Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 18

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 18

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 00:17:00


Al-Quran al-Karim berkata: “Orang-orang yang berdebar-debar hatinya lantaran takut ketika menyebut nama Allah dan imannya bertambah ketika membaca al-Quran, mereka bertawakal kepada Tuhan mereka dan yang mendirikan shalat, menginfakkan apa-apa yang diberikan kepada mereka, itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, mereka akan memperoleh derajat yang tinggi.”(al-Anfal: 4)

Mereka adalah orang-orang mukmin yang sesungguhnya dan telah meraih derajat yang mulia. Pada tempat yang lain, al-Quran mengatakan: “Kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat.”(Ali Imran: 163) Orang-orang mukmin memperoleh derajat mulia serta cahaya di surga. Dalam hal ini, terdapat dua bentuk permasalahan. Pertama, surga untuk orang-orang mukmin. Kedua, orang mukmin itu sendiri merupakan surga. Manusia yang sempurna akan mampu mencapai derajat di mana: “Ia memperoleh ketentraman dan rizki serta surga kenikmatan.”(al-Waqiah: 89) Dalam kasus ini, dirinya sendirilah yang menjadi surga. Kesempurnaan ini tidak bisa diperoleh hanya lewat beribadah semata melainkan juga harus dengan mencapai rahasianya.

Kedati seseorang acap mengerjakan ibadah shalat, namun pada waktu-waktu tertentu panca inderanya tidak ikut shalat. Dari sudut pandang hukum dan penampakan lahiriahnya, shalat semacam ini bisa dibenarkan. Akan tetapi, shalat tersebut tidak diterima Allah. Dengan kata lain, shalat semacam itu tidak akan “mengangkat” orang yang melaksanakannya ke atas (maksudnya kepada Allah Swt, ―peny.). Sebabnya, shalat itu sendiri tidak naik ke atas.

Pada kesempatan yang lain, ia menunaikan shalat. Dalam shalatnya tersebut, ia tidak mengingat apapun kecuali Allah Swt, dan dalam hatinya tidak terlintas sesuatupun kecuali keberadaan Allah Swt. Inilah shalat yang akan membumbung dan mengangkat orangnya ke atas. Inilah shalat yang benar dan akan diterima Allah.

Agar bisa mencapai rahasia shalat, kita harus terus-menerus menjaga diri kita di luar shalat. Jika kita berhati-hati dalam hal makanan, gerakan, serta pikiran, kita akan dapat mengerjakan shalat dengan tenang. Apabila dirasakan tak ada ketenteraman dan ketenangan dalam pengerjaan shalat, ketahuilah bahwasannya penyebab semua itu tak lain dari diri kita sendiri yang telah membiarkan para musuh untuk menyerang diri kita. Musuh-musuh tersebut bisa berbuat seperti itu dikarenakan sebelumnya kita telah membiarkan anggota tubuh kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang melanggar syariat. Sesuatu yang kita dengar dan ucapkan, pergi dan pulangnya kita, seluruhnya tersimpan dalam hati kita. Dan ketika kita menunaikan shalat, semua itu akan mempengaruhi kita.

Begitu pula jita kita sedang menunaikan ibadah puasa, haji, dan jihad. Dengan menjaga diri di luar shalat dan tidak menjadikan diri sebagai penjilat, serta tidak pernah disibukkan dengan orang lain, seluruh panca indra kita akan larut dalam ibadah shalat yang kita kerjakan Pada saat itu, kita akan merasakan kelezatan tiada tara disebabkan seluruh panca indera kita menghadap Allah Swt. Apabila itu terjadi, maka perlindangan dan rahmat Allah akan senantiasa meliputi diri kita. Ibadah yang ditunaikan orang- orang yang telah mencapai rahasia ibadah, yakni Ahlul Bait Nabi saww, dihasilkan dari pengetahuan-pengetahuan semacam ini.

Mereka berkata kepada kita: “Jika kalian ingin mengetahul apakah kalian diterima di sisi Allah atau tidak. Lihatlah ke dalam lubuk hati kalian, kemudian pertanyakan. sudah sejauh manakah kalian menyucikan Allah Swt?”279 Apakah hakikat dari keberadaan hati sehingga bisa menjadi perantara antara keberadaan hamba dengan Tuannya? Timbangan macam apakah ini, yang bisa mengetahui seseorang memiliki kemuliaan di sisi Allah ataukah tidak?

Sebagian manusia telah menyia-nyiakan diri dan hatinya. Mereka terdiri dari orang-orang yang tidak mengetahui di mana dan mengapa dirinya datang. Alhasil, ia telah menyia-nyiakan dirinya. Karenanya, harus ada seorang manusia yang sempurna, yakni imam maksum yang memberitahukan tempat-tempat yang layak bagi diri dan keberadaan kita. Seseorang yang tidak berada di tempatnya merupakan orang yang telah menyia-nyiakan dirinya.

Setiap ibadah, khususnya puasa, memiliki banyak jalan yang bisa menghantarkan kita kepada rahasia yang dikandangnya. Imam Ali menjelaskan hal itu kepada kita dengan mengatakan: “Jika hati kalian menghadap Allah Swt, ini berarti bahwa lutf Allah telah meliputi diri kalian.” Kita tentu mengetahui dengan jelas, makna dari pernyataan tersebut. Tatkala hati kita menghadap Allah, kita akan menghirup kebebasan serta merasakan pula betapa ringan diri kita. Apabila kita mengalami hal seperti itu, ketahuilah bahwa lutf Allah telah meliputi diri kita.

Imam Shadiq as khusus berbicara tentang ini: “Allah Swt telah mengumpulkan orang-orang mukmin yang wara dan zuhud di dunia kecuali aku mengharapkannya masuk ke dalam surga, aku sangat mencintai seorang mukmin yang mendirikan shalat dan menghadap sepenuh hatinya kepada Allah dan tidak menyibukan diri dalam keh;dupan daniawi. Keberadaan seorang mukmin yang menghadapkan hatinya kepada Allah dalam shalatnya akan diterima Allah Swt. Bukanlah digolongkan sebagai seorang mukmin kecuali dirinya menghadapkan hatinya kepada-Nya, sehingga Allah akan menerima dirinya. Dan Allah akan menghadapkan hati orang-orang untuk mencintainya setelah mereka cinta kepada Allah Swt.”280

Tak ada yang lebih baik dari perbuatan menjauhi dosa serta keberadaan dari orang-orang yang menghadap Allah Swt dalam shalatnya yang benar- benar khusyu'. Pembicaraan kali ini bukanlah berkenaan dengan topik hukum atau sejenisnya, melainkan tentang rahasia shalat beserta adab- adabnya. Janganlah kalian menjadikan Allah sebagai wasilah (perantara) untuk memasuki surga atau demi keselamatan diri kalian dari jilatan api neraka. Allah merupakan tujuan itu sendiri, bukan sekadar wasilah. Allah tidak akan mencampakkan kalian ke dalam neraka. Allah justru akan menempatkan kalian ke surga. Syaratnya, kalian harus beramal dengan adab (tatakrama) serta dengan melaksanakan ibadah.

Seorang mukmin tidak akan menyibukkan dirinya dengan apapun selain Allah. Sebabnya, kesibukan dengan apapun selain Allah tak lain adalah kehidupan duniawi itu sendiri. Contoh dari hal-hal yang bersifat duniawi, umpamanya, orang yang sibuk belajar, mencari ilmu pengetahuan, mengarang, mendidik, dan mengajar hanya demi kesombongan diri.

Setan akan memperdaya setiap manusia berdasarkan bidang keahliannya masing-masing. Ia akan memperdaya orang alim dengan cara meniupkan pikiran bahwa dirinya lebih berilmu (ketimbang ulama lain) atau lebih banyak memiliki murid, atau lebih banyak mengajar dan menulis buku. Ini merupakan kesombongan yang berkenaan dengan bidang yang ditekuninya.

Setan memperdaya seseorang yang berperang dengan membisikan anggapan bahwa dirinya lebih banyak berada di medan perang atau lebih banyak berkorban dibandingkan yang lainnya. Setan tidak akan membiarkan seorang pun lepas dari godaannya. Orang yang bebas dari kesumpekan merupakan orang yang telah lolos dari tipu daya setan. Tak ada yang lebih lezat dari pada keikhlasan. Orang yang mukhlis tidak dapat disusupi musuh dari dalam maupun dari luar. Allah akan menerima seorang mukmin yang menghadap kepada-Nya dalam shalatnya dengan wajah-Nya. Dan kelembutan hati orang-orang mukmin akan menjadikan dirinya dicintai oleh semua orang.

Setiap orang hidup dengan cinta kasih. Orang yang hidup tanpanya tak akan merasakan nikmatnya kehidupan. Apabila rahmat dan lutf Allah telah meliputi diri seseorang, maka orang-orang mukmin akan mencintainya dengan sepenuh hati. Inilah keutamaan dan rahasia ibadah. Orang yang menyembah Allah (karena Allah) akan menjadi manusia abadi. Sebabnya, wajah Allah tidak memiliki akhir (kekal abadi). Imam Ali as berkata: “Di antara kita ada yang mati tetapi ia tidak mati.”281

Dunia bukanlah tempat yang kekal. Yang kekal dan permanen adalah pengetahuan dan iman. Dengan demikian, orang alim dan mukmin merupakan orang-orang yang kekal. Allah mengabarkan hal itu kepada orang mukmin yang menghuni surga dengan firman-Nya: “Dari yang hidup dan yang mati kepada yang hidup yang tidak mati.” Firman ini disampaikan Allah ―yang merupakan dzat yang tidak mati, kepada orang mukmin yang menjadi cerminan dzat yang hidup. Dengan demikian, orang-orang mukmin akan senantiasa terjaga dari kematian. Ini merupakan mata air kehidupan. Jika tidak, maka sebelum dijadikan cerminan, manusia akan mati dan punah.

Sesuatu yang menghantarkan manusia memasuki kehidupan abadi adalah peribadahan. Dan peribadahan tersebut didasari karena Allah Swt. Allah Swt berfirman: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.”(al-Qishash: 88) Orang-orang yang menyembah Allah akan hidup kekal dan abadi.

Tidak seluruh syuhada memiliki derajat yang sama. Setiap syahid memiliki derajat yang sesuai dengan pengetahuan dan ilmunya. Nilai diri setiap syahid bersesuaian dengan pengetahuan serta rahasia ibadahnya.

Setiap darah yang dialirkan untuk menjaga agama merupakan darah yang sesuai dengan rahasia keberadaannya. Contohnya, jika banjir menerjang, orang-orang harus meletakan ribuan karung pasir untuk mencegahnya. Kadangkala, serbuan banjir bisa dicegah hanya dengan satu karung pasir saja.

Demikian pula begitu pula dengan pengorbanan para syuhada. Terkadang, seorang syahid saja sudah bisa menguasai musuh. Namun, terkadang pula untuk itu harus dikorbankan ribuan orang syuhada. Acapkali untuk menunaikan kepentingan agama, tidak cukup hanya dengan darah seorang syahid. Dengan kata lain, tidak setiap darah bisa menghentikan gerakan musuh.

“Manusia adalah tambang seperti tambang emas dan perak.”282 Ucapan ini berasal dari Rasul saww. Tambang yang bisa digali manusia ada bennacam-macam. Seperti arang, perak, Yaqut, dan sebagainya. Pernah sebagian murid Imam Baqir as menisbatkan ucapan beliau dengan batu permata dengan mengatakan: “Hari ini kami mendengar dari permata yang mengagumkan.” Imam as berkata: “Mengapa engkau tidak mengidentikannya dengan emas. Bukankah permata tidak lain dari sebongkah batu?”283

Sebagaimana manusia yang berasal dari tambang yang berbeda-beda, demikian pula dengan keberadaan para Syuhada, ulama, orang-orang shalih, serta para shadiqin. Masing-masing dari mereka tidaklah memiliki derajat yang sama. Jalaluddin al-Rumi berkata284: “Saudaraku, Anda dengan pikiran Anda yang tak lain itu adalah tulang, daging, dan rambut.” Dalam hal-hal ilmiah, Anda, wahai saudaraku, memiliki pemikiran semacam ini. Manusia kelak dibangkitkan bersama Nabinya dan orang-orang yang dicintainya. Pabila manusia ingin menikmati pengetahuan-pengetahuan ini dan meraih kesyahidan, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah. Dan darah yang dialirkannya di jalan Allah, layaknya darah para syuhada, akan menyumbat aliran air bah yang menghanyutkan dan membinasakan.

Dalam keadaan duka yang amat mendalam, Sayyidah Zainab al-Kubra bertanya kepada Imam Sajjad as berkenaan dengan keberadaan jasad-jasad suci (para syuhada di Karbala, ―peny.): “Kenapa kita tidak diperbolehkan menguburkan jasad-jasad yang telah terputus dari kepalanya?” Imam as menjawab: “Jasad-jasad ini adalah cahaya kecintaan Ilahi, jasad-jasad ini bukan jasad-jasad biasa, jasad-jasad ini akan menghancurkan kota-kota dan menghidupkan padang pasir agar seluruhnya menjadi hijau.”

Selang beberapa lama kemudian, ucapan Imam itu terwujud. Sesuai dengan kadar kemuliaan hatinya masing-masing, para syuhada beserta darah yang ditumpahkannya akan menggoreskan jejak. Karena itu, Allah akan melimpahkan pahala bagi perbuatan agung yang menyertakan darah-darah ini sesuai dengan kadar pengetahuan masing-masing syahid.

Surat al-Mujadalah menjelaskan perbedaan mukmin yang berpengetahuan dengan yang tidak: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat.”(al-Mujadalah: 11) Maksudnya mukmin yang berpengetahuan akan dianugerahi derajat yang tinggi, sedangkan mukmin yang tidak berpengetahuan hanya akan memperoleh anugerah satu derajat. Cahaya ilmu bukan untuk dunia melainkan untuk akhirat. Bagi orang yang alim, janganlah memperjualbelikan ilmu yang dimilikinya.

Dalam surat al-Mujadalah dan al-Anfal, terdapat pembicaraan mengenai berbagai kedudukan (derajat-derajat). Sementara dalam surat ar-Rahman tennaktub pernyataan tentang peleburan mukmin dengan kedudukan ―(derajat)―nya. Al-Quran berkata: “Mereka berderajat.” Laksana matahari, kedudukan tersebut memiliki cahaya yang benderang, yang menerangi hati juga orang lain.

Cahayayang menerangi surga berasal dari kaum mukminin, bukan dari sinarmatahan atau bulan, sebab sistem tata surya telah binasa. Apabila matahari digulung (sebagaimana dikatakan surat al-Takwir), sementara di surga tidak terdapat lampu maupun listrik, maka bintang-bintang mukmin yang memancar di hadapan dan sebelah kanan dirinyalah (at-Tahrim: 8), yang akan menjadikan alam surga yang sangat luas terang benderang.

Ilmu merupakan cahaya yang ditanamkan Allah ke dalam hati seorang mukmin yang dikehendaki-Nya, dan keimanan adalah cahaya yang diberikan Allah ke hati orang yang diinginkan-Nya. Begitu pula dengan kemampuan irfani yang juga merupakan cahaya yang ditanamkan Allah ke dalam hati siapapun yang diinginkan-Nya! Cahaya semacam ini harus dijaga dengan baik di alam ini. Kekuatan cahaya manusia akan selaras dengan pengetahuan yang dimilikinya, di mana surga akan menjadi benderang karena cahaya tersebut, sebagaimana alam surga juga menjadikan manusia bercahaya.

Kami akan meriwayatkan sebuah hadis dari Imam Shadiq as derni menegaskan makna darinya. Salim bin Hafsah berkata: “Aku berkata kepada saudara-saudaraku (ketika Imam Baqir as telah wafat) bahwa kita telah kehilangan Imam yang meriwayatkan dari Rasulullah tanpa perantara walaupun beliau belum pernah bertemu dengan Nabi.”286 Saudara-saudara beliau kemudian berkata: “Mari kita menemui Imam Ja’far bin Muhammad putra Imam Baqir dan menyampaikan duka cita baginya.”

Salim bin Hafsah berkata: “Inna liIlahi wa inna ilaihi raajiun.” Kemudian kami berkata: “Kami telah kehilangan orang yang meriwayatkan dari Rasulullah tanpa perantara, sedangkan beliau belum pernah bertemu dengannya dan kami kira tidak ada orang seperti beliau setelah beliau wafat.” Imam diam barang sejenak, kemudian berkata: “Allah berfirman. sesungguhnya dari hamba-hambaku yang menyedekahkan sepotong kurma, maka aku akan melebihinya sebagaimana salah satu dari kalian yang mendidik anak kudanya sehingga aku menjadikannya seperti Uhud.” Maksudnya, Allah menjadikan sedekah semacam itu seperti gunung Uhud.

Ketika mendengar ucapan ini dari Imam Ja’far Shadiq, Salim bin Hafsah berkata kepada para sahabatnya: “Ayahnya meriwayatkan dari Rasul tanpa perantara dan Ja’far telah sampai ke maqam yang meriwayatkan langsung dari Allah.” Ilmu pengetahuan Ilahi dimiliki para Imam suci bukan dengan cara dipelajari dari madrasah, melainkan lewat cara diwariskan dari nenek moyang mereka, Rasulullah, yang memperolehnya langsung dari Allah.

Ketika kita mengatakan bahwa Allah Swt menghadap kepada orang- orang yang dicintai-Nya, maksudnya adalah bahwa ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada mereka itu bukanlah wahyu tasyri’i. Sebabnya, wahyu tasyri’i hanya khusus diperuntukkan bagi para Nabi, dan tak seorang pun setelah Nabi Muhammad memperoleh wahyu tasyri’i, seperti penetapan suatu hukum atau sunah yang baru.

Adapun berkenaan dengan ilham dan ilmu pengetahuan yang benar, Allah menanamkannya ke lubuk hati orang-orang mukmin. Itulah alasannya, mengapa riwayat yang disampaikan Imam Shadiq as diperoleh langsung dari Allah Swt tanpa perantaraan apapun.

Salim bin Hafsah berkata: “Maka aku keluar bersama teman-temanku dari rumah Imam Ja’far: Aku berkata kepada mereka, aku belum pernah mendengar dan melihat hal yang menarik ini. Kadangkala kita mendengar Imam Baqir berkata bahwa Rasulullah bersabda, tanpa perantara, sedangkan beliau belum pernah melihat nabi dan kita mengkategorikan beliau sebagai orang besar.” Adapun Imam Shadiq senantiasa menyampaikan riwayat yang bersumber langsung dari Allah. Dalam sejumlah riwayat yang disampaikannya, beliau acapkali berkata: “Allah Swt berkata tanpa perantara.”

Dalam doa Abu Hamzah al-Tsimali disebutkan: Ilahi, tak ada penghalang antara diriku dan diri-Mu. Jika aku ingin menyingkap rahasiaku, maka aku katakan kepada-Mu tanpa perantara dan jika Engkau ingin mengasihiku, maka Engkau mengasihiku. Tak ada hijab di antara aku dan Engkau, kecuali satu hijab yaitu ‘saya’.”287 Imam Baqir as berkata: “Aku bersembunyi tanpa hijab yang menutupi, tak ada hijab antara Allah dan ciptaan-Nya. selain ciptaan-Nya.”288

Terdapat satu hijab atau penghalang yang menyebabkan manusia tidak mampu melihat Allah Swt. Hijab tersebut adalah egoisme, cinta pada diri sendiri. Allah tidak akan menerima seluruh shadaqah orang-orang yang egois. Shadaqah-shadaqah orang munafik tidak bakal diterima Allah. Sebabnya, shadaqah tersebut dikeluarkan dengan terpaksa, bukan dibarengi dengan niat (yang tulus).

“Di antara orang-orang Arab Badui, terdapat orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian.”(at-Taubah: 93) Shadaqah yang hampa dari niat (tulus) dan keikhlasan tidak akan diterima Allah Swt. Harta yang dinatkahkan di jalan Islam akan berbuah keuntungan, bukan kerugian. Keberadaannya akan dilipat gandakan Allah Swt sampai sebesar gunung Uhud. Kedatipun harta yang dinatkahkan itu cuma sekerat kurma. Tatkala seseorang memasuki pengadilan Ilahi. ia akan menyaksikan gunung kebaikan yang terhampar di hadapannya. Inilah rahasia shadaqah. Setiap shadaqah memiliki rahasia yang berbeda-beda.


Referensi:

279. Nabi saww bersabda: “Barang siapa yang ingin mengetahui apa yang dimilikinya di sisi Allah Swt, maka lihatlah apa yang ada dari Allah Swt di sisinya. Sesungguhnya Allah menurunkan seorang hamba di mana ia berada.” Lihat, Ibnu Abi Fars, Majmuah Warram, hal. 230.
280. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-18, hadis ke- 7.
281. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-87.
282. Al-Futhuhat al-Makkiyah, Bab CCCLXI; al-Asfar, juz 4, hal. 34.
283. Al-Mawaid al-Adaniyah, hal. 5.
284. Lihat, Bab VIII. hal. 8.
285. Al-Asfar, juz 1, Bab XI, topik ke-10, hal. 288.
286. Syaikh aI-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-42, hadis ke- 7.
287. Mafatih al-Jinan, dalam doa Abu Hamzah al-Simali.
288. Al-Kafi, juz 1, hal. 81, hadis ke-3.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: