Pesan Rahbar

Home » » Seputar Hadis Tentang Menangisi Mayit

Seputar Hadis Tentang Menangisi Mayit

Written By Unknown on Monday 31 October 2016 | 00:06:00

Foto: Palestine Menangis

Kata Kunci Pembahasan

Menangis, mayit, azab, hadis bertentangan dengan Alquran, riwayat.


Muqaddimah

Kita sering melihat di dalam sumber hadis Ahlusunah, hadis-hadis yang bertentangan dengan Alquran dan akal sehat, seperti pembahasan Tuhan bisa dilihat dengan mata telanjang, atau pembahasan Allah memiliki betis, dan lainnya.

Begitu juga pembahasan hadis tentang Nabi kencing berdiri atau Nabi ragu terhadap kenabiannya sendiri. Sangat jelas dalam logika Alquran maupun akal sehat hadis-hadis tersebut bertentangan secara Akli maupun Naqli.

Begitu pula pembahasan hadis tentang ”Siksaan untuk mayit ketika kerabat menangisinya”.

Hadis tersebut merupakan salah satu dari banyaknya hadis-hadis yang dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah saww. Alquran di beberapa tempat menjelaskan bahwa “seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [2]

Untuk itu, jika ada sekelompok dari kaum muslimin yang lebih mementingkan hadis tersebut (bertentangan dengan Alquran), maka mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap Alquran karim.


Arti Kata Menangis

Menangis secara bahasa berasal dari akar kata

 بکی-یبکی-بکاء

(Baka-Yabki-Buka)[3] yang memiliki makna menangis atau tetesan air mata tanpa adanya suara.

Namun jika hanya

“ بکاء”

, masdar dari kata kerja menangis, memiliki arti menangis dibarengi dengan suara.[4]

Raghib berkata, ”Jika menangis bersamaan dengan kesedihan dan suara maka biasanya memakai masdar

” بکاء” 

seperti kata arab lainnya

”رغاء” ,ثغاء” ”

(Ragha-Tsagha).[5]


Larangan Menangis dalam Sejarah Islam

Jika kita melihat sejarah, siapakah yang pertama kali melarang menangis bagi orang yang telah mati? maka kita akan dapati bahwa Khalifah kedualah yang pertama kali melarang menangisi orang yang telah mati.

Dalam literatur Sunnah ditemukan bahwa pada zaman Rasulullah saww ada seorang yang meninggal dan wanita-wanita mereka menangis tersedu-sedu atas kepergian sanak keluarga mereka. Umar bin Khatab melarang mereka untuk tidak menangisi mayit sehingga terdengar oleh Rasulullah saww, kemudian Nabi saww melarang Umar bin Khatab untuk berkata demikian sehingga nabi bersabda bahwa menangis adalah bentuk kesedihan jiwa.

خرج النبی علی جنازة ومعه عمر بن الخطاب، فسمع نساء یبکین، فزبرهن عمر فقال رسول الله (ص) یا عمر، دعهن، فإن العین دامعه

والنفس مصابه والعهد قریب (أحمد بن حنبل، 2/273،408؛ حاکم نیشابوری، 1/381؛ بیهقی، 4/70؛ هيثمي، 9/247؛

صنعانی، 3/554؛ ابن حبان، 7/429؛ طبرانی، 24/39

“Nabi saww keluar untuk mengiringi jenazah, dan bersamanya Umar ibn Khatab, kemudian Umar mendengar para wanita menangis serta melarang mereka untuk menangis. Lalu Rasulullah saww berkata, “wahai Umar, janganlah kau melarang mereka menangis, sesungguhnya ketika jiwa merasakan musibah maka mata akan menangis. Sesungguhnya janji Allah itu dekat” (Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.408, Hakim Nisyaburi juz.1 hal.381, Baihaqi, juz.4 hal.70, Haistami, juz.9 hal.247, shan’ani, juz.3 hal.554, Ibn Hibban, juz.7 hal.429, Thabarani, juz.24 hal.39)


Menilik Sumber dan Matan Hadis

Kita sering melihat di kehidupan masyarakat ketika ada sanak kerabat meninggal, mereka yang ditinggal ingin menangis, namun takut jika menangis akan ditegur oleh pak Kiai atau Ustaz. Sehingga terkadang mereka pura-pura tegar, namun ketika sudah sepi dari tetangga ledaklah tangisan mereka. Tangisan yang lahir dari rasa kehilangan bukan lahir dari larangan Syariat. Karena menangis adalah rahmat Tuhan semesta, kenapa kita diberi air mata namun dilarang untuk menangis?

Larangan menangis di masyarakat umum sudah sangat terkenal, mereka bersandar pada hadis-hadis dibawah ini,

– حدثنا شعبة قال سمعت قتادة يحدث عن سعيد بن المسيّب عن ابن عمر عن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الميت يعذب في قبره

بما نيح عليه (مسلم نيشابوري ج3، ص41

Diriwayatkan dari Syu’bah, ia berkata, Aku mendengar Qutadah meriwayatkan dari Said ibn Mushayyab dari Ibn Umar dari ayahnya Umar ibn Khatab dari Rasulullah saww beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa di dalam kuburnya dikarenakan ratap tangisan sanak kerabatnya.”[6]


Hadis lain berkenaan dengan larangan menangis terhadap mayit


حدثنى عبيد بن اسماعيل حدثنا أبو اسامة عن هشام عن أبيه قال ذكر عند عائشة رضى الله عنها ان ابن عمر رفع إلى النبي صلى الله عليه

وسلم إنَّ الميتَ يُعَذَّبُ في قَبرِه بِبُكاءِ أهلِه فقالت انما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انه ليعذب بخطيئته وذنبه وان اهله ليبكون عليه

الآن» (بخاري ج5، ص9؛ مسلم نيشابوري ج3، ص44

Diriwayatkan Ubaid ibn Ismail, diriwayatkan dari Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya berkata, “Aisyah ra berkata, Sesungguhnya Ibn Umar menisbahkan hadis kepada Nabi saww, bahwa mayit disiksa di dalam kuburnya dikarenakan tangisan sanak kerabatnya, namun sebenarnya.
Nabi saww bersabda: Sesungguhnya mayit disiksa karena kesalahan dan dosanya sendiri, untuk itu sanak kerabat menangis untuknya.”[7]

Melihat dari matan hadis diatas, jelas bahwa Aisyah sendiri tidak menerima jika tangisan sanak kerabat menjadi penyebab seorang mayit disiksa. Bahkan beliau menegaskan bahwa menangisi mayit tidak menyebabkan seseorang yang ditangisinya disiksa tapi mereka disiksa karena amal perbuatan dosa dan maksiatnya bukan karena tangisan sanak kerabatnya.


Kritikan atas Hadis

Jika kita melihat riwayat dengan teliti maka periwayat hadis diatas “Menangisi mayit menjadi sebab disiksanya mayit” hanya diriwayatkan oleh dua rawi yaitu Ibn Umar dan Umar ibn Khatab ra. Bahkan Ibn Umar meriwayatkan dari Umar Ibn Khatab sehingga kedudukan hadis menjadi sangat lemah yaitu Hadis ahad (Hadis yang diriwayatkan dari satu rawi).

Selain keduanya, tidak ada dari kelompok sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Jika seandainya hadis tersebut dari Rasulullah saww, maka sahabat yang lain akan meriwayatkannya. Sebaliknya para sahabat tidak ada yang menguatkan hadis ini, bahkan melemahkannya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra.


Fatwa-Fatwa Ulama Ahlusunah Berkenaan dengan Menangisi Mayit

Ahli fikih dari Ahlusunah berpendapat bahwa menangisi mayit apabila tanpa ratapan diperbolehkan (Mubah) namun jika menangis dengan ratapan mereka berbeda pendapat.

Mazhab Syafii dan Hambali memperbolehkan menangis dengan ratapan namun mazhab Maliki dan Hanafi mereka beranggapan menangis dengan ratapan adalah haram.

Abdurahman Jaziri berkata:

قال عبدالرحمان جزیرى: «یحرم البکاء على المیت برفع الصوت و الصیاح عند المالکیه والحنفیه، و قال الشافعیه و الحنابله انه مباح اما هطل

الدموع بدون صیاح فانه مباح باتفاق» (جزیری/400

“Menangis dengan ratapan dan teriakan di dalam pandangan mazhab Maliki dan Hanafi adalah haram, namun mazhab Syafii dan Hambali membolehkan. Adapun menangis tanpa ratapan dan teriakan seluruh ulama sepakat membolehkan hal tersebut.”

Abdurahman Jaziri menambahkan bahwa seluruh mazhab Ahlusunah sepakat, apabila menangis dengan cara yang tidak normal seperti menjambak-jambak rambut, merobek baju atau berteriak histeris, maka hal tersebut adalah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Tapi walaupun demikian, tangisan kerabat mayit bukanlah merupakan sebab siksa atau azab bagi mayit, kecuali jika sebelum wafat, mayit tidak berwasiat dimana wasiat merupakan hal wajib dalam syariat.

Ketika kerabat menangis karena mayit tidak berwasiat sebelum wafat, maka dia akan disiksa. Jadi siksaan bukan dikarenakan tangisan, melainkan karena meninggalkan wasiat.[8]


Penjelasan Ayat Alquran yang Bertentangan dengan Hadis

Jika kita kembali kepada Alquran, maka kita akan dapati ayat ayat yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khatab.

1. Allah swt berfirman:

لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى[9]

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain

Jelas sekali riwayat terdahulu bertentangan dengan ayat diatas, terlebih bahwa ayat tersebut diulang ulang sebanyak lima kali dalam Alquran. Karena jika kita meyakini bisa memikulkan dosa kita kepada orang lain, maka itu bertentangan dengan keadilan Allah swt dan rahmat rahimNya.

2. Allah swt berfirman:

وَأَنْ لَيسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَي[10]

dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

Allah swt akan memberikan pahala ataupun siksa dengan apa yang diusahakan oleh manusia itu sendiri. Maka pahala ataupun siksa berkaitan dengan personal masing-masing dan tidak ada kaitannya dengan orang lain.

3. Allah swt berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ بِما كَسَبَت رهينة[11]

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa segala perbuatan, kitalah yang akan mempertanggung jawabkannya kelak dihadapan Tuhan. Ataupun ayat-ayat lain yang bernada sama seperti ayat-ayat diatas seperti, Thur:21, Ghafir:17, Jastiyah:22.

Atau kita melihat dalam surat Zilzal ayat:7-8 bahwa amal perbuatan baik atau buruk sekecil apapun, akan ada pembalasannya di hari Kiamat kelak.


Pelaku Dosa yang Menanggung Segala Perbuatannya

Seseorang yang melakukan dosa, dialah yang menanggung akibatnya dan orang lain tidak ada sangkut pautnya dengan siksa pelaku dosa tersebut. Allah swt berfirman:

أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِما في‏ صُحُفِ مُوسى وَ إِبْراهيمَ الَّذي وَفَّى أَلاَّ تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji, bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain?”[12]

Ayat ini secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa sebelum Rasulullah saww diutus menjadi Nabi, hukum pendosa dialah yang memikul dosanya bukan orang lain.

Sunnah Allah ini ada jauh sebelum Syariat Islam diturunkan yaitu pada zaman nabi-nabi sebelumnya. Dan kita ketahui bahwa sunnah Allah swt tidak akan pernah berubah. Allah swt berfirman:

وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْديلاً

“Dan kalian tidak pernah menemukan perubahan terhadap sunnah Allah swt.”[13]


Sunah Nabi Terkait Menangisi Mayit

Selain dalil Al-Quran, kita juga akan dapati dalil dari sunah Nabi Muhammad saww terkait menangisi mayit.

Sunah Nabi membolehkan bagi sanak kerabat untuk menangisi orang yang ditinggal pergi ke haribaan Tuhannya. Bahkan Nabi saww menekankan para sahabatnya untuk menangisi orang-orang yang gugur di jalan Islam.

1. Tangisan Nabi saww untuk Najasyi

Imam Ali as meriwayatkan, ”Ketika Jibril turun memberi kabar kepada Nabi saww atas wafatnya najasyi, beliau menagis tersedu-sedu”.[14]

2. Tangisan Nabi terhadap Putranya Ibrahim

Aisyah ra meriwayatkan, ”Ketika putra Rasulullah saww Ibrahim wafat, seketika Rasulullah menangis hingga air mata membasahi wajahnya.
Setelah itu para sahabat bertanya kepada Rasulullah saww, wahai Rasulullah saww bukankah Anda melarang untuk menangis?
lalu kenapa Anda menangis tersedu-sedu?
Rasulullah saww bersabda, ini bukanlah tangisan melainkan rahmat dan kasih sayang.
Lalu beliau melanjutkan, “Barang siapa yang tidak berbelas kasih kepada orang lain, maka orang lain tidak akan berbelas kasih padanya.”[15]

3. Tangisan Rasulullah saww dan Sahabat untuk Syuhada Uhud khususnya Sayyidina Hamzah

Menukil hadis dari beberapa sumber Ahlusunah bahwa, “Setelah berakhirnya perang Uhud, kaum muslimin kembali ke Madinah. Kaum wanita yang ditinggal syahid sanak kerabatnya mulai menangisi mereka satu persatu. Kabar kaum wanita baik dari Muhajirin maupun Anshar menangisi para syuhada terdengar oleh Rasulullah saww.
Kemudian beliau menangis seraya berkata, ”Oh..mereka menangisi sanak kerabatnya sedangkan tak satupun dari mereka menangisi pamanku Hamzah
oh..pamanku yang malang,
oh..pamanku yang malang.

Ketika kabar ini terdengar oleh para wanita Madinah, merekapun mulai menangisi paman Nabi saww Hamzah setelah itu menangisi sanak kerabatnya.”[16]

4. Tangisan Rasulullah saww untuk Bundanya Sayyidah Aminah as

Dalam sejarah Islam baik dalam literatur Sunnah maupun Syiah adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap saat, Rasulullah saww berziarah ke pemakaman Bunda Aminah dan beliau selalu menangis untuk ibunya.[17]

5. Saran Rasulullah saww untuk Menagisi Sayyid Ja’far ibn Abi Thalib Al-Thayyar Mashur dikalangan Ahlusunah kisah syahidnya Ja’far ibn Abi Thalib ditangisi oleh Rasulullah saww dan beliau memperintahkan orang untuk menangisi orang-orang seperti Ja’far al-Thayyar.

Diriwayatkan, ”Ketika kabar syahidnya Ja’far ibn Abi Thalib terdengar ke telinga suci Rasulullah, seketika itu Rasulullah dan Sayyidah Fatimah menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Untuk orang-orang seperti Ja’far ibn Abi Thalib maka selayaknya mata untuk menangisinya.”[18]


Pandangan Sahabat Nabi Terkait Menangisi Mayit

Selain Umar ibn Khatab dan anaknya semua sahabat memandang bahwa menangisi mayit adalah hal positif. Ada beberapa saksi hadis dan sejarah berkenaan dengan pandangan para sahabat terkait menangisi mayit.


Pandangan Aisyah dan Ibn Abbas

Aisyah dan Ibn Abbas menceritakan bahwa pada zaman Khalifah Umar ibn Khatab tidak ada satupun yang berani untuk mengutarakan pandangan mereka tentang menangisi mayit. Dari semua sahabat yang ada hanya Khalifah Pertama yang pernah menjawab pandangan Umar ibn Khatab tentang siksaan dan azab mayit karena ditangisi sanak kerabatnya, lalu Umar menerima dalil argumentasi Khalifah pertama. [19]

Ketika Abu Bakar Khalifah pertama meninggal, Umar melarang orang untuk menangisinya. Kemudian Aisyah menentang Umar ibn Khatab terkait kenapa tidak boleh menangisi ayahnya, lalu Umar mengancam akan menindak dengan kekerasan apabila ada yang berani menangisi mayit dari sanak keluarganya. Namun setelah Umar ibn Khatab wafat barulah para sahabat memperlihatkan pandangan-pandangan mereka terkait menangisi mayit tidak menyebabkan azab dan siksa untuk mayit, diantaranya ialah Aisyah dan Ibn Abbas.

Dinukil dari sebuah riwayat, ketika Umar ibn Khatab wafat, Ibn Abbas berkata kepada Aisyah sesungguhnya Umar telah wafat maka Aisyah Berkata,

“ Semoga Allah merahmati Umar, Demi Allah Rasulullah saww tidak pernah mengatakan hal seperti itu (menangisi mayit merupakan sebab mayit disiksa). Namun Rasulullah saww bersabda: “Sesungguhnya seorang kafir akan disiksa didalam kubur, ketika sanak kerabatnya menangis maka siksaan dan azab kubur ditambahkan kepadanya. Kemudian Aisyah menambahkan,” Cukup untuk kalian firman Allah swt bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain.”[20]

Jika kita melihat riwayat dari Aisyah dan Ibn Abbas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa merekapun tidak menerima hadis yang dibawakan oleh Umar, bahkan menolaknya.


Pandangan Abu Hurairah

Abu Hurairah meriwayatkan, “Telah wafat seseorang dari Bani Hasyim, kemudian wanita dari mereka berkumpul dengan menangis tersedu sedu. Lalu Umar ibn Khatab datang dan melarang mereka untuk menangis. Rasulullah saww melihat kejadian itu langsung berkata kepada Umar, wahai Umar, biarkan mereka menangis! karena Allah menciptakan mata untuk menangis dan jiwa (ketika terkena musibah) untuk bersedih. Sesungguhnya janji Allah swt itu adalah pasti (Kematian-Kiamat)”[21]


Menangis Untuk Al-Husein

Menukil hadis dari Rasulullah saww bahwa seluruh kaum mukminin akan terus menangis untuk Al-Husein as sampai hari kiamat.

Rasulullah saww bersabda, “Rasulullah saww menatap Al-Husein lalu membawanya dan mendudukannya dihadapan beliau seraya berkata,

Sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein akan selalu menjadi bara api didalam jiwa kaum mu’minin dan tidak akan pernah padam sampai hari kiamat. Sesungguhnya air mata akan terus mengalir. Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Apa maksud dari air mata akan terus mengalir? lalu beliau menjawab, “Tidaklah seorang mu’min mengenang tragedi syahidnya Al-Husein kecuali mereka akan menangis.”[22]

Dan banyak lagi hadis lainnya yang berkenaan dengan anjuran menangisi Al-Husein as. Salah satu hadis tekenal ketika datang bulan Muharram dari para ahli mimbar ialah: ”Barang siapa yang menangis, atau berpura pura menangis, atau membuat orang menangis untuk Al-Husein as, maka baginya Surga.”

Untuk itu kita bisa simpulkan bahwa secara fitrah manusia, menangis adalah hal yang normal. Bahkan bayi ketika datang ke dunia harus menangis karena berpisahnya dia dengan alam sebelumnya. Perpisahan dari satu alam ke alam yang lain pasti membuat para musafir alam ini menangis. Innalillah wa Innailaihi rajiun.


Catatan Kaki:

[1]QS: Al-An’am Ayat: 164.
[2] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18, Al-Najm:38.
[3] Farahidi, Juz.5 hal.418.
[4] Tharihi, juz.1 hal.59.
[5]Raghib Isfahani hal.141.
[6] Shahih Muslim juz.3 hal.41.
[7] Shahih Bukhari, Juz.5 hal.9, Muslim dalam Shahihnya, Juz.3 hal.44.
[8] Al-jaziri hal.400.
[9] Al-an’am:164, Al-Isra:15, Fathir: 18, AL-Zumar: 18, Al-Najm:38.
[10] Al-najm:39.
[11] Mudastir:38.
[12] Al-najm:36-37-38.
[13] Al-Ahzab:62, Fathir:43, Fath:23.
[14] Ibn Babawaih: juz.1 /279.
[15] Shahih Bukhari, Juz.2 hal.80, Musnad Ahmad, juz.5 hal.204 Ibn hajar, juz.13 hal.303.
[16] Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz.2 hal.84, Ibn Hajar juz.3 hal.129, Ibn Sa’ad juz.2 hal.44, Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul Ummal juz.1 hal.374.
[17] Shahih Muslim, juz.3 hal.65, Hakim Naisyaburi juz.1 hal.374, Baihaqi juz.4 hal.70, Ibn Asakir, juz. 35 hal. 385.
[18] Ibn Astir, Juz.1 hal.289, Baladzuri hal.43, Ya’qubi hal.65-66.
[19] Tafsir suyuthi ketika menafsirkan surat al-Imran ayat.144 juz.2 hal.81, Tsa’labi juz.3 hal.187.
[20] Shahih Muslim, Juz.3 hal.43-44, Ibn Hajar al-Asqalani didalam talkhis al-Khabir, Juz.5 hal.272.
[21] Ahmad ibn Hanbal, Juz.2 hal.444, Nasai Juz.2 hal.19, Baihaqi, juz.4 hal.70, Ibn Hazm, juz.5 hal.16.
[22] Al-Nuri, Juz.1 hal.318.

(HPI-Iran/Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: