Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 19

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 19

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 00:14:00


Allah Swt berfirman: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini.”(al-Hijr: 99) Rahasia ibadah tersingkap tatkala seseorang mencapai puncak dan kesempurnaan ibadah. Apa yang disebut dengan keyakinan bukanlah puncak dari peribadahan sehingga kebutuhan untuk beribadah menjadi hilang. Keyakinan tak lain dari manfaat dan faedah yang diperoleh dari beribadah. Tanpa ibadah, mustahil seseorang mengetahui mabda dan Ma’ad serta mendapat keyakinan. Sebaliknya, ia akan senantiasa didera keragu-raguan. Orang-orang kafir dan munafik selalu hidup dalam kebingungan, yang pada gilirannya juga akan menjadikan orang lain kebingungan.

Ketika menjelaskan azab yang diderita orang-orang kafir dan munafik, Allah Swt berftrman: “Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”(al-Taubah: 45) Mereka telah kehilangan cara untuk keluar dari kebingungan. Yang dimengerti hanyalah bahwa diri mereka tengah berada dalam lingkaran setan. Kebingungan mempakan hasil dari kebutaan. Orang yang tidak bisa melihat jalan yang akan dilaluinya akan selalu berpindah-pindah tempat.

Orang-orang kafir dan munafik tidak mampu melihat jalan yang akan dilewatinya. Mereka senantiasa mondar-mandir dalam mangan siksa yang terus-menerus menerpa. Al-Quran al-Karim menyebutkan bahwa orang-orang seperti itu senantiasa dilanda kebingungan: “Kecuali bila hati mereka itu telah hancur.”(al- Taubah: 110) Selama hati mereka seperti ini, mereka akan tetap bimbang dan tidak akan menemukan jalan yang benar.

Hati orang kafir dan munafik selalu tersiksa. Mereka tidak mengetahui ke mana akan menyandarkan dirinya. Karena itu, Allah mcmerintahkan Rasul untuk mengatakan kepada mereka: “Maka ke manakah kamu akan pergi?”(al-Takwir: 26) Apakah memang ada jalan alternatif yang akan kalian lalui? Manusia yang termasuk ahli ibadah pasti memiliki tujuan, mengetahui jalan yang akan dilaluinya, serta senantiasa berusaha unttlk mencapai tujuannya. Sedangkan orang yang tidak termasuk ahli ibadah tidak memiliki tujuan dan tidak mengetahui mana jalan yang akan dilaluinya. Karena itulah Nabi berkata: “Kemanakah kalian akan pergi?”

Ketika membicarakan Rasul-Nya, Allah Swt berkata: “Aku mengutus bagi kalian Rasul yang mengetahui jalan dan memiliki tujuan, demi bintang ketika terbenam kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.”(al-Najm: 1-2) Allah Swt bersumpah dengan keberadaan bintang-bintang ketika terbenam bahwa tidaklah Nabi kalian itu sesat dan keliru, yang berjalan tanpa tujuan. Orang yang tidak mengetahui apa yang akan diperbuatnya tidaklah memiliki tujuan. Sementara orang yang mengetahui apa yang akan diperbuatnya, namun tidak mengetahui jalan yang akan dilaluinya, disebut dengan orang yang tersesat.

Laksana orang yang berpergian, kehidupan manusia terus bergerak meninggalkan beberapa alam kehidupan di belakangnya dan menjelang beberapa alam kehidupan baru di depannya. Ia memiliki tujuan dan di depannya terhampar jalan untuk mencapainya. Manusia sempurna niscaya mengetahui jalan dan tujuan. Mereka adalah Nabi dan para Imam yang memimpin manusia untuk meraih tujuan yang benar. Hati orang mukmin selalu dipenuhi dengan ketenangan. Sebabnya, mereka mengetahui tujuan hidup serta jalan untuk mencapainya, dan sedikitpun mereka tidak pernah merasa bimbang terhadapnya.

Allah Swt memuji orang-orang mukmin dalam firman-Nya: “Mereka selalu tenang....” Dan terhadap orang mukmin yang tengah berperang, Allah Swt berfirman: “Lalu menurunkan ketenangan atas mereka.” (al-Fath: 18) Hati orang mukmin senantiasa diliputi ketenangan, sedangkan hati orang kafir senantiasa didera kebingungan dan keraguan.

Orang yang dilanda keraguan tidak akan pernah merasa tenang dan tidak akan mampu mencapai tujuannya. Inilah keutamaan dan rahasia ibadah. Sembahlah Tuhanmu untuk membentuk keyakinanmu. Ini bukan berarti apabila keyakinan Anda telah terbentuk, Anda tak perlu lagi beribadah. Umpama, untuk naik ke atas rumah, Anda harus menggunakan tangga. Namun, apakah setelah Anda sampai ke atas, tangga yang digunakan sudah tidak lagi bennanfaat? Jelas tidak demikian. Sebab, jika tangga tersebut dilepaskan, Anda pasti akan jatuh. Apabila seseorang dalam ibadahnya telah mencapai tahap keyakinan, kemudian meninggalkan ibadah, ia tentu akan jatuh. Karena itu, mustahil melepaskan kewajiban beribadah barang sejenak pun dalam kehidupan ini: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini.”(al-Hijr: 99)

Penyembahan hanya kepada dzat Allah baik di dunia maupun di akhirat. Ibadah yang dilaksanakan dalam kehidupan di dunia akan muncul di akhirat dalam bentuk yang lain. Di sebutkan: “Bacalah dan naiklah di sana, tak ada pekerjaan melainkan tampaknya amalan-amalan.” Dikatakan kepada hamba-Nya: seluruh yang engkau baca dari ayat-ayat di sini akan muncul dan naik satu-persatu. Ini berarti, setiap tingkatan yang engkau peroleh akan menghantarkanmu naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Engkau tidak akan tetap berada di tempatmu. Dikatakan kepada hamba-Nya pada hari kiamat: Seluruh tingkatan ini merupakan hasil dari amalanmu di dunia, dan setiap ayat yang kamu baca di dunia akan muncul dalam bentuk tingkatan-tingkatan yang kelak akan mengangkatmu di akhirat.

Berdasarkan ini, keberadaan ibadah tak ubahnya sebuah tangga. Namun, adakalanya tangga berfungsi untuk menjatuhkan seseorang ke dalam sumur. Seperti orang munafik yang beribadah agar dilihat orang lain. Ibadah yang dilakukannya hanyalah dimaksudkan agar orang dekat kepada dirinya dan ia menjadi orang yang terhonnat di sisi mereka. Dengan demikian, ia menggunakan tangga justru untuk menjatuhkan dirinya ke dalam sumur.

Keberadaan tangga berhubungan dengan siapa yang menggunakannya. Sebagian orang menggunakan tangga untuk naik ke atas dan sebagian lainnya membuat kekeliruan dalam memanfaatkannya sehingga membuatnya terjerembab ke bawah. Orang-orang munafik beribadah untuk jatuh ke bawah, sementara orang-orang mukmin beribadah untuk menanjak ke atas.

Ayat al-Quran: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini,“ khusus diperuntukkan bagi orang-orang mukmin. Adapun ayat: “Hati mereka ragu-ragu, mereka itu selalu bimbang dalam keragu-raguanya,” menggambarkan keadaan yang dialami orang-orang munafik.

Setiap bertambah ibadahnya, orang munafik akan menjadi semakin keji seperti Ibnu Muljam (pembunuh Imam Ali as, ―peny.). Penambahan ibadah seorang mukmin setiap kalinya akan menjadi sebab baginya untuk bisa menjangkau maqam di mana ia tidak melihat sesuatu pun kecuali Allah Swt. Hal ini merupakan batin peribadahan yang terpaut dengan ilmu yang dimiliki seseorang. Ketenangan yang kita rasakan dalam kehidupan mencerminkan bahwasannya kita telah mencapai rahasia ibadah. Dalam keadaan demikian, tak ada sesuatu pun yang bisa menjadikan kita ragu, terlebih menjatuhkan kita.

Tentunya, jelas berbeda antara kualitas para syuhada di Karbala dengan para syuhada lainya. Para syuhada di Karbala tidak berpikir dan mengatakan: “Kita tidak memiliki apa-apa untuk menghadapi musuh yang banyak ini.” Setiap syuhada tidak akan mencapai maqam yang dimiliki para syuhada Karbala. Sebabnya, kesiapan peperangan yang dimiliki oleh para syuhada di Karbala sangatlah minim.

Kebanyakan orang yang berperang akan mempersiapkan dirinya dengan kekuatan yang memadai untuk melawan musuh. Namun berbeda dengan Imam Husain as dan para sahabatnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan musuh-musuhnya dan tidak merasakan sedikitpun kegelisahan. Padahal perbedaan antara kedua belah pihak sangatlah besar, baik dari segi persiapan maupun jumlahnya.

Seandainya saja pada hari kesepuluh bulan Muharram para musuh mengetahui siapakah sesungguhnya sahabat-sahabat al-Husain, tentu mereka tidak akan mati mengeluarkan harta benda miliknya dan tak akan membiarkan keluarga mereka pergi ke Karbala. Pada hari itu, seluruh sahabat Imam Husain as menulis nama-nama mereka di atas panah yang dilontarkannya ke arah pasukan Ibnu Saad, seolah berkata: “Kami bukanlah orang-orang yang bodoh. Kami adalah orang-orang Islam yang dikenal. Jika kalian ingin mengambil harta benda kami, kalian bebas mengambilnya. Kami tidak takut dan kami tidak datang ke tempat ini dengan sembunyi-sembunyi.”

Derajat para syuhada tidaklah sama. Setiap darahnya memiliki pengaruh dan nilai tertentu, sesuai dengan prestasinya dalam menggapai rahasia ibadah. Janganlah membatasi pikiran kita hanya dengan keinginan meraih surga semata. Sebab, masih ada maqam lain yang lebih agung yang luput dari pikiran kita. Karenanya, sempahlah Tuhanmu sampai datang keyakinan dan tak ada kenikmatan yang lebih besar dari anugerah keyakinan: “Allah tidak memberikan kenikmatan yang lebih besar dari keyakinan.”289 Itu dikarenakan, apa yang disebut dengan keyakinan merupakan aspek batin ibadah dan senantiasa berhubungan dengan peribadahan. Tanpa ibadah, mustahil manusia bisa mencapai maqam keyakinan.

Seseorang mungkin saja menjadi alim (berpengetahuan, ―peny.), namun ia belum tentu bisa mencapai rahasia ibadah. Meskipun alim, ia tetap tidak tergolong ahli yakin. Sebagaimana yang disinyalir dalam ayat Ilahi yang menceritakan tentang Bal’am bin Ba’ura: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan ayat-ayat kami (pengetahuan tentang sisi al-Kitab) kemudian dia melepas diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda).”(al-Araf: 175)

Allah Swt berfirman, “Kami berikan kepadanya ayat-ayat dan pakaian kepadanya, pakaian cahaya, tetapi ia lepaskan pakaian ini.” Kadangkala Allah menganugerahkan seseorang pakaian yang mewah. Akan tetapi dikarenakan ulahnya sendiri, ia kemudian menanggalkan pakaian tersebut dan membiarkan tubuhnya telanjang. Dalam keadaan demikian, setan tentu akan mudah menggodanya.

Jika ingin mengetahui apakah ibadah kita bermakna dan bermanfaat, lihatlah apakah diri kita telah mencapai taraf keyakinan atau belum? Keyakinan merupakan buah manfaat dari Ibadah. Keyakinan dapat melahirkan kecintaan dan nilai seseorang sesuai dengan nilai kecintaannya. Pada hari kiamat, ia akan dibangkitkan bersama dengan apa yang dicintainya. Jika seseorang mencintai Ali dan keluarganya, maksudnya melakukan tawalli dan tabarri, itu jelas merupakan tahungan yang tiada taranya.

Dengan itu, kita telah berikrar bahwa mereka (Ali dan keluarganya, ―peny.) merupakan orang-orang yang dicintai Allah Swt. Cinta bukanlah hal yang sederhana dan berbeda dengan pengetahuan. Terhadap seorang guru, seseorang boleh jadi hanya menghormati aturan-aturan yang diberikannya. Sementara ada pula seseorang (murid) lainnya yangjustru mencintainya. Terkadang seseorang belajar kepada banyak guru. Namun, bolehjadi ia lebih mencintai salah satu di antaranya. Kecintaan jelas berbeda dengan penghormatan.

Ketaatan dan keterikatan hati merupakan dua hal yang berbeda. Cintailah Ali dan keluarganya. Kecintaan semacam ini merupakan tahungan yang tiada bandingannya. Kecintaan semacam ini termasuk dalam hikmah ushuluddin yang dikenal dengan bab wilayah. Akan tetapi, pengakuan wilayah tak cukup hanya dengan penyerahan diri semata. Sebabnya, mereka adalah pemimpin kita. Karenanya, kita harus menyebut mereka dalam setiap shalat.

Dengan demikian, shalat macam apakah yang tidak menyebutkan di dalamnya nama Ali dan keluarganya? Shalat manakah yang tidak terdapat tasyahhudnya? Di antara hal yang diwajibkan dalam tasyahhud adalah mengucapkan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.” Inilah inti dari ibadah. Pembicaraan kita kali ini bukanlah berkisar tentang penghormatan terhadap peraturan dan mencintai serta mengikuti para imam. Melainkan berkenaan dengan kecintaan. Mencintai Ahlul Bait as bukanlah nasib setiap orang. Kecintaan mustahil muncul tanpa pengetahuan. Dan pengetahuan mempakan aspek batin ibadah, Setiap amal perbuatan kita memiliki kekhasannya dalam menggapai aspek batin ibadah, yakni keyakinan.

Dalam riwayat dari Imam Shadiq as, dikatakan: “Jika seorang mukmin menghadap kepada Allah dengan hatinya, maka Allah akan menghadap kepadanya dan hati orang-orang mukmin akan mencintainya.”290 Tak ada manusia yang lebih baik daripada manusia yang dicintai Allah.

Ibnu Mas'ud berkata: “Kami bersama Rasulullah dalam salah satu perjalanan. Saat itu kami berjumpa dengan orang Arab pedalaman yang bermuka lebar dan memiliki suara yang keras.” Orang tersebut lalu berkata kepada Rasulullah: “Hai Muhammad,“ Rasul saww menjawab: “Apa yang engkau inginkan.” Ia berkata: “Seseorang mencintai satu kaum namun tidak melakukan pekerjaan kaum itu.” Rasul saww bersabda: “Seseorang bersama apa yang dicintainya.”291

Seseorang yang memiliki kecintaan yang benar akan dibangkitkan bersama apa yang dicintainya. Apabila Anda mencintai mereka namun tidak memiliki sifat-sifat yang melekat pada diri mereka, maka sesungguhnya Anda tidaklah bersama mereka, Kecintaan semacam ini bukanlah kecintaan yang benar. Kecintaan tanpa ketaatan bukanlah kecintaan, kecuali hanya sekadar harapan. Kecintaan meniscayakan pelimpahan tampuk kepemimpinan dan penyerahan diri secara total. Kecintaan merupakan tingkat paling tinggi dari iradah (kehendak), Bagaimana mungkin seseorang memiliki kecintaan sementara ia hanya melakukan apa yang disukainya, yang dengannya justru ia mengabaikan keridhaan yang dicintainya.

Sebagian sahabat menangis di saat-saat terakhir hayat Rasul saww. Nabi saww berkata: “Kenapa kalian menangis?” Mereka menjawab: “Kami menangis karena beberapa hal. Pertama, aku kehilanganmu, dan engkau adalah orang yang kami cintai dan kehilangan orang yang dicintai menyebabkan kesedihan. Kedua, wahyu tidak lagi turun setelah engkau wafat, dan berita-berita dari langit terputus, dan tidak lagi sampai ke bumi. Ketiga, kami tidak lagi mengetahui taklif kami setelah engkau wafat dan kami tidak mengetahui pemerintahan akan ada di tangan siapa, Kami khawatir pada masa yang akan datang.”292

Rasul saww berkata kepada Amirul Mukminin as: “Hai Ali, jika aku wafat, mandikanlah aku293, kafanilah aku, dan ambillah setiap sisi dari kafanku serta dudukkanlah aku. Ketika engkau mengambil sisi-sisi dari kafanku dan engkau dudukkan aku, apapun yang engkau ingin tanyakan maka tanyakanlah kepadaku dan apapun yang aku katakan maka catatlah.”

Imam Ali as ditanya oleh salah seorang murid beliau mengenai kejadian tersebut: “Apakah terjadi atau tidak? Apakah Rasul menjawab seluruh pertanyaan Imam Ali serta apakah Imam Ali menulis setiap apa yang dikatakan Rasul?” Imam menjawab: “Ya.”

Kedudukan murid-murid Imam Ali as tidak berada dalam satu tingkatan. Para imam suci tidak akan menyampaikan jawaban yang sama kepada murid-muridnya, melainkan sesuai dengan ilmu dan keutamaannya masing-masing. Para imam akan menjawab sebagian pertanyaan (murid-muridnya) dengan jawaban yang sederhana. Sementara untuk sebagian lainnya akan dipanggil untuk berkumpul bersama pada malam hari untuk mendengarkanjawaban yang akan disampaikan. Saat itu, para imam akan menyampaikan ilmunya. Lihatlah, bagaimana perbedaan derajat yang terdapat pada murid-murid Imam.

Pernah pada suatu ketika Imam Shadiq mengirim binatang piaraannya kepada Ahmad bin Muhammad bin Abi Nasr al-Bazanti294 ―yang termasuk murid Imam yang terkenal― sebagai isyarat agar dirinya datang ke rumah Imam pada malam hari. Padahal pada saat yang bersamaan, orang-orang lainjustru tengah berusaha dari jarak jauh untuk menziarahi Imam. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa masing-masing dari mereka tidak memiliki derajat yang sama.

Ketika pembicaraan antara keduanya selesai, Ahmad bin Muhammad bin Abi Nasr al-Bazanti ingin meminta izin untuk keluar rumah. Imam berkata: “Jangan, malam ini engkau makan malam bersamaku.” Kemudian ia pun makan malam bersama Imam. Seusai menyantap makan malamnya, ia pun segera meminta izin untuk keluar. Imam kembali berkata kepadanya: “Jangan, tidurlah di sini malam ini.” Imam segera memerintahkan Ahmad bin Muhammad al-Bazanti untuk tidur di tempat tidur beliau yang terletak di atas rumah beliau. Tentunya tidak seluruh rahasia dapat disampaikan kepada setiap orang. Murid-murid Imam as tidaklah memiliki derajat yang sama.

Imam Ali bin Abi Thalib mengajak Kumail bin Ziyad an-Naqi ke pinggiran kota Kufah untuk mengajarkan hadis-hadis yang terkenal: “Hai Kumail, sesungguhnya hati ini memiliki tempat. Maka sebaik-baiknya hati adalah sebaik-baiknya tempatnya.”295 Artinya, keberadaan Kumail dinilai telah cukup untuk menerima ilmu pengetahuan. Di akhir hayatnya, Rasul saww memiliki banyak rahasia. Salah satunya adalah hadis yang disampaikan kepada Amirul Mukminin Ali: “Jika aku wafat, maka mandikanlah, kafanilah, dudukkanlah dan tanyakanlah kepadaku apapun yang engkau ingin tanyakan, aku berkata dan engkau mencatat.”296

Dalam kondisi yang sama, beliau juga berkata kepada para sahabatnya yang sedang menangisinya: “Bukankah kalian akan sedih dan lemah setelah aku wafat.”297

Salah seorang murid dan sahabat Imam Ali, al-Asbaq bin Nubabah, meriwayatkan dari Imam Ali298: “Ketika kepala Imam Ali dipukul, datang sekelompok orang dari pengikut dan pecinta Imam ke pintu rumah Imam dan mereka mendengar suara tangisan dari dalam rumah, maka mereka pun menangis, Imam Hasan bin Ali keluar dari dalam rumah dan berkata: ‘Ada berita apa?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendengar suara tangisan dari dalam rumah dan kami tidak kuasa menahan dan kami merindukan Imam.’ Imam Hasan berkata: ‘Keadaan Imam tidak memungkinkan untuk kalian temui, maka pulanglah’.”

Al-Asbaq kemudian berkata: “Maka orang-orang pulang, adapun aku tetap di sana, suara tangis dalam rumah bertambah keras, maka aku pun menangis. Imam Hasan keluar dari dalam rumah dan berkata: ‘Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu unluk pulang?’” Al-Asbaq berkata: ‘Ya, engkau telah memerintahkan untuk pulang, tetapi demi Allah, wahai putera Rasulullah, diriku tidak mentaatiku dan aku tidak dapat pergi, hatiku di sini, hatiku tidak dapat membawaku, aku ingin melihat Imam.’ Imam Hasan berkata: ‘Kalau begitu, sabarlah sejenak, aku akan melihat apakah engkau diperbolehkan atau tidak?’”

Al-Asbaq berkata: “Aku menunggu sejenak, dan Imam Hasan keluar dan berkata: ‘Kemarilah.’ Ketika aku menemui Imam, aku melihat kepalanya diperban dengan potongan kain berwarna kuning, aku tidak dapat membedakan yang mana yang lebih kuning, kainnya atau wajahnya maka aku jatuhkan diriku di pangkuan Imam, aku cium dan aku menangis, Imam berkata: ‘Janganlah menangis, wahai Asbaq, karena itu adalah surga.’”

Pembicaraan ini merupakan pembicaraan seorang ahli yakin, sebagaimana juga bisa kita lihat dalam doa Kumail. Dalam doa itu, Imam menjelaskan bagaimana kita menangis dan menjerit: “Aku sabar terhadap panasnya api neraka-Mu tetapi bagaimana mungkin aku bersabar melihat kebesaranmu.” Inilah puncak segala keyakinan. Ketika lampu dinyalakan, seseorang dapat melihat segala sesuatu. Sebaliknya, jika lampu tidak dinyalakan, ia tentu akan sulit untuk melihat: “Dan sembahlahTuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini.” Para syuhada Karbala mampu melihat tempat tinggal mereka di surga. Sebaliknya, kita tidak dapat melihat tempat tinggal kita di situ. Padang Karbala pada malam ke sepuluh di bulan Muharam merupakan kuncinya. Tidaklah mudah bagi seseorang untuk mencapai maqam yang menjadikan dirinya mampu melihat tempat tinggalnya di surga.

Al-Asbaq bin Nababah berkata: “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah, aku mengetahui bahwa engkau berjalan menuju surga, adapun tangisan itu karena perpisahan denganmu.”

Dalam al-Quran disebutkan bahwa sebagian manusia bukan pergi ke surga, melainkan diri merekalah yang menjadi surga. Al-Asbaq bin Nubabah berkata kepada Imam Ali: “Berikanlah kepadaku hadis yang pernah engkau dengar dari Rasulullah?” Imam Ali berkata: “Pada suatu hari, aku dipanggil Rasulullah yang berkata: ‘wahai Ali, pergilah ke masjid dan panggillah orang-orang untuk menemuimu, kemudian ucapkanlah hamdallah, ucapkan salam atasku, pujilah Allah dan ucapkanlah salawat kepadaku. Jika engkau awali khutbah dengan mukadimah seperti ini, maka katakanlah: ‘wahai sekalian manusia, aku adalah utusan Rasulullah bagi kalian untuk menyampaikan ucapannya. Sesungguhnya laknat Allah, malaikatnya, para Nabi-Nya, dan laknatku pada orang yang selesai ke selain ayahnya, mengajak orang kepada selain wilayah, atau menzalimi gaji pekerjanya.”

Ketika itu salah seorang dari anggota majlis berdiri dan berkata: “Apa yang engkau maksudkan dengan laknat Allah, Rasul-Nya, dan malaikat-Nya atas orang yang selesai ke selain ayahnya atau mengajak orang ke selain wilayah atau menahan upah pekerja? Apakah maksudnya, apakah artinya ini?” Imam Ali as berkata: “Aku mendengar itu dari Rasulullah yang bersabda: ‘Pergilah ke masjid dan tafsirkanlah kalimat-kalimat ini dan katakanlah kepada orang-orang: ‘Wahai sekalian manusia, kami tidak menjawab pertanyaan kalian dengan sesuatu kecuali kami memiliki takwil dan tafsirnya. Ketahuilah, aku adalah ayah kalian, kemudian menyebutkan hadis ini: ‘Aku dan Ali adalah ayah ummat ini.’ Setiap orang yang tidak memiliki hubungan dengan Nabi tidak akan memiliki hubungan dengan ayahnya dan akan menjadi orang yang dilaknat Allah dan Malaikat-Nya.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana mungkin seseorang memiliki hubungan dengan Nabi? Bagaimana mungkin terdapat hubungan antara ayah dan anak? Semua itu bersumber dari kecintaan. Apakah kecintaan bisa diraih tanpa pengetahuan?

Pengetahuan jelas berbeda dengan ketaatan. Perintah ketaatan dan ibadah dari Rasul bertujuan untuk menjadikan manusia memiliki kearifan: “Ketahuilah, bahwa aku adalah ayah kalian, dan ketahuilah sesungguhnya aku adalah wali kalian, ketahuilah sesungguhnya aku buruh kalian, aku adalah wali kalian, maka janganlah kalian putuskan hubungan ini dan aku adalah buruh kalian. maka berikanlah upahku, Katakanlah aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam keluargaku.” (al-Syura: 23)

Upah dari jerih payah yang ditempuh beliau selama bertahun-tahun hanyalah kecintaan kepada Ali dan keluarganya (maksudnya, dalam menjalankan tugasnya sebagai nabi dan rasul, beliau tidak mengharap upah apapun dari kita kecuali mencintai Ahlul Bait beliau, ―peny.). Ya, kalian mencintai keluarga suci, yang ketika nama-nama mereka disebut, hati kalian akan bergetar karena kecintaan kepada mereka, yang darinya mengalir aktivitas dan kehidupan ruh kalian. Kalian mengikuti jejak serta mendapatkan hidayah dari mereka. Kalian mengerjakan apa yang mereka ucapkan. Upah dari risalah yang harus kalian berikan adalah mencintai mereka. Dan kecintaan itu harns bersumber dari pengetahuan.

Tidak setiap orang dapat mencintai mereka. Begitu pula, bukan perkara mudah untuk mencintai mereka. Bentuk dari kecintaan bukanlah semata- mata ketaatan. Mencintai Ali dan keluarganya tidak identik dengan mengambil ucapannya belaka. Permasalahannya lebih dari sekadar itu. Pembicaraan kita kali ini berkenaan dengan kecintaan. Karenanya, kita harus menerima mereka dengan sepenuh hati.

Rasul saww berkata: “Aku adalah pekerja, setiap orang yang tidak memberikan upahnya kepadaku, tidak akan mendapatkan rahmat Allah, para nabi. dan para malaikat. Dan upahku adalah mencintai Ahlul Bait, dan katakanlah: Aku tidak meminta kepadamu sesutu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam keluargaku.”

Kecintaan semacam ini merupakan aspek batin ibadah. Sebagian orang mencintai shalat dan sebagian lainnya merupakan orang-orang yang shalat. Imam Husain as berkata kepada Qamar bani Hasyirn: “Mintalah penangguhan dari mereka (musuh-musuh). Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku mencintai shalat, banyak berdoa, dan beristighfar.” Beliau tidak mengatakan: “Mintalah penangguhan dari mereka agar kita dapat shalat beberapa rakaat,” melainkan: “Sesungguhnya aku mencintai shalat.”

Memang, banyak orang yang menunaikan shalat. Namun Imam Husain as berkata: “Sesungguhnya aku mencintai shalat, shalat adalah kekasihku,dan aku ingin mengucapkan perpisahan dengan kekasihku pada malam ini.” Jadi, masalahnya terpaut dengan kecintaan, bukan taklif. Bentuk kecintaan semacam ini merupakan hasil dari pengetahuan. Dan pengetahuan merupakan aspek batin dari ibadah.


Referensi:

289. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan Iman dalam Islam dan keyakinan terhadap keimanan”.
290. Syaikhal-Mufid, al-Amali, pertemuanke-18, hadiske- 7.
291. Syaikh aI-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-5, hadis ke-2.
292. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-5, hadis ke-3.
293. Muhaddis al-Qummi, Khulu al-Ain, hal. 180.
294. Khusus tentang Ahmad bin Muhammad bin Abi Nasr al-Bazanty, lihat Bihar al-Anwar (cet.lama), juz 2, hal.14.
295. Nahj al-Balaghah; Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-29, hadis ke-3.
296. Muhaddis Qummi, Khulu al-Bashar, hal. 1110; Ushul al-Kafi, Bab “Isyarat dan Nash tentang Amirul Mukminin”.
297. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-34 (hadis ke-3) dan penemuan ke-43 (hadis ke-3).
298. Ibid.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: