Pesan Rahbar

Home » » Soal “Serangan Fajar”, Prof. Komar: Yang Memilih dan Dipilih, Berkonspirasi Suburkan Korupsi

Soal “Serangan Fajar”, Prof. Komar: Yang Memilih dan Dipilih, Berkonspirasi Suburkan Korupsi

Written By Unknown on Wednesday, 15 February 2017 | 21:42:00

Foto: Tribunnews.com

Bagi Prof. Komaruddin Hidayat, pemimpin itu ibarat pilot. Jika tidak memiliki keahlian dan rasa tanggung jawab tinggi terhadap tugas yang diembannya, akan mencelakakan seluruh penumpangnya.

“Pemimpin itu ibarat sopir bus. Penumpangnya ingin duduk tenang, nyaman, selamat sampai tujuan,” kata pria yang akrab disapa Mas Komar ini.

Pemimpin itu, lanjut Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah ini juga bisa diibaratkan imam dalam salat. Jika bacaannya tidak bagus dan tidak punya wibawa ilmu serta akhlak, makmum ragu berdiri di belakangnya, salatnya tidak khusyuk. Pemimpin itu pelindung anak buahnya, mesti berani ambil risiko demi keselamatan yang dipimpinnya.

Komaruddin tak menafikan jika ada teori, bahwa bakat kepemimpinan itu bawaan lahir. Seperti ragam pepohonan yang tumbuh di hutan, memang ada jenis pohon besar yang tumbuh menjulang tinggi di antara pohon-pohon lain yang rendah.

“Namun, ada juga pendapat, pemimpin itu terlahir dan tumbuh berkat pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian, pemimpin itu bisa dididik dan dikondisikan.”

Bagi jebolan Ponpes Pabelan ini, semua orang berhak dan berbakat jadi pemimpin. Bahkan ada lagi pandangan, pemimpin itu tugas mulia, merupakan panggilan suci yang mesti diperebutkan untuk sarana memperbanyak amal kebajikan dengan melayani rakyat.

“Demikianlah, dalam kehidupan sosial diperlukan berbagai ragam jenis jabatan kepemimpinan, baik formal maupun informal. Baik yang berskala besar maupun kecil.”

Dalam panggung politik, yang lagi heboh dan selalu heboh adalah peristiwa pilkada untuk memilih bupati, wali kota, atau gubernur. Tak kalah aktif adalah peranan media televisi, lembaga survei, dan konsultan politik yang ikut mengondisikan munculnya industri politik.

Media dan parpol adalah mesin untuk menyulap agar sebuah figur menjadi populer, mirip mempromosikan sebuah produk industri mobil agar terkenal dan membangkitkan minat masyarakat untuk membeli. Padahal produk industri mobil dan produk parpol sangat berbeda kualitas dan peran sosialnya.

“Jika kita salah memilih dan membeli motor atau mobil, tak akan berdampak besar secara sosial. Tapi, salah memilih wali kota, bupati, gubernur, atau presiden sangatlah besar implikasinya.”

Sedihnya, lanjut Komar, rakyat tidak cukup punya pengetahuan akurat terhadap tokoh-tokoh yang ditawarkan parpol. Lebih menyedihkan lagi kalau rakyat memilih hanya karena dibagi uang yang diistilahkan ”serangan fajar” menjelang hari pencoblosan.

Akademisi ini lalu menyorot fenomena setiap menjelang pilkada di mana di beberapa daerah dilaporkan, malam hari sebelum hari pemilihan warga desa sudah menunggu ”uang pembagian”.

“Siapa calon yang paling besar membagi uang, dia yang akan dipilih,” katanya.

Praktik ini, bagi Komaruddin, jelas menipu dan merusak proses demokrasi, baik yang memilih maupun yang dipilih berkonspirasi menghancurkan etika dan tatanan politik yang menyuburkan korupsi dan akan menyengsarakan rakyat. Menjelang pemilu ini menarik diamati sikap politik anak-anak muda yang apatis terhadap pemilu.[]

(Koran-Sindo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: