Pengaruh penting yang di peroleh dari ibadah adalah keyakinan.”Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini.” Mempertautkan hukum dengan sifatnya (di mana sifat dari hukum atau keharusan “menyembah“ adalah keyakinan, ―peny.) pada dasarnya sama dengan merasakan keberadaan sifat tersebut.
Sembahlah Tuhanmu karena Dia adalah Tuhanmu, Tuhan yang merupakan pemilik dan pengatur. Pemberi wujud adalah sang pemilik dan pengatur. Manusia harus menyembah Tuhan, dikarenakan Dia adalah pengaturnya. Bukankah manusia membutuhkan-Nya? Manusia tidak bisa menunaikan haj amra kecuali dengan bantuan sesuatu .fang tidak memiliki keperluan sama sekali. Sesuatu itu akan memenuhi segala apa yang dibutuhkan manusia. Dan sesuatu itu tak lain dari Allah Swt, pengatur seluruh urusan manusia.
Pelaksanaan ibadah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari kesempurnaan dan Ma’bud. Karena itu, keberadaan suatu hukum akan diikat dengan sifatnya. Allah berfirman: “Dan sembahlah Tuhanmu....” Dengan menjadikannya sebagai proposisi sebagaimana umum digunakan dalam proses penarikan kesimpulan, dikatakan bahwa, dikarenakan Dia adalah Tuhanmu, roaka sembahlah Dia, danjanganlah Anda sembah Allah untuk mendapatkan rizki, walaupun Ia maha pengasih, dan janganlah Anda menyembah-Nya agar tidak masuk neraka, jadikanlah tujuanmu agung, janganlah Anda menyembah-Nya agar tidak terjerumus ke dalam jahanam, bahkan janganlah anda menyembah-Nya lantaran ingin masuk surga, walaupun Allah akan memasukan Anda ke surga. Kalau memang demikian adanya, lantas untuk apakah ibadah itu? Ibadah merupakan wahana untuk mencapai maqam syuhudi. Tentunya tak ada kenikmatan yang lebih baik daripada nikmat pengetahuan.
Dalam al-Quran, Allah menyebutkan nikmat yang pertama, yaitu nikmat membaca al-Quran: “(Tuhan) yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Quran.”(ar-Rahman: 1-2) Mempelajari, mengetahui, dan memahami al-Quran merupakan bentuk kenikmatan yang besar. Setelah itu, Allah baru menyebutkan tentang kenikmatan surga.
Namun, tak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripada kenikmatan pengetahuan syuhudi dan keyakinan. Ketika menyaksikan rahasia-rahasia wujud, seseorang tidak akan merasakan kelezatan alam yang lain. Manusia yang telah mencapai maqam yakin (yaqin) akan mampu melihat relung batin dari keberadaan alam, sekaligus juga bisa mengetahui aspek batin orang lain. Ia tidak akan meminta pertolongan siapapun dikarenakan pengetahuan dan keyakinannya bahwa tak ada sesuatupun selain Allah. Jika telah mencapai maqam seperti ini, ia akan senantiasa berhubungan dengan Kekasihnya dan menyembah-Nya.
Sangat disayangkan, banyak orang yang meninggalkan perbuatan maksiat dikarenakan takut akan jahanam. Padahal, alangkah lebih baik jika seseorang menjadikan dirinya lebih agung dan mulia di hadapan dosa-dosa. Sebaiknya seseorang menyembah Tuhan karena Dzat-Nya, bukan untuk menghindar darijahanam. Al-Quran aI-Karim mengajarkan kepada kita melalui ucapanya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang di yakini.”
Allah Swt menyebutkan nama-nama orang yang memperoleh nikmat keyakinan, seperti Ibrahim al-Khalil. Al-Quran mengatakan bahwa Ibrahim telah mencapai maqam keyakinan. Ketika menceritakan tentang keberadaan dirinya yang tahan terhadap panasnya api, Allah berfirman: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu.”(al-Anbiya: 68) Ibrahim tidak meminta tolong dan tidak menyandarkan dirinya kepada siapapun. Malah, ia sendiri yang menghancurkan berhala-berhala tersebut. Ia termasuk salah seorang ahli yakin.
Allah Swt memujinya dalam al-Quran al-Karim, “Keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi dan (memperlihatkannya) agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin.”(al-An’am: 75) Kami memperlihatkan kepada Ibrahim al-Khalil, aspek batin dari keberadaan alam, sehingga ia bisa meraih maqam yang tinggi, yakni keyakinan. Al-lah Swt menghimbau kita untuk mencari jalan yang dapat menghantarkan kita kepada relung batin alam.
Sebagai contoh, ketika masuk ke dalam ruang perpustakaan umum, kalian akan mendapatkan buku-buku yang disediakan untuk semua orang tanpa kecuali. Sementara tidak demikian halnya dengan buku-buku yang bersifat pribadi. Dengan demikian, sebagian kunci penyimpanan buku-buku, khususnya yang ditulis tangan oleh sang pengarang tidak bisa diberikan kepada setiap orang. Allah Swt berkata: “Alam penciptaan memiliki malakut dan memiliki batin serta memiliki simpanan.” Aspek-aspek batin dan simpanan-simpanan tersebut merupakan kitab takwin. Ibrahim telah mengetahuinya, begitu pula dengan kalian. Karenanya, lihatlah, mudah-mudahan kalian bisa melihat sesuatu.
Dalam ayat lain, Allah berfirman kepada kita: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi.”(al-A’raf: 185). Kenapa sebagian hanya ridha dengan kehidupan alam muluk? Mereka hanya puas dengan perintah-perintah lahiriah semata. Mengapa mereka tidak melihat aspek batin dari keberadaan alam? Kenapa mereka tidak melihat ruh alam? Mengapa mereka tidak membuka simpanan ini dan melihat tulisan tersebut dalam bentuk aslinya? Mengapa mereka tidak mempelajari kitab-kitab tersebut? Dan apakah mereka tidak memperhatikan?
Apa yang disebut dengan perhatian berbeda dengan melihat. Kadangkala manusia memperhatikan sesuatu namun tidak melihatnya. Namun terkadang pula, ia memperhatikan sekaligus melihat sesuatu. Kemampuan mata yang lemah, misalnya, akan menjadikan seseorang tidak bisa melihat hilal kedatipun ia naik ke atap rumah. Sebaliknya, orang yang memiliki pandangan tajam akan mengetahui di mana muncul dan terbitnya hilal. Apabila bisa melihatnya, ia akan dapat menentukan tempat hilal tersebut muncul. Dalam ayat ini, Allah mengajak kita untuk melihat dan mencela sebagian orang dan mengatakan: “Mengapa kalian tidak melihat ke alam batin? Bukankah penglihatan untuk itu mungkin?” Seandainya tidak seperti itu, mustahil Allah akan mengajak kita.
Al-Malakut merupakan aspek batin, sementara al-Mulk merupakan aspek lahiriahnya. Dalam al-Quran, difirmankan bahwa keberadaan Allah Swt “berdampingan” dengan al-Malakut: “Maka Maha suci (Allah) yang tangan-Nya al-Malakut atas segala sesuatu.”(Yaasin: 83) Sedangkan keberadaan-Nya yang “berdampingan” dengan al-Mulk, difirmankan dalam ayat: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah al-Mulk.”(al-Mulk: 1)
Perbedaan antara al-Mulk dan al-Malakut identik dengan perbedaan antara sesuatu yang bersifat lahiriah dengan sesuatu yang bersifat batiniah. Allah Swt mengajak kita untuk menengok ke alam batin. Dan Allah juga telah memberitahukan kita tentang orang-orang yang telah menggapai aspek batin alam. Jalan untuk itu terbuka bagi kita, di mana Imam Shadiq merupakan sebaik-baiknya insan yang telah berhasil melaluinya. Lebih dari itu, beliau merupakan teladan di jalan ini. Imam Baqir as telah menjelaskan kepada kita cara untuk mencapai alam Malakut.
Diriwayatkan dari almarhum Syaik Mufid ―semoga Allah meridhainya, Imam Baqir atau Imam Shadiq as berkata: “Celakalah kaum yang tidak tunduk kepada Allah dengan tidak memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Barang siapa yang menyatakan tiada tuhan selain Allah, tidak akan memaksa malakut di langit, sehingga ia menyempurnakan dengan perbuatan yang baik.” Maksudnya, orang yang tunduk kepada Allah namun masih menyertakan ketaatan kepada orang yang zalim, adalah orang yang tidak beragama. Kemudian beliau berkata: “Setiap kaum yang mereka bermegah-megahan telah lalai sampai mereka masuk ke dalam kubur.”299
Memperhatikan pelajaran-pelajaran agama dan melaksanakan hukum- hukum syariat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, kecuali itu bisa mengakibatkan bahaya. Kita harus membimbing orang-orang dalam bentuk ajakan kepada kebaikan, mencegah mereka berbuat buruk, dan memberikan petunjuk. Sederhananya lagi, mengajak mereka berbuat kebajikan sembari mencegah terjadinya keburukan.
Dalam Islam, tak ada ungkapan: “Ini bukanlah buah usahaku,” atau: “Ini tak ada hubungannya denganku.” Ketika kita diperintahkan seseorang untuk berbuat baik dan melarang kita berbuat buruk, kita tidak boleh mengatakan: “Ini bukan urusan anda.” Jika seseorang berbuat dosa, kita tidak mungkin mengatakan: “Ini bukan urusan kita.” Kita tak mungkin berlepas diri dari tanggung jawab dan juga mustahil menolak secara keras orang yang mengajak kepada kebaikan. Ajakan seseorang untuk berbuat baik harns kita ikuti. Jika seseorang mengatakan: “Tiada Tuhan selain Allah,” sementara tauhid akan berujud dalam amal perbuatan, maka ia akan memasuki alam al-Malakut dan relung batin dari keberadaan alam.
Tentunya nihil belaka apabila seseorang menghendaki dirinya mencapai rahasia ibadah sementara ia belum mendapatkan hidayah dari rahasia kalimat lailaha ilallah. Seseorang yang telah mengetahui rahasia alam malakut tidak akan pernah dilanda kebimbangan dan keraguan. Sebabnya, alam malakut merupakan buah yang dihasilkan dari keyakinan.
Amar bin Yasir berkata: “Tidak ada keragu-raguan atau kebimbangan ketika kami memerangi Bani Umayah.” Ia kembali mengatakan: “Wahai Ali, seandainya aku mengetahui ridonya Allah Swt akan ada ketika aku menancapkan pedangku ini kedalam danaku sehingga ujungnya keluar dari sisiyang lain (artinya, ‘aku membunuh diriku sendiri’) maka, sungguh akan aku lakukan.”
Dalam Nahjul Balaghah di sebutkan: “Aku tidak ragu atas Allah Swt semenjak aku menyakini-Nya.”300 Orang yang yakin terhadap Tuhannya, tak akan pernah meragu. Orang-orang menjadi ragu dikarenakan dirinya tidak mengetahui titian jalan menuju alam malakut. Dalam keadaan demikian, ibadah yang dilakukan hanyalah sekadar bentuknya saja. Dan ia sama sekali belum menggapai rahasia ibadah.
Orang yang telah mencapai rahasia ibadah akan mengetahui jalan menuju alam malakut dan bisa menyaksikan alam malakut berkat keyakinan yang imilikinya. Tak ada yang lebih baik dan lebih tinggi daripada keyakinan di alam ini. Dan Allah tidak menganugerahkan keyakinan pada setiap orang, melainkan hanya kepada orang-orang tertentu saja.
Seandainya kini Nabi Ibrahim al-Khalil masih ada, ia tentu akan mcngatakan kepada orang-orang yang menyembah patung: “Ah, celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah.”(al-Anbiya: 67) Celakalah kalian yang menyembah berhala yang ada di dalam (diri). Ya, kalian telah menyembah hawa nafsu dan keinginan-keinginan kalian.
Bukankah kita beramal sesuai dengan apa yang disenangi dan disukai jiwa? Bukankah kita menyenangi pujian orang lain? Bukankah kita merasa kesal terhadap orang yang stika melontarkan kritik? Sejauh mana kita mencintai diri kita?! Bukankah kita menyembah diri kita sendiri? Seandainya Nabi Ibrahim al-Khalil hidup bersama kita, ia pasti akan mengatakan kepada: “Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah?” Sesungguhnya kalian hanya menyembah hawa nafsu.
Jika telah mencapai alam malakut, kita akan bisa melihat diri kita, sekaligus diri orang lain. Dalam kondisi seperti itu, kita tidak akan meminta pertolongan sedikit pun kepada selain Allah. Pada saat itulah, kita telah menjadi pengikut sejati Nabi Ibrahim: “Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikuti nabi ini (Muhammad).”(al-Imran: 68)
Orang-orang yang sungguh-sungguh mengikuti Nabi Ibrahim adalah orang-orang yang meyakini Nabi Ibrahim serta penghulu para nabi, yakni Nabi Muhammad saww. Orang yang menyatakan labaik ya Ilahi adalah orang yang memiliki jalan menuju alam malakut. Adapun orang-orang yang memperkuat dan menolong orang-orang kafir bukanlah termasuk orang-orang mukmin. Karenanya, mustahil kita menerapkan hadis ini kepada orang-orang yang kekufuran dan kemunafikannya nampak jelas. Perhitungan bagi mereka (orang kafir dan munafik, ―peny.) sangatlah jelas.
Kita tidak boleh mengabaikan keharusan untuk mengintrospeksi diri sendiri. Apabila kita menolong kebatilan, kedati hanya sedikit, maka itu sama artinya dengan menjauh dari agama. Keberjarakan kita dari agama akan sesuai dengan bobot pertolongan yang kita berikan kepada kebatilan. Berkenaan dengan itu, Allah Swt berfirman: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.”(al-Humazah: 1)
Al-Quran memperingatkan kita tentang jenis perbuatan yang bisa menyakiti atau mencela orang lain. Berdasarkan ini, Allah Swt senantiasa menghitung setiap gerakan kita, sekecil apapun, walau hanya berupa gerakan kelopak mata.”Dia mengetahui (pandangan) mala yang khianat.”(al-Mukmin: 19) Kita tidak boleh lupa pada keharusan untuk menghisab diri sendiri. Pada saat seseorang menguatkan (membantu, ―peny.) orang-orang zalim, pada saat itu pula ia telah mengabaikan agama. Sebabnya, kebatilan tidak pernah selaras dengan syariat Allah: “Katakanlah: kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.”(Saba: 49)
Imam berkata: “Jika manusia menghadap pada kebatilan, ia akan jauh dari agama dan keluar dari ketaatan kepada Allah.” Sesuai dengan orangnya, setan akan memperdaya dengan harta kekayaan. Bahkan, banyak juga orang yang memang sudah kaya terperdaya oleh godaan setan. Dalam salah satu syair Firdausi (penyair besar asal Parsi, ―peny.), yang dikutip oleh al-Ghazaly, dikatakan bahwa hasil dari kerja keras seseorang di siang dan malam selama bertahun-tahun yang hanya menghabiskan umurnya hanyalah azab belaka.
Ia telah bekerja siang dan malam. Namun ketika mati, ia justru akan mendapatkan azab. Mengapa? Sebab, ia ternyata telah menghamburkan umurnya demi menghidupi pohon yang penuh duri (maksudnya, amal yang buruk, ―peny.). Seluruh fungsi kemanusiannya, seperti lisan, mulut, serta tangannya, semata-mata digunakan untuk berbuat buruk. Barang siapa yang menanam duri, maka tidak akan dipanen darinya kecuali duri belaka.
Setiap orang yang melakukan dosa, laksana menyiram pabon duri dengan menggunakan ember berisi air. Pohon tersebut kemudian tumbuh karena siramannya. Pada saat kematian menjemputnya, duri-duri tersebut akan menjadi kendala yang menghadang. Saat itu, ia akan menjadi seperti orang yang dibaringkan di atas ranjang yang penuh dengan duri. Bagaimana mungkin seseorang merasa tenang tidur di atas ranjang yang penuh duri. Ke arab mana pun dirinya beringsut, duri-duri itu akan menusuknya. Alhasil, ia tak pernah merasakan ketenangan. Lantas, ketenangan macam apakah yang didapatkannya di alam kubur, yang merupakan malakutnya alam ini? Seluruh usaha dan amal orang ini tak lain ditujukan untuk menumbuhkan duri-duri tersebut.
Apabila seseorang merasakan ketenangan ketika melihat hadis-hadis, maka setiap hadis yang dilihat atau didengar akan menerangi dirinya. Tatkala membuka buku hadis, dirinya seperti masuk ke dalam liang kubur yang semerbak wanginya. Ia pun lantas merasa senang karena mencium wewangian dari hadis-hadis Ahlul Bait. Dengan demikian, ia pun memperoleh ketenangan dan segenap keletihannya hilang seketika.
Jalan menuju alam malakut bukanlah hak monopoli seseorang. Sebab, jika tidak, mustahil kita akan diajak ke sana. Dalam doa Imam ar-Ridha dikatakan: “Ilahi, bagi-Mu lah pujian jika aku taat kepada-Mu, aku tidak memiliki alasan untuk bermaksiat kepada-Mu, aku dan selainku tidak memiliki usaha apapun dalam kebaikan-Mu dan aku tidak memiliki alasan jika Engkau berbuat buruk kepadaku, tidak ada kebaikan yang aku dapat kecuali dari-Mu, ya, Karim, ampunilah yang ada di Timur dan di Barat dari orang-orang mukmin dan mukminat.”301 Pernyataan ini mencerminkan bahwa Imam telah menjadi rahmat bagi alam semesta. Dengan demikian, agar kita mengetahui apakah kita telah merasakan kekayaan yang terkandung dalam aspek batin alam ataukah belum, segera tengoklah ke dalam diri kita. Pertanyakanlah; disibukkan oleh apakah diri kita, hartakah, atau selainnya?
Rasulullah bersabda: “Wara dari apa yang diharamkan Allah.”302 Menjauhkan diri dari apapun yang di haramkan Allah disebut dengan wara. Imam Sajjad khusus meriwayatkan tentang wara: “Barang siapa beramal sesuai yang telah diwajibkan Allah kepadanya, ia adalah sebaik-baiknya hamba dan sebaik-baiknya orang yang wara, dan barang siapa yang puas dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya, ia adalah orang-orang yang paling kaya.”303
Namun demikian, janganlah seseorang beramal dengan ajuran-anjuran ini demi terhindar dari api neraka. Ibadah yang demikian adalah ibadahnya seorang budak. Benar jika dikatakan bahwa orang yang menyembah (lantaran takut akan neraka) bukanlah sebuah dosa. Akan tetapi seseorang yang telah mencapai tingkat keyakinan akan mampu melihat aspek batin dari perbuatan dosa yakni onggokan bangkai serta kobaran api neraka. Seseorang bertanya kepada Imam sajjad304: “Apakah malaikat menulis niat-niat yang terlintas dalam pikiran kita, tetapi kita tidak melakukannya? Mereka tidak melihat apa yang ada dalam diri kita, bagaimana mereka menulis dan dari mana mereka memahaminya?”
Imam menjawab: “Jika engkau melewati satu kebun maka engkau akan mencium bau yang harum dan jika engkau lewat di samping seonggok kotoran, engkau niscaya akan mencium bau busuk. Engkau dapat memahami bahwa yang pertama adalah bunga-bunga yang memiliki aroma yang wangi dan yang kedua adalah bau busuk dan basi. Begitulah para malaikat menentukan manusia dari baunya yang baik dan mengerti apa yang ada dalam hatinya yang menyimpan rahasia-rahasia yang baik dan niat-niat yang baik serta keinginan-keinginan baik dan suci. Sementara dari bau yang busuk dapat diketahui bahwa dalam hati orang tersebut tersimpan niat-niat yang busuk.”
Sebagian manusia menjadi taman bunga, sementara sebagian lainnya menjadi tempat sampah. Jika seseorang telah menggapai maqam malakut, ia akan bisa mencium bau manusia, sebagaimana ia bisa mencium bau taman dan bau kotoran. Dengan demikian, ia dapat menentukan, mana orang yang munafik atau kafir, dan mana yang bukan.
Sekelompok orang tengah duduk-duduk di bawah mimbar Amirul Mukminin. Tak lama kemudian, datang seorang mata-mata dari Bani Umayah dan menyebarkan berita di antara orang-orang tersebut dengan mengatakan: “Kholid bin ‘Arfatah telah meninggal.” Imam tidak menghiraukan orang tersebut dan tetap melanjutkan pembicaraannya. Namun, orang-orang yang ada di situ justru meyakini berita tersebut. Kali kedua, orang-orang itu berkata: “Wahai Ali, orang-orang mengatakan Khalid telah mati.” Imam tetap tidak menghiraukannya. Kali ketiga, mereka kembali berkata sebagaimana perkataan yang pertama, tetapi Imam tetap tidak memperhatikan. Akhirnya mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, berita ini telah menyebar.”
Imam kemudian berkata: “Tidak, ia belum meninggal dan pemerintahan yang kejam akan menyerangku dan masuk ke masjid dari pintu ini, kemudian memberikan isyarat kepada seorang laki-laki yang duduk di bawah mimbar dan berkata: ‘ia akan memberikan bendera ke laki-laki ini yang memerangi kebenaran. Ia belum meninggal dunia.’”305
Setelah beberapa lama kemudian, prediksi ini ternyata memang benar- benar terjadi. Inilah salah satu ilmu tentang alam ghaib yang dimiliki Imam Ali. Beliau mengetahui betul rahasia seseorang yang duduk di bawah mimbar. Kemampuan seperti itu juga dimiliki para malaikat sehingga mereka bisa melihat ke dalam diri manusia. Di dalamnya, mereka bisa melihat apapun yang baik dan apapun yang buruk.”Adapun jika ia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah) maka ia memperoleh ketentraman dan rizki serta surga kenikmatan.”(al-Waqi’ah: 88-89) Sebagian manusia yang berhasil melewati tingkatan ini akan: “... disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,”(al-Baqarah: 25) dan: “... mendapatkan ketentraman dan rizki.”
Pada suatu waktu, seseorang terkadang mampu menyingkap berbagai rahasia yang terdapat dalam diri seseorang. Mereka berkata: “Seorang alIim yang tidak mengamalkan ilmunya dan menyakiti (hati) orang lain adalah orang yang lebih buruk dari orang lain.” Penghuni neraka akan merasa tersiksa dengan sengatan bau yang bersumber dari diri orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya. Bau yang dikeluarkan dari dirinya jauh lebih tajam dibanding bau selainnya. Apabila keadaan seseorang di dunia ini di beberkan sedemikian rupa, ia masih bisa menutupinya demi menjaga air muka. Ia akan senantiasa menyembunyikannya sehingga tak seorang pun mampu melihatnya. Namun, pada saatnya kelak, ia akan berdiri di hadapan hakikat keberadaan. Dalam keadaan demikian, tak ada lagi tempat untuk berlari dan menyembunyikan diri.
Sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, al-Quran menyebutkan: “Bagaimanakah keadaan gunung-gunung ini pada hari kiamat? Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung maka katakanlah: ‘Tuhanku akan menghacurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu rata sama sekali.”(Thaha: 105-106) Katakanlah, wahai Rasulullah, seluruh gunung-gunung ini akan hancur dan menjadi rata. Pada saat itu, tak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi, tak ada pepohonan dan dinding-dinding yang menjadikan seseorang bisa bersembunyi di baliknya.
Pandangan pada hari kiamat akan sedemikian tajam sampai-sampai kita mampu melihat apapun yang ingin kita lihat secara akurat. “Maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.”(Qaaf: 22) Saat itu, tempat manakah yang bisa di jadikan tempat persembunyian bagi manusia? Dalam keadaan itu, bagaimana mungkin seseorang yang telah menghabiskan umurnya dengan berbuat keburukan dan kemungkaran, ingin menyembunyikan dirinya dari pandangan manusia?
Keadaan yang paling memalukan adalah hilangnya air muka. Ketika memuji para nabi dan orang-orang mukmin, Allah Swt berfirman: “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia.”(at-Tahrim: 8)
Ketika menjelaskan keagungan Nabi dan orang-orang beriman, Allah berkata bahwa pada hari itu air muka mereka dijaga, sementara air muka selainnya telah lenyap. Lenyapnya air muka dikarenakan aspek batin mereka tidak selaras dengan aspek lahiriahnya. Tak ada yang lebih buruk daripada disingkapkannya seluruh dosa yang telah diperbuat. Boleh jadi seseorang bisa bertahan ketika dibakar di dalam kobaran api. Atau juga bertahan dalam sebuah pertempuran serta berjalan di bawah terik matahari yang menyengat. Akan tetapi, bisa dipastikan bahwa tak seorang pun yang siap dan bersedia apabila aibnya dibeberkan.
Penghuni neraka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh ia telah Engkau hinakan.”(Ali Imran: 192) Apabila keadaan lahiriah seorang muslim berbeda dengan keadaan batinya, ia sesungguhnya tengah berada dalam keadaan bahaya yang sangat besar. Ia begitu getol mengajak orang lain mengikuti hukum-hukum dan perintah agama, namun pada saat yang bersamaan ia tidak melaksanakan semua itu untuk dirinya sendiri.
Pabila telah mencapai maqam keyakinan dan alam malakut, seseorang akan mampu mencium bau dosa dan segera berusaha menghindar darinya. Tak seorangpun yang bersedia menyantap makanan busuk. Apabila para malaikat serta orang-orang yang telah mencapai maqam malakut mencium bau tersebut, janganlah kita menyingkapkan hijab yang menyelubungi diri kita. Sebab, ketika disingkapkan, kita akan melihat apa-apa yang terdapat di dalamnya. Tunggulah, karena jika saatnya telah tiba, hijab-hijab tersebut juga akan tersingkap. Janganlah membandingkan diri kita dengan orang- orang kafir dan orang-orang yang buruk amal perbuatannya. Bandingkanlah diri kita dengan orang-orang suci yang telah mendahului kita.
Referensi:
299. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-7.
300. Nahj al-Balaghah, Hikmah ke-184.
301. Bihar al-Anwar, juz 3, hal. 23.
302. Syaikh al-Baha’i, Arbain, hadis ke-9.
303. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-9.
304. Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, Bab LI.
305. Lihat, Safinah al-Bihar, kalimat khalada dan hababa.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email