Oleh: Syaikh Ahmad Wa’ili
Dalam bahasa Arab, istilah tasyayu’ berarti keikutsertaan, pemberian pertolongan, percintaan, dan dukungan.[1]
Dalam konteks ini, kosakata syiah secara etimologis berarti pengikut, pendukung, atau golongan. Selang berapa waktu kemudian, kosakata ini lebih dominan digunakan untuk menyebut para pengikut Ali bin Abi Thalib as.
Bahkan, dalam prosesnya, istilah ini hanya dikhususkan bagi mereka. Karenanya, kapan pun istilah itu digunakan tanpa imbuhan yang lain, niscaya artinya adalah “pengikut Ali bin Abi Thalib as.”.
Al-Quran juga menggunakan kata syiah dalam makna etimologis tersebut. Ini sebagaimana firman Allah swt.:
“Dan sesungguhnya Ibrahim adalah dari golongannya.”[2]
Begitu pula firman Allah swt.:
“Yang seorang dari golongannya dan yang seorang lagi dari golongan musuhnya.”[3]
Adapun secara terminologis, syiah bermakna kepercayaan terhadap pandangan-pandangan dan pemikiran–pemikiran tertentu. Namun, kalangan cerdik cendekia berbeda pendapat dalam soal kuantitas (banyak–sedikit) pandangan atau pemikiran tersebut. Penjelasan lebih mendetail tentangnya akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya.
Berdasarkan semua itu, syiah dalam makna kedua bersifat lebih umum ketimbang dalam makna yang pertama. Dalam pada itu, pola relasi antara kedua makna syiah itu adalah “umum dan khusus mutlak”. Jelasnya lagi, makna syiah yang kedua bersifat umum, karena di samping mencakup dirinya sendiri, juga meliputi makna yang pertama.
Bertolak dari makna syiah sebagai kepercayaan terhadap pandangan dan pemikiran khas, kalangan pakar dan peneliti juga cenderung mengemukakan definisi syiah yang berbeda–beda, khususnya dari segi cakupan definisinya masing–masing. Silahkan perhatikan beberapa contoh definisi yang dikemukakan:
1. Syahid Tsani mengemukakan definisi syiah dalam karya tulisnya yang berjudul Syarh Al-Lum’ah, “Syiah adalah siapa saja yang mendukung Ali bin Abi Thalib as., mengikuti dan meyakini superioritas beliau dibanding yang lain dalam konteks imamah (kepemimpinan), walaupun pada saat yang sama dia tidak meyakini imamah para imam lainnya. Maka dari itu, kelompok–kelompok berikut juga termasuk kategori syiah: Imamiyah, Jarudiyah (pecahan sekte Zaidiyah), Isma’iliyah (yang bukan ateis), Waqifiyah, dan Fathahiyah.”[4]
2. Syaikh Mufid dalam karya tulisnya, Al-Mawsû’ah, sebagaimana dinukil penulis, menyebutkan, “Syiah adalah siapa saja yang mendukung Ali bin Abi Thalib as. dan meyakini keutamaan beliau dibanding sahabat Rasulullah saw. yang lain, di samping pula meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah sosok imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah saw., atau dengan kata lain, dikehendaki langsung oleh Allah swt. secara eksplisit sebagaimana kalangan Imamiyah, atau dikehendaki oleh–Nya namun tidak secara langsung, melainkan lewat penetapan keriteria–keriteria khusus sebagaimana dipercayai kaum Jarudiyah.”
Definisi ini juga dikutip Kamil Mustafa Syibi dalam bukunya, Al-Shilah bayn Al-Tashowwuf wa Al-Syî’ah.[5]
3. Syahrestani, dalam karya tulisnya yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal, menyebutkan, “Syiah adalah orang-orang yang mendukung Ali bin Abi Thalib as. dan meyakini imamah serta khilafahnya atas dasar nash atau wasiat, baik secara eksplisit maupun implisit. Di samping itu mereka juga berkeyakinan bahwa imamah tidaklah keluar dari keturunan beliau. Jika ternyata keluar, itu dapat dipastikan terjadi lantaran kezaliman pihak lain atau karena sikap taqiyah dari pihak imam itu sendiri.”[6]
4. Nauwbakhti dalam karyanya yang bertajuk, Al-Firoq, menyebutkan, “Syiah adalah golongan Ali bin Abi Thalib yang biasa dinamakan Syiah Ali pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Begitu pula, sesiapa yang kecintaannya sesuai dengan kecintaan Ali bin Abi Thalib.”[7]
5. Muhammad Farid Wajdi dalam bukunya yang berjudul Dâ’irot Ma’ârif Al-Qorn Al-Isyrîn, menyebutkan, “Adapun Syiah adalah orang-orang yang mendukung imamah Ali bin Abi Thalib, dan berkeyakinan bahwa imamah tidaklah keluar dari keturunan beliau, dan mereka juga meyakini kesucian para imam, baik dari dosa besar maupun kecil. Selain itu mereka juga berkeyakinan harus secara simultan mendukung imam–imam mereka dan memusuhi musuh-musuh para imam, baik secara verbal maupun Dan hanya satu pengecualian; saat bertaqiyah atau khawatir atas kekerasan penguasa yang zalim.”[8]
Itulah sejumlah contoh seputar definisi yang dimaksudkan agar kita sama–sama mengetahui, apa sebenarnya unsur–unsur utama dari kesyiahan dalam pandangan para pakar. Namun, dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa ternyata ada pula yang mengatributkan label syiah pada sekelompok individu hanya karena mereka lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib as. ketimbang yang lain; entah itu didasarkan atas bukti–bukti kanonik yang bersangkutan, atau pelbagai sifat yang hanya dimiliki beliau yang tidak dimiliki selainnya. Kendati demikian, jelas sudah bahwa berdasarkan semua itu, intisari kesyiahan merupakan suatu komitmen terhadap imamah Ali bin Abi Thalib as. beserta keturunannya–yang suci–sekaligus pengutamaan mereka dari yang lain, yang tentunya didasarkan pada serangkaian bukti kanonik yang terkait dengannya. Pada gilirannya, kepercayaan ini akan membuahkan komitmen lain terhadap dua hal:
Pertama, imamah merupakan produk serangkaian bukti kanonik serta perpanjangan dari kenabian. Karenanya, segala hal yang berlaku dalam konteks kenabian, berlaku pula pada imamah, kecuali wahyu. Pasalnya, wahyu hanya diturunkan pada para nabi.
Kedua, legitimasi imamah bukan berasal dari musyawarah, melainkan semata–mata bersumber dari ketetapan Allah swt. Karena, Dialah yang menentukan imam melalui ketetapan (nash) yang disampaikan Nabi saw.; dan Dia memilih seorang imam karena kelayakannya yang tidak dimiliki individu lain.
Adapun beberapa tambahan selain yang kami ungkap di atas, baik tertera dalam definisi yang dikemukakan di atas maupun maktub dalam buku-buku Syiah lainnya, merupakan konklusi dari hadis-hadis dan bersifat lebih umum; apakah tambahan itu termasuk prinsip mazhab atau prinsip Islam. Kenyataan ini akan lebih dipahami seiring dengan pembahasan yang akan dikemukakan berikutnya.
Tujuan kami mengisyaratkan poin di atas adalah terpusatnya perhatian pada tekanan yang dikemukakan para pakar sewaktu menjelaskan kelompok Syiah berikut keyakinan–keyakinannya. Perlu diketahui pula bahwa ini merupakan penekanan terhadap adanya upaya menyusupkan pendapat–pendapat tertentu yang hendak dijadikan sarana untuk mengait–kaitkan Syiah dengan Yahudi, Kristen, atau Ateis. Begitu pula penekanan terhadap usaha faktual untuk menghubung–hubungkan Syiah dengan fenomena rasisme–tentunya usaha berbau makar ini tidak luput dari pandangan tajam kalangan kritikus.
Rangkaian usaha seperti ini sangat bernafsu untuk menggambarkan bahwa Syiah tidak berkembang secara wajar sebagaimana kelompok dan mazhab lain yang diklaim terus meluas sekaligus mengalami perubahan–perubahan yang positif; sementara yang dialami Syiah tak lain dari involusi (pembusukan) dan kekeruhan yang pada hakikatnya akan merusak kandungan Syiah itu sendiri. Berikut akan saya kemukakan beberapa pendapat yang terkait dengannya. Ini tidak lain dimaksudkan untuk menggambarkan sekilas fenomena tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan tanggapan saya.
Catatan Kaki:
[1]– Shihâh Al-Jawharî, jld. 3, hlm. 156; Tâj Al-’Arûs, jld. 11, hlm. 257; dan Lisân Al-’Arob, jld. 7, hlm. 258 (entri sya–ya–’a).
[2]– QS. Al-Shâfât [37]: 83.
[3]– QS. Al-Qashash [28]: 15.
[4]– Syarh Al-Lum’ah, jld. 2, hlm. 228.
[5]– Mawsû’ah Al-Atabât Al-Muqaddasah (Al-Madkhal), hlm. 91.
[6]– Al-Milal wa Al-Nihal, hlm. 107.
[7]– Firoq Al-Syî’ah, hlm. 36.
[8]– Dâ’irot Al-Ma’ârif, jld. 5, hlm. 424.
(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email