Meraih Cinta Ilahi Melalui Zikir
Suatu saat Muhammad al-Baqir as bersabda, “Tertulis dalam Taurat yang tidak berubah, bahwa Musa as bertanya kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhan! Apakah Engkau dekat denganku, sehingga aku harus berdoa kepada Engkau dengan bisikan, atau Engkau jauh, sehingga aku harus bersuara keras menyeru-Mu?’ Kemudian Allah Swt mewahyukan kepadanya: ‘Wahai. Musa! Aku bersama yang mengingat-Ku.’ Musa berkata, ‘Siapakah mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tak kan ada perlindungan kecuali perlindungan-Mu?’ Dia menjawab, ‘Mereka yang mengingat-Ku, dan Aku mencintai mereka; mereka yang saling mencintai demi Aku, dan Aku mencintai mereka. Mereka adalah orang-orang yang Kuingat, kapan pun Aku hendak menimpakan musibah atas penduduk bumi, dan karenanya menghindarkan mereka karena mereka.”
Hadis ini memperlihatkan bahwa Taurat yang sekarang ada di tangan kaum Yahudi itu sudah rusak dan diubah. Dari kandungan Taurat dan Injil yang ada sekarang ini terlihat bahwa kedua kitab ini tidak memenuhi standar pembicaraan yang umumnya diterima orang sekalipun, apalagi kriteria firman Tuhan.
Al-Majlisi berkata, “Tampaknya maksud Nabi Musa as dengan pertanyaan ini adalah mencari-tahu tara cara berdoa, padahal beliau tahu bahwa Allah lebih dekat dengan seseorang daripada urat lehernya, dengan kedekatan yang didasarkan pada pengetahuan, kuasa dan efisiensi kausal. Beliau bermaksud mengatakan, ‘Apakah Engkau suka kalau hamba-Mu berdoa kepada-Mu dengan bisikan, seperti orang yang berbicara dengan orang lain di dekatnya, ataukah aku harus menyeru-Mu seperti orang yang menyeru orang lain yang ada di tempat jauh?’ Dengan kata lain, ‘Bila aku melihat-Mu, aku dapati engkau lebih dekat dibanding apa pun yang dekat, dan bila aku melihat diriku sendiri, aku dapati diriku ada di tempat jauh. Maka aku tidak tahu apakah aku harus mempertimbangkan situasi-Mu dalam doaku atau kondisiku sendiri.’ Mungkin juga pertanyaan ini diajukan atas nama orang lain, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan melihat Yang Mahaindah.” (tersebut dalam QS. al-A’râf:143).
Mungkin Musa bermaksud mengungkapkan rasa kebingungannya dan rasa ingin tahunya bagaimana sikap dalam berdoa. Dia bermaksud mengatakan, “Ya Tuhan, Engkau terlalu suci dan di atas segalanya untuk dinisbahi kata dekat dan jauh, sehingga aku akan menyapa-Mu sebagai yang dekat atau yang jauh. Karena itu aku kebingungan dalam masalah ini, sebab aku tidak melihat cara berdoa yang sesuai dengan kedudukan-Mu yang agung. Maka izinkanlah aku berdoa, dan tunjukkanlah caranya. Ajarilah aku cara yang sesusai dengan kedudukan-Mu yang suci.” Datanglah jawaban dari Sumber Agung lagi Mulia, “Aku, sebagai Pemberi rezeki, ada dalam semua tingkat dan eksistensi. Segenap alam merupakan kehadiran-Ku. Namun Aku bersama mereka yang mengingat-Ku dan bersama mereka yang menyeru-Ku.”
Tentu saja, dekat dan jauh tidak dapat dinisbahkan kepada Zat Suci itu. Zat Suci itu memberikan rezeki kepada segala yang maujud dan keberadaan-Nya meliputi segenap wilayah maujud dan seluruh aliran realitas. Namun, yang disebutkan dalam ayat-ayat mulia Kitab Allah yang Suci ini mengenai penisbahan dekat kepada Allah Swt, seperti ayat-ayat,
Dan bila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (katakan kepada mereka) Aku dekat untuk menjawab seruan orang yang menyeru-Ku... (QS. al-Baqarah: 186);
atau,
...dan Kami tahu apa yang dibisikkan jiwanya di dalam dirinya, dan kami Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya (QS. Qâf:16),
dan ayat-ayat lain seperti itu merupakan kiasan. Sebab wujud suci-Nya berada di atas dekat dan jauh, fisik maupun imaterial. Karena kualitas-kualitas ini mengandung keterbatasan (tahdid) dan keserupaan (tasybih), sedangkan Allah Swt berada di luar itu semua dan kehadiran segala wujud di istana suci-Nya merupakan kehadiran relasional, dan bahwa Zat Suci itu meliputi semua partikel alam semesta dan rantai-rantai wujud. Artinya, Dialah yang memberikan rezeki kepada semuanya itu.
Dari hadis di atas, dan beberapa hadis lainnya juga, dapat disimpulkan bahwa zikir diam (dzikr-e khafi) dan di dalam hati lebih disukai. Allah berfirman, Ingatlah Tuhanmu dalam jiwamu, dengan rendah hati dan takut, bukan dengan suara keras, pada pagi dan petang hari. (QS. al-A’râf:205)
Dalam beberapa keadaan, yang zikir dengan suara keras, seperti zikir di depan orang yang lalai demi mengingatkannya lebih disukai. Dalam al-Kafi disebutkan bahwa siapapun yang berzikir kepada Allah Swt di tengah orang-orang yang lalai, maka dia seperti orang yang berperang melawan kaum muharibun (yaitu orang-orang yang mengangkat senjata melawan Allah dan Islam). Begitu pula, adalah mustahab (dianjurkan) berzikir keras-keras dalam azan, dalam khutbah, dan lain-lain.
Dalam Uddat al-Da’i karya Ibnu Fahd disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Orang yang berzikir kepada Allah di pasar dengan ikhlas, di antara orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan mereka, maka Allah menuliskan baginya seribu kebaikan dan mengampuninya pada hari Kiamat dengan apa pun yang belum pernah terlintas dalam hati.”
Dalam hadis mulia ini disebutkan bahwa berzikir kepada Allah, dan saling cinta dan bersahabat demi Allah, lebih penting daripada karakteristik tertentu. Salah satunya, yang lebih penting daripada yang lainnya, adalah bahwa zikir kepada Allah yang dilakukan oleh sang hamba mengakibatkan Allah ingat kepadanya. Masalah ini juga disebutkan dalam hadis-hadis lain. Zikir ini merupakan lawan dari-orang yang lalai (nisyam), seperti disebutkan oleh Allah Swt dalam hubungannya dengan orang yang melupakannya ayat-ayat Allah. Dia mengatakan, “Ya Tuhanku, kenapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu dapat melihat?” Allah menjawab, Demikianlah Ayat Kami datang kepadamu, namun kamu melupakannya; maka hari ini kamu terlupakan. (QS. Thâhâ:126)
Kebutaan di akhirat diakibatkan karena melupakan ayat-ayat Allah dan batin tidak melihat manifestasi-manifestasi keagungan dan keindahan Allah. Namun hal itu tidak terjadi bila kita mengingat ayat-ayat Allah, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya serta mengingat Allah, keindahan-Nya dan kemuliaan-Nya. Bila mengingat ayat-ayat Allah menjadi watak (malakah), maka penglihatan batiniah menjadi sedemikian kuat, sehingga mulailah terlihat keindahan Ilahiah dalam ayat-ayat-Nya. Mengingat Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya mengakibatkan melihat Allah dalam manifestasi-manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat (tajalliyat-e asma’iyyah wa shifatiyyah).
Jelaslah, cinta Allah memiliki berbagai derajat, sebab cinta demi Allah Swt juga memiliki banyak tingkat dalam hal keikhlasan dan kelemahannya. Keikhlasan penuh bahkan bebas dari cacat pluralitas Nama dan Sifat (katsrat-e asma’i wa shifatz) akan melahirkan cinta yang sempurna. Pencinta sejati senantiasa selaras dengan peraturan cinta, dan tidak akan ada penghalang antara pencinta dan Yang Dicintai.
Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat mengetahui maksud pertanyaan Musa as di atas. Dia ingin menemukan identitas orang-orang yang akan mencapai persatuan itu, sehingga dia dapat menunaikan tugasnya dalam segala aspeknya. Karenanya dia bertanya: Siapakan mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika yang ada hanyalah perlindungan-Mu? Siapakah mereka, yang karena Engkau lindungi, terbatas dari segala keterikatan dan merdeka dari segala rintangan, dan bersama dengan Mahaindah-Mu? Datanglah jawaban, “Mereka adalah dua golongan: merekalah Orang-orang yang mengingat-Ku, dan orang-orang yang saling mencintai satu sama lain, yang juga mengingat-Ku, ingat akan manifestasi sempurna keindahan-Ku. Mereka aku lindungi, Aku bersama mereka dan milik mereka.”
Hadis tentang Musa as memperlihatkan bahwa kedua golongan tersebut memiliki satu kualitas mulia yang melahirkan karakter mulia lainnya. Karena Allah mengingat dan mencintai mereka, maka mereka pun mendapatkan perlindungan-Nya pada hari ketika tidak ada perlindungan, dan mereka bersama Allah di tempat yang benar-benar tersendiri. Karakteristik lainnya adalah bahwa Allah Swt menghindarkan makhluk-makhluk-Nya dari siksaan demi kemuliaan mereka. Yaitu, selama mereka berada di tengah-tengah makhluk, Dia tidak menurunkan azab dan malapetaka atas makhluk-makhluk demi mereka.
Manifestasi Zikir kepada Allah Swt
Tadzakkur (ingat) merupakan basil dari tafakkur (merenung). Karena itu kedudukan tafakur dianggap mendahului kedudukan tadzakur. Khwajah ‘Abdullah al-Anshari berkata, “Tadzakur berada di atas tafakur, karena sesungguhnya tafakur adalah mencari (Yang Dicintai), sedangkakan tadzakur adalah mencapai (Yang Dicintai).”
Selama manusia berada dalam pencarian, dia terpisah dari yang dicari. Dengan ditemukannya yang dicari, dia terbebas dari upaya mencari. Kuat dan sempurnanya tadzakur bergantung pada kuat dan sempurnanya tafakur. Tafakur yang menghasilkan tadzakur-sempurna akan Yang Disembah, kebaikan dan keutamaannya tidak dapat dibandingkan dengan amalan-amalan lain. Karena itu, dalam hadis-hadis mulia, satu jam bertafakur dipandang lebih baik daripada ibadah satu tahun, atau bahkan ibadah enam puluh atau tujuh puluh tahun.
Jelaslah bahwa tujuan akhir dan buah ibadah adalah tahu dan ingat akan Allah Swt, dan ini lebih dapat dicapai melalui tafakur yang sempurna. Barangkali, satu jam bertafakur akan membukakan bagi sang pejalan ruhani jalan menuju pengetahuan mistis, dan jalan ini tidak dapat dibuka walau dengan tujuh puluh tahun beribadah. Atau, tafakur akan membuat manusia sedemikian ingat akan Yang ercinta, sedangkan berzuhud selama beberapa tahun belum dapat memberikan hasil seperti itu.
Mengingat akan Yang Tercinta dan menyibukkan hati dengan mengingat Yang Disembah akan memberikan banyak hasil bagi semua golongan manusia. Bagi kaum sempurna, yaitu para wali dan urafa, itu merupakan tujuan puncak harapan-harapan mereka, dan berdasarkan inilah mereka bersama kemegahan Yang Tercinta. Ini memberikan banyak kebaikan kepada mereka. Bagi orang biasa dan kaum mutawassithun, itu adalah semulia-mulianya sarana pembentuk moralitas dan perilaku, dalam kehidupan lahiriah maupun batiniah.
Kalau manusia senantiasa ingat akan Allah Swt dalam keadaan apa pun, dan menyadari dirinya hadir di hadapan Zat Suci, tentu dia menahan diri dari masalah-masalah yang tidak sesuai dengan keridhaan-Nya dan mengendalikan diri agar tidak bersikap durhaka. Semua malapetaka dan penderitaan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan setan terkutuk disebabkan karena lupa akan Allah Swt dan hukuman-Nya. Lupa akan Allah semakin mempergelap hati, dan memberi peluang kepada hawa nafsu dan setan untuk menguasai manusia. Dan ini artinya memperbesar penderitaannya hari demi hari.
Ingat akan Allah membersihkan dan mengkilapkan hati; menjadikan hati sebagai tempat keindahan Yang Tercinta; mensucikan jiwa dan membebaskan diri dari perbudakan. Cinta akan dunia, yang merupakan sumber segala kesalahan dan segala dosa akan tersingkir dari hati, kalau kita mencari keutamaan-keutamaan formal dan spiritual, kalau kita menempuh jalan akhirat, kalau kita sedang menuju Allah. Maka biasakanlah hati ingat akan Yang Tercinta.
Zikir Sempurna
Berzikir kepada Allah Swt merupakan kualitas hati, dan jika hati tenggelam dalam zikir maka akan memperoleh banyak manfaat. Namun sebaiknya zikir dalam hati diikuti dengan zikir lisan. Derajat paling sempurna dan paling baik dari zikir adalah zikir pada semua tingkat keberadaan manusia, yang wilayahnya meliputi alam wujudnya yang lahiriah maupun batiniah, yang nyata dan tersembunyi.
Batiniah hati dan jiwa membentuk ingatan akan Yang Tercinta, dan gerak-gerik hati dan tubuh akan membentuk zikir. Allah Swt menjadi nyata dalam inti wujudnya. Tujuh bidang wujud jasadi, maupun bidang batiniahnya, ditaklukkan oleh zikrullah dan ditundukkan oleh ingat akan Yang Mahaindah. Kalau bentuk batiniah hati berupa realitas zikir, dan alam hati ditaklukkan olehnya, maka kedaulatannya meliputi semua wilayah lainnya. Gerak dan diamnya mata, lidah, tangan dan kaki, serta gerak-gerik anggota-anggota dan fakultas-fakultas lainnya disertai ingat akan Allah Swt, sehingga tidak ada gerakan yang bertentangan dengan tugas-tugas mereka. Kemudian gerak dan diamnya mereka dimulai dan diakhiri dengan zikrullah, Bismillah akan menjadi jalannya dan menjadi tempat berlabuhnya. (QS. Hûd:41).
Pengaruh zikir sampai ke semua bidang, yang terjadi sebagai hasil dari selaras dengan realitas Nama-nama dan Sifat-sifat. Semua bidang itu membentuk Nama-nama Agung Allah (ism Allah al-a’zham), dan menjadi menifestasi (mazhhar)-Nya. Inilah batas puncak kesempurnaan manusia, dan tujuan akhir dari harapan-harapan orang-orang pilihan Allah (ahl Allah).
Meski demikian, kita harus waspada mengingat derajat keutamaan manusia yang belum sempurna dapat mempengaruhi kualitas zikir. Ini karena berbagai bidang eksistensi manusia saling berkaitan, mempengaruhi dan merasuki antara yang batin dan lahir satu sama lain.
Dari sinilah diketahui bahwa zikir lisan, yang merupakan tingkat terendah zikir, juga ada manfaatnya. Karena, pertama-tama, lidah melaksanakan kewajibannya, meskipun gerakannya formal belaka dan tidak ada ruhnya. Kedua, ada kemungkinan lantunan zikir ligan secara terusmenerus, asal sesuai dengan syarat-syaratnya, bisa menjadi sarana untuk terbukanya lidah hati pula.
Syahabadi, seorang arif sempurna, berkata, “Dzakir (orang yang berzikir), selama berzikir, harus seperti orang yang mengajarkan kata-kata kepada seorang anak kecil yang belum bisa berbicara. Dia ulangi kata itu sampai lidah anak kecil itu dapat mengucapkannya. Setelah itu, sang guru mengikuti sang anak, sampai kelelahannya yang disebabkan karena mengulang itu tersingkirkan, seakan-akan dia telah menerima bantuan dorongan dari sang anak. Begitu pula, orang yang berzikir harus mengajarkan zikir kepada hatinya, yang belum dapat mengucapkannya dengan baik. Maksud di balik mengulang-ulang zikir itu adalah agar lidah hati terbuka, dan tandanya adalah bahwa setelah itu lidah mengikuti hati terbuka dan tersingkirkanlah kesulitan dalam melakukan pengulangan. Pertama, lidahlah yang berzikir, dan lalu hati juga berzikir dengan dibantu oleh lidah dan dengan bimbingan lidah. Setelah itu lidah hati jadi tahu cara mengucapkannya dengan benar, lidah mengikutinya dan menjadi dzakir dengan dibantu oleh hati dengan bantuan gaib Allah.”
Ketahuilah bahwa tindakan lahiriah dan tindakan formal tidak memiliki kepastian hidup di dunia gaib atau malakut, kecuali mendapat bantuan dari alam batiniah jiwa dan inti hati, yang memberi tindakan-tindakan itu dalam kehidupan spiritual (hayat-e malakuti). Nafas spiritual itu, yang merupakan bentuk keikhlasan niat, adalah seperti jiwa batiniah, yang setelahnya tubuh juga dibangkitkan kembali di alam malakut dan diizinkan masuk ke hadirat Ilahi. Karena itu, dalam hadis-hadis mulia dikatakan bahwa diterimanya perbuatan-perbuatan (fisik) didasarkan pada ukuran tanggapan dan kesediaan hati untuk menerima.
Meskipun demikian, kita hendaknya tetap melakukan zikir lisan, karena ini membawa manusia untuk mencapai kebenaran. Karena itu, dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat, zikir lisan sangat dipuji. Ada beberapa topik zikir yang banyak dibahas oleh banyak hadis, sebanyak hadis yang membahas topik zikir.
Zikir lisan juga amat dipuji dalam ayat-ayat suci, sekalipun kebanyakannya bertalian dengan zikir batiniah (dzikr-e qalbi), jiwa yang berzikir. Ingat akan Allah (zikir) mendatangkan rahmat, pada tingkat apa pun zikir itu terjadi. Pada tahap ini kami akhiri pembicaraan ini dengan menyebutkan beberapa hadis mulia demi mendapatkan berkahnya.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari al-Fudhail ibn Yasar bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq as bersabda, “Tidak ada majelis di mana yang bajik dan pendosa bersama-sama, dan setelah itu bangkit pergi tanpa menyebut Allah Swt, kecuali bahwa itu akan menyebabkan mereka menyesal pada hari kiamat.”
Jelaslah bahwa bila manusia mengetahui hasil dari berzikir kepada Allah di hari kiamat, sementara dia sendiri tidak mendapatkan hasil-hasil itu, akan sadarlah bahwa dia telah rugi besar yang tidak bisa ditebus, yaitu tidak memiliki karunia-karunia dan kenikmatan-kenikmatan. Akibatnya dia terbenam dalam penyesalan. Karena itu, selama masih ada kesempatan, manusia hendaknya memanfaatkan majelis-majelisnya, jangan sampai mejelis-mejelis itu tidak ada zikrullahnya.
Imam al-Baqir as bersabda, “Barangsiapa yang ingin mendapatkan rahmat Allah yang penuh, hendaknya mengatakan ketika bangkit berdiri dari majelisnya: ‘Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Mahaperkasa, dari apa yang mereka gambarkan. Dan salam atas para Rasul; dan segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam’ (Subhana Rabbika Rabbil-‘Izzati ‘ammâ yashifuun, wa salâmun ‘alal-Mursaliin. Wal-Hamdulillâhi Rabbil-‘Alamîn).”
Dan diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq as bahwa Amir al-Mukminin ‘Ali as bersabda, “Barangsiapa yang ingin menerima pahala yang penuh pada hari kiamat, hendaknya membaca ayat-ayat mulia ini setelah shalat.” Juga diriwayatkan dalam sebuah hadis mursal dari Imam ash-Shadiq as bahwa membaca ayat-ayat ini pada akhir suatu majelis merupakan taubat atas dosa-dosa.
Dalam sebuah hadis marfu’, dari Imam as yang bersabda: “Allah Swt berkata kepada ‘Isa as, ‘Wahai ‘Isa, ingatlah Aku dalam dirimu, sehingga Aku akan mengingatmu dalam Diri-ku. Sebutlah Aku dalam majelismu, sehingga Aku akan menyebutmu dalam suatu majelis yang lebih baik daripada majelisnya manusia. Wahai ‘'Isa, lembutkanlah hatimu untuk-Ku dan ingatlah Aku banyak-banyak dalam kesendiriaanmu. Ketahuilah bahwa Aku senang kalau kamu melakukan tabashbush kepada-Ku. Dan hiduplah di situ dan janganlah mati’.” Arti tabashbush adalah anjing yang mengibaskan ekornya, karena takut atau berharap, dan ini menggambarkan intensitas hasrat dan kerendahan hati. Yang dimaksud dengan “hidup” dalam zikir adalah kehadiran dan perhatian hati.
Imam ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman, ‘Orang yang karena mengingat-Ku lalu tidak sampai meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku berikan kepadanya sebaik-baik apa yang telah Aku berikan kepada pemohon yang meminta sesuatu dari-Ku’.”
Ahmad ibn Fahd meriwayatkan dalam ‘Uddat al-Da’i dari Rasulullah saw yang bersabda, “Sebaik-baik perbuatanmu di sisi Allah, dan sesuci-suci dan semulia-mulia perbuatanmu, dan sebaik-baik yang disinari matahari, adalah zikir kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia telah memberitahumu, dengan kata-kata, Aku bersama dia yang menginga-Ku.”
Hadis-hadis mengenai keutamaan zikir, caranya, tata caranya, dan syarat-syaratnya, banyak sekali, sehingga tak dapat disebutkan semuanya dalam halaman-halaman ini. Dan segala puji bagi Allah pada awal dan akhirnya, batiniah maupun lahiriah.
Buah Berzikir
Untuk mencapai tingkat keruhanian yang tinggi yang paling penting adalah sikap ikhlas dalam mengabdi kepada-Nya. Betapa kesederhanaan terkadang lebih efektif dibanding dengan ibadah yang berlebihan namun tanpa keikhlasan. Ada sebuah cerita yang saya dapat dari seorang sahabat saya di mailing list. Sahabat saya ini bercerita bahwa ia dulu pemah datang ke seorang ‘pejalan ruhani’ di sebuah kota untuk meminta nasihat. Di antara nasihatnya, dia pernah bercerita tentang seorang ibu tukang sayur yang dia lihat di pasar di sebuah kota.
Suatu hari, si pejalan ruhani ini pernah melihat seorang ibu tukang sayur di pasar. Tapi, dalam pandangannya, si ibu ini begitu ‘bercahaya’. Ini hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang hidup di pasar, di zaman ini. Lalu ia mendatangi ibu tersebut untuk mengobrol dan bertanya. Ia ingin tahu, apa yang membuat ibu tukang sayur ini, secara spiritual, cukup menonjol dibandingkan manusia lain.
Ia menanyakan apakah ibu tersebut melakukan ibadah, ibadah tertentu, yang berat. Dijawab, tidak. Apakah ia rajin berzikir? Dijawab, tidak. Apakah ia rajin shalat tahajjud dengan banyak rakaat? Dijawab, tidak. Ia bilang, saya hanya seorang tukang sayur, yang pagi-pagi sekali harus berangkat dari rumahnya. Sepulang dari pasar, ia pun harus mempersiapkan dagangannya untuk besok. Setelah malam, biasanya dia kelelahan. Dan harus tidur cepat karena pagi-pagi sekali besok dia harus berangkat. Itulah yang dia lakukan setiap hari. Rasanya ibadah saya biasa-biasa saja, kata ibu itu.
Si pejalan ruhani ini meminta ibu itu mengingat-ingat hal apa yang biasanya dilakukannya. Sebab mungkin saja itu hanya sebuah hal yang, dalam pandangan manusia, tidak begitu berarti. Ibu ini menjawab begini, kurang lebih, Rumah saya kecil, gubuk, di daerah yang agak jauh dari perumahan. Tidak ada kamar mandi. Sumur pun jauh dari rumah, harus melewati kebun. Biasanya kalau malam air di gentong sudah habis. Saya orang yang penakut. Sebenarnya saya ingin shalat malam, tapi takut, karena untuk ke air malam-malam harus melewati kebun. Jadi karena takut, tapi ingin shalat malam, jadi setiap malam saya bangun sebentar. Lalu duduk bersimpuh di tikar tempat dia biasa tidur. Tidak shalat, karena tidak berwudhu. Hanya berdoa saja, karena Allah pasti tahu kalau saya takut ke jamban, harus lewat kebun. Setelah itu, ya tidur lagi. Tidak bisa lama-lama, sebab kalau kelamaan nanti saya kesiangan bangun.
Rupanya inilah yang biasa dilakukan oleh ibu itu, setiap malam, selama bertahun-tahun. Dari cerita itu, si pejalan ruhani ini memberi nasihat kepada saya. Bahwa sebagaimana kita harus mempersembahkan sesuatu yang se’spesial’ mungkin untuk orang yang kita cintai, begitu juga kepada Allah. Kita harus menemukan apa ibadah kita yang spesifik, yang khusus dipersembahkan hanya untuk Allah. Bisa saja itu merupakan hal yang ‘berat’ seperti tahajjud seratus rakaat, misalnya, tapi bisa pula itu hanya hal yang sangat sederhana, benar-benar tergantung kemampuan kita. Intinya, kita harus memiliki ‘sesuatu’ yang khusus hanya kita persembahkan pada Allah.
Kisah ibu tadi menggambarkan bahwa keikhlasan dalam mengabdi kepada-Nya walaupun terlihat dengan cara yang sederhana namun telah memberikan nilai spiritual yang tinggi. Ibu ini selama hidupnya telah menjalani suatu tradisi yang ada dalam tradisi tasawuf, yaitu berzikir dan berdoa kepada Allah dengan waktu yang khusus sehingga menghasilkan kualitas ruhani yang tinggi.
Memang di kalangan kaum sufi, mereka dalam melaksanakan zikir selalu dilakukan dengan begitu asyik dan khusyuknya karena merasakan kenikmatan, kelezatan dan kemanisan. Nah ibu tadi, selama menjalankan doa-doanya telah mengamalkan ajaran sufi ini, walaupun ibu tadi tidak pernah berguru kepada seorang guru sufi (Mursyid). Namun semuanya tidak menjadi hambatan, karena kecintaannya pada Allah mengalahkan segala kenikmatan di waktu malam.
Dalam tradisi tasawuf, jika seseorang melakukan zikir dan berdoa, maka ia akan begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Abu Sa’id al-Harraz berkata, “Apabila Allah hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu zikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’ dan dibukakanlah kepadanya ‘Hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.”
Dalam hal ini, kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah. Kejauhan itu lupa hati. Kedekatan itu ingat hati. Kejauhan itu hijab (tertutup).
Kedekatan itu kasyaf (terbuka). Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur. Gelap itu jahil, Nur itu Ma’rifat. Rasulullah saw bersabda dalam hadis, “Aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepada-Ku, apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diri-Ku, dan apabila ia mengingat-Ku dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudsi diriwayatkan oleh Bukhari).
Seorang guru sufi pemah berkata, “Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepada-Nya, dan mengenalkan engkau dengan-Nya.” Orang yang menjalankan thariqat-zikir secara sungguh-sungguh tidak mempuhyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak was-was dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah Swt,
...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati rnenjadi tenang. (QS. ar-Ra’d:28).
Zikir Menyucikan Hati
Dalam diri manusia yang terdiri dari wujud jasmani dan ruhani terdapat berbagai penyakitnya masing-masing. Penyakit jasmani dapat disembuhkan dengan pengobatan medis, sedangkan penyakit ruhani proses penyembuhannya harus melalui metode khusus atau yang biasanya disebut riyadhah. Riyadhah ini berfungsi menyembuhkan penyakit ruhani seperti sombong, kikir, dengki, pemarah, jauh dari Allah dan lain-lain.
Proses penyembuhan penyakit ruhani ini (riyadhah) meliputi bertaubat, membersihkan tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti sunah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak makan/minum yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, menahan diri dari ajakan syahwat, dan lain-lain. Selain itu proses riyadhah ini adalah dengan metode yang disebut zikrullah, berzikir dengan menyebut nama Allah. Zikir ini berfungsi sebagai metode untuk membersihkan hati sehingga menjadi suci. Dengan zikir inilah manusia dapat meraih Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang, benderang dengan izin Tuhannya.
Kini, banyak orang di kota-kota besar gandrung untuk menangkap Nur Ilahi ini. Tengok saja berbagai majelis taklim sekarang ini marak dengan orang yang berzikir, padahal mereka adalah orang-orang yang dari sisi materi tidak kekurangan, namun mereka merasakan kekurangan dari sisi ruhaninya. Memang zikir merupakan menjadi metode yang tepat untuk penyembuhan berbagai penyakit ruhani.
Tentu saja, metode zikir ini tidak tanpa alasan. Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang masalah ini seperti:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-nikmat)Ku. (QS. Al-Baqarah:152)
Dan juga ayat,
Wahai orang,orang yang benman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktupagi dan petang”, “Adapun orang laki-laki yang banyak berzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disediakan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab:35).
Demikian pula ayat,
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka, menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS. ar-Ra’d:28).
Selain ayat-ayat al-Quran, banyak juga hadis Nabi saw yang mengajarkan tentang zikir ini. Nabi Muhammad saw dalam satu hadisnya mengatakan, “Bahwasanya hati itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah zikrullah”, “Bagi setiap sesuatu ada alat pernbersihnya, dan alat pembersih hati adalah “zikrullah”, dan “Jauhkanlah setanmu itu dengan ucapan ‘Lâ Ilâha illallah, Muhammadur Rasulullah’, katena setan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan seekor unta disebabkan banyaknya penunggang dan banjirnya muatan di atasnya”, “Zikir kepada Allah Swt , jadi benteng dari godaan setan”, dan “Allah berfirman ‘Lâ Ilâha illallah adalah bentengKu. Barangsiapa rnengucapkannya, rnasuklah ia ke dalarn benteng,Ku. Dan barangsiapa masuk ke dalam benteng-Ku, maka amanlah ia dari azab-Ku. (Hadist Qudsi).”
Pengertian umum zikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti shalat, zakat, puasa, haji, membaca al-Quran, dakwah, belajar, berusaha, dan lain-lain yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah zikir. Akan tetapi di samping melaksanakan hal-hal tersebut, biasanya para pesuluk melaksanakan thariqat-zikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati).
Adapun tahap-tahap zikir adalah pertama berzikir dengan lidah (zikir zahar, zikir dengan suara keras) , kemudian meningkat secara teratur ke zikir hati (zikir khafi, zikir yang tidak bersuara karena di dalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke zikir sirri (zikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berzikir sirri ini tidak akan pemah terputus zikirnya meskipun ia terlupa berzikir.
Dengan berzikir ini para pesuluk dapat membersihkan cerrnin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara sedikit demi sedikit. Pada saat itu, akan terbangun suatu penyesalan atas dosa-dosa yang dilakukan sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Para pesuluk tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertaubat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Ilahi yang kemudian merasuk ke seluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan.
Jika kita melaksanakan zikir dengan asyik dan khusyuk maka kita akan merasakan kenikmatan, kelezatan dan kemanisannya. Dengan berzikir, maka jiwa manusia akan begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah, dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Salah seorang sufi termasyhur, Abu Sa’id al-Harraz berkata, “Apabila Allah hendak mengangkat seorang hambanya menjadi wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu zikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya~ ke “majlisul uns” (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat darinya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’, dan dibukakanlah kepadanya ‘hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia, Allah), maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.”
Dalam hal ini, kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah. Rasulullah saw bersabda, “Firman Allah, Aku ini sebagaimana yang disangka oleh hamba-Ku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepada-Ku, apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diri-Ku, dan apabila ia mengingat-Ku dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudsi, Bukhari).
Dengan demikian, orang yang menjalankan thariqat-zikir secara sungguh-sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak was-was dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah Swt, ...(Yaitu) orang,orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikrullah. Ingatlah hanya dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra’d:28)
Mengerjakan Ritual Untuk Meraih Spiritual
Salah satu sifat manusia adalah rasa ingin tahu (inkuisitif) terhadap segala sesuatu yang dia alami dan kerjakan. Rasa ingin tahu ini mengantarkan manusia untuk berpikir rasional dan mencari penjelasan terhadap apa yang dia alami dan kerjakan. Sifat inilah yang seringkali mendorong kaum Muslim untuk merasionalisasi praktik-praktik ajaran Islam seperti berwudhu, shalat, zakat dan lain-lain.
Sebenamya hal ini merupakan gejala yang baik, karena akan menambah kesadaran kaum Muslim terhadap nilai-nilai Islam, dan menjadikan kehidupan religiusnya lebih kokoh. Tetapi dalam perjalanan inkuisitifnya tentang Islam, kaum Muslim seharusnya tidak hanya terpaku pada penjelasan-penjelasan yang hanya bersifat material semata dari praktik-praktik ibadah Islam, tetapi juga memperluas cakrawalanya pada sisi immaterial yang merupakan pintu ke gerbang menuju dunia spiritual Islam.
Tentu saja dalam memahami nilai-nilai spiritualitas dari praktik-praktik ibadah ini kita harus mengacu pada al-Quran dan Sunah. Sehingga ketika melaksanakan ajaran Islam kita mendapatkan ke dua sisi itu, aspek spiritual dan benar dalam syariat.
Selanjutnya, ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum memasuki sisi spiritual ini. Apakah ritual (upacara keagamaan) mempunyai hubungan dengan penyucian spiritual? Jawaban atas pertanyaan seperti itu akan mencerminkan mentalitas sebagian besar kaum Muslim. Misalnya ketika ditanya, “Mengapa wudhu dan mandi diwajibkan?” atau “Mengapa benda-benda tertentu dianggap sebagai najis dalam Islam?” Umumnya banyak orang akan mengatakan bahwa hukum tersebut dibuat agar kita tetap dalam keadaan bersih, dan bahwa Islam adalah agama kebersihan.
Memang Islam mengharapkan para pengikutnya agar bersih secara fisik, bahwa Islam adalah agama kebersihan, dan peraturan thaharah dapat membantu menjaga kebersihan diri seseorang. Dalam hal ini, sesungguhnya Islam telah berhasil dalam mendorong kebersihan perorangan, tidak hanya ketika dibandingkan dengan Arabia pada abad ketujuh, juga ketika dibandingkan dengan standar kesehatan perorangan bangsa Eropa sampat abad kesepuluh.
Muhammad Ridhwi dalam buku Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, mengutip kesaksian Wright bahwa ketika ratu Victoria naik takhta pada tahun 1837, tidak ada kamar mandi di Istana Buckingham. Pada masa-masa itu pendapat yang lebih waras mengakui bahwa keseringan mandi akan menambah sakit rematik dan keluhan jantung. Menjelang akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, ketakutan terhadap air mulai runtuh, meskipun mandi masih dianggap eksentrik kecuali untuk alasan pengobatan.
Will Durant, salah satu ahli sejarah terkemuka dunia menulis bahwa kebersihan pada abad pertengahan di Eropa tidak berdampingan dengan kesalehan. Ia menulis, salah satu hasil dari perang Salib adalah diperkenalkannya Eropa dengan mandi uap gaya Muslim. Dan di kerajaan Ottoman pada masa itu kebersihan pribadi sudah merupakan hal biasa, yang pada saat itu sebagian pendeta Kristen lebih membanggakan diri karena sanggup menghindari air. Sedangkan kaum Muslim diwajibkan berwudhu sebelum memasuki masjid atau mendirikan shalat; dan dalam Islam kebersihan benar-benar berdampingan dengan kesalehan. Demikianlah tulis Will Durant.
Tetapi menekankan secara khusus pada aspek fisik dari aturan-aturan thaharah belumlah mencerminkan nilai sebenarnya dari ajaran Islam. Kebersihan fisik bukanlah alasan utama yang mendasari pembersihan ritual. Jika Islam menerapkan wudhu dan mandi sekedar untuk kebersihan fisik semata, maka mengapa orang yang baru saja kehujanan tetap harus melakukan wudhu sebelum mendirikan shalat? Jika kebersihan ritual hanya untuk kebersihan fisik, maka mengapa ada tayamum? Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi bila tidak ada air, tapi tayamum dilaksanakan dengan ‘kotoran’ atau tanah, dan jelas-jelas menyebabkan ketidakbersihan fisik.
Di sinilah kita melihat bahwa ajaran Islam selalu menekankan pada dua bidang yang harus disucikan, fisik dan spiritual. Memang wudhu dan mandi berkaitan dengan penyucian jasmani tapi ada alasan yang lebih luhur yang mendasari dua pembersihan ritual ini, yaitu menjadi pintu gerbang menuju penyucian spiritual. Wudhu dan mandi adalah awal kita memasuki prosesi ibadah ritual kepada Allah Swt dan juga untuk mensucikan batin dari godaan setan. Nilai kesucian dan kebersihan dari berwudhu ini akan mengantarkan kita pada ketenangan dalam menjalankan ibadah ritual.
Hal ini dapat dicontohkan, bahwa jiwa rnanusia itu bagaikan bola lampu. Jika bola lampunya dilindungi dari debu dan kotoran, maka ia akan rnenerangi lingkungannya; tapi jika debu dan kotoran dibiarkan menumpuk pada bola lampu rnaka ia tidak akan mampu menerangi lingkungannya seterang sebelumnya. Sama halnya, jiwa manusia harus dilindungi dari ‘kotoran’ spiritual dlan ketidakbersihan, jika tidak maka ia tidak akan dapat membimbing seseorang selurus sebelumnya.
Allah Swt berfirman,
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari! Demi bulan ketika ia mengiringi matahari. Demi siang ketika ia menerangi (setiap sesuatu)! Dengan malam ketika ia menutupi siang! Demi langit dan Dia yang membangunnya! Demi bumi dan Dia yang menghamparkannya! Dan demi jiwa dan Dia yang menyempurnakannya! Maka Dia mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Beruntunglah orang yang menyucikan jiwa dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams:1-10)
Setelah bersumpah dengan tanda-tanda ciptaan-Nya yang sangat agung. Allah Swt mengatakan bahwa jiwa manusia yang suci memiliki kemampuan untuk memahami apa yang benar dan apa yang salah asalkan jiwa itu disucikan dan tidak dirusak. Ayat ini menjelaskan bahwa jiwa manusia, persis sebagaimana jasadnya bisa menjadi tidak suci dan kotor secara spiritual. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Jiwa manusia adalah sebuah permata yang indah; barangsiapa menjaganya maka ia mempertinggi (nilainya) dan barangsiapa merendahkannya maka ia mengurangi (nilainya).”
Karena jiwa manusia bagai permata maka ia harus dilindungi dari segala kotoran, supaya nilainya tidak berkurang. Kotoran-kotoran yang dapat merusak jiwa manusia secara kolektif disebut dosa. Penumpukan dosa akibat perbuatan kita dapat menjadikan jiwa manusia tidak efektif dan dalam ungkapan al-Quran ‘menutupi hati’. Firman Allah Swt,
Apapun (dosa) yang telah mereka lakukan telah menutup hati mereka. (QS. al-Muthaffifin: 14)
Dengan melakukan dosa, tidak hanya jiwa seorang Muslim menjadi tertutup tapi juga secara spiritual ia berpaling dari Allah Swt. Dosa menciptakan jarak antara Tuhan dan manusia. Sehingga manusia menjadi kehilangan kesejukan nilai ruhani, yang mengakibatkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Manusia juga sering mendapatkan rasa putus asa dan gelisah dalam kehidupannya akibat jauh dari Tuhannya.
Dengan demikian kita memahami bahwa jiwa kita pun dapat menjadi tidak suci karena dosa-dosa. Untuk membersihkan tubuh kita dari najis fisik, kita menggunakan air, demikian pula, untuk membersihkan jiwa kita dari kotoran spiritual, kita menggunakan taubat. Taubat secara harfiah berarti ‘kembali’, tapi kata ini digunakan dalam terminologi Islam untuk ‘penyesalan’. Dengan kata lain, dengan bertaubat seorang pendosa ‘kembali kepada Allah dalam keadaan menyesal’. Penyesalan ini menjadi awal manusia untuk menjalani kehidupan spiritualnya di hadapan Allah Swt.
Istiqamah Jalan Spiritual Menuju Keberhasilan
Kekuatan manusia yang paling mendasar sebenarnya adalah kekuatan ruhaninya. Dalam berbagai ayat al-Quran disebutkan beberapa kekuatan yang mampu mengalahkan dimensi hewani yang ada dalam diri manusia. Husain Mazhahiri, seorang guru akhlak dari Iran, menyebut ada lima kekuatan spiritual yang mampu memberikan kekuatan ruhani. Pertama adalah memperhatikan semua kewajiban agama, terutama shalat, yang menjadikan manusia memiliki keimanan emosional di dalam hati, yang mendorong hati, membenarkan masalah mabda’ (ibadah khusus) dan ma’ad. Ketika hati membenarkan masalah mabda’ dan ma’ad maka manusia mampu mengalahkan nafsu amarahnya.
Sesungguhnya faktor kemenangan para syuhada Islam khususnya pemuda di medan peperangan adalah keimanan mereka yang tertanam kokoh di dalam hati mereka, yang mereka dapatkan melalui pemahaman dan pengkajian terhadap masalah mabda’ dan ma’ad. Oleh karena itu mengorbankan nyawa bagi mereka adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan kekuatan spiritual yang kedua adalah sabar di dalam menghadapi kesulitan, sabar di dalam beribadah, dan sabar di dalam menjauhi maksiat. Barangsiapa mampu mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat, maka akan muncul di dalam dirinya suatu keadaan yang dinamakan oleh al-Quran nafsu lawwamah, atau yang diistilahkan dengan sebutan “nurani akhlak”. Nafsu lawwamah ini banyak membantu manusia di dalam memenangkan peperangan dahsyat melawan dimensi hewaninya. Allah berfirman,
Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. (QS. Thaha:25-28)
Kekuatan penolong ketiga adalah taubat. Taubat ialah benturan atau pertempuran batin yang membimbing manusia ke arah kemenangan dan keberhasilannya menghadapi nafsu ammarah. Selanjutnya yang keempat adalah kelapangan dada. Barangsiapa ingin bisa mengalahkan berbagai kesulitan maka dadanya harus lapang. Karena, kebanyakan maksiat adalah hasil dari kesempitan dada dan ketidakmampuan menanggung berbagai tekanan hidup atau kesulitan-kesulitan duniawi. Kelapangan dada dan sikap tenang di dalam berpagai urusan, memberikan kepada manusia kemampuan untuk menang di dalam peperangan di dalam diri manusia.
Sedangkan kekuatan yang kelima adalah sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan. Ini terdapat dalam al-Quran yang berbunyi,
Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. (QS. Al-Insyiah:7)
Ini dibuktikan dalam banyak sejarah manusia besar di dunia. Misalnya, Thomas Alva Edison penemu lampu pijar, pada mulanya adalah orang yang dianggap bodoh oleh guru sekolahnya. Namun berkat kesungguhannya, ia mampu menepis image itu.
Salah seorang sahabat Imam Ali, Maitsam at-Tammar telah sampai kepada derajat yang sangat tinggi karena keistiqamahannya. Meskipun dia seorang buta huruf yang tidak mengetahui baca dan tulis dan pada permulaan hidupnya dia adalah seorang budak, namun kemudian dia mampu menyertai Amirul Mukminin Ali, baik ketika berdiri maupun ketika duduknya. Maitsam at-Tammar telah mencapai derajat sebagai sahabat yang sangat dekat dengan Amirul Mukminin. Ini bukan sesuatu yang ringan karena hal ini memerlukan potensi dan kemampuan.
Amirul Mukminin berkata, “...Sesungguhnya di sini terdapat ilmu yang banyak sekali –sambil beliau memberi isyarat ke dadanya, akan tetapi para pencarinya sedikit sekali. Ketika aku tiada engkau akan menyesal karena sedikitnya.” Salah sorang yang mampu memahami ilmu Imam Ali adalah Maitsam at-Tammar. Ini diceritakan dalam satu kisah yang menyentuh perasaan.
Ketika Maitsam at-Tammar ditangkap oleh Ibn Ziyad, ia berkata, “Imam Ali telah berkata bahwa engkau akan memotong lidahku setelah engkau menggantungku di tempat yang tinggi.” Ubaidillah bin Ziyad berkata, “Saya akan menggantungmu namun saya tidak akan memotong lidahmu, sehingga engkau bisa mendustakan perkataan tuanmu, Imam Ali.”
Maka diambillah tambang, dan kemudian Maitsam diikat dengan kuat. Selanjutya dia dikerek ke atas, dan dibiarkan tergantung di antara langit dan bumi. Bagi Maitsam keadaan itu cukup menguntungkan; dia menjadikan keadaan dirinya yang tergantung sebagai mimbar. Maka mulailah dia menceritakan keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin kepada masyarakat. Kemudian Maitsam berkata, “Wahai manusia sesungguhnya aku mengetahui ilmu yang telah lalu, ilmu yang akan datang, dan ilmu yang sedang terjadi. Maka bersegeralah datang kepadaku supaya aku memberitahukanmu.” Kemudian dia menambahkan, “Ilmu pengetahuan yang aku miliki semuanya berasal dari ilmu Ali bin Abi Thalib, si Pintu Kota Ilmu Rasulullah. Dia telah mengajarkannya kepadaku, karena aku adalah sahabat rahasianya. Salam Allah atasnya.”
Perkataan Maitsam at-Tammar ini membuat manusia bertanya-tanya dan berkumpul di sekitarnya, sementara dia dalam keadaan tergantung. Maka sampailah berita kepada Ibn Ziyad. Mendengar berita itu Ibn Ziyad merasa takut orang-orang akan bangkit berontak melawannya dan merusak istananya. Lalu dia pun memerintahkan para pengawalnya untuk memotong lidah Maitsam at-Tammar.
Tiga hari kemudian datanglah seseorang ke tempat siksaan. Orang itu mengatakan, “Wahai Maitsam, saya mengetahui perjuanganmu sementara orang lain tidur, dan sayra mengetahui bahwa keistiqamahanmu adalah semata-mata karena Allah. Akan tetapi supaya Ibn Ziyad senang maka saya akan membunuhmu.” Maka laki-laki itu pun menancapkan tombak ke tubuh Maitsam, sehingga dengan begitu Maitsam menemui kesyahidannya.
Kesungguhan Maitsam telah memenangkan pertempuran melawan dimensi hewaniyahnya, ini merupakan jihad akbar. Banyak ucapan-ucapan keluarga Nabi saw yang menekankan tentang pentingnya kesungguhannya ini. Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim berkata, “Jauhilah olehmu sifat malas dan bosan, karena keduanya itu akan mencegahmu dari memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat.” Demikian pula dengan ayat al-Quran,
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [Kebahagiaan] negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. (QS. Al-Qashash:77)
Sesungguhnya seruan Allah di atas itu, secara khusus ditujukan kepada Rasulullah saw dan secara umum ditujukan kepada seluruh hamba-Nya. Ayat-ayat di atas menekankan kepada kita untuk bersungguh-sungguh di dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Barangsiapa mengerjakan yang demikian itu maka Allah menyampaikan kepada apa yang diinginkannya di dunia dan di akhirat.
Manusia dan Kebahagiaan
Persoalan kebahagiaan merupakan masalah yang kerap hadir dalam diri manusia. Seluruh manusia berusaha untuk mendapatkan apa yang disebut dengan kebahagiaan itu. Namun terkadang manusia sulit membedakan antara kenikmatan dan kebahagiaan, sehingga manusia sering terjebak dengan kebahagiaan semu.
Dalam hal ini, faktor yang menghambat manusia mencapai kebahagiaan adalah kesibukkannya dengan indera, dan guncangan psikis yang bersifat syahwat dan emosi yang berpengaruh terhadap pemahamannnya. Misalnya, jika manusia sudah mempunyai kekayaan, kecantikan atau kedudukan, manusia berpikir bahwa ia telah mencapai kebahagiaan. Padahal sejatinya, hal-hal itu bukanlah kebahagiaan tapi hanya kenikmatan. Karena kebahagiaan manusia pada dasarnya bukan pada kemampuan memperoleh kenikmatan inderawi, yang bersifat tidak abadi.
Kita dapat melihat di dunia kehidupan orang-orang kaya yang tidak pernah puas akan kekayaaannya, begitu pula orang yang berkuasa tidak pernah lelah untuk meraih kekuasaan yang lebih besar lagi. Bahkan dalam realitas sehari-hari kita melihat mereka menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan semua itu. Mereka melihat bahwa dengan mendapatkan semua itu maka kebahagiaan akan tercapai, padahal semua itu hanyalah kebahagiaan semu yang bersifat sementara dan bahkan dapat menjadi sumber kerusakan manusia.
Dengan orientasi pada kenikmatan inderawi maka manusia sebenarnya telah menegasikan makna kemanusiaannya sendiri. Karena akal dan hati yang merupakan sarana-sarana yang mampu menuntun manusia mencapai kebahagiaan telah tertutup. Padahal, jika manusia mampu mencapai cahaya akal dan memahami alam gaib serta cahaya Ilahi, maka manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan ia akan mencapai nilai kemanusiaan yang semakin tinggi. Sebaliknya, jika manusia disibukkan untuk memenuhi semua kenikmatan fisiknya, maka daya rasionalnya menjadi tumpul, pintu makrifat tertutupi, serta jiwa bahîmiyah menjadi sesuatu yang dominan atasnya sementara jiwa insâniyah-nya sirna.
Salah seorang pemikir Islam terkemuka, Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, “Sesungguhnya asal-usul kondisi manusia adalah kesibukannya dalam mencintai-Nya. Kesibukkan manusia untuk memenuhi berbagai kenikmatan fisik dan keindahan inderawi menghalanginya untuk beribadah dan berzikir. Jika pengetahuan itu merupakan tingkatan tertinggi pada makhluk dan kenikmatan inderawi merupakan penghalangnya, maka kenikmatan inderawi merupakan sesuatu yang paling buruk dari sisi kepentingannya.”
Disinilah, menurut ar-Razi bahwa manusia jika ingin mencapai kebahagiaan hendaknya ia mencari kesempurnaan ilmu yang merupakan suatu kenikmatan pada saat sekarang dan kebahagiaan pada masa yang akan datang. Sebab penerimaan jiwa terhadap al-jalâyâ al-qudsiyah dan al-ma’ârif al-ilâhiyah tidak berdasarkan pada ketergantungan jiwa dengan badan seperti yang terjadi pada kenikmatan fisik, bahkan ketergantungan tersebut menjadi penghalang untuk mencapai kesempumaan jiwa. Jika ketergantungan itu terputus, maka al-jalâyâ al-ilâhiyah akan memancar.
Jadi, kebahagiaan manusia terletak pada mengarahnya ruh menuju alam yang paling tinggi dan menghindarnya dari alam yang paling rendah. Sesungguhnya orang-orang yang berorientasi ke alam kudus akan menemukan keabadian tanpa kefanaan, keagungan tanpa kehinaan, kenikmatan tanpa penderitaan, dan rasa aman tanpa rasa takut.
Pandangan ar-Razi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan setiap eksistensi ada pada inti perilakunya yang ia lakukan atas dasar kesempurnaan dan keutuhan. Berdasarkan hal itu, maka kebahagiaan manusia ada pada inti perilaku kemanusiaan yang ia lakukan dan wujudkan kesempurnaannya, yaitu kemampuan membedakan, berpikir, dan mengambil hikmah.
Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa hikmah terbagi menjadi dua bagian, yaitu hikmah yang bersifat praktis. Dengan hikmah teoretis dimungkinkan memperoleh pendapat yang benar dan dengan hikmah praktis dimungkinkan mendapatkan jalan utama yang menjadi sumber semua perilaku yang baik. Sehingga dengan hikmah inilah manusia akan mendapat pengetahuan yang benar dan perilaku yang baik yang akhirnya mengantarkan manusia pada gerbang kebahagiaan.
Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin mencapai kebahagiaan maka ia harus menyempurnakan kedua bagian dari hikmah tersebut. Hikmah teoretis dapat diperoleh dengan mempelajari semua ilmu dan mengenal semua maujûdât (makrokosmos) , sehingga ia dapat melihat tujuan akhir (ultimare goal), yaitu Sang Pencipta semua maujûdât. Manusia yang berpengetahuan akan melihat betapa alam yang indah ini mempunyai sistem yang dahsyat sehingga terjadi keteraturan yang luar biasa. Bahkan para ilmuwan telah melihat bahwa memang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Seperti apa yang dikemukakkan oleh Einstein bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu. Allah berfirman,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. al-‘Imrân: 190)
Sedangkan hikmah praktis dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak, dan itu dilakukan dengan mengurutkan daya dan perbuatannya yang utama, sehingga tidak saling beradu, tetapi berdamai dan semua perbuatannya muncul sesuai dengan dayanya yang terorganisasi dan teratur sebagaimana seharusnya. Dengan ketekunan dan kesabaran dalam melakukan upaya perbaikan akhlak itu maka ia akan mencapai derajat kesempurnaan yang akhimya mengantarkan pada kebahagiaan.
Sesungguhnya kebahagiaan yang paling tinggi, dalam pandangan Ibnu Miskawaih, hanya akan terwujud jika manusia dapat berkembang dari makrifat maujûdât (makrokosmos) ke ma’rifatullah. Dan orang yang akan mampu mencapai tingkat ini atau maqam ini adalah orang yang akan merasakan kebahagiaan secara total. Dan dialah orang yang beruntung mendapat hikmah. Sebab, ia bermukim bersama ruh-ruh orang-orang yang paling luhur. Ia mengambil rahasia hikmah dari mereka, mendapatkan sinar ilahi, memperoleh tambahan keutamaan sesuai dengan tingkat perhatiannya terhadap hikmah dan minimnya halangan. Jika ada orang yang mencapai tingkat ini, maka ia telah mencapai ujung dan akhir kebahagiaan.
Dengan demikian jika manusia dapat menyempurnakan kedua hikmah tersebut, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Itulah sebabnya kita sebagai manusia tidak boleh tertipu dengan silaunya dunia yang kerap menutup mata hati kita untuk meraih kedua hikmah itu.
Penghalang mencapai manusia Bahagia
Manusia merupakan makhluk termulia di alam ini. Ia terdiri atas dua kekuatan yang berbeda, kekuatan ruhani dan kekuatan jasmani. Selain watak jasmani yang juga dipunyai hewan, manusia mempunyai banyak kebutuhan ruhani yang apabila dipenuhi akan memberinya kesempatan besar untuk mencapai kesempurnaan. Bilamana salah satu dari kedua sisi ini menjadi lebih kuat dari yang lainnya, maka yang lemah akan semakin lemah dan kalah.
Jadi penyempurnaan pada dua sisi ini, baik yang spiritual maupun material merupakan tujuan ajaran Islam. Perjuangan manusia untuk mencapai keberhasilan kedua sisi ini merupakan jihad akbar. Jihad besar dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, yang merupakan cita-cita manusia. Dalam hal ini kita seharusnya mengenal berbagai penghalang dalam pencapaian menuju kesempurnaan manusia.
Di antara perkara-perkara penting dalam jihad akbar adalah mengenali penyakit-penyakit atau mengindentifikasi-nya. Sebab, seorang pesuluk yang belum mengetahui tempat-tempat persembunyian musuh yang hakiki, tempat-tempat yang diperkirakan munculnya penyakit-penyakit hati, dan godaan iblis maka ia tidak akan mampu melawannya dan mengadakan pengaruh-pengaruhnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Baqir as berkata, “Di dalam hati ada dua telinga; telinga yang padanya dihembuskan bisikan-bisikan setan dan telinga yang padanya dihembuskan ajakan-ajakan malaikat. Maka, Allah menguatkan seorang mukmin dengan malaikat. Itulah makna firman Allah, ...dan Allah menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya (QS. al-Mujadilah:22).
Pergumulan antara godaan tentara iblis yang dilaknat dengan tentara Rahmani untuk menguasai Arsy ar-Rahman, yaitu hati. Dengan senjata cinta keduniaan, kecintaan pada diri, serta jaring-jaring keinginan rendah atau syahwat dan kelezatan dunia iblis berusaha menggoda manusia agar menjauhi pencipta-Nya. Dalam pergulatan itu, selama pesuluk tidak memasuki arena orang-orang ikhlas maka ia tidak akan berada di tempat yang aman dari musuh-musuh yang hakiki, sebagaimana dikatakan iblis yang dilaknat. Firman Allah,
Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba- Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS. Shad:82-83)
Jadi keikhlasan merupakan senjata dalam jihad akbar itu. Keikhlasan inilah yang akan menghantarkan pesuluk untuk mencapai kemenangan ketika melakukan riyadhah dan jalan sayr. Dengan demikian, keikhlasan itu sudah merupakan prasyarat yang harus dipenuhi, dan selanjutnya seorang pesuluk harus men genal penyakit dan hal-hal yang merintangi untuk pencapaian tujuannya.
Penyakit yang akan memberi rintangan pada manusia ketika hendak melaksanakan tujuannya haruslah segera dikenali dan ditumpas. Penyakit-penyakit ini diungkapkan dengan dosa dan kotoran yang pada umumnya muncul dari hubungan dengan pohon tabiat, cinta diri dan egosentris. Sayyid Abbas Nuruddin, dalam buku Menerbitkan Cahaya Diri, menyebutkan ada empat tingkatan penyakit yang harus dikenali dan dihilangkan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan. Penyakit pada tingkatan pertama ini akan menyerang pada bagian fisik kita, yaitu badan. Penyakit jasmani ini dalam mengobatinya hendaklah dengan pergi kepada dokter yang ahli dan obat yang manjur. Jika tidak, penyakit itu akan menjadi semakin parah sehingga kadang-kadang mengerogoti seluruh tubuh. Tugas pesuluk adalah memelihara jasmani dan kesehatannya karena Allah menghendaki kehidupannya. Kalau tidak begitu, ia tidak akan dapat melangkahkan kaki di arena ini. Jika pesuluk tidak berhasil dalam mengobati penyakit-penyakit jasmani setelah mencurahkan segenap upaya yang diperlukan maka hendaklah ia menyerahkan urusannya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Dialah yang lebih mengetahui apa yang baik baginya.
Penyakit pada tingkatan kedua ini berupa khayalan. Ini adalah bisikan-bisikan setan dan bentuk-bentuk khayalan kotor yang muncul dari hubungan dengan alam tabiat dan cinta pada keduniaan yang merupakan induk segala kekeliruan. Di antara penyakit-penyakit khayalan adalah kesibukan pesuluk dengan selain zikir kepada Allah atau berpikir untuk kepentingan kehidupannya. Ringkasnya, pesuluk harus menundukkan dan melatih khayalan sehingga ia menjadi pengikut kebenaran, tidak berpaling pada hal-hal yang batil dan bentuk-bentuk kerusakan dan tidak bercampur dengan bisikan setan yang dilaknat. Sebagian orang menganggap bahwa menyucikan khayalan merupakan pekerjaan mustahil. Namun, tidak demikian keadaannya. Memang diperlukan kesungguhan yang besar, sehingga ia dipandang sebagai bagian dari penyucian-penyucian batin yang sangat berat. Menolak pikiran-pikiran kotor dalam hal ini merupakan pengobatan terbaik.
Pada tingkatan ketiga, penyakit ini berada pada akal manusia. Penyakit ini tersembunyi di dalam kesibukkannya dengan hal-hal yang tidak benar, seperti berdebat demi kemenangan ego pribadi, membuat rencana-rencana makar untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak berdosa dan mendatangkan kerusakan. Ringkasnya, mengolah akal dengan sesuatu yang tidak sepatutnya, bukan untuk hal-hal yang mulia dan fardhu-fardhu syariat di antara pengetahuan-pengetahuan Rabhani dan membela akidah kaum Muslim, dipandang sebagai dosa dan kemaksiatan dalam tingkatan ini.
Sedangkan penyakit hati merupakan tingkatan penyakit keempat. Salah satu yang dominan dari penyakit ini adalah sifat kemunafikan. Sebagaimana al-Quran telah menyebutkan bahwa kemunafikan merupakan penyakit hati. Allah berfirman,
Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka; dan bagi mereka ada siksaan yang pedih... (QS. Al-Baqarah:10)
Penyakit kemunafikan bukan saja mencegah orang mencapai kebenaran atau bahkan berusaha menemukannya tetapi juga menjadi suatu tembok tak terbobolkan yang menghadang di tengah jalan untuk mendapatkan akhlak mulia. Tentu saja semua itu menghalangi jalan perilaku yang pantas dan keutuhan psikologis dan menentang kehidupan bahagia yang berlandaskan kesempurnaan ruhani.
Munafik tak syak merupakan salah satu sifat yang paling dibenci. Adalah kodrat manusia untuk menerima kebahagiaan dan kebebasan dan untuk meningkatkan diri ke tingkat martabat yang tertingggi. Namun ketika manusia tercemar dengan dusta, pelanggaran janji dan pengkhianatan amanat, kemunafikan mendapatkan arena luas dan menjadi siap sedia menembus masuk ke kodrat yang tercemar seperti itu. Kemudian terus maju sampai akhirnya menjadi penyakit yang parah.
Demikian pula, riya dan ujub merupakan jenis-jenis penyakit hati. Barangkali sebagian besar penyakit akhlak muncul dari penyakit hati yang memerlukan dokter ahli dan pengawasan yang seksama. Jika tidak maka penyakit itu makin merasuk ke dalam diri manusia, dan menjadi sumber pengingkaran kepada Allah.
Penyakit-penyakit pada masing-masing tingkatan di atas memerlukan penanganan yang berbeda-beda untuk penyembuhannya. Penyakit jasmani memerlukan orang yang terampil dalam pengobatan ini yaitu dokter.
Namun tiga penyakit pada tingkatan lain, memerlukan suatu metode khusus untuk penyembuhannya. Pada umumnya, timbulnya penyakit-penyakit ini bersumber dari kejatuhan ke dalam tabir-tabir nurani berupa egoisme dan akibat-akibatnya. Di sinilah kita memerlukan latihan-latihan riyadhah yakni disiplin diri, asketis atau latihan kezuhudan dan jalan sayr yaitu perjalanan spiritual melalui berbagai kedudukan dari diri ke jiwa, untuk menjaga kita dari penyakit ini.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email