Oleh: Syaikh Ahmad Wa’ili
Pertama
Dr. Abdul Aziz Dawri melukiskan perkembangan [Syiah] dengan cara mengklasifikasinya dalam dua jenis. Pertama, Syiah spiritual yang sudah muncul sejak masa hidup Nabi Muhammad saw. Kedua, Syiah politis yang lahir setelah tragedi pembunuhan Ali bin Thalib as. Alasannya, Syiah dalam pengertiannya yang sederhana dan tanpa embel–embel peristilahan lain tertera dalam Lembaran Tahkim (penghakiman), yang mencatat kata syiah, baik untuk Ali bin Thalib maupun untuk Mu’awiyah. Itu artinya, istilah “syiah” hanya bermakna dukungan atau pendukung, tanpa adnya kriteria lain atau muatan politis yang muncul pasca sejarah Tahkim.[1]
Kedua
Muhammad Farid Wajdi menyebutkan dalam buku Da’irot Al-Ma’ârif, “Syiah adalah orang-orang yang mendukung imamah Ali bin Abi Thalib, dan mereka berkeyakinan bahwa imamah tidaklah keluar dari keturunan beliau. Mereka juga meyakini kesucian para imam, baik dari dosa besar maupun kecil. Selain itu, mereka pun yakin, harus secara bersamaan mendukung imam–imam mereka dan memusuhi musuh-musuh para imam, baik secara lisan maupun tindakan. Dan hanya ada satu pengecualian, yaitu saat bertaqiyah atau khawatir atas kekerasan penguasa yang zalim. Mereka terdiri dari lima kelompok: Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulath, dan Isma’iliyah. Sebagian dari mereka secara ushuluddin cenderung pada kaum Muktazilah, dan sebagian lagi cenderung pada Ahli Sunah, sementara sebagian lain cenderung pada kaum Tasybih.”[2]
Petikan kata–kata Farid Wajdi ini sebelumnya pernah saya kutip sebagian, persisnya dalam pembahasan definisi syiah. Kali ini saya mengutip kata–katanya secara utuh agar jelas bahwa ungkapannya itu dimaksudkan untuk menyelubungi Syiah sejak awal sampai sekarang. Karena, sudah tentu, maksud–maksud semacam ini tidak muncul sekaligus dan bersifat tiba–tiba, melainkan lewat strategi infiltrasi diam–diam dan secara bertahap menyusup ke tubuh Syiah. Sementara itu, Farid Wajdi telah mencampuradukkan ciri–ciri dengan unsur–unsur utama [atau pendiri] Syiah, lalu mengklaim orang-orang non–Syiah sebagai Syiah, seraya menuduhkan hal-hal yang senyatanya tidak diyakini [kaum] Syiah kepada Syiah. Saya tidak ingin tergesa-gesa menanggapi ungkapan–ungkapan di atas. Karena, pada saatnya nanti, rangkaian tuduhan terhadap Syiah berikut jawaban atasnya akan saya kemukakan dengan panjang lebar.
Ketiga
Dr. Kamil Mustafa, dalam Al–Shilah, menyebutkan, “Kesyiahan (Syiisme) bermula sejak kemunculan Islam yang merupakan substansi Syiisme itu sendiri. Syiisme muncul sebagai gerakan politik pasca pemberontakan Muawiyah terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as. atas umat Islam. Selanjutnya, gerakan politik yang mengatasnamakan Syiah ini mengkristal pasca pembantaian Husain bin Ali as., kendati istilah gerakan ini sudah ada sebelumnya. Itulah mengapa kita dapat menyimpulkan fenomena ini dalam satu kalimat: Syiah adalah kelompok islami yang menggejala semasa hidupnya Nabi, lalu sebagai arus politik, baru mengkristal pasca pembunuhan Utsman bin Affan, dan selanjutnya, Syiah menjadi istilah yang mandiri pasca terbantainya Husain bin Ali as.”[3]
Dari teks di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Syiah telah melewati periode perkembangan sebagaimana dikemukakan Kamil Mustafa.
Keempat
Dr. Ahmad Amin mengatakan, “Mulanya, Syiah memiliki arti yang sederhana, yaitu kepercayaan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama ketimbang yang lain dari dua aspek: Kecakapan pribadi dan kedekatannya pada Nabi. Namun kemudian Syiah menemukan bentuknya yang baru akibat unsur–unsur asing yang menyusup ke tubuh Islam; dari Yahudi, Kristen, juga Majusi atau Zoroaster. Mengingat bangsa Persia berhasil menyusupkan unsur asing paling banyak ke tubuh Islam, mereka pulalah yang paling berpengaruh dalam pembentukan syiah.”[4]
Ahmad Amin lebih jauh menerangkan bahwa Syiah berkembang bukan lantaran kandungan internalnya, melainkan disebabkan faktor eksternal dan pengaruh unsur asing yang menyusup ke tubuh Islam yang kemudian memilih Syiah sebagai sarang. Dengan demikian, pemikiran dan kepercayaan asing dipindahkan ke tubuh Islam dan menjadi bagian darinya. Dalam pada itu, bangsa Persialah yang paling banyak menanamkan pengaruhnya ke mazhab Syiah ketimbang yang lain. Inilah yang ingin disampaikan Ahmad Amin sekaitan dengan mazhab Syiah. Sebenarnya, prasangka ini ditelan mentah–mentah Ahmad Amin dari orang lain, dan orang lain itu dari orang lain pula, begitu seterusnya. Akibatnya, prasangka itu seolah–olah menjadi ihwal yang disepakati para pakar. Tidak lama lagi, saya akan membuktikan kepada Anda kebohongan klaim ini sekaligus membongkar tujuan di balik usaha mereka menghubung–hubungkan Syiah dengan Persia, baik dalam hal bentuk maupun muatannya.
Kelima
Dr. Ahmad Mahmud Subhi, setelah menyebutkan beberapa perintis Syiah, mengatakan, “Syiisme, jika dikaitkan dengan Syiah mutakhir, sama halnya dengan kezuhudan semasa Rasulullah dan Khulafa’ Rasyidin. Beda zuhud dengan tasawuf yang diinfiltrasi unsur–unsur gnosis, serta dipengaruhi berbagai aliran pemikiran yang saling bertolak–belakang, dapat disaksikan, umpama, dalam paparan Muhyidin bin Arabi dan Suhrawardi.”[5]
Setelah mengemukakan beberapa pendapat kalangan penulis yang memisahkan Syiah di awal kemunculan Islam dengan Syiah pada era selanjutnya, sekarang tiba giliran saya untuk menanggapinya.
Pertama, tidak diragukan lagi, dimensi pemikiran dan keyakinan yang maktub dalam mazhab Syiah mengalami perluasan pada masa selanjutnya, lebih dari dimensinya pada awal kemunculan Islam. Akan tetapi perluasan dan atau penambahan ini tidak melampaui kandungan orisinal Syiah itu sendiri, melainkan hanya sebentuk pemerincian dan penjabaran lebih jauh seputar hal-hal yang sebelumnya diungkapkan secara global. Dengan kata lain, perluasan dimaksud bukan berupa penambahan elemen–elemen baru, melainkan munculnya partikel–partikel yang sebelumnya maktub dalam konsepsi universal dalam ajaran Syiah. Tentunya partikel–partikel tersebut muncul akibat tuntutan dan tantangan zaman. Sebagai contoh, persoalan bukti–bukti kanonik (nash) yang berasal dari pribadi suci Nabi saw.; apakah sekadar petunjuk seputar keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib atau lebih dari itu, sehingga mengharuskan umat Islam mengakui imamahnya berdasar wasiat beliau (Nabi) perihal imamah atau khilafahnya? Pertanyaan ini selanjutnya melahirkan pertanyaan berikut; apakah urusan imamah hanya berkisar pada soal kelayakan–kelayakan tertentu, atau seorang imam harus tampil sebagai teladan sempurna sehingga mensyaratkan dirinya sebagai sosok manusia paling berani dan adil di antara umat manusia? Berpijak darinya, persoalan yang berkaitan dengan ismah (kesucian imam) dan sebagainya pun mengemuka.
Seluruh persoalan itu terkandung dalam rahim prinsip imamah (kepemimpinan) dan sama sekali bukan bersifat eksternal yang ditambahkan kemudian ke dalam ajaran Syiah. Jelasnya lagi, merupakan penjabaran lebih mendetail yang berasal dari dinamika intelektual serta meningkatnya populasi serta kian bervariasinya kalangan pengikut mazhab.
Kedua, perkembangan semacam ini identik dengan seluruh perkembangan yang terjadi. Bertolak darinya, Islam dalam kapasitasnya sebagai subjek pembagian mazhab–mazhab, mengalami perkembangan sedemikian rupa. Komunitas Muslim sejak awal keberadaannya telah meyakini keberadaan Allah swt., keesaan–Nya, dan bahwa Dia sesungguhnya memiliki seluruh kesempurnaan dan Mahasuci dari segala kekurangan. Kendari demikian, keyakinan–keyakinan tersebut masih bersifat umum. Tatkala momentum intelektual semakin meluas dan dunia Islam makin terbuka lebar bagi beragam bangsa dan peradaban, tercetuslah pertanyaan–pertanyaan kritis di seputarnya dan dinamika pemikiran tentangnya lebih menggeliat ketimbang sebelumnya. Saat itulah kaum Muslimin memeriksa kembali tema-tema keimanan yang dianut secara global, untuk kemudian menguraikannya sekaligus memerinci hal-hal yang masih bersifat sepintas lalu. Dengan demikian, dari prinsip keimanan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, misalnya, muncul perdebatan seputar penisbatan sifat pencipta kepada sebab–sebab alamiah. Karena, menurut anggapan mereka, penisbatan sifat pencipta berakibat sang pencipta berbilang; sementara, di pihak lain, beberapa kalangan mengklaim bahwa penisbatan sifat pencipta pada penyebab alamiah sama sekali tidak mengusik ketunggalan Allah swt. sebagai Pencipta. Sebab, Dia memiliki pengaruh yang melampaui kapasitas seluruh makhluk. Adapun segenap hal yang dimiliki makhluk–makhluk merupakan pengaruh atau karyacipta dari sudut yang berbeda, sehingga tidak sampai merusak keyakinan bahwa Allah swt. sebaik-baik pencipta. Setelah itu, muncul persoalan berikutnya yang berkenaan dengan asal-usul perbuatan manusia, yang lantas dilanjutkan dengan persoalan jabr wa ikhtiyar atau pemaksaan dan kuasa memilih; begitulah seterusnya dinamika intelektual di dunia Islam.
Contoh lain dari keimanan umat Islam sejak awal adalah bahwa makna harfiah ayat–ayat Al-Quran merupakan bukti yang jelas. Namun, keimanan ini pada tahap berikutnya menyulut silang pendapat seputar makna harfiah sebagian ayat Al-Quran. Karena, jika makna harfiah itu dijadikan makna standar dari ayat–ayat tersebut, niscaya akan berakibat sesuatu yang tidak layak diatributkan kepada Allah swt. Seumpama, firman–Nya:
“Wajah–wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri–seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”[6]
Berkenaan dengan rangkaian ayat ini, mazhab Ahli Sunah berpandangan bahwa Allah swt. boleh jadi dapat dilihat [secara inderawi] pada hari kiamat kelak berdasarkan makna harfiah dari rangkaian ayat tersebut. Adapun mazhab Syiah Imamiyah berpandangan, mustahil Allah swt. dapat dilihat. Alasannya, anggapan itu meniscayakan sifat kebendaan pada zat Tuhan. Ujung–ujungnya, susunan, kebutuhan, serta kejadian tersebut akan negasi status ketuhanan Tuhan itu sendiri. Kemudian mereka menafsirkan ujaran “ilâ robbiha nâdzirah” dengan penantian rahmat Tuhan. Ini sebagaimana dalam bahasa Arab, seseorang berkata pada sosok yang diharapkan kasih sayangnya: anâ andzuru ilayka wa ilâ ‘atfika. Ungkapan ini memang populer dalam konteks bahasa dan peradaban Arab. Dan Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa dan dialek Arab.
Penafsiran ini juga didukung teks ayat tersebut yang menjadikan wajah sebagai subjek (yang melihat) yang bukan dimaksudkan sebagai indera penglihatan. Sebagaimana Allah swt. berfirman dalam ayat lain:
“Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar”[7]
Contoh lain yang layak dikemukakan di sini guna menunjukkan perluasan kandungan ajaran Islam dari sebelumnya (Islam di awal kemunculannya) adalah keimanan prinsipil Muslimin bahwa Allah swt. tidak bertindak sia-sia. Keyakinan ini didukung makna harfiah ayat–ayat seperti:
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah yang lebih baik di antara kalian amalnya?
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”[8]
Allah swt. juga berfirman:
“Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya sia–sia”[9]
Setelah itu, mereka berbeda pendapat tentang apakah perbuatan Allah swt. memiliki penyebab. Kalau dianggap memiliki penyebab, tidakkah itu berarti menisbatkan kekurangan kepada Allah swt., mengingat semua pelaku yang perbuatannya disebabkan faktor tertentu niscaya butuh (bergantung) kepadanya (faktor penyebab)? Ataukah perbuatan Allah swt. tidak memiliki penyebab, yang karenanya menjadikan perbuatan-Nya sia-sia belaka—Mahasuci Allah dari segala kesia-siaan? Dalam konteks ini, kalangan Ahli Sunah berpendapat bahwa perbuatan Allah swt. tidak memiliki penyebab. Sebaliknya, kaum Syiah Imamiyah meyakini perbuatan Allah swt. memiliki penyebab kendati Dia tidak membutuhkan (penyebab tersebut). Karena, manfaat dari penyebab tersebut diperuntukkan bagi hamba itu sendiri. Dengan demikian, kaum Syiah Imamiyah menggabungkan dua perspektif secara simultan; bahwa Allah swt. tidak berbuat sia–sia namun Mahakaya atau sama sekali tidak membutuhkan apa pun.
Kendati kita sama–sama telah menyaksikan serangkaian contoh di atas, namun tak seorang pun yang mengatakan bahwa keimanan umat Islam telah berkembang sedemikian rupa dan kandungan ajaran Islam mengalami modifikasi lebih dari sebelumnya di awal kemunculannya. Sebab, senyatanya keimanan umat Islam meluas lantaran upayanya yang tak kenal lelah dalam memerinci pelbagai hal yang bersifat global manakala dirakan perlu dan mendesak. Itu terjadi berkat interaksi mereka dengan pelbagai peradaban dan pemikiran. Karenanya, sumber syariat kaum Muslim di masa awal kemunculan Islam dan komunitas Islam di masa sekarang tetap sama, yaitu Al-Quran dan Sunah. Adapun perbedaannya hanya berkisar pada fakta bahwa kaum Muslim masa silam mengapresiasi ajaran Islam secara global, sementara kaum Muslim sekarang membutuhkan penjelasan detailnya. Kebutuhan terhadap penjelasan mendetail ini berasal dari kemunculan sejumlah faktor baru (yang sebelumnya belum muncul). Dalam pada itu, jika yang mereka maksudkan dengan dinamika dan perkembangan adalah sebagaimana yang berlangsung dalam tubuh Islam semacam itu, maka pada faktanya, dinamika dan perkembangan Syiah juga seperti itu (benar–benar terjadi dan tidak dapat disangkal). Namun, jika yang dimaksudkan adalah menyusupnya pendapat–pendapat asing yang tidak Islami ke tubuh Syiah, maka itu keliru besar. Karena, apa saja yang ditolak Islam niscaya pula ditolak Syiah.
Pola perkembangan dan dinamika Islam yang kami kemukakan di atas tidak sampai meciptakan kerusakan dalam struktur keimanan kelompok–kelompok Muslim. Nah, jika diakui bahwa perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam tubuh Syiah identik dengan yang berlangsung dalam ranah Islam pada umumnya, lantas mengapa mereka menganggap semua itu telah menciptakan kerusakan dalam struktur keyakinan Syiah seraya melontarkan sejumlah keraguan yang tidak beralasan?
Ketiga, kalaupun kita mengalah dan menganggap adanya unsur tambahan dalam tubuh Syiah sebagaimana yang secara gegabah diklaim oleh sebagian pihak, maka itu pun tetap tidak masuk akal. Karena, anggapan seperti itu sama sekali bertentangan dengan pemikiran Syiah, terlebih jika tidak sesuai dengan kitab suci Allah swt. (Al-Quran), Sunah Nabi-Nya saw., serta prinsip-prinsip umum keislaman. Anggapan semacam ini niscaya akan menjadi bumerang bagi kalangan yang melontarkannya. Karena, segala hal yang tidak maktub dalam ajaran Islam sudah tentu pula tidak maktub dalam ajaran Syiah.
Jelas, Syiah bersumber dari sosok dan pemikiran Ahlul Bait as. yang merupakan jelmaan Al-Quran. Mereka ibarat bahtera Nuh as. Darinya dapat diketahui bahwa semua yang dituduhkan kepada Syiah pada hakikatnya muncul dari sikap mencamuradukkan Syiah dengan pengikutnya. Sungguh, betapa banyak ihwal yang disandang pengikut Syiah namun pada dasarnya tudak selaras dengan batas-batas struktur ajaran Syiah itu sendiri; pada saatnya persoalan ini akan sama-sama kita telusuri berikut argumentasinya. Kondisi serupa juga dialami Ahli Sunah yang secara tegas menolak sebagian kalangan yang mengaku dirinya pengikut Ahli Sunah. Khususnya kalangan yang menyempal dan menyimpang dari prinsip-prinsip riil Islam. Jelas, keberadaan oknum semacam itu tidak otomatis merusak ajaran Ahli Sunah. Begitu pula, keberadaan kalangan semacam itu tidak dapat digeneralisir dan diklaim merepresentasi seluruh pengikut Ahli Sunah.
Bahkan, kalaupun kita mengambil kemungkinan terburuk, bahwa suatu gagasan miring menyempal dalam struktur keimanan salah satu mazhab dan terbilang sebagai tambahan terhadap kandungan asli mazhab tersebut, namun semua itu tidak sampai membuatnya mengingkari prinsip-prinsip dasar agama atau menyimpang darinya, maka kaum Muslim tidak boleh menuduhnya telah menentang agama dan murtad dari Islam, apalagi sampai menghubung-hubungkannya dengan Yahudi, Kristen, dan sebagainya. Karena, sosok Muslim yang benar-benar berkarakter islami dan senantiasa tercermin dalam tindakan-tindakannya, tak akan pernah menuding semacam itu pada saudara Muslimnya yang lain.
Memangnya sejak kapan pendapat yang meyakini, misalnya, mekanisme wasiat dalam konteks kenabian dan kepemimpinan pasca kerasulan, dan bahwa setiap nabi memiliki wali dan washi atau penerus, juga bahwa setiap penerus haruslah suci dari dosa agar tujuan penobatannya sebagai pemimpin umat tercapai, dan bahwa Imam Mahdi sekarang tetap hidup dan sebagainya, dikategorikan sebagai pendapat yang menyimpang dari agama. Semua itulah yang menjadi alasan dilancarkannya serangan durjana [terhadap Syiah]. Cara-cara semacam ini umumnya ditempuh kalangan pengusung salafisme, yang kemudian dilanjutkan kaum khalafis, tanpa didukung alasan yang jelas, serta tidak dibarengi upaya untuk melakukan analisis yang objektif dan kritis?
Sayang, sudah banyak energi yang terbuang di kancah dagelan dan bualan semacam ini. Selain pula bukan tergolong tindakan yang bertanggung jawab. Tidakkah sebaiknya energi dan potensi itu disinergikan di kancah yang positif, kreatif, dan inovatif, serta dikerahkan untuk menggalang persatuan serta membersihkan dunia Islam dari anasir kedengkian dan bayang–bayang perpecahan yang sepenuhnya menguntungkan musuh-musuh Islam?
Kalangan yang begitu agresif di balik bising kekacauan dan perpecahan ini tentunya terasing dari ruh dan substansi Islam. Mereka begitu akrab dengan kecurigaan dan sikap skeptis. Padahal, seyogianya tema-tema semacam ini dilokalisasi dan dikhususkan untuk kalangan terbatas para pakar dan ulama. Jelas-jelas tidak arif jika itu disebarluaskan hingga ke level masyarakat umum, apalagi awam. Ini mengingat kalangan pakar dan ulama memiliki kapasitas untuk menepis pandangan ceroboh dan serampangan berkarakter jahiliyah–memang semacam itulah yang semestinya.
Menurut saya, konflik sektarian lebih berbahaya bagi kemanusian ketimbang perang nuklir. Dalam lembaran sejarah Islam, tercatat pelbagai pertikaian internal kaum Muslimin yang sayangnya, masih berlangsung sampai saat ini sehingga menjadi duri yang melukai tubuh kaum yang beriman kepada Allah swt. dan agama-Nya, serta merintangi upaya semua juru dakwah yang bertugas mentransmisikan misi-misi Ilahi dengan menanamkan spirit kemanusian dalam segala bentuk tindakan manusia.
Catatan Kaki:
[1]– Muqaddimah fi Târîkh Shodr Al-Islâm, hlm. 72.
[2]– Farid Wajdi, Dâ’irot Al-Ma’ârif, jld. 5, hlm. 424.
[3]– Al-Shilah bayn Al-Tashawwuf wa Al-Tasyayyu’, hlm. 23.
[4]– Fajr Al-Islâm, hlm. 276.
[5]– Nadzariyyat Al-Imâmah, hlm. 35.
[6]– QS. Al-Qiyamah [75]: 22–23.
[7]– QS. Yasin [36]: 49.
[8]– QS. Al-Mulk [67]: 2.
[9]– QS. Al-Dukhan [44]: 38.
(Info-hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email