Ibadah merupakan tujuan penciptaan manusia. Apabila tujuannya tercapai, seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik dan bersih. Kehidupan yang baik tidak akan diperoleh di dunia. Sebabnya, kehidupan dunia berbaur dengan berbagai bencana. Allah Swt telah berjanji kepada orang-orang mukmin yang benar-benar beriman dan melakukan kebaikan, untuk menganugerahi mereka kehidupan yang baik dan indah.
Memperoleh kehidupan yang baik di dunia merupakan sesuatu yang mustahil. Sebab, keberadaan alam ini tidak terlepas dari malapetaka, wabah penyakit, dan sebagainya. Dunia merupakan “rumah yang di penuhi dengan malapetaka.”
Pahala yang dianugerahkan Allah Swt bagi seorang mukmin adalah kehidupan yang baik. “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (an-Nahl: 97) Apabila seorang mukmin mengerjakan amal shalih, maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik.
Orang yang telah mencapai rahasia ibadah akan memperoleh anugerah kehidupan yang baik semacam itu. Kehidupan tersebut tidak memiliki cacat serta kekurangan, dan amat kontras dengan kehidupan yang dijalani di dunia. Selama hidup di dunia, seseorang harus senantiasa berusaha:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”(al-Balad: 4) Maksudnya, dalam kesulitan hidup, Allah menjanjikan kehidupan yang baik, yakni kehidupan yang akan dijalani di alam lain. Kehidupan yang baik mustahil dicapai tanpa iman dan amal shalih.
Imam Shadiq berkata: “Barang siapa yang mengatakan: ‘Laa ilah illallah,’ tidak akan mampu menembus malakut langit sampai ia menyempumakan ucapannya dengan amal shalih.”319
Amal shalih senantiasa berhubungan dengan rahasia dan aspek batin ibadah. Terkadang seseorang mampu menggapai aspek batin dari keberadaan langit. Lantas, nikmat macam apakah yang lebih besar dari itu? Seseorang yang hendak mengarungi relung batin langit, harus meringankan dirinya dan melepaskan berbagai keterikatan dirinya dengan kehidupan duniawi. Setiap pemikiran yang berkenaan dengan alam tabiat, pada hakikatnya menjadi belenggu yang mengikat diri kita. Cara apakah yang digunakan untuk melepaskan berbagai ikatan tersebut, sehingga diri kita menjadi ringan dan dapat terbang ke alam itu? Para imam suci telah mengajarkan kepada kita berbagai cara untuk melakukan hal itu.
Seorang sahabat bernama Jabir bin Abdullah al-Anshari berkata: “Pada suatu hari beliau berkutbah, bersyukur; dan memuji Allah, kemudian berkata: 'Wahai, sekalian manusia, shalatlah kalian, karena itu merupakan tonggak agama kalian, tahanlah malam dengan shalat dan perbanyaklah mengingat Allah yang itu dapat menghilangkan dosa-dosa kalian.” Shalat lima kali yang harus kalian tunaikan tak lain ibarat sungai yang mengalir di antara pintu-pintu rumah kalian. Sungai tersebut merupakan tempat untuk mandi sebanyak lima kali dalam sehari.
Sebagaimana dengan mandi, seseorang akan membersihkan kotoran tubuhnya, begitu pula halnya dengan shalat yang niscaya akan membersihkan berbagai dosa yang telah diperbuat. Dengan senantiasa menunaikan shalat, tak secuilpun dosa yang akan tersisa. Wahai sekalian manusia, tak ada seorang hamba pun kecuali terikat dengan dosanya. Jika seseorang terlelap pada sepertiga malam, malaikat akan mendatangi dan berkata kepadanya: “Berdirilah dan ingatlah Allah karena waktu subuh telah mendekat.”
Apabila orang tersebut beringsut dari tidurnya dan segera mengingat Allah, maka salah satu belenggu dalam dirinya seketika itu terlepas. Dan bila ia beranjak untuk berwudhu dan mengerjakan shalat, terlepaslah seluruh belenggu tersebut dan dirinya akan merasa bahagia. 321 Karenanya, jagalah shalat kalian. Sebab, shalat merupakan tonggak agama. Tahanlah segenap kesulitan dalam menjalankan shalat di malam hari. Jangan sampai kalian terlelap sejak malam sampai pagi hari. Berupayalah untuk mengurangi bergadang dan menghadiri majelis-majelis yang tidak bermanfaat dan tidak baik di malam hari. Seseorang yang menjaga lisan, ucapan, perilaku, dan semangat shalat yang menyala-nyala dalam dirinya, serta tabah menahan segala penderitaan yang dialami, tentu akan mampu mencapai tujuan yang sebelumnya telah ditentukan Allah bagi dirinya.
Perbanyaklah mengingat Allah. Namun, jangan sampai kita hanya mengingat-Nya secara lisan semata. Para imam suci mengajarkan kepada kita bahwa mengingat Allah berlangsung dalam hati. Pabila seseorang menjauhi perbuatan dosa dan bisa menjaga dirinya, maka itu menunjukkan bahwa ia senantiasa mengingat Allah sehingga berpengaruh terhadap hatinya. Banyak mengingat Allah akan menyebabkan terhapusnya dosa-dosa. Selain akan menghapuskan dosa, upaya tersebut sekaligus menjadi persiapan untuk menjauhkan diri dari berbagai perbuatan dosa di masa mendatang.
Perumpamaan semacam itu kadangkala muncul dalam bentuk imajinasi, kadangkala pula dalam bentuk penyempaan. Pada hakikatnya, aspek batinya shalat ibarat air yang jernih, sementara aspek batin dosa tak lebih dari cairan nanah. Ibarat sungai yang mengalirkan air yang bersih dan jernih, ibadah shalat akan membersihkan dosa-dosa yang dilakukan seseorang sebanyak lima kali dalam sehari. Dengan demikian, tak secuil pun dosa yang akan tersisa dalam dirinya. Jabir bin Abdullah al-Anshari berkata di penghujung sabda Nabi: “Tangan-tangan dan kaki-kaki kalian tidaklah bebas, tat seorangpun kecuali kedua kakinya dan kedua tangannya terikat dengan kuat. Seluruh hubungan kepada selain Allah merupakan belenggu yang mengikat kuat manusia. Pada sepertiga malam, malaikat datang ke dekat bantal orang yang sedang terlelap dan berkata kepadanya: ‘Bangunlah, berzikirlah kepada Allah karena shalat malam sudah dekat.’”322
Bangun dan lepaskanlah ikatan-ikatan ini. Bangkit dan lucutilah belenggu yang rnengikat dirimu di siang hari. Anda harus beranjak dari buaian tidur. Orang yang kedua kaki dan tangannya terbelenggu, mustahil mampu beranjak dari buaian mimpinya. Tentu tidak bisa dibenarkan apabila seseorang yang bangun dari tidurnya sebelum terbit fajar untuk melaksanakan shalat, namun setelah itu kembali melanjutkan tidurnya.
Imam Hasan al-Askari berkata: “Sesungguhnya untuk sampai kepada Allah, kita harus melalui perjalanan yang tak mungkin didapat kecuali dengan menaiki malam hari. Barang siapa yang tidak berkeinginan untuk itu maka ia tidak pantas diberi.”323 Untuk menuju dan sampai kepada Allah, harus dilakukan sebuah perjalanan. Dan untuk menempuh perjalanan ini, diperlukan sebuah kendaraan yang cepat, yang tak lain dari menghidupkan malam dengan beribadah. Dalam hadis lain, Amirul Mukminin Ali as berkata: “Ingatkanlah hatimu untuk senantiasa berpikir; berpalinglah dari tidurmu, dan bertawakallah kepada Tuhanmu.”324
Berpikir merupakan aspek batin dari amal perbuatan. Sebabnya, dengan berpikir, hati seseorang akan senantiasa hidup dan sadar. Janganlah Anda membiarkan hati Anda terlelap. Tatkala hati seseorang terlena, ia tidak akan memiliki kesadaran apapun. Ia tidak akan mengerti dengan baik dan tidak bisa menentukan dengan jelas.
Dalam khutbah Amirul Mukminin Ali, disebutkan: “Kami berlindang kepada Allah dari tidurnya Akal.”325 Aku berlindang kepada Allah dari terlelapnya akalku. Ketika akalnya terlelap, seseorang tak akan mampu memahami sesuatu dan tidak dapat menentukan kebenaran. Dalam keadaan demikian, akalnya menjadi mangkir dari kegiatan berpikir sehingga apapun buah dari pikirannya, dipastikan tidak akan luput dari kekeliruan.
“Dan bertakwallah kepada Tuhanmu.” Ketika segenap hubungan dengan kehidupan dunia telah sedemikian mengikat, seseorang tentu tidak akan mampu leluasa bergerak. Dalam keadaan seperti itu, ia jelas tak akan pernah sampai kepada tujuan, yakni Allah Swt. Satu-satunya faktor yang sanggup melepaskan berbagai belenggu tersebut adalah aspek batin ibadah.
Imam Shadiq menjelaskan bagaimana cara melepaskan diri dari keterlenaan hidup dengan mengatakan: “Sungguh pengikut kami yang paling kami cintai adalah yang berakal, memahami, faqih, sabar; mudah bergaul, dan menepati janji.”326 Kami mencintai pengikut kami yang menyandang berbagai sifat serta keutamaan dari segi ilmu, akhlak, dan amal shalih.
Para Nabi merupakan insan yang memiliki akhlak yang mulia. Karenanya, bagi setiap orang yang memiliki akhlak para Nabi, hendaknya bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, bila belum memiliki akhlak para Nabi, hendaknya seseorang tunduk kepada Allah dan meminta kepada-Nya, sebagaimana orang yang sakit mengharap kesembuhan dari-Nya, atau ibarat orang berutang yang meminta kepada-Nya agar utang dirinya menjadi lunas. Tatkala seseorang kehilangan akhlak yang baik, hendaknya ia segera tunduk kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan berdoa: “Ilahi, berikanlah aku rizki berupa fiqh, keberanian, kesabaran, dan lain sebagainya.”
Abdullah bin Bukhair bertanya kepada Imam Shadiq: “Apakah akhlak yang baik yang ada pada para nabi itu?” Imam menjawab: “Al-Wara,menerima, sabar, beryukur, malu, dermawan, berani, kecemburuan (dengan sifat positif), berbakti, jujur serta menunaikan amanat.”7 Semua itu merupakan bagian dari akhlak mulia yang terdapat dalam diri para nabi. Apabila hal ini juga terdapat pada diri seseorang, maka ia wajib bersyukur kepada Allah Swt. Namun bila belum memilikinya, hendaknya ia segera tunduk kepada Allah Swt dan meminta kepada-Nya agar dianugerahi akhlak yang dimiliki para Nabi.
Referensi:
319. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke- 7.
320. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-16.
321. Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub.
322. Muhaddis Qummi,al-Anwar al-Ilahiyah, hal.161.
323. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-42; Ushul al-Kafi, juz 2. Bab “at- Tafakur ”.
324. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-224.
325. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-22.
326. Syaikh al-Mufid, al-Amali.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email