Ilustrasi
Tragedi Imam Husain as (cucu Rasulullah saw) tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Selama hampir tiga hari sebelum dia dibunuh, dia bersama dengan keluarga dan para sahabatnya tidak diberi akses kepada sumber air. Dia menyaksikan sendiri anak-anak kecil menjerit dan menderita kehausan. Dia menyaksikan melemahnya bayi enam bulan di dataran panas Karbala ketika ibunya tidak bisa lagi menyusuinya. Kekejaman pembunuhnya bahkan semakin nyata ketika Imam Husain as dan para pengikutnya berkemah hanya beberapa ratus meter dari Sungai Efrat, tetapi karena jumlahnya sangat sedikit di mata musuh, mereka tidak diberi akses ke sungai bahkan hanya untuk mencari air minum.
Saat pertempuran terjadi pada hari kesepuluh Muharram, tahun 61 dalam kalender Islam, sejumlah sahabat Imam Husain as menemui syahadah. Musuh memulai pertempuran dengan menghujani Imam Husain as dan sahabat-sahabatnya dengan panah ketika beliau memimpin salat jamaah. Anggota pertama dari keluarga Imam Husain as yang dibantai adalah putra sulungnya sendiri, Ali Akbar.
Sementara yang terakhir dibunuh adalah anak bayinya yang paling kecil, Ali Asghar. Ketika Imam Husain as menyadari bahwa bayinya itu hampir mati kehausan, dia membawanya dalam pelukannya dan berangkat ke medan perang tanpa senjata. Beliau mendatangi musuh-musuhnya lalu mengatakan kepada mereka bahwa bayi ini tak berdosa. Jika musuh-musuh itu berkeyakinan Imam Husain as telah melakukan dosa dengan tidak membaiat diktator dinasti Umayyah Yazid bin Mu’awiyah, lalu apa dosa bayi ini?
Imam Husain as meminta musuhnya untuk memberikan air kepada sang bayi. Namun, alih-alih memberi air, musuh malah menembak bayi dengan anak panah. Imam Husain as menyaksikan bayinya dibunuh di dalam pelukannya. Kemudian pada hari itu juga, Imam Husain as diserang oleh tentara yang tak terhitung jumlahnya, yang menyerang setidaknya dengan tujuh puluh dua kali tembakan anak panah, tombak dan pedang, sampai akhirnya Imam Husain as dipenggal di dataran Karbala disaksikan beberapa wanita dan anak-anak dari perkemahan mereka.
Tragedi tidak berakhir dengan pemenggalan kepala Imam Husain as. Semua perempuan yang bersamanya, termasuk anak-anak, dibawa sebagai tawanan perang. Di perang itu, anak-anak telah kehilangan ayah mereka, paman dan saudara; demikian pula perempuan kehilangan suami mereka. Namun, ketika mereka menangis, mereka tanpa ampun dipukuli oleh musuh. Itu adalah perlakuan yang mereka terima.
Kemudian mereka diarak dari kota ke kota, sampai ke kota Damaskus, pusat pemerintahan Yazid yang despotis. Sepanjang jalan mereka dipermalukan. Mereka dibiarkan dalam kondisi yang buruk dan kelaparan, karenanya beberapa anak meninggal di jalan. Putri Imam Husain as yang berusia tiga tahun, Ruqayya, meninggal tak lama setelah mereka tiba di Damaskus. Bahkan, para wanita dan anak-anak terus-menerus diperlihatkan adegan mengerikan, kepala Imam Husain as ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Karbala ke Damaskus.
Untuk menambah penghinaan terhadap para tawanan perempuan itu, ketika mereka tiba di Damaskus (Syiria), Yazid telah mengumumkan hari itu sebagai hari pesta pora. Jalan-jalan di Damaskus penuh sesak dengan kegembiraan atas terbunuhnya Imam Husain as.
(Syiah-News/Ijabi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email