia melanjutkan bahwa apabila seorang hamba sudah kehilangan martabat dan kedudukan serta begitu rendah dalam pandangan manusia maka dia akan diperlakukan sekehendak hati mereka. Hal ini akan mengakibatkan dirinya merasakan kehidupan yang sengsara di tengah-tengah mereka. Dia tidak akan lagi diakrabi oleh mereka, tidak lagi memiliki kedudukan dan hina di mata mereka. Dia pun tidak akan lagi dihormati serta tidak akan lagi merasakan kebahagiaan dan kegembiraan. Seorang hamba yang sudah tidak lagi dikenal oleh masyarakatnya serta martabat dan kedudukannya telah jatuh akan merasakan suatu kepedihan, kegelisahan dan kesusahan; ia tidak akan lagi dapat menikmati rasa bahagia dan kegembiraan. Seandainya saja dia tidak terpedaya oleh syahwatnya, sudah pasti ia tidak akan mau menderita kepedihan yang ditimbulkan oleh kenikmatan maksiat semu.


Menghilangkan Kebakhilan

Manusia secara fitrah berkencenderungan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Kecenderungan ini dapat teraktualisasi dengan baik, dapat pula terhambat. Salah satu faktor penghambat manusia dalam mengingat (mengabdi) kepada Allah adalah cinta harta. Cinta harta akan menjadikan manusia lupa akan Allah karena manusia lebih mementingkan hal-hal yang bersifat materi dibanding yang ruhani. Sungguh ini merupakan sifat yang tercela.

Tercelanya cinta harta diketahui dari firman Allah Swt,

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta- hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munâfiqûn:9)

Dan firman-Nya,
Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). (QS. at-Taghabun:15)

Begitu pula banyak hadis menjelaskan bahwa cinta harta merupakan sumber penyakit hati. Rasulullah saw bersabda, “Mencintai harta dan kemuliaan dapat menumbuhkan kemunafikan pada hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.” Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah saw, mengapa aku tidak mencintai kematian?” Rasulullah saw balik bertanya, “Apakah engkau mempunyai harta?” Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Sedekahkanlah hartamu, karena sesungguhnya hati seorang Mukmin itu bersama hartanya. Apabila harta itu disedekahkannya, niscaya ia suka menyusulnya. Tetapi apabila harta itu ditinggalkannya, niscaya ia pun suka tinggal bersamanya.”

Dalam hadis lain dikatakan, “Teman setia anak Adam itu ada tiga, yaitu: Pertama, yang mengikutinya sampai ruhnya dicabut. Kedua, yang mengikutinya sampai ke kuburnya. Ketiga, yang mengikutinya sampai ke padang Mahsyar. Teman yang mengikuti sampai ruhnya dicabut adalah hartanya. Teman yang mengikutinya sampai ke kuburnya adalah keluarganya. Dan teman yang mengikutinya sampai ke padang Mahsyar adalah amal perbuatannya.”

Dari hadis tersebut terlihat bahwa harta selain dapat melalaikan manusia dari Allah, harta juga membuat takut mati. Padahal harta yang kita miliki, jelas-jelas tidak dapat mengikuti kita sampai di alam akhirat, harta hanya akan mengikuti kita sampai ruh manusia dicabut. Dan yang akan mengikuti kita sampai ke padang Mahsyar adalah amal perbuatan kita.

Amal perbuatan kita yang berkaitan dengan harta sehingga dapat menjadi pendamping manusia di akhirat adalah sifat pemurah kepada orang lain. Manusia yang mempunyai harta, hendaklah ia bersikap mengutamakan orang lain dan pemurah, serta menjauhi sifat bakhil. Rasulullah saw bersabda, “Sifat dermawan itu adalah sebatang pohon-pohon surga. Ranting-rantingnya menjulur ke bumi. Maka barangsiapa mengambil sepotong ranting darinya, ia tidak akan ditinggalkan oleh ranting itu sehingga ranting itu memasukkannya ke dalam surga. Sifat kikir merupakan sebatang pohon di dalam neraka. Barangsiapa bersifat kikir, niscaya ia telah mengambil satu ranting dari ranting- rantingnya. Maka ranting itu tidak meninggalkan orang tersebut sehingga ia memasukkannya ke dalam neraka.”

Hadis itu menggambarkan sifat orang yang dermawan atau kikir terhadap hartanya. Jika ia bersikap dermawan maka hartanya akan membantu membuatkan jalan ke surga, sedangkan jika ia bersikap kikir maka hartanya akan memberi bahan untuk menambah panasnya api neraka.

Jadi sikap dermawan, jika menghiasi kehidupan seorang Muslim akan memberikan nilai kemuliaan pada agamanya. Sikap dermawan dan akhlak yang baik merupakan satu bentuk realisasi dari nilai-nilai agama. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Jibril as berkata, ‘Allah Swt berfirman bahwa ini adalah agama yang Aku telah merasa rela bagi diri-Ku. Tidak akan memperbaiki agama kecuali sifat dermawan dan akhlak yang baik. Maka muliakanlah agama ini dengan kedua sifat tersebut semampumu.” Hadis yang lain berbunyi, “Allah Swt tidak memberi watak kepada para wali-Nya kecuali sifat dermawan dan akhlak yang baik.”

Dalam tradisi tasawuf sikap hidup dermawan adalah hal yang utama. Derajat yang paling tinggi dalam kedermawanan adalah mengutamakan orang lain. Yaitu, ia mendermakan harta padahal ia sendiri memerlukannya. Itulah kedermawanan yang utama bagimu. Allah Swt memuji para sahabat Nabi saw. Firman-Nya, Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (QS. al-Hasyr:9)

Dan Rasulullah saw bersabda, “Setiap seseorang yang ingin pada suatu kemudian ditolaknya keinginan itu dan ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, niscaya ia diampuni dosa-dosanya.”

Lalu mengapa banyak manusia yang bersikap bakhil dan cinta harta, padahal ia tahu bahwa kedermawanan merupakan sifat yang mulia menurut agama. Seseorang mempunyai sifat bakhil karena ia cinta akan harta, dan kecintaan akan harta ditimbulkan oleh dua sebab, yaitu: Pertama, kecintaan pada syahwat. Kecintaan pada syahwat ini merupakan sumber masalah yang utama manusia dalam mencintai harta. Padahal, kalau ia ditakdirkan hanya hidup sehari atau satu bulan lagi, maka barangkali ia mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan hartanya. Memang kadang-kadang anak dan keluarganya menyebabkan ia menahan apa yang diperolehnya untuk mereka. Begitu adanya rasa takut akan hidup miskin dan sedikitnya keyakinan terhadap datangnya rezeki, tidak pelak lagi, hal itu akan membuatnya bertambah kikir.

Kedua, nafsu mencintai harta. Padahal ia mengetahui, bahwa ia sama sekali tidak memerlukannya. Ia sudah tua dan tidak mempunyai anak. Namun demikian ia sangat mencintai harta bendanya. Bagaimanapun ini adalah penyakit hati. Ia seperti orang yang merindukan seseorang, kemudian mencintai utusannya dan melupakan orang yang dirindukannya. Karena, maksud rupiah (uang) itu adalah hanya untuk mengantarkan tujuan. Tetapi ia telah melupakan tujuan dan merindukan perantara. Barangsiapa melihat adanya perbedaan antara uang dan batu kecuali perantara terhadap kebutuhan-kebutuhannya, maka ia telah melakukan kebodohan.

Dengan demikian, dua hal itu, yakni kecintaan pada syahwat dan nafsu mencintai harta adalah sebab dari timbulnya sifat kikir. Sifat kikir ini merupakan penyakit hati yang harus disembuhkan, karena kalau tidak ia akan menimbulkan penyakit~penyakit hati yang lain, seperti kesombongan. Lalu bagaimana caranya menyembuhkan penyakit hati ini. Cara mengobati penyakit kikir adalah dengan mengurangi syahwat, banyak mengingat mati, merenungkan kematian teman-temannya, sahabat, ziarah kubur, merenungkan apa yang ada di dalam kubur berupa binatang-binatang seperti cacing, mengobati keterpautan hati kepada anak bahwa Penciptanya menciptakannya bersama rezekinya.

Dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa sifat kebakhilan akan menjadi pemberat kehidupan manusia di neraka. Allah berfirman,

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia- Nya mengira bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada Hari Kiamat. (QS.Ali ‘Imran:180)


Menghilangkan Sifat Sombong

Dalam diri manusia ada suatu penyakit hati yang amat berbahaya yakni sifat sombong. Sifat sombong ini telah menjerumuskan Iblis untuk menentang perintah Tuhan. lblis sombong terhadap Adam, karena ia merasa lebih tinggi derajatnya dari Adam. Akibat kesombongannya ini, ia tidak mau diperintah Tuhan untuk sujud kepada Adam.

Secara maknawi pengertian sikap sombong adalah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia dan tercermin pengaruh-pengaruhnya, dimana seseorang melihat dirinya memiliki keistimewaan dibandingkan orang lain. Seorang yang sombong memandang dirinya memiliki kedudukan dan keutamaan, karena hilangnya kenyataan dari pandangannya, dan ia berada dalam persepsi yang salah.

Dalam banyak buku akhlak disebutkan setidaknya ada tiga penyebab sifat sombong itu. Penyebab kesombongan yang pertama adalah harta. Harta ini sering membuat manusia mempunyai sifat sombong. Hal ini terjadi karena memang sudah fitrah manusia, semakin bertambah harta, maka orang yang bodoh merasa besar dengannya dan menyombongkan diri.

Asal dari kesombongan itu adalah kebodohan dalam memahami hakikat yang sebenarnya. Karena, bagi orang yang berakal, ia akan memahami bahwa harta tidak memberikan tambahan apa pun bagi diri manusia. Maka, secara hakikat, apa perbedaan antara orang yang memiliki milyaran dengan orang yang tidak memiliki apa-apa di tangannya? Karenanya, pada saat harta bertambah kemudian seseorang merasa lebih istimewa daripada orang lain, maka di sana terdapat kesombongan.

Ada sebuah kisah yang patut kita simak tentang orang kaya yang sombong dan orang miskin. Pada suatu hari, si orang kaya dan orang yang tak punya menemui Rasulullah saw. Abu Abdillah menceritakan pertemuan itu, “Seorang yang kaya datang kepada Rasulullah saw dengan pakaian yang bersih dan ia duduk di samping beliau. Kemudian datang lagi seorang yang tak punya dengan pakaian kotor dan duduk di samping orang yang kaya tadi sehingga orang kaya tersebut mengangkat pakaiannya dari kedua pahanya.” Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah engkau takut akan tertular kefakirann ya?”
Orang kaya itu menjawab, “Tidak.”
Rasulullah saw berkata, “Ataukah engkau takut ia tertulari kekayaanmu?”
Ia menjawab, “Tidak.”
“Apakah engkau takut ia akan mengotori pakaianmu?”. “Tidak,” jawabnya.
Beliau bertanya lagi, “Lalu apa yang membuatmu melakukan hal itu?”
Ia berkata, “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya aku mempunyai teman (setan) yang menghiasi segala keburukan bagiku dan mengatakan buruk semua kebaikan. Dan sungguh akal telah memberikan separuh hartaku kepadanya (orang fakir).”
Nabi saw berkata kepada orang fakir, “Apakah engkau menerimanya?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Orang kaya itu bertanya kepadanya, “Mengapa?”
Ia menjawab, “Aku takut akan masuk kepadaku sesuatu yang telah masuk ke dalam dirimu (kesombongan).”

Pesan yang ingin disampaikan dalam riwayat itu adalah bahwa banyak terjadi bertambahnya harta dapat menyebabkan bertambahnya kebodohan. Sehingga, orang yang kaya menganggap bahwa dirinya bertambah besar. Maka ia menampakkan kesombongan kepada orang lain.

Hal kedua yang menjadi penyebab kesombongan adalah ilmu. Jika ilmu yang menjadi sebab kesombongan maka ini adalah lebih buruk daripada harta. Karena kadang terjadi, bahwa seorang setelah mendapatkan sejumlah pengetahuan dan kemudian ia keluar dari sekolahnya atau universitas tempatnya belajar, ia memandang bahwa apa yang telah ia miliki dari ilmu-ilmu itu merupakan suatu yang agung yang menetap dalam dirinya, sehingga ia memandang orang lain dengan pandangan merendahkan.

Jika sikap sombong ini terjadi pada penuntut ilmu agama maka ini adalah lebih buruk daripada penuntut ilmu lainnya. Karena, kesombongan dalam diri mereka (penuntut ilmu non agama) pengaruhnya hanya terbatas pada urusan materi. Adapun bagi para penuntut ilmu agama, maka ia berkaitan dengan kedudukan dan pangkat di tengah masyarakat, sedangkan berkuasa atas suatu kedudukan berarti berkuasa atas hati-hati manusia. Karena, nafsunya mengajaknya untuk merasa lebih istimewa daripada orang lain, dan ia (nafsunya) berkata kepadanya, “Engkau memiliki ilmu yang lebih luas daripada si Fulan,” lalu ia membisikkan kepadanya bahwa apa yang dibacanya yang lebih banyak daripada orang lain membuatnya berbeda (lebih istimewa) dibandingkan yang lain.

Jika sombong ini terjadi pada orang alim, sesungguhnya yang terjadi adalah pengetahuan yang ia miliki tidak menambah cahaya iman yang ada di hatinya. Lalu apa perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang awam? Tidak ada perbedaan, bahkan orang awam yang keawamannya telah membuat ia merasa lemah dan rendah, adalah lebih utama kedudukannya dibandingkan dengan orang alim tersebut yang pengetahuannya tidak memberikan sesuatu kepadanya kecuali kesombongan dan ketertipuan.

Hal ini dapat dimengerti karena kedudukan yang mulia berkaitan erat dengan iman dan amal, dan ilmu yang memiliki keutamaan yang tinggi adalah ilmu mengenal Allah serta mengetahui hari akhir. Itulah cahaya di dalam hati yang pemiliknya selalu mencari tambahan kekhusyukan di hadapan Allah Swt.

Penyebab kesombongan ketiga adalah kedudukan. Maksud dari kedudukan ini adalah kemasyuran dan kedudukan sosial di tengah masyarakat, baik karena nasab (keturunan). Keturunan memang seringkali. membuat seseorang merasa lebih tinggi dari selainnya, sehingga di antara mereka menolak untuk menikah dengan keluarga tertentu, karena ia memandang bahwa dirinya lebih mulia dari keluarga itu, walaupun itu sebenarnya hanyalah ketertipuannya.

Lalu bagaimana kita menghilangkan sikap sombong ini, karena jika ia melekat di hati manusia maka dapat merusak keimanan dan menjerumuskannya dalam jurang kehancuran. Untuk menghilangkan sikap sombong ini, kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya kita adalah bukan apa-apa. Kita hanyalah ketidakmampuan yang berupa jasad. Seluruh badan asalnya dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Kita harus menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang patut disombongkan oleh makhluk. Hidupnya, sakit dan sehatnya, kaya dan miskinnya, semuanya tidak berada di tangannya.

Ada sebuah ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as yang mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan hina dan tidak seharusnya bersikap sombong. Imam Ali berkata sebagaimana disebutkan dalam Nahjul al-Balaghah, “Manusia adalah yang kemampuannya diciptakan (diberikan), kehendaknya terbatas, dan keberadaannya penuh dengan ketergantungan.” Dengan demikian, tubuh manusia merupakan cermin bagi kelemahan, ketiadaan dan kehinaan. Dalam ucapan yang lain beliau berkata, “Aku merasa heran terhadap anak Adam; awalnya adalah air mani, akhirnya adalah bangkai, ia hidup di antara keduanya sebagai gudang kotoran, tetapi kemudian ia menyombongkan diri.”

Seharusnya jika kita menyadari ucapan Imam Ali itu, kita sebagai manusia tidak sepantasnya berlaku sombong. Karena kesombongan akan menjerumuskan manusia pada kehancuran dan kenistaan, baik itu di dunia maupun akhirat.


Cinta Dunia Sumber Kehancuran Manusia

Jika kita perhatikan kehidupan di dunia ini, banyak manusia hancur dalam kehidupannya karena terlalu cinta dunia. Kecintaan manusia kepada dunia membuat manusia seringkali melupakan Allah, Penciptanya. Misalnya, manusia yang karena kesibukan bekerja mengejar kebutuhan hidupnya seringkali melalaikan untuk beribadah kepada-Nya.

Dunia memang mempunyai daya pikat kepada manusia. Mengapa manusia begitu mencintai dunia? Menurut Imam Khomeini manusia adalah putra alam fisik ini, alam menjadi ibunya, dan ia adalah anak cucu air dan debu. Cinta dunia telah tertanam dalam hatinya sejak awal perkembangan dan pertumbuhannya. Bersamaan dengan pertumbuhannya, cinta, ini juga bertambah. Karena adanya fakultas hawa nafsu dan organ-organ untuk memperoleh kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya oleh Allah Swt demi melestarikan individu dan bangsa, cinta ini tumbuh hari demi hari.

‘Dunia’ dalam pandangan Imam Khomeini merupakan tingkat eksistensi paling rendah dan tempat perubahan, peralihan dan kemusnahan. Sedangkan ‘Akhirat’ menurutnya menunjukkan kembalinya seseorang dari alam eksistensi yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, alam samawi, alam batiniah, yang merupakan tempat yang tetap, tidak berubah dan abadi.

Dua alam tersebut ada pada setiap individu. Yang pertama adalah alam material, tempat perkembangan dan kemunculan, yang merupakan tempat eksistensi dunia wujud yang lebih rendah. Yang kedua adalah tingkat eksistensi yang tersembunyi, batiniah, dan samawi, yang merupakan alam keberadaan ukhrawi yang lebih tinggi.

Kehadiran alam dunia bukanlah untuk dinafikan. Eksistensi duniawi yang merupakan alam keberadaan yang lebih rendah dan tidak sempumrna dibanding akhirat, namun selama ia menjadi ladang untuk latihan jiwa yang mulia dan sekolah untuk mencapai kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi, ia menjadi lahan untuk mengolah akhirat. Jika pengertian ini yang dipahami manusia, maka dunia merupakan alam keberadaan yang paling agung dan alam yang paling menguntungkan bagi pencinta Tuhan dan para musafir di jalan akhirat.
Keberadaan alam ini menjadi begitu agung, karena dengan alam materi duniawi ini, terjadilah transformasi dan perubahan fisik dan ruhaniah. Jika Allah Swt tidak menjadikannya sebagai alam peralihan dan kemusnahan, maka jiwa yang tidak sempurna tentu tidak akan dapat mencapai status kesempurnaan yang dijanjikan dan tidak dapat menjangkau alam yang permanen dan stabil.

Dengan demikian, yang disebut dalam al-Quran dan hadis sebagai ‘dunia’ yang tercela sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan adalah ketenggelaman di dalamnya, dan cinta, serta keterikatan kepadanya. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua dunia: yang satu dikutuk, sementara yang lain diagungkan dan dipuji.

Dunia akan menjadi tercela apabila seseorang di bumi (tempat ia beraktivitas), menjadikan kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi dan kebaikan ruhaniah yang abadi dipertaruhkan demi harta benda yang fana. Padahal tatanan yang ada ini dibuat demi alam yang abadi, akhirat.

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq as dikatakan, “Cinta dunia adalah sumber dari segala macam pelanggaran.” Begitu pula Imam al-Baqir as berkata, “Luka yang disebabkan tikaman dua serigala buas, yang satu menyerang dari depan dan yang lain dari belakang, pada sekelompok kambing tanpa pengembala, tidak lebih cepat dibandingkan dengan luka yang disebabkan oleh tikaman cinta dunia terhadap iman seorang mukmin.” Dengan demikian, keterikan hati dan kecintaan kepada dunia adalah sama artinya dengan dunia yang dikutuk, dan makin besar keterikatan itu, makin tebal pula tirai antara manusia dan alam keagungan, serta makin tebal tirai antara hati manusia dengan Penciptanya.

Manusia yang begitu cinta dunia akan memandang dunia ini sebagai tempat kesenangan dan kemewahan, dan kematian sebagai akhir dari semua kegiatan itu, meskipun ia diarahkan untuk yakin kepada akhirat, kemuliaannya, syarat-syaratnya, pahala-pahalanya dengan argumen-argumen hukama’ dan sunah para nabi, namun hatinya tetap tidak akrab dengannya dan tidak menerimanya, apalagi memperoleh keyakinan akan kebenarannya.

Manusia dapat menjadi sedemikian cinta dunia karena keyakinannya akan kesementaraan dunia, kematian sebagai kemusnahan dan kehidupan abadi kelak tidak masuk ke dalam hatinya walaupun akal telah menerimanya. Memang hal yang paling penting ialah bahwa keyakinan itu harus masuk ke dalam hati, dan kedudukan yang paling baik adalah iman dengan keyakinan sempurna. Keyakinan yang kuat di hati ini dapat dicontohkan pada kisah Nabi Ibrahim yang memohon kepada Allah agar diberi kemantapan di hatinya.
Kemantapan di hati ini menjadi penting, karena walaupun akal secara rasional memiliki kepercayaan akan hari akhirat, namun jika hati tidak memiliki keyakinan, maka kita tetap ingin hidup di dunia ini dan menolak pemikiran tentang kematian dan tentang meninggalkan alam keberadaan yang rendah ini. Tetapi jika hati kita menyadari akan kenyataan bahwa dunia ini adalah dunia yang rendah dan tempat kerusakan serta perubahan, dan alam ketaksempurnaan serta kehancuran, dan bahwa ada alam di luar kematian yang semuanya abadi dan kekal, sempurna dan permanen, tempat kehidupan yang bahagia, maka hati kita dengan sendirinya akan mencintai alam itu dan akan membenci dunia ini.

Memang cinta dunia akan menghancurkan manusia, dan ia merupakan kejahatan lahir dan batinnya. Nabi saw diriwayatkan pernah bersabda, “Dirham dan dinar telah membinasakan banyak orang sebelummu, dan keduanya juga akan membinasakanmu.” Seandainya saja manusia tidak melakukan kejahatan lain, yang merupakan sesuatu yang tidak mungkin atau hampir mustahil, keterikatan kepada dunia saja sudah cukup untuk menyebabkan berbagai macam kejahatan.

Di antara akibat buruk dari cinta dunia dan keterikatan kepadanya adalah bahwa ia membuat manusia takut akan mati. Takut mati, sebagai cinta dari dunia dan keterikatan kepadanya, adalah sangat tercela. Itu berbeda dengan takut akan Hari Pembalasan, yang merupakan salah satu sifat mukmin sejati. Sebagian besar penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh orang yang sedang sekarat adalah karena kuatnya ikatan duniawi itu, bukan rasa takut mati itu sendiri.

Keburukan besar lainnya yang disebabkan oleh cinta dunia adalah bahwa kecintaan itu menghalangi manusia dari kegiatan religius, beribadah dan berdoa, serta memperkuat nafsu jasmani. Ia menanamkan penolakan di dalam hatinya terhadap perintah-perintah ruhaninya. Akibatnya, ia memperlemah keteguhan dan kehendak, padahal salah satu rahasia dan tujuan ibadah serta kegiatan-kegiatan religius adalah untuk membuat jasmani, organ-organ fisik, dan instink-instink alamiah tunduk kepada ruh, sehingga kehendak dapat mengendalikannya dan memaksa jasmani untuk bertindak sesuai dengan kehendak ruh, dan mencegahnya dari segala hal yang ingin dihindari oleh ruh.

Manusia dalam hidupnya, seyogyanya berusaha agar ruh dapat mendominasi jasmani. Jika organ-organ fisik berada di bawah kendali ruh, maka apa saja yang diinginkan ruh agar tubuh melakukannya, akan dilakukan tanpa keberatan dan halangan apa pun. Salah satu keuntungan dan rahasia dari ibadah yang keras dan latihan-latihan ketaatan yang melelahkan adalah bahwa semua itu membantu tercapainya dominasi ruh atas jasmani. Melalui ritual itu, manusia dapat memperoleh keteguhan dan tekad yang kuat, serta menguasai nafsu jasmaninya.

Dengan keteguhan, kesabaran dan, ketabahan yang sempuma maka wilayah jasmani dan ruhani manusia mencapai karakteristik malaikat. Manusia yang demikian dapat menjadi sama dengan malaikat Allah yang tidak pernah melanggar perintah-Nya, tanpa penolakan dan tekanan apa pun, selalu siap menaati apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakan dan menahan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Itulah mukmin sejati yang telah tercelup dalam samudera cinta Ilahi.


Kedustaan Menuai Bencana

Ada sebuah cerita tentang betapa jeleknya sikap seorang Muslim yang menghina saudaranya yang Muslim. Cerita ini dikisahkan oleh Husein Mazhairi dalam bukunya Jihad an-Nafs. Ada seorang wanita tua pergi menemui dokter. Dia berkata kepada dokter, “Kertas resep yang telah anda berikan kepada saya telah saya rebus dan saya minum, akan tetapi kesehatan saya belum juga pulih.” Wanita tua itu tidak mengerti bahwa kertas resep itu harusnya untuk menebus obat di apotik bukannya direbus dan diminumnya.

Dokter itu kemudian berkata kepadanya, “Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.” Lalu dokter itu pun kembali menuliskan resep, dan menyuruh wanita desa itu pergi ke apotik untuk menebus obat dan menggunakannya, agar penyakitnya sembuh.” Kemudian tiba giliran sahabat Husein Mazhairi, sudah tidak ada orang lain selain dia dan dokter. Ia berkata kepada dokter, “Wahai dokter, apa yang anda telah perbuat hari ini?” Dokter itu bertanya, “Apa yang telah saya lakukan?” Ia berkata lagi, “Anda tidak hanya telah melakukan satu dosa, melainkan Anda telah melakukan banyak dosa. Dosa anda yang pertama adalah memperolok seorang Muslim. Dan jika seorang Muslim memperolok seorang Muslim lainnya, serta menjatuhkan harga dirinya, maka dosa yang dilakukannya itu sungguh besar sekali.”

Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Adapun dosa yang kedua ialah anda telah menyebabkan orang lain menertawakan dan melecehkan wanita desa itu, sehingga dia merasa malu. Jika anda tidak mengeluarkan kata-kata itu maka orang-orang tidak akan memperolok-olokannya. Adapun dosa anda yang ketiga adalah anda telah berdusta manakala anda mengatakan, ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.’ Perkataan ini adalah dusta. Wanita ini tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap resep obat. Darimana anda tahu bahwa dia bukan seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh? Dia adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh. Oleh karena itu, perkataan anda yang berbunyi ‘Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda’ adalah perkataan dusta.”

Dari cerita itu kita dapat melihat betapa perbuatan yang tampaknya kecil ternyata telah mengakibat dosa yang besar. Allah berfirman,

Maka jauhilah olehmu berhala yang najis itu dan jauhilah olehmu perkataan-perkataan dusta. (QS. al-Hajj:30)

Hikmah dari cerita ini salah satunya adalah bahwa kita harus mengawasi tingkah laku kita. Inilah yang membedakan antara orang yang bodoh dan yang berakal. Seorang yang berakal adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru kemudian berbicara; sementara orang yang bodoh adalah orang yang berbicara terlebih dahulu baru kemudian berpikir.

Perilaku seorang Muslim dalam bertindak hendaknya dilakukan dengan berpikir dulu baru kemudian berbicara.

Misalnya anda adalah seorang guru, dan kemudian anda berbicara di dalam kelas yang mendatangkan musibah. Perkataan yang anda katakan itu bisa menimbulkan kekacauan pada diri seseorang dan mendatangkan berbagai musibah. Perkataan anda itu pada hakikatnya telah membunuh anak-anak murid. Karena, perkataan anda itu telah merusak kepribadiannya yang ini jauh lebih buruk dibandingkan pembunuhan jasmani.

Dalam buku Jihad an-Nafs itu diceritakan pula sebuah riwayat tentang seorang pemuda yang meninggal dunia. Kemudian jenazahnya dimandikan, dikafankan dan dimakamkan oleh Rasulullah saw. Setelah orang-orang meletakkan jenazah pemuda itu di dalam kubur, ibunya datang ke kuburannya. Lalu ibunya berkata, “Wahai anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang, setelah saya menyaksikan Rasulullah saw sendiri yang menguburkan kamu maka saya pun tidak bersedih hati lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu adalah orang yang berbahagia.”

Ketika mendengar perkataan itu Rasulullah saw tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu ibunya pun pulang. Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya lubang kubur menghimpitnya dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah seorang pemuda yang baik dan istiqamah.” Rasulullah berkata, “Benar, akan tetapi pada dirinya banyak terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya hasil pertama yang diperoleh dari perkataan yang seperti ini ialah himpitan kubur.” Akan tetapi pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat wadh’i.

Lalu Husein Mazhairi menjelaskan bahwa seorang guru dan ulama harus memperhatikan kata-kata yang dikatakannya. Bahkan, kata-kata yang benar sekalipun tidak harus dia mengatakannya. Sebagaimana ungkapan Arab yang mengatakan, “Tidaklah setiap yang kita ketahui layak kita katakan.” Banyak hal-hal yang benar dan sesuai dengan kenyataan, akan tetapi tidak mungkin dikatakan. Peribahasa lain yang terkenal di kalangan masyarakat umum dan merupakan sebuah peribahasa yang baik, mengatakan “Perkataan benar yang tampak seperti perkataan dusta jauh lebih buruk daripada perkataan dusta yang tampak seperti perkataan benar.” Tidak demikan, sebenarnya kita harus mengatakan bahwa keduanya itu buruk. Seseorang berkata dusta dengan tujuan supaya manusia membenarkannya. Sungguh ini merupakan perbuatan yang buruk dan merupakan dosa besar. Sekalipun juga seorang suami yang berdusta di hadapan istrinya, atau sebaliknya. Demikian pula manakala seseorang berbicara benar, akan tetapi orang menolak perkataannya. Karena itu dia harus berbicara dalam bentuk yang dapat dipahami oleh akal.

Dengan demikian perkataan yang bukan pada tempatnya, di samping mendatangkan himpitan kubur; terkadang juga mendatangkan dendam, permusuhan dan keretakan rumah tangga. Kita sebagai Muslim harus hati-hati di dalam perkataannya dengan berpikir terlebih dahulu, baru kemudian berbicara. Karena jika kita melukai perasaan orang lain maka kita akan kehilangan kecintaan dari hati-hati manusia, dan menjadi orang yang tidak disukai oleh masyarakat.

Dalam banyak riwayat dari ahlulbait as, sengatan ini (kata- kata yang melukai perasaan orang lain) akan berubah menjadi kalajengking, ular berbisa dan serigala yang mengigit manusia di alam kubur dan juga di padang Mahsyar dan neraka jahanam. Sebagaimana perkataan Rumi dalam Matsnawi yang berbunyi, “Dengan perantaraan sengatan lidah anda maka anda mempersiapkan serigala-serigala yang akan mengigit anda.”

Kita akhiri tulisan ini dengan sebuah doa: Ya Allah, dengan kemuliaan dan keluhuran-Mu, karuniakanlah kepada kami segenap kesadaran, sehingga kami berhati-hati di dalam perkataan kami, niat kami dan tingkah laku kami. Berikanlah taufik kepada kami untuk bisa taat dan beribadah kepada-Mu, serta mampu meninggalkan maksiat terhadap-Mu. Ya Allah, demi kemuliaan dan keluhuran-Mu, tunjukkanlah kami kepada jalan keridhaan-Mu dan cegahlah kami dari segala sesuatu yang mendatangkan kemarahan dan kemurkaan-Mu.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: