Oleh: Rabbani Gulpaigani
Kata Syiah dalam kacamata terminologi memiliki beragam makna:
1. Percaya dan meyakini ke-Imamahan atau kepemimpinan Imam Ali as secara langsung (paska wafatnya Nabi saw) dengan dalil atau alasan bahwa beliau yang paling utama dibanding sahabat-sahabat lain dan juga Nabi saw telah memilih beliau sebagai pengganti setelahnya dan juga meyakini bahwa Keimamahan atau kepemimpinan ini akan dilanjutkan oleh putra-putra beliau dari keturunan Sayidah Fatimah al-Zahra as dan selain mereka tidak ada orang yang memiliki hak semacam ini.
Terkait hal ini, Syaikh Mufid menyebutkan, “Kata Syiah terkadang digunakan dengan menggunakan Alif-Lâm Ta’rîf (al-Syî’ah) dan terkadang juga tidak. Kapan ia digunakan tanpa Alif-Lâm Ta’rîf maka itu menunjukkan arti yang cukup luas, sebagai contoh dikatakan “Syiah Bani Umayyah” atau “Syiah Bani Abbas” atau “Syiah si Fulan”, tetapi tatkala digunakan dengan memakai Alif-Lâm Ta’rîf – misalnya al-Syî’ah – maka ia memiliki arti khusus dan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti Amirul Mukminin Ali as sebagai Wali Amr Muslimin dan menyakini ke-Imamahan (Kepemimpinan) langsung paska Nabi Muhammad as dan sama sekali tidak meyakini kekhalifahan tiga orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman) sebelumnya. Oleh karena itu, Syiah ditinjau dari segi bahasa berarti mutlak mengikuti atau para pengikut seseorang, sedangkan menurut istilah memiliki arti khusus seperti yang telah dijelaskan diatas; layaknya kata “Islâm” yang menurut bahasa juga mencakup Yahudi dan Nasrani karena mereka juga tunduk (taslîm) kepada Nabi Musa as dan Nabi Isa as, namun ditinjau dari definisi terminologinya, Islam hanya berarti umat Rasulullah saw.”[1]
Abdul Karim Syahristani juga dalam mendefinisikan Syiah mengatakan, “Syiah adalah mereka yang hanya mengikuti Ali as (dan bukan sahabat-sahabat lain) dan mereka meyakini ke-Imamahan dan ke-Khalifahan-nya berdasarkan nas dan wasiat Nabi saw, baik itu nas Jalî (jelas) maupun Khafî (tersembunyi) dan juga meyakini bahwa ke-Imamahan tidak akan keluar dari putra-putra keturunannya dan jika ada selain dari putra-putra keturunannya yang memegang tampuk kepemimpinan maka kepemimpinannya itu bersifat aniaya.”[2]
Sayid Syarif Jurjani juga mengatakan, “Dan Syiah adalah mereka yang mengikuti Ali as dan menyatakan bahwa beliau adalah Imam (langsung) paska Nabi Muhammad as dan juga mereka meyakini ke-imamahan atau kepemimpinan tidak akan pernah keluar dari putra-putra keturunannya.”[3]
Ibnu Khaldun juga menyebutkan, “Syiah dalam istilah fuqaha dan mutakallimin klasik dan modern adalah mereka yang mengikuti Imam Ali as dan putra-putranya. Menurut keyakinan mereka, Imamah dan kepemimpinan adalah rukun agama dan Ali as oleh Nabi saw diangkat sebagai Imam paska beliau.”[4]
Abul Hasan al-Asy’ari dalam mendefinisikan Syiah menyebutkan, “Alasan mereka disebut Syiah karena mengikuti Ali as dan mereka mendahulukan-nya dibanding sahabat-sahabat Nabi saw yang lain.”[5]
Maksud dari mendahulukan Ali as atas sahabat-sahabat lain adalah meyakini ke-Imamahan langsung Imam Ali as.
Dalam penjelasan diatas, meyakini ke-Imamahan langsung Ali as dan adanya bukti nas serta bukti pengangkatan atas ke-Imamahan beliau dan bahwa ke-Imamahan akan terus berlanjut di tangan putra-putra keturunannya dari Sayidah Fatimah az-Zahra as, dianggap sebagai poin sentris dan mendasar.
Meluasnya istilah ini sampai-sampai para ahli bahasa juga paska penyebutan arti bahasa kata Syiah sadar kalau kata ini lebih banyak digunakan khusus untuk menyebutkan mereka yang memilih Wilayat (kepemimpinan) Ali as dan Ahlulbait beliau. Pengarang al-Qâmûs menyebutkan terkait masalah ini, “Dan sungguh nama ini telah lebih dominan digunakan untuk mereka yang ber-wilayat kepada Imam Ali as dan Ahlulbait-nya sampai-sampai (kata Syiah) menjadi penyebutan khusus untuk mereka.”[6]
Ibnu Atsir juga menyebutkan, “Dan sungguh nama ini telah lebih dominan digunakan untuk mereka yang ber-wilayat kepada Imam Ali as dan Ahlulbait-nya sampai-sampai (kata Syiah) menjadi penyebutan khusus untuk mereka. Jika disebutkan si fulan adalah Syiah maka itu berarti ia adalah bagian dari mereka (Syiah Ali as.)”[7]
Tabarsi juga menyebutkan bahwa Syiah dalam arti ‘Urf adalah para pengikuti Imam Ali bin Abi Thalib as, mereka yang berada di barisan Ali as ketika menghadapi musuh dan mereka, setelah beliau, berada bersama putra-putra dari keturunan Ali as yang merupakan penggantinya.[8]
2. Mereka yang meyakini Imam Ali as lebih utama dibanding seluruh sahabat dan tiga khalifah sebelumnya, kendati mereka tidak mengakui ke-Imamahan langsung beliau setelah Nabi saw dan secara asasi dalam masalah Imamah mereka tidak meyakini adanya wasiat dan Nas, terkadang juga syiah diartikan untuk mereka yang menganggap Ali as lebih utama dibanding Utsman. Seperti yang diutarakan Qadi Abdul Jabbar, “Wasil bin Atha meyakini keutamaan Ali as atas Utsman. Dengan alasan ini, ia dianggap Syiah karena di eranya mereka yang menganggap Ali as lebih utama dibanding Utsman digolongkan sebagai Syiah.”[9]
Walhasil dalam pengertian istilah disini, yang menjadi hal mendasar adalah meyakini bahwa Imam Ali as lebih utama, baik itu lebih utama dibanding seluruh sahabat dan para khalifah ataupun hanya lebih utama atas Utsman. Syiah dan mayoritas Mu’tazilah menganggap Imam Ali adalah orang yang paling utama setelah Nabi Muhammad saw.
Dan ada sekelompok dari Ahlul Hadits meyakini kalau Imam Ali as lebih utama dari Utsman.[10]
Terkadang dalam kitab-kitab Rijâl dan Tarâjum terdapat orang-orang yang dinisbatkan sebagai Syiah dan mereka yang mengategorikan perawi bermazhab Syiah itu sebagai perawi lemah (dha’if), telah mencela orang-orang seperti ini (orang-orang yang disinyalir sebagai Syiah).[11]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa kelompok Zaidiyah masuk pada kategori Syiah karena mengakui keutamaan Imam Ali as dibanding khalifah yang lain kendatipun mereka tidak meyakini ke-khalifahan langsung Imam Ali as. Mereka tidak meyakini adanya Nas terkait masalah Imamah dan menganggap bahwa parameter dalam menentukan Imam adalah pilihan umat atau pilihan rakyat, namun karena mereka meyakini kelebih utamaan Imam Ali as maka dikategorikan sebagai Syiah.
Allamah Thabathabai terkait penyebutan kelompok ini sebagai Syiah, telah menawarkan alasan berbeda dan hal itu adalah bahwa mereka disebut Syiah karena menolak khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbas dan menganggap bahwa yang berhak menjadi Imam adalah putra-putra Fatimah az-Zahra as.[12]
3. Pengertian berikutnya terkait Syiah secara terminologi adalah pengungkapan rasa cinta terhadap Ahlulbait Nabi saw. Tentunya rasa cinta terhadap Ahlulbait Nabi saw adalah hal yang diakui dan diterima oleh seluruh kalangan kaum Muslimin dan tidak seorang pun yang memusuhi keluarga Nabi saw kecuali Nawasib, karena masalah ini cukup ditegaskan oleh al-Qur’an dan riwayat-riwayat Nabi saw namun terkadang orang-orang yang menunjukkan dengan mengungkapkan rasa cinta dan loyalitasnya kepada keluarga Nabi saw atau berusaha menyebarkannya, dianggap dan dikategorikan sebagai Syiah atau Rafidhah. Bentuk dan model penamaan semacam ini terjadi di era-era berkuasanya rezim-rezim fanatik dan menentang Ahlulbait as dan dengan cara ini mereka bersikeras mencegah mengakarnya budaya-budaya Ahlulbait as yang beresensikan menentang kezaliman.
Catatan Kaki:
[1] Awâ’il al-Maqâlât, hal. 35-36.
[2] Al-Milal wa al-Nihal, jilid 1, hal. 146.
[3] Al-Ta’rîfât, hal. 93.
[4] Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 196.
[5] Maqâlât al-Islâmiyyin, jilid 1, hal. 65.
[6] Al-Qâmûs al-Muhîth, jilid 3, hal. 47.
[7] Al-Nihâyah, jilid 2, hal. 519.
[8] Majma’ al-Bayân, jilid 4, hal. 448.
[9] Al-Mughnî fî Abwâb al-Tauhîd wa al-‘Adl , al-Imâmah, jilid 2, hal. 114.
[10] Dîwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 55.
[11] Diantaranya Zahabi dalam kitabnya, Mîzân al-I’tidâl, telah menisbatkan sebagian perawi Ahlusunnah sebagai Syiah, misalnya terkait Ubaidullah bin Musa yang merupakan Masyayikh Bukhari, ia berkata, “Dia tsqah tapi bermazhab syiah sesat, dan lain-lain.
[12] Syî’ah dar Islâm, hal. 20.
(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email