Pesan Rahbar

Home » » Wawancara Republika Dengan Ulama Sunni Iran

Wawancara Republika Dengan Ulama Sunni Iran

Written By Unknown on Wednesday, 9 November 2016 | 20:30:00


Berikut ini wawancara koran REPUBLIKA dengan ulama Sunni terkemuka asal Bandar Abbas, selatan Iran, Habib Syekh al-Islam, Sayyid Abd al-Baits Qitaly. Menurutnya, komunitas Muslim Sunni juga berdomisili di Iran, terutama di daerah-daerah perbatasan.

Populasi Muslim Sunni di Iran mencapai 10 persen dari total jumlah penduduknya yang berjumlah 70 juta jiwa.Menurut Sayyid yang juga Imam Besar Masjid Jami’ Banddar Abbas ini, kedua entitas tersebut, Syiah dan Suni hidup saling berdampingan.

“Sangat berbeda seperti apa yang disampaikan media terutama media barat yang biasa sering melakukan kebohongan atau hal-hal kecil kemudian menjadi besar,” katanya saat berkunjung di kantor Republika di Jakarta, Rabu (1/6) bersama Prof‎ Mohammad Hasan Zamani, Kepala Hubungan Luar Negeri Hauzah Ilmiyah Iran.

Sayyid Abdul Ba’its memastikan selama 38 tahun setelah Revolusi Iran semua kelompok agama dan mazhab mampu mempertahankan persatuan dan kesatuan baik di dalam dan luar.


Republika: Bisa Anda jelaskan demografi komunitas Suni di Iran saat ini?

Abd al-Baits Qitaly:Ya. Ada dua hal yang menjadi fokus pertanyaan saat seminar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, soal pandangan Imam Khomeini dan Sukarno tentang kemerdekaan yang kami hadiri. Pertama soal Revolusi Iran 1979 dan kedua soal hubungan antara Suni dan Syiah di Iran.

Secara geografi, hampir semua perbatasan Iran ditempati oleh Suni seperti barat Iran dan perbatasan Irak dan Turki dan tinggal di situ kaum atau bangsa Kurdi, dan juga Suni.

Kurdi kebanyakan bermazhab Syafi’i, tapi di timur Iran dan beberapa provinsi seperti Balochestan dan Khorasan perbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan adalah Suni dan kebanyakan adalah bermazhab Hanafi.

Kami berada di wilayah selatan Iran, Teluk Persia yang membentang kira-kira 2.000 kilometer dari Chabahar hingga Bushehr adalah Muslim bermazhab Syafi’i.

Berdasarkan sensus beberapa tahun lalu, populasi kami mencapai 10 persen kemudian berkembang dan disebutkan mencapai 15 persen. Kita hidup dan bisa menjalankan keyakinan kita. Bisa mendirikan masjid, yayasan pendidikan Islam dengan kebebasan yang kita miliki.


Kira-kira ada berapa jumlah masjid komunitas di Iran sekarang?

Jumlah masjid kira-kira ada sekitar 45 ribu unit, dari total itu sekitar 15 ribu murni digunakan oleh Suni. Padahal, kita hanya 10 persen, namun kita memiliki 35 persen dari total keseluruhan jumlah masjid.


Apa nilai strategis dari eksistensi Suni di perbatasan Iran?

Karena kita berada dalam perbatasan dan pasti negara itu punya kepentingan besar untuk menjaga perbatasan daripada tetangga, karena itu kondisi kami kondisi yang penuh dengan keamanan dan betul-betul dijamin untuk menjaga stabilitas nasional. Karena itu, kami yang berada di selatan benar-benar hidup aman dan bahkan dibandingkan negara tetangga kami kami adalah yang lebih baik.


Human Right Watch (HRW) pernah menyebut negara Anda diskriminatif terhadap Suni. Menurut Anda?

Banyak orang‎ di luar Iran berpikir bahwa ketika menyebut nama Iran langsung menganggap nama Iran sebagai negara 100 persen Syiah, padahal ini salah. Seperti tadi saya sebut ada 10 persen tadi.

Kedua bahwa ada yang menyebarkan Suni di Iran sangat-sangat sedikit dan mereka berada dalam tekanan serta tidak punya kebebasan lalu mereka dipaksa untuk merubah mazhabnya.

Saya mengatakan dengan jujur sejak Revolusi Iran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang menyuruh untuk pindah mazhab, tidak ada satu pun orang yang menyuruh beralih dari Suni pindah ke mazhab Syiah.

Kita hidup dalam toleransi penuh kedamaian dan sangat berbeda seperti apa yang disampaikan media, terutama media Barat dan biasa sering melakukan kebohongan atau hal-hal kecil kemudian menjadi besar. Saya siap menyampaikan beberapa contoh kalau memang diperlukan.



Dalam aspek pendidikan, bagaimana Anda membuktikan ucapan Anda itu?

Kita di selatan saja di sebuah provinsi punya 50 sekolah agama atau pesantren hampir 5.000 santri melakukan pendidikan kesehariannya belajar-mengajar.

Setelah kita melakukan perbandingan bahkan dengan Indonesia kita merasa bahwa kita cukup baik dalam masalah pendidikan fasilitas dan bahkan menariknya beberapa buku yang kita pelajari di sana diajarkan di sana sama dengan yang diajarkan di pesantren-pesantren di sini.

Seperti kitab Matan at-Taqrib dan ‘Umdat as-Salim wa ‘Iddat an-Nasik yang bermazhab Syafi’i karya Abu Syuja’ al-Ishfahani. Ada juga Abu Hamid al-Ghazali dengan Ihya Ulumuddin yang banyak dikaji di Indonesia.


Apakah kedua entitas itu saling berbaur atau terkonsentrasi dalam satu kawasan?

Ada desa-desa kecil yang penduduknya Suni dan ada pula desa dengan warga Syiah saja. Tetapi di sejumlah kawasan yang lebih besar, mereka berbaur seperti di Bandar Abbas, tempat saya tinggal.

Mereka berinteraksi seperti biasa, berdagang, dan bahkan banyak perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh dua entitas yang berbeda itu, Suni dan Syiah. Bahkan, tak sedikit pula pernikahan yang menyatukan pasangan Suni dan Syiah.

Kalau yang di Utara ada dua yang besar pertama mazhab Hanafi dan Gilan tempat ‎kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang bermazhab Syafi’i.

Kami yang berada di dalam dan di lapangan, menggambarkan fakta dan realita sebenarnya berdasarkan geografis atau hubungan sosial. Tentu informasi kami lebih akurat ketimbang mereka yang hanya mendengar dan menyaksikan dari luar.


Lalu bagaimana dengan masjid, apakah juga berbaur seperti pada umumnya?

Ada masjid-masjid yang memang menggunakan masjid untuk shalat bersama-sama. Tetapi ada beberapa masjid karena yang menjadi takmirnya katakan misalnya Suni, maka masjid tersebut diberi nama masjid Suni, seperti Masjid Umar atau Masjid Abu Bakar. Begitu bebas mengambil nama-nama itu.

Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa kemudian ada orang Syiah datang ke situ. Sebagaimana sebaliknya masjid Syiah takmirnya orang Syiah dan namanya juga punya ciri khas Syiah. Tapi tidak kemungkinan Suni untuk shalat di situ.

Selama menjadi takmir dan mengurus lima masjid di Bandar Abbas, sampai sekarang, tidak pernah ada satu pun, baik dari pemerintah atau ulama-ulama Syiah kemudian benci pada kita dan mengatur-atur kita.

Misalnya ada tamu, tetap mereka ikut pada kita, tidak kemudian mengubah imam atau khatib yang sudah kami tetapkan.


Apakah para takmir dan imam tersebut telah ditentukan pemerintah?

Secara umum ditentukan oleh masyarakat, termasuk pengelolaan imam Jumat. Kecuali kota-kota tertentu demi kemaslahatan tertentu ditentukan seperti Kementerian Agama.

Terkait khutbah Jumat, benar, memang kita berdekatan dengan Uni Emirat Arab yang memberlakukan kebijakan seleksi dan penunjukan imam, tapi di Iran setelah revolusi, saya sudah menjadi khatib sampai sekarang 38 tahun tidak pernah sekali pun ada intervensi untuk menyampaikan tema tertentu. Ini bukan berarti kita bebas sebebas-bebasnya menyampaikan apa pun, tetap saja kita sebagai khatib harus memiliki pertimbangan demi kemaslahatan umat.


Sejauh mana keikutsertaan Suni dalam parlemen?

Di Iran tidak ada partai seperti di Indonesia yang banyak, setiap orang hanya mendaftarkan sebagai independen walaupun kemudian didukung oleh beberapa ormas atau organisasi lain.

Di DPR pusat ada 290 anggota parlemen, 23 anggota dari total tersebut adalah dari Suni. Selain parlemen, ada Wali Fakih.

Wali Fakih itu juga dipilih melalui sebuah pemilu walaupun yang kemudian menjadi, katakan anggota majelis yang mereka sebut majelis para ahli para pakar yang kemudian untuk memilih Wali Fakih, itu adalah Suni. Karena itu, di majelis dewan pakar itu juga ada beberapa Suni mewakili beberapa tempat.


Ekstremisme menjadi ancaman bagi kedua entitas. Menurut Anda?

Pertama kita meyakini bahwa Islam itu mengajarkan moderasi, Islam tidak mengajarkan ekstremisme dan ini juga kita sampaikan kepada masyarakat kita pada berbagai kesempatan bahwa Islam itu punya ajaran yang demikian, dan kaum Muslim dipersilahkan mengikuti ulama yang representatif, dalam Suni ada empat mazhab itu juga dalam Syiah dengan otoritas para utamanya.

Di luar gerakan itu kita sangat mewanti-wanti. Gerakan takfiri itu sebagai gerakan di luar Islam walaupun mereka menamakan dan mengangkat nama Islam.

Kita selalu tekankan masing-masing melakukan tugasnya, baik sebagai masyarakat atau Muslim biasa, yakni melakukan tugasnya melaksanakan ajaran agama diyakininya dengan berbagai sumber yang ada dengan berbagai mazhab yang ada sesuai dengan keyakinan, baik Suni atau Syiah.

Kalau sudah berpegang teguh seperti itu maka kita akan jauh dari gerakan-gerakan takfiri yang baru itu yang tidak ada hubungan dengan salah satu daripada ulama mazhab yang representatif itu.

Kedua adalah pemerintah mempunyai kekuatan dan kendali maka harus melakukan tugasnya untuk kemudian menyelamatkan masyarakat dari provokasi yang dilakukan mereka.

Kita secara geografis secara fisik Bandar Abbas berbatasan dengan Irak itu mungkin tidak terlalu jauh dengan pusatnya ISIS, tetapi mereka tidak mampu masuk ke Bandar Abbas, bahkan mereka nyaris putus asa masuk ke wilayah Suni.

Mungkin ke beberapa tempat berhasil tapi ke wilayah kita tidak berhasil. Ketidakberhasilan itu karena dua faktor tadi masing-masing tugasnya baik masyarakat maupun negara. Dan tak henti-hentinya kita berikan penyadaran kepada masyarakat bahwa mereka bukanlah sebuah kelompok ‎yang mandiri, tetapi mereka by setting, by design, yang di belakang mereka adalah imperilais, Amerika dan Zionis Israel.

(Republika/Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: